Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti
Saya baca detiknews, Rabu, 13 Januari 2021 - 20:50 WIB. Judul tulisan, “Guru Besar USU Prof Yusuf Leonard Jelaskan Alasan Cuit SBY-AHY Bodoh”. Dalam tulisan ini, “Cuitan” saya ganti dengan kata “sentilan”. Adapun sentilan yang Prof Yusuf Leonard tujukan terhadap Susilo Bambang Yudhoyono tertulis sebagai berikut: “Yth @SBYudhoyono, memang kau bodoh sekali, karena Pemerintah @jokowi sudah berulangkali ingatkan tak hanya vaksin lalu semua beres, tapi tetap dilakukan 3 M. Kau sok suci bawa-bawa nama Tuhan seperti FPI yang kamu besarkan&dibubarkan @jokowi, jadi terbukti kau memang munafik sekali,” tulis akun @ProfYLH seperti dilihat detikcom.
Kemudian, sentilan Prof. Yusuf Leonard Henuk terhadap Agus Harimurti Yudhoyono tertulis sebagai berikut: “Yth Ketua Umum @PDemokrat, @Agus Yudhoyono, @ProfYLH terpaksa harus buktikan memang kau BODOH sekali, karena sepanjang sejarah jatuhnya pesawat di Indonesia, tak pernah ada “GOVERNMENT ERROR” Penyebabnya, tapi “7 FAKTOR” (https://indonesiabaik.id/infografis/7-faktor-penyebab-jatuhnya-pesawat...). Maaf kau bodoh turunan, belajar lagi AHY!”
Sentilan Prof. Yusuf Leonard Henuk (selanjutnya akan saya sapa, YLH) terhadap Susilo Bambang Yudhoyono (selanjutnya saya sapa, SBY), sesungguhnya sangat menyayat jantung (melukai hati, menyakiti hati, menyedihkan hati), sekaligus suatu sentilan yang menghina martabat SBY. Sentilan yang menghina itu tersurat dan tersirat dalam tiga frasa, yaitu frasa: “memang kau bodoh sekali”; ”kau sok suci bawa-bawa nama Tuhan”; dan frasa “kau memang munafik”.
Frasa “memang kau bodoh sekali” artinya: “sebenarnya kau bodoh sekali” atau “benar-benar kau bodoh sekali”. Kata “sekali” (adv) dalam ungkapan “bodoh sekali” berarti “amat bodoh” atau “sangat bodoh” atau “yang paling bodoh”. Frasa “kau sok suci bawa-bawa nama Tuhan” artinya: “kau berlagak suci bawa-bawa nama Tuhan” atau “kau suka pamer [diri] suci bawa-bawa nama Tuhan”. Ungkapan “bawa-bawa nama Tuhan” (ragam cakapan) diturunkan dari ungkapan “membawa-bawa nama Tuhan” yang artinya “melibatkan nama Tuhan” atau “menyangkut-nyangkutkan nama Tuhan [ke dalam urusan…]”. Dan frasa “kau memang munafik” artinya: “kau sebenarnya munafik” atau “kau benar-benar munafik”. Serta kata “munafik” artinya “berpura-pura percaya atau setia… kepada agama dan sebagainya tetapi sebenarnya dalam hatinya tidak”; serta “suka [selalu] mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya”; dan “bermuka dua”.
Ketiga frasa sentilan yang YLH kemukakan secara terbuka, yang ditujukan kepada SBY sesuai dengan arti/makna kata sebagaimana dikemukakan di atas, benar-benar sangat menistakan martabat (tingkat harkat kemanusiaan dan harga diri) SBY sebagai mantan Presiden RI; sebagai seorang purnawirawan TNI-AD berpangkat Jenderal; dan sebagai seorang akademikus bergelar profesor, doktor, dan master; serta sekaligus menistakan martabat SBY sebagai seorang yang beragama dan ber-Tuhan.
Sentilan YLH terhadap AHY—“… memang kau BODOH sekali…”—juga sangat keras dan sangat menghina martabat AHY sebagai seorang Ketua Umum Partai Demokrat. Dan yang sangat menistakan lagi tersirat dalam sentilan yang menyangkut-nyangkutkan “bodoh turunan” (keturunan) yang menurunkan kebodohan dalam diri AHY, sehingga YLH berkata kepada AHY: “Maaf kau bodoh turunan, belajar lagi AHY!” Pernyataan YLH ini sekaligus menista ayah dan ibu AHY yang “menurunkan atau melahirkan AHY sebagai manusia”. Di bawah ini saya hanya mencermati sentilan YLH yang ditujukan terhadap SBY, sebab sentilan yang YLH tujukan terhadap AHY melekat dan tak terpisahkan dari sentilan yang YLH tujukan kepada SBY yang saya cermati.
Sentilan YLH yang ditujukan terhadap SBY mencerminkan “keangkuhan” seorang YLH yang menganggap remeh terhadap SBY. Dengan sentilan tersebut YLH menonjolkan diri sebagai seorang yang memiliki tingkat kecerdasan serta kadar religiositas dan religiusitas yang lebih tinggi dan lebih sempurna dari pada SBY. Menurut pertimbangan saya, rupanya IQ dan EQ YLH sedang mengalami “disturbance” (gangguan, kekacauan) akibat kejemuan mengajar dan/atau dorongan hasrat yang menggebu-gebu untuk menampilkan diri dalam upaya mencari perhatian politis demi suatu jabatan tertentu yang ingin diraih. Akibatnya, sehingga YLH lengah mewawas diri (melihat, memeriksa, mengoreksi diri) secara jujur di dalam ber-tegur sapa dengan SBY, sehingga yang terjadi adalah YLH melakukan tegur ajar (celaan, dan sentilan) yang menistakan martabat (tingkat harkat kemanusiaan dan harga diri) SBY dengan kata bodoh.. “Disturbance” (gangguan, kekacauan) atas IQ dan EQ YLH sebagaimana disebutkan di atas inilah yang rupanya mendorong YLH mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo untuk meminta jabatan menteri.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi keempat tahun 2008, hlm.203), kata bodoh sebagai adjektiva (kata sifat) memiliki tiga arti denotatif: 1 tidak lekas mengerti; tidak mudah tahu atau tidak dapat (mengerjakan dsb); 2 tidak memiliki pengetahuan (pendidikan, pengalaman); dan arti denotatif ke-3 kata bodoh dalam ragam cakapan, “terserah (kepadamu)”. Berdasarkan tiga arti denotatif kata bodoh ini, arti kata denotatif nomor berapa yang YLH pilih untuk ditujukan terhadap SBY? SBY bukan seorang anak yang bodoh; SBY bukan seorang yang tidak memiliki pengetahuan (pendidikan dan pengalaman)! Dengan demikian, pemilihan dan penggunaan kata bodoh yang YLH tujukan kepada SBY jelas-jelas menistakan martabat (tingkat harkat kemanusiaan dan harga diri) SBY
Menurut YLH, sentilan keras yang ia tujukan kepada SBY itu wajar. “Saya kan orang NTT, budaya kami beda, karakter kami omong buka-buka saja,” begitulah kata YLH. Berkenaan dengan pernyataan YLH tersebut, Saya ingin tanya kepada YLH: “Budaya dan karakter bicara orang NTT mana yang dimaksudkan?” Setahu saya, dan memang saya kenal YLH adalah orang NTT, namun sejatinya, orang Rote. Dalam budaya orang Rote ada kearifan turun-temurun (dari nenek moyang turun kepada anak cucu; berpindah-pindah dari orang tua kepada anak, kepada cucu, dan seterusnya) yang berbunyi sebagai berikut: “Sefe nggai-nggai, o boso’ sefe seli ama ofan.” Arti harfiahnya, “Sepandai-pandainya mendayung, janganlah mendayung melewati sampan bapamu.” Makna konotatifnya, “Walaupun kita sudah menjadi orang besar, kita harus menghormati orang tua.” Inilah kearifan lokal dalam budaya orang Rote yang sepatutnya YLH terapkan.
Realitas faktual dan realitas objektif, SBY adalah Bapak Bangsa, tercatat dalam lembaran Sejarah Nasional Indonesia sebagai Presiden RI ke-6 masa bakti tahun 2004 – 2009 dan tahun 2009 – 2014. Realitas faktual dan realitas objektif menunjukkan bahwa YLH belum dan/atau tidak tercatat sebagai bapak bangsa, apalagi sebagai presiden republik indonesia. Realitas faktual dan realitas objektif YLH sukses menempuh pendidikan formal sehingga meraih gelar sarjana strata satu, strata dua, strata tiga dan meraih gelar profesor. Namun dengan semua gelar yang melekat pada diri YLH tidak berarti YLH sudah sangat hebat (luar biasa) untuk menistakan martabat (tingkat harkat kemanusiaan dan harga diri) SBY dengan kata bodoh, sebab realitas faktual dan realitas objektif juga menunjukan bahwa SBY menyandang gelar sarjana strata satu, strata dua, strata tiga, dan gelar profesor. Dengan demikian, masuk akal sehatkah jika YLH menista SBY dengan kata-kata kasar: “Yth. @SBYudhoyono, memang kau bodoh sekali; kau sok suci bawa-bawa nama Tuhan…; kau memang munafik sekali?”
Sesungguhnya, berdasarkan realitas faktual dan realitas objektif, tingkat kecerdasan, kreativitas dan produktivitas SBY sebagai akademikus jauh lebih unggul, lebih tinggi dan tak tertandingi oleh YLH! Saya ajak YLH untuk melakukan penyelisikan pada WorldCat’ Identities. Pada halaman 1 terdapat 10 karya tulis (buku) SBY, yang jika diselisik lagi setiap buku melalui WorldCat.org., maka secara keseluruhan buku-buku hasil karya SBY yang ada di Perpustakaan Universitas terkemuka di mancanegara dapat disebutkan sebagai berikut:1 Indonesia: the challence of chance (2005), tersimpan di 106 perpustakaan; 2 Indonesia on the move: selected speeches and articles by the President of the Republic of Indonesia (2006), tersimpan di 28 perpustakaan; 3 Indonesia 2004 – 2009 (2004), tersimpan di 24 perpustakaan; 4 Indonesia unggul: kumpulan pemikiran dan tulisan pilihan oleh presiden Republik Indonesia (2008 dan 2009), tersimpan di 23 perpustakaan; 5 Mengatasi krisis, menyelamatkan reformasi (1999 dan 2000), tersimpan di 23 perpustakaan; 6 Menuju perubahan menegakkan civil society (2004), tersimpan di 22 perpustakaan; 7 Save our country from terrorism (2002), tersimpan di 21 perpustakaan ; 8 Indonesia (2005), tersimpan di 20 perpustakaan; 9 Revitalizing Indonesian economy: business, politics, and good governance (2003 dan 2004), tersimpan di 20 perpustakaan; 10 Pertahanan, keamanan, dan perdamaian: kumpulan pidato dan wawancara Presiden Republik Indonesia Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005), tersimpan di 19 perpustakaan.
Selain itu, realitas faktual dan realitas objektif memberi petunjuk tentang keunggulan SBY dibandingkan dengan YLH, jika kita selisik di Virtual International Authority File (VIAF). Sebab, di VIAF ternyata nama SBY dan karya tulisnya dipajangi delapan bendera Perpustaan Negara Asing (Belanda, Jerman, Prancis, Amerika Serikat, Australia; Sudoc [ABES] Prancis, Wikidata, dan ISNI). Lalu, bagaimanakah dengan nama YLH dan karya tulis berupa buku yang tercatat di WorldCat’ Identities; WorldCat.org., dan VIAF? Ternyata belum ada satu buku pun! Ya, belum ada dan/atau tidak ada! Jikalau demikian, tidak pantas YLH puffing out his chest with pride (membusungkan dadanya dengan bangga) di depan SBY. Ya, YLH tidak sepantasnya angkuh di hadapan SBY. Sekali lagi saya katakan, YLH tidak sepantasnya angkuh di hadapan SBY!
Di atas telah saya buktikan bahwa di WorldCat’ Identities; di WorldCat.org., dan VIAF, belum ada dan/atau tidak ada satu buku karya YLH yang terdapat di sana, namun demikian orang tidak dapat berkata bahwa YLH bodoh menulis buku, sebab YLH seorang akademikus yang menyandang gelar sarjana strata satu, strata dua, strata tiga, dan gelar profesor. YLH pasti membuat banyak artikel dan hasil penelitian sesuai dengan bidang keahliannya dan dimuat di Jurnal Ilmiah; namun semua karya tulis itu hanya memiliki arti sebatas dalam “ruang yang dipagari tembok-tembok kampus”. Rupanya YLH lebih senang menghabiskan waktu untuk “berkicau” di twitter dari pada memanfaatkan waktu untuk menulis buku dan menerbitkan buku! Adalah kebebasan dan hak YLH bebas berkicau di twitter. Namun hendaknya disadari pula bahwa akibat penyalahgunaan kebebasan dan hak untuk berkicau di twitter, dapat mengakibatkan YLH beristirahat beberapa waktu di balik terali besi!
Mengakhiri tulisan ini, ada satu kearifan lokal dalam budaya orang Rote yang ingin saya titipkan kepada YLH. Begini bunyinya: “Tao tino ues fo uas ala kali aon.” (Lakukanlah pekerjaan/ tugasmu, maka umbi bengkuang akan tergali sendiri”). ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar