Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi keempat tahun 2008 terdapat entri liberal, liberalis dan liberalisme. Entri liberal diberi arti 1 bersifat bebas; 2 berpandangan bebas (luas dan terbuka). Dan liberalisme diberi arti 1 aliran ketatanegaraan dan ekonomi yang menghendaki demokrasi dan kebebasan pribadi untuk berusaha dan berniaga (pemerintah tidak boleh turut campur); 2 usaha perjuangan menuju kebebasan. Arti kata liberal dan liberalisme seperti ini belum memadai benar. Selain itu, dalam KBBI tidak terdapat entri liberti, libertine dan libertinisme.
Menurut paham liberalisme, setiap orang bebas mengemukakan pendapatnya dan menuntut agar apa yang ia pikirkan akan dituangkan dalam pertimbangan umum. Sekiranya pendapatnya itu ditolak atau hanya sebagian saja yang diperhatikan, kenyataan itu tidaklah berarti bahwa ia keluar dari konsensus dasar [konstitusi] yang telah disetujuinya terlebih dahulu. Akan tetapi dengan cara itu dikehendaki agar setiap warga masyarakat merasa bertanggung jawab pada kepentingan umum, kesejahteraan umum dan turut memperjuangkannya, sekalipun di dalam perjuangan tidak berhasil memperoleh dukungan mayoritas.
Paham liberalisme juga tidak memperkenankan mayoritas memperlakukan pendapat minoritas sewenang-wenang, sebab perlakuan semacam itu akan membahayakan dasar (konstitusi) mereka bersama yang telah disepakati semula. Dengan demikian, dasar paham liberalisme adalah kebersamaan mutlak semua warga masyarakat atau warga negara yang bersama-sama membentuk wadah kebersamaan mereka itu dan bertanggung jawab atas kesejahteraannya (Ralph Gabriel, The Course of American Democratic Thought).
Paham liberalisme sebagaimana disebutkan secara singkat di atas inilah yang menumbuhkan dan mematangkan paham demokrasi liberal yang tidak sama dengan paham demokrasi sosialis. Demokrasi liberal hidup dari perbedaan pendapat yang dikemukakan secara bebas dan dipertimbangkan bersama secara bertanggung jawab dengan melihat dan/atau mempertimbangkan yang paling baik untuk semua. Ciri khas demokrasi liberal adalah toleransi: menghargai pendapat yang berbeda maupun pendapat yang ditolak. Orang yang menganut pendapat yang berbeda maupun pendapat yang ditolak tetap dihargai martabatnya, sebab martabat manusia, seperti kata Albert W. Beaven, adalah nilai tertinggi dalam kehidupan insani; tidak ada manusia yang lebih tinggi dari pada yang lain dengan hak mengurangi martabat manusia lain atas dasar perbedaan pendapat maupun alasan-alasan lain.
Berdasarkan paham di atas inilah maka pluralisme pendapat dalam demokrasi liberal adalah wajar dan sah-sah saja; perjuangan penegakan hak-hak asasi manusia berkembang ke arah kematangan; supremasi hukum dapat diwujudkan dan ditegakkan; kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan pers dijamin dan dilindungi undang-undang. Menurut Adinegoro, kebebasan pers adalah sendi besar dan tiang penting demokrasi (Ratu Dunia).
Apabila kita berbicara tentang liberalisme sebagai paham yang menumbuhkan dan mematangkan paham demokrasi liberal, maka perlu kiranya kita mewaspadai paham libertinisme yang sering kali berkembang seiring dengan pertumbuhan liberalisme.
Libertinisme adalah paham kebebasan tak terbatas yang melangkahi kontrak (perjanjian) yang disepakati bersama (konsensus). Libertinisme adalah kebebasan tak terbatas yang keluar dari konsensus dasar (konstitusi) yang telah disetujui terlebih dahulu. Libertinisme adalah paham kebebasan melakukan sesuatu menurut keinginan sendiri (golongan sendiri, kelompok sendiri). Libertinisme bersifat lancang, gegabah, semena-mena memperkosa hak orang lain, brutal, tidak mengenal pengendalian diri, tidak mengenal toleransi, tidak menghormati nilai-nilai yang dijunjung masyarakat, tidak ada rasa tanggung jawab terhadap keseluruhan. Dengan demikian, libertinisme yang membuka peluang lahirnya dominasi mayoritas dan tirani minoritas. Ya, libertinisme juga yang memunculkan radikalisme, ekstremisme, brutalisme, vandalisme, dan terorisme.
Libertinisme berasal dari kata dasar libertine, artinya “orang yang suka pada perbuatan tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan); memperkosa atau melanggar hak (kedaulatan, dsb.). Praktik libertinisme dan libertine sebagaimana ditunjukkan ciri-cirinya di atas inilah yang harus ditolak, karena tidak sesuai dengan semangat dan jiwa Pancasila. Sangat disayangkan bahwa entri liberti yang berasal dari kata liberty (freedom) yang bermakna positif kebebasan; kemerdekaan (yang dari kata dasar ini terlahirlah ungkapan kebebasan beragama. kebebasan berkumpul, kebebasan mengemukakan pendapat), tidak dicantumkan dalam KBBI. Dan juga entri libertine dan libertinisme yang tersirat di dalamnya medan makna negatif sebagaimana telah disebutkan di atas, tidak terdapat dalam KBBI.
Olaf Schumann—pada tahun 1992, ketika mempresentasikan makalah berjudul “Demokrasi dan Pluralisme, suatu Pengantar” pada acara Seminar Agama-Agama XII di Tugu, Bogor—melontarkan sentilan: “mendengar sewaktu-waktu ahli-ahli politik dan kemasyarakatan di Indonesia berbicara tentang liberalisme maka yang mereka lukiskan sebenarnya ialah libertinisme”. Apa yang Olaf Schumann mau katakan lewat sentilannya itu ialah ini: kita—kebanyakan ahli-ahli politik dan kemasyarakatan di Indonesia—sering salah tampa mengenai libertinisme dan liberalisme. Akibatnya, praktik atau fenomena libertinisme kita anggap itu sebagai praktik atau fenomena liberalisme. Kenyataan sekarang, di mana-mana berkembang praktik dan fenomena libertinisme yang bertentangan dengan semangat liberalisme. Dan karena keterbatasan kita dalam memahami sekaligus membedakan fenomena liberalisme dan libertinisme, maka kita mengklaim fenomena libertinisme adalah liberalisme, sehingga kita menolak paham liberalisme dan sikap liberal.
Jika kita memperhatikan sekilas uraian tentang paham liberalisme sebagaimana diwedarkan di atas, maka pada hakikatnya liberalisme dapat ditumbuhkembangkan guna mematangkan demokratisasi yang telah dan sedang dibangun di negeri ini. Menurut pertimbangan saya, liberalisme dan demokrasi yang dimatangkan oleh liberalisme tidak merongrong Pancasila. Yang sesungguhnya merongrong Pancasila dan juga merongrong agama adalah libertinisme. Dengan demikian maka Pancasila (salah satu dari empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara) dapat menjadi “landasan keyakinan moral politik” yang kukuh bagi pertumbuhan demokrasi di Indonesia, yaitu demokrasi Pancasila, yang ditopang oleh liberalisme.
Saya setuju dengan pandangan Dr. Andreas A. Yewangoe—merujuk pada David Fergusson—yang mengatakan bahwa “Liberalisme, pada hakikatnya adalah kesadaran bahwa basis kehidupan publik haruslah bebas dari kesetiaan religius. Dengan kata-kata lain, para penganut agama yang mempunyai komitmen iman yang berbeda-beda itu dituntut untuk menemukan cara hidup bersama tanpa terjerumus ke dalam kekerasan”. Berdasarkan titik tolak ini, Yewangoe lebih lanjut menekankan bahwa, “Alhasilnya, liberalisme politik berikut: pengakuan publik terhadap klaim-klaim berikut: kesamaan semua warga negara di hadapan hukum; kebebasan setiap orang untuk memperoleh hal-hal yang baik menurut pilihannya sendiri dan sementara itu tidak mencampuri kebebasan orang lain; dan, netralitas negara terhadap pilihan setiap warga negara termasuk agama.” (Andreas A. Yewangoe. ‘Civil Society’ di Tengah Agama-agama. Diterbitkan oleh Bidang Koinonia Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Jakarta, Cetakan Pertama Mei 2009, Hlm.37,38).
Menurut hemat saya, dengan tetap bertumpu pada Pancasila sebagai falsafah bangsa dan negara Republik Indonesia—sekaligus sebagai landasan keyakinan moral politik, maka semua partai politik dan semua golongan yang ada di republik ini, dalam semangat liberalisme (sebagaimana diuraikan di atas) akan melapangkan dada mendiskusikan dan memusyawarahkan titik temu berbagai kebijakan (sesuai dengan sila “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”), dalam membangun kesejahteraan bersama (“keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”). Semangat liberalisme (sebagaimana diwedarkan di atas) mendorong setiap komponen bangsa menjunjung dan menghormati eksistensi bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika; mengawal dan mempertahankan kedaulatan NKRI; dan setiap umat beragama bebas beribadah dan membangun kerukunan hidup beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, yang patut kita tolak ialah paham libertinisme dan sikap hidup libertine—bukan paham liberalisme dan sikap hidup liberal!
Liberalisme berasal dari kata liberal. Kata liberal bukan saja secara dangkal berarti bersifat bebas; dan berpandangan bebas (luas dan terbuka) sebagaimana tercantum dalam KBBI, melainkan harus ditambahkan pula arti: murah hati; suka memberi; suka menolong; penyayang dan pengasih; baik hati; sopan; baik budi (Chambers Twentieth Century Dictionary 1972:758). Arti kata liberal seperti yang disebutkan ini sesungguhnya sangat menentramkan hati dan membahagiakan hidup bersama; serta sangat sesuai dengan semangat dan jiwa Pancasila—sekaligus sesuai dengan dasar ajaran agama! Dengan demikian, liberalisme dan liberal dapat memberi makna positif bagi Bangsa Indonesia yang bineka agama serta aliran kepercayaan; dan juga bineka dalam suku bangsa. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar