Berkenaan
dengan lima catatan yang dikemukakan di atas ini, saya ingin mengomentari tanggapan Korrie Layun Rampan, terkait dengan
buku Kristen
Dalam Sastra Indonesia, yang terdapat pada halaman 151 – 152 bukunya
yang berjudul, Kesusastraan Tanpa Kehadiran Sastra – Himpunan Esai dan Kritik (yayasan
arus jakarta, 1984). Tanggapan
Korrie Layun Rampan atas buku saya itu, saya peroleh pada tahun 2012 dari
sahabat saya, Drs. Yohanes Sehandi, M.Si., dosen bahasa dan sastra Indonesia di
Universitas Flores.
Pertama
Korrie Layun
Rampan (untuk selanjutnya akan saya sapa, Korrie) mengatakan begini: “Sebenarnya pokok masalah Kristen dalam
Sastra Indonesia ini yang
bertolak dari isi ceramah Pater Dick Hartoko: ‘Mengerling Sastra Indonesia
dari Sudut Kristen’…” Pernyataan ini
salah. Tema “Kristen Dalam Sastra Indonesia” dipersiapkan dan
disodorkan oleh Pengurus Dewan Kesenian Jakarta kepada Dick Hartoko untuk
diceramahkan. Tetapi ternyata terhadap tema tersebut Dick Hartoko mengubahnya
secara sepihak menjadi, “Mengerling Sastra
Indonesia
dari Sudut Kristen”.
Oleh karena
tema “Kristen Dalam Sastra Indonesia” yang disodorkan oleh Pengurus Dewan
Kesenian Jakarta itu sangat penting dan aktual dalam pandangan Kristen, namun
hanya dikerlingi saja oleh Dick
Hartoko, maka saya merasa terpanggil untuk mengemukakan pandangan saya tentang
panggilan Kristen yang tersirat di dalam tema “Kristen Dalam Sastra Indonesia”
itu, sekaligus mengkritisi opini Dick Hartoko, Satyagraha Hoerip, M. S.
Hutagalung, dan Sumartono, yang tidak membahas tentang tema “Kristen Dalam
Sastra Indonesia” yang disodorkan oleh Pengurus Dewan Kesenian Jakarta,
melainkan hanya berkutat soal sastra
Kristen dan/atau tentang penamaan
sastra Kristen.
Kedua
Korrie menilai
bahwa buku saya, Kristen Dalam Sastra Indonesia
agak mengambang. Menurut penilaian saya atas kritik Korrie, maka saya dapat
berkata begini: .(1) Sesungguhnya nalar Korrie-lah yang mengambang, karena
Korrie tidak memahami dan menghayati sebaik-baiknya tentang konsepsi panggilan dan presensi Kristen dalam konteks
kehidupan sastra Indonesia. (2) Kalau, Kristen
Dalam Sastra Indonesia itu agak mengambang seperti kata Korrie, atau benar
mengambang, maka staf ahli BPK Gunung Mulia Jakarta lebih bodoh dari Korrie,
sehingga mereka bisa merekomendasikan buku itu untuk diterbitkan. (3) Tema “Kristen Dalam
Sastra Indonesia”
itu telah dipolemikkan pada tahun 1970. Naskah buku yang berjudul sesuai tema
yang dipolemikkan itu, saya kirim ke BPK GM Jakarta pada tahun 1974, sedangkan
penerbitannya pada tahun 1977. Ada rentang waktu yang cukup panjang (lama) bagi
redaksi dan staf ahli BPK GM untuk melakukan penilaian secara cermat, layak
tidaknya naskah buku itu diterbitkan, karena merekalah yang menanggung biaya
penerbitan termasuk royalti yang dibayarkan secara penuh kepada saya sebagai
penulis, pada saat buku itu diserahkan ke distributor. (4) Kalau tema yang saya
bahas dalam buku saya itu sudah basi, tidak aktual, tidak relevan, dan tidak
bermutu, niscaya naskah buku akan dikembalikan kepada saya (sesuai persyaratan yang ditentukan oleh BPK GM Jakarta dalam
surat tertanggal 31 Januari 1977; nomor 011/K/SU/74, yaitu naskah yang tidak bermutu dan yang tidak lulus dari penilaian staf ahli
BPK GM akan dikembalikan kepada penulis). Ternyata naskah buku saya, diterbitkan
menjadi buku, bukan lantaran “spoil system”, melainkan lantaran “merit system”. Jadi, kalau Korrie menilai buku saya
itu agak mengambang, maka saya yakin
Korrie dalam keadaan “mengambang” pada saat membaca buku tipis saya itu. Yang
saya maksudkan dengan Korrie dalam keadaan “mengambang di sini ialah Korrie
dalam keadaan “bingung” karena sulit memahami tema panggilan dan presensi
Kristen dalam sastra yang saya bahas dalam buku itu; dan oleh karena itu Korrie
sampai kepada penilaian dan kesimpulan yang “tidak jelas; tidak mengena”
sebagaimana kentara dalam esai dan kritiknya atas buku saya.
Ketiga
Oleh karena
Korrie “mengambang” ketika membaca buku saya, maka penalarannya menjadi tidak beres. Hal ini kentara
dalam pernyataan Korrie berikut ini: “… Ada
upaya yang nyata menolak pernyataan Pater Dick serta Satyagraha Hoerip yang
menyebutkan bahwa tak ada sastra Kristen di Indonesia. Seperti yang
dengan jelas dikatakan Satyagraha begini, “bahwa saya tidak percaya yang sastra
Kristen itu ada khususnya sastra Kristen Indonesia, baik dahulu, kini, ataupun
di masa-masa mendatang kelak…. Pikiran Hoerip memang sejalan dengan pikiran
Pater Dick yang tidak mau mengklasifikasi karya sastra. Setiap karya sastra
yang agung dan religius – yang jelas tidak memihak agama mana saja – dapat
disebut sastra Kristen, …”
Perhatikanlah
frasa dan/atau kalimat yang digaris bawahi. Korrie setuju dengan Satyagraha
Hoerip bahwa tidak ada sastra Kristen….
Akan tetapi Korrie juga setuju dengan Dick Hartoko, bahwa “setiap karya sastra yang agung dan
religius – yang jelas tidak memihak agama mana saja – dapat disebut sastra Kristen.” Pernyataan ini
memberi petunjuk: dapat diakui a d
a sastra Kristen. Kriterianya, kalau
karya sastra itu a g u n g dan r
e l i g i u s, … yang jelas tidak memihak agama mana saja! Di sinilah terlihat dengan jelas kerancuan pikiran dan/atau penalaran Korrie
yang mengekor Dick Hartoko. Mengapa? Ini
jawabannya menurut pikiran sehat: Kalau karya sastra itu agung dan religius…,
yang jelas tidak memihak agama mana saja, dapat disebut sastra Kristen, maka
karya sastra itu pun dapat disebut sastra Islam, sastra Hindu, sastra Budha, dan sebagainya. Bukankah demikian
Korrie? Dan bukankah dengan demikian, terlihat dengan jelas ke-mengambang-an Korrie, sekaligus
kerancuan jalan pikiran Dick Hartoko?
Selain itu,
dengan berpijak pada pendapat mengambang yang berbunyi, “setiap karya sastra yang agung dan religius – yang jelas tidak memihak
agama mana saja – dapat disebut sastra Kristen, seperti halnya sajak-sajak
Amir Hamzah”, Korrie berkata, “Tampaknya
pokok pikiran ini kurang diperhatikan Netti.” Benarkah pernyataan Korrie? Jelas kelihatan
bahwa Korrie tidak memahami sajak-sajak Amir Hamzah dengan sebaik-baiknya. Coba
Korrie baca dan kontemplasikan sajak Amir Hamzah yang berjudul “Doa Poyangku”.
Sajak itu sesungguhnya mengesankan kegelisahan/kebimbangan seorang sufisme
dalam proses pergumulan, penghayatan, dan pencarian nilai-nilai transendental
yang senantiasa dirindudendamkan oleh sang penyair di sepanjang perjalanan
hidupnya, sesuai doa/pengharapan para poyangnya.” Sajak ini bernafaskan
keislaman sesuai dengan agama yang penyair anut, yaitu Islam. Jadi, bukan
bernafaskan kekristenan menurut agama Kristen.
Sajak Amir Hamzah lainnya yang bernafaskan
sufisme tersirat dalam sajak yang berjudul “Tuhanku Apatah Kekal”, dan sajak
yang berjudul “Turun Kembali”. Bahkan dalam sajak “Turun Kembali”, sebenarnya
secara halus Amir Hamzah menyentil ajaran agama Kristen yang tertulis di dalam
Yohanes 14:20 dan 17:21 – 23. Menurut
nafas iman Kristen, setiap orang yang berimankan Yesus mengaku percaya seperti
kata Yesus: “Aku di dalam Bapa (Allah) dan Bapa (Allah) di dalam Aku”; “Aku dalam Engkau (Allah); dan Engkau (Allah)
dalam Aku.” Terhadap nafas iman kristiani ini Amir Hamzah mengajukan
interogasi: “Kalau aku dalam engkau/ Dan
engkau dalam aku/ Adakah begini jadinya/ Aku hamba engkau penghulu?” Menurut penghayatan iman Amir Hamzah, “manusia
dan Allah berlainan; Allah adalah Raja, Maharaja…; sedangkan manusia hanyalah abd (hamba), yang hanya dapat hidup,
bergerak, dan ada di bawah kemurahan rahmat Allah” (perhatikan sajak “Turun
Kembali”, bait kedua sampai bait kelima). Saya harap, Korrie jangan salah tampa!
Keempat
Lebih lanjut
Korrie berpendapat: “Pada bagian I
“Kristen Dalam Sastra Indonesia”
Netti berusaha menjawab Pater Dick tetapi uraian-uraiannya terlalu banyak
berputar pada masalah kehadiran dan dogma. Netti tidak memandang
karya sastra dari sudut sastra tetapi ia meninjaunya dari sudut agama. Di
sinilah pokok masalahnya menjadi bertolak belakang. …”
Sangat
kelihatan sekali, lantaran mengambang, Korrie salah sangka! Pada bagian 1 buku
saya (halaman 7 – 24) yang berisi pembahasan tentang panggilan
sastrawan Kristen dalam seni sastra, Korrie menyangka saya mendogma! Korrie hendaknya
sadar: Tidak ada dogma tentang
Kristen dalam sastra Indonesia,
karena itu saya tidak mendogma. Apalagi
saya bukan seorang pendeta! Yang saya
kemukakan dalam bagian 1 buku saya itu hanyalah sebuah wacana tentang panggilan dan presensi Kristen dalam sastra Indonesia, yang
lahir dari penghayatan iman saya sebagai seorang Kristen (dalam kedudukan saya
sebagai seorang guru bahasa dan sastra Indonesia) yang menggumuli ‘dunia
kehidupan sastra Indonesia’. Dari sudut pandang ini, setiap orang yang
menghayati eksistensi dan presensinya sebagai orang beragama dan mengamalkan
penghayatan imannya dalam dunia kehidupan nyata, sesungguhnya ia telah
mendirikan tanda-tanda dan kesaksian-kesaksian hidup dari kerajaan Allah,
sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Apakah ini salah dan tidak patut,
karena mendiskreditkan kehadiran sastrawan yang ‘mutlak menyandang
kemerdekaannya’? Ah, jangan mendewakan apa yang disebut ‘kehadiran sastrawan
yang mutlak menyandang kemerdekaannya!’ Itu klise belaka! Sebab sastrawan bisa
saja menjadi “budak” roh kemerdekaan/kebebasan, “budak” roh ideologi, maupun
“budak” pandangan hidup duniawi.
Pada bagian 2
(halaman 25 – 33) buku saya itu, barulah saya membahas tentang penamaan sastra Kristen. Jadi, pada
bagian 2 dan juga bagian 3 (halaman 34 –
61) dalam buku saya itulah, bukan pada bagian 1, Korrie seharusnya menyiasati
pandangan saya tentang penamaan sastra Kristen, lalu membandingkannya dengan
pandangan Dick Hartoko, Satyagraha Hoerip, M. S. Hutagalung, dan Sumartono yang
saya kritisi dalam buku itu. Saya pikir, Korrie seharusnya memperhatikan dan
menjunjung kejujuran intelektual.
Kelima
Selanjutnya
Korrie berkata, “Pada ‘Sekitar Penamaan
Sastra Kristen’ pun Netti berputar ke masalah lain yang jauh dari kehidupan
sastra Kristen di Indonesia (kalau itu ada!). Referensinya begitu Barat sekali
dan tidak tampak keindonesiaannya.” Sesungguhnya
saya heran, orang sekaliber Korrie yang menulis banyak buku sastra, kok tidak
cermat dan ngawur. Apakah tidak patut, dan apakah salah jika saya merujuk
pandangan-pandangan dari penulis Barat? Mengapa Dick Hartoko yang merujuk kepada
Stendhal dan Nico Kazantzakis, dan Satyagraha Hoerip yang merujuk kepada Denis
de Rougemont, Korrie tidak menuduh Dick Hartoko dan Satyagraha Hoerip, tetapi
hanya saya yang dicap begitu Barat?
Korrie
menuding bahwa keindonesiaan saya tidak
tampak. Tudingan ini muncul karena Korrie tidak paham akan pemikiran
universal yang melintasi tembok-tembok pemisah ras dan bangsa. Selain itu,
Korrie pun tidak memandang dan mencermati dengan saksama, melainkan hanya mengerling dan memejam-mejamkan mata lantaran
kebingungan, ketika membaca buku
saya. Bukankah berkenaan dengan sastra, pada
halaman 38 saya merujuk kepada Chairil Anwar dan Saini K. M., serta pada
halaman 56 saya merujuk kepada Djamil Suherman dengan karya cerpennya yang
berjudul Perjalanan ke Akhirat? Saya
merasa tidak perlu menyebut nama Fridolin Ukur maupun M. Poppy Hutagalung pada
saat menyusun buku itu, karena tujuan saya hanyalah sekadar menggugah dan menunjukkan
bahwa kalau Chairil Anwar dan Saini K.M bisa menyairkan penyaliban Kristus
secara baik dan memuaskan, mengapa penyair-penyair yang beragama Kristen tidak?
Dan kalau Djamil Suherman bisa menulis cerpen Perjalanan ke Akhirat yang
bernafaskan keislaman sesuai dengan latar belakang agama yang dianutnya,
mengapa cerpenis dan novelis yang beragama Kristen tidak bisa? Saya memuji novelis Maria Matildis Banda yang
pada tahun 2005 lalu menghadirkan novelnya Surat-Surat
dari Dili untuk memperkaya khasanah sastra Indonesia. Menurut penilaian
saya, melalui novel Surat-Surat dari
Dili, Maria Matildis Banda sebagai seorang penulis beragama Katolik telah
memenuhi panggilannya secara indah. Ia berhasil menghadirkan sebuah karya
sastra yang dapat diklasifikasi sebagai Sastra
Kristen dengan sangat memuaskan. Semoga cerpenis-cerpenis, dan
novelis-novelis lain, termasuk penyair-penyair yang beragama Kristen, dapat
menghasilkan karya sastra seperti yang telah dipersembahkan oleh Maria Matildis
Banda.
Keenam
Lagi-lagi
Korrie menunjukkan salah sangkanya tentang realisme
Alkitab yang saya kemukakan dalam halaman 33 buku saya itu. Kalau Korrie
mengatakan bahwa “realisme Alkitab berarti menyajikan kebenaran mutlak…” Itu adalah pendapat pribadi Korrie yang sangat
sempit dan dangkal, dan bukan pendapat yang saya kemukakan. Dalam buku Kristen Dalam Sastra Idonesia (1977:33)
saya menyinggung tentang “gaya yang khas Kristen”, yang menurut Sumartono
dikatakan bahwa sebenarnya tidak ada; sedangkan saya berkata, “sesungguhnya ‘gaya’
yang khas Kristen itu ada, yakni Realisme
Alkitab”. Gaya yang khas Kristen ialah cara khas menyatakan pikiran dan
perasaan dalam bentuk tulisan, atau pemakaian ragam bahasa tertentu untuk
memperoleh efek-efek tertentu, atau keseluruhan ciri-ciri bahasa seorang
dan/atau sekelompok penulis sastra yang bercorak atau bernafaskan kekristenan sesuai
dengan realisme Alkitab. Apakah
hakikat realisme Alkitab? Jikalau
dalam Injil Matius 22:37 – 40 Yesus berkata: “… Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap
akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua,
yang sama dengan itu ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.
Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi”; maka
realisme
Alkitab pada hakikatnya adalah kasih, sebagaimana diwedarkan oleh
rasul Paulus dalam 1 Korintus 13 maupun Surat Roma 12, dyb.
Ketujuh
Alangkah
santunnya Korrie! Setelah dia berusaha menunjukkan berbagai kesalahan dan
kekurangan menurut hasil kerlingannya
terhadap buku saya, dia berkata: “Saya
tidak mengatakan bahwa buku Kristen
Dalam Sastra Indonesia karya Hadzarmawit Netti ini gagal sebagai sebuah
telah-kritik, tetapi Netti menyajikan pandangan yang berbeda dari pandangan
sastra, Netti menitikberatkan pada panggilan seorang seniman-sastrawan sebagai
citra Allah yang harus menyanyikan Mazmur seperti Raja Daud atau melagukan
Kidung Agung memuji-Nya.”
Apa yang
dikatakan oleh Korrie sebagaimana dikutip di atas ini merupakan versi yang
Korrie buat atas pandangan yang saya kemukakan pada halaman 32 buku saya itu.
Dengan versi sebagaimana dikutip di atas ini Korrie membuat afirmasi: “Tidak
salah pandangan ini, dan itu mutlak perlu.” Eh, eh.., ternyata Korrie
dalam kemengambangannya, tersangkut
juga. Tetapi Korrie masih mencoba
untuk meluputkan diri dari sangkutan dengan dalih: “Tetapi yang dinamakan sastra Kristen sendiri tidak terbatas pada
lingkup dan sifat-sifat yang nyata semacam itu.” Dalih ini sesungguhnya lahir dari kegagalan
Korrie memahami esensi buku saya yang dibacanya, karena saya mempergunakan
ungkapan-ungkapan teologis Alkitabiah: “pengabdian
terhadap Sang Kalam; Kasih, Keadilan dan Kebenaran Allah berdasarkan Terang
Injil Kristus.” Akan tetapi
sesungguhnya dengan pernyataan itu, Korrie mengakui
adanya sastra Kristen sebagaimana yang saya katakan, namun menurut Korrie, lingkup dan sifat-sifat (sastra Kristen)
tidak terbatas semacam yang saya uraikan. Dengan demikian, bukankan pemahaman Korrie
tentang sastra Kristen sangat mengambang?
Apabila Korrie
membaca Injil Yohanes 1, kemudian Injil Matius 25:31 – 46 (ini sekadar contoh
saja), niscaya Korrie akan memahami ungkapan “pengabdian terhadap Sang Kalam.” Siapakah Sang Kalam itu? Sang Kalam adalah Yesus. Jadi, pengabdian
terhadap Sang Kalam adalah pengabdian terhadap Yesus, yang dalam
Matius 25: 31 – 46 solider dengan orang-orang
yang lapar, haus, orang buangan, orang asing, orang miskin, orang sakit, orang
tumpangan, orang penjara, dan sebagainya yang dilukiskan sebagai orang-orang
yang paling hina. Pengabdian terhadap nasib orang-orang seperti itu yang
diwedarkan dalam karya sastra yang simbol dan diksinya bercorak/bernafas
kekristenan – tanpa menyebut nama Yesus dan nama Allah sekalipun – sudah
merupakan pengabdian terhadap Yesus, serentak pengabdian terhadap Allah.
Apabila
Korrie membaca Injil Matius 5:43 – 47 (inipun sekadar contoh saja), niscaya
Korrie akan memahami ungkapan “pengabdian terhadap Kasih” yang paling agung. “Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah
musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi
mereka yang menganiaya kamu.” Dalam
Injil Lukas 6:27 – 36, dan ayat 37 – 38, Korrie pun akan dapat memahami pengabdian terhadap Kasih, Kebaikan, dan Keadilan yang paling
agung. Dan pengabdian terhadap nilai-nilai Kasih,
Kebaikan, dan Keadilan ini dalam karya sastra yang simbol dan diksinya
bercorak/bernafas kekristenan – dengan tidak menyebut nama Yesus maupun nama
Allah sekalipun – sudah merupakan pengabdian terhadap Yesus, serentak
pengabdian terhadap Allah. Ini sekadar beberapa contoh yang dapat mewarnai dan
menafasi karya sastra yang disebut sastra Kristen. Dan inilah sekelumit uraian
tentang apa yang saya katakan “bahwa
sesungguhnya ‘gaya’ yang khas Kristen itu ada: Realisme Alkitab” (Kristen dalam Sastra Indonesia, 1977:33).
Kedelapan
Dengan
demikian, pemahaman Korrie sangat keliru, kalau menyangka bahwa saya
menganjurkan atau mengharuskan agar para sastrawan Kristen menyanyikan Mazmur seperti Raja Daud atau melagukan Kidung Agung
memuji-Nya. Juga merupakan salah sangka, apabila predikat atau epiteton Kristen yang disandangkan pada karya
sastra itu dimaksudkan bagi kata-kata atau tema yang memasalahkan agama
Kristen, atau nama-nama tokohnya yang seperti nama orang Kristen,
sebagaimana diutarakan oleh Korrie.
Lalu,
bagaimanakah dengan pemilihan dan penggunaan simbol, dan diksi yang kristiani
(bersifat, berciri, bercorak Kristen) dalam karya sastra? Apakah
terlarang? Jikalau Korrie permisif terhadap jiwa
kristiani dalam karya sastra, maka pemilihan serta penggunaan simbol
dan diksi yang kristiani tidak dapat dipungkiri, sebab simbol dan diksi yang kristiani adalah wahana dari jiwa dan nafas
yang kristiani.
Lalu, Apakah sastra
Kristen itu ada? Korrie sependapat dengan Satyagraha Hoerip yang
mengatakan tidak ada sastra Kristen –
kini, dahulu dan mendatang; Sementara di pihak lain Korrie sepakat dengan
Dick Hartoko yang mengatakan setiap karya sastra yang agung dan religius
– yang jelas tidak memihak agama mana saja – dapat disebut sastra Kristen. Di sinilah terlihat dan terbukti kemengambangan Korrie.. Akan tetapi saya
ingin menandaskan bahwa sastra Kristen ada di Indonesia,
walaupun hanya segelintir.
Menurut
Korrie, “Yang ada adalah tema-tema dan masalah kekristenan dalam sastra, bukan
sastra Kristen!” Pendapat ini benar-benar rancu. Bukankah lantaran
tema-tema dan masalah kekristenan yang diwedarkan dalam sastra itulah yang
menjadi tolok ukur tentang penamaan dan/atau penggolongan sebuah karya sastra
itu sebagai sastra Kristen? Bukankah
tema-tema, simbol dan diksi, serta jiwa/nafas kristiani yang mewarnai serta
menghidupi masalah-masalah kehidupan yang diwedarkan oleh sastrawan dalam karya
sastranya, niscaya sangat beralasan bagi seorang kritikus sastra yang tidak
kecut hati untuk mengklasifikasi karya sastra seperti itu dengan sebutan sastra
kristen, karena karya sastra itu telah merepresentasikan religiositas
kekristenan?”
Suryadi, dosen
dan peneliti pada Opleding Talen en
Culturen van Indonesië, Faculteet der Letteren Universiteit Leiden, Belanda, dalam
artikelnya “Kekristenan dalam kesusastraan Indonesia” berkata begini: “…Dimensi
religiositas karya-karya sastra Indonesia juga sudah sering dibahas dalam
penelitian dan kritik sastra. Namun, sejarah studi sastra Indonesia menunjukkan
bahwa yang lebih sering dikaji adalah representasi agama mayoritas (Islam). …
Sejak lama kultur politik dan agama di Indonesia potensial membuat kalangan
intelektual, akademisi, dan budayawan cenderung menjauhkan diri dari diskursus
apapun yang terkait dengan agama-agama minoritas. Orang dibuat khawatir dan
takut untuk mengangkat isu agama-agama minoritas ke dalam wacana publik,
termasuk dalam dunia penelitian dan kritik sastra. … Kenyataan menunjukkan
bahwa sejumlah teks sastra Indonesia lahir dari latar belakang tradisi
kekristenan. Namun, unsur religiositas kekristenan (Christianity) itu jarang
dibahas dalam wacana penelitian dan kritik sastra Indonesia. Demikianlah
umpamanya, representasi kekristenan, baik dalam nada mitos pengukuhan maupun
mitos pembebasan, dapat dikesankan dalam Upacara
karya Korrie Layun Rampan (1976), … Pohon-pohon
sesawi (1999) karya Y. B. Mangun Wijaya, … Matias Akankari (antologi cerpen, 1972), Cumbuan Sabana (1976), Requiem
untuk seorang perempuan (1983) karya Gerson Poyk, dan Rabies
(2002) dan Surat-Surat dari Dili (2005)
karya Maria Matildis Banda.(saya hanya kutip sebagian kecil saja sekadar
contoh. Sumber: Kompas, Minggu, 21
Oktober 2008). Apakah uraian Suryadi sebagaimana dikutip di atas ini salah,
terutama ketika Suryadi menyebut juga karya Korrie Layun Rampan, berjudul Upacara? Apabila ternyata Suryadi salah, maka di sini
saya hanya ingin menegaskan bahwa novel Surat-Surat
dari Dili, karya Maria Matildis Banda, telah merepresentasikan jiwa dan nafas
kekristenan dengan baik dan memuaskan dalam karya sastra, sehingga novel
tersebut dapat diklasifikasi dengan sebutan Sastra
Kristen.
Kesembilan
Pada alinea
terakhir esai dan kritik Korrie terhadap buku, Kristen Dalam Sastra Indonesia, Korrie
berkata begini: “Tetapi sumbangan
Hadzarmawit Netti ini cukup pantas kita hargai; pembicaraannya cukup berharga,
walaupun konteksnya bertolak belakang dengan sifat sastra sendiri. Netti
berbicara dari sudut agama Kristen – seperti seorang pendeta – bukan dari sudut
sastra itu sendiri. Hal inilah yang membuat pembicaraannya terasa mengambang,
seperti kehilangan tanah pijak. Karena ia berbicara suatu masalah dari sudut
yang bukan masalahnya sendiri. Sangat disayangkan!” Demikianlah komentar penutup Korrie.
Menyiasati
komentar Korrie sebagaimana dikutip di atas ini, saya dengan rasa bangga mau
berkata begini: (1) Saya merasa bangga atas kehadiran buku Kristen Dalam Sastra Indonesia, karena buku itu merupakan jawaban
konkret atas “Tema Kristen Dalam Sastra Indonesia” yang disodorkan oleh
Pengurus Dewan Kesenian Jakarta kepada Dick Hartoko untuk diceramahkan, akan
tetapi Dick Hartoko menepis tema tersebut seraya membalikkannya menjadi
“Mengerling Sastra Indonesia Dari Sudut Kristen”. (2) Saya merasa bangga,
karena saya adalah orang pertama dari komunitas Kristen di Indonesia (sekalipun
bertempat tinggal di dusun terpencil di Pulau Rote), yang membahas secara
komprehensif tema “Kristen Dalam Sastra Indonesia”; padahal yang sepatutnya
orang-orang beken seperti Dick Hartoko
tidak boleh mengelak, lalu mengerling. (3) Dengan diterbitkannya buku Kristen Dalam Sastra Indonesia itu,
saya telah memenuhi panggilan saya sebagai seorang beragama Kristen yang tidak
ragu-ragu mempertanggungjawabkan iman
kristiani untuk membahas tema “Kristen Dalam Sastra Indonesia”,
ketika orang lain, dengan alasan universalisme semu, enggan dan melarikan diri
dari panggilan untuk mewacanakan tema tersebut yang bermakna agung dan abadi.
Jika ada penilaian yang mengambang dan
miring terhadap buku saya, Kristen Dalam
Sastra Indonesia, seperti penilaian yang dilakukan oleh Korrie, itu adalah
hak dan kebebasan dia untuk menilai, mengkritik, atau mengemukakan komentar
miring. Tetapi adalah hak saya juga untuk menyiasati dan mengkritisi penilaian
mengambang maupun penilaian miring yang dikemukakan oleh Korrie.
Melalui
internet, saya mengetahui bahwa Korrie Layun Rampan tergolong orang kreatif dan
produktif dalam dunia sastra. Banyak karya sastra dan karya tulis
lainnya yang telah dihasilkan oleh Korrie, serta banyak penghargaan dan hadiah
yang telah diterima pula. Pada Catalogue Southeast
Asean Languages and Literatures (halaman 186), tertera
nama Korrie Layun Rampan sekaligus dengan tujuh buah karya tulisnya:
1. 1980. Puisi Indonesia Kini, sebuah perkenalan.
Yogyakarta. Nur Cahaya.
2. 1982. Cerita Pendek Indonesia
Mutakhir: sebuah pembicaraan.
Yogyakarta. Nur Cahaya.
3. 1983. Perjalanan Sastra Indonesia. Jakarta. Gunung Jati.
4. 1983. Puisi Indonesia Kini, sebuah
perkenalan. Cetakan II.
Yogyakarta.
Nur Cahaya.
5. 1985.
Iwan Simatupang – pembaharu Sastra Indonesia.
Jakarta. Yayasan Arus.
6. (Editor). 1985. Trisno Sumardjo – pejuang
Kesenian Indonesia.
Jakarta. Yayasan Arus.
7. 1991. Apresiasi Cerita Pendek. Ende. Nusa
Indah. Vol 2.
Namun ternyata
buku Korrie Layun Rampan berjudul KESUSASTRAAN TANPA KEHADIRAN SASTRA –
Himpunan Esai dan Kritik, Yayasan Arus Mas 1984, yang berisi kritik atas buku saya berjudul Kristen
Dalam Sastra Indonesia, tidak tercantum dalam
Catalogue Southeast Asean Languages and
Literatures. Sedangkan buku saya, KRISTEN DALAM SASTRA
INDONESIA, yang dinilai mengambang, kehilangan tanah pijak, karena itu sangat
disayangkan oleh Korrie Layun Rampan, terpajang pada halaman 184.
Kenyataan ini membuktikan bahwa buku saya, KRISTEN DALAM SASTRA INDONESIA, lebih
pantas dari pada buku Korrie Layun Rampan berjudul, KESUSASTRAAN TANPA KEHADIRAN
SASTRA. Tanggapan ini telah dimuat sebagai “Lampiran” dalam buku saya
berjudul, Natal & Paskah dalam
Kontemplasi Penyair. B You Publishing Surabaya, 2013, hlm.113 – 131). [SELESAI]
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar