Berkenaan dengan opini/tanggapan balik atas jawaban Frans Donald, ”Yesus bukan Allah sejati? (2)” (Timex, 24 Januari 2007), saya merasa tertarik untuk meninjau ucapan atau jawaban Thomas kepada Yesus dalam Yohanes 20:28. Ucapan Thomas dalam Yohanes 20:28 itu pada hakikatnya merupakan sebuah ekspresi perasaan dengan penuh khidmat/takzim, lantaran Thomas mengalami suatu peristiwa yang sangat mencengangkan/menakjubkannya. Delapan hari sebelumnya, Thomas menyatakan keteguhan prinsipnya kepada murid-murid lain yang telah melihat Yesus: “Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya” (Yohanes 20:25). Pernyataan Thomas ini sangat tegas, mencerminkan ketidak-percayaannya terhadap kebangkitan Yesus yang disaksikan sesama murid yang lain. Tetapi apakah yang terjadi ketika Yesus kembali menampakkan diri kepada murid-murid-Nya ketika Thomas juga hadir? Pendirian Thomas yang keras luluh, ketika Yesus berbicara tatap muka dengannya (ayat 27).
Dalam Yohanes 20:24—29 tidak dikisahkan sedikit pun bahwa Thomas terkejut dan heran, ketika melihat Yesus tiba-tiba berdiri di tengah-tengah mereka yang sedang berada di dalam rumah yang pintu-pintunya terkunci. Namun niscaya Thomas mengalami keheranan: “wonder” (keajaiban), “thauma mega” (Gerika, yang artinya: ‘sangat heran’), karena ternyata Yesus benar-benar telah bangkit, dan menantang ketidak-percayaan Thomas terhadap kesaksian sesama murid yang lain perihal kebangkitan-Nya (ayat 27). Dalam mengalami “wonder”, atau “thauma mega” itulah Thomas tidak dapat berkata lain, selain mengatakan: “Ho kurios mou kai ho theos mou.” Artinya: ”Tuhanku dan Allahku” (terjemahan harafiah) atau, “Ya Tuhanku dan ya Allahku!” (terjemahan dinamis fungsional).
Dalam Perjanjian Baru bahasa Gerika, transkripsi Yohanes 20:28 berbunyi: apekrithē Thōmas kai eipen autō(i), Ho kurios mou kai ho theos mou. Perjanjian Baru terjemahan LAI berbunyi: “Tomas menjawab Dia: ‘Ya Tuhanku dan Allahku!’” Frasa “Tomas menjawab Dia” dalam terjemahan LAI sama sekali tidak mencerminkan “mood” (keadaan pikiran, keadaan suasana hati, keadaan jiwa) yang tersirat dalam frasa teks Gerika yang berbunyi, apekrithē Thōmas kai eipen autō(i). Karena itu, untuk memahami “mood” yang tersirat dalam Yohanes 20:28, saya akan menjelaskan teks Gerika tersebut.
Kata apekrithē dalam PB Gerika diambil dari Septuaginta, apekrinamēn, yang berarti “mengungkapkan pikiran dan/atau isi hati dengan takzim”, atau “mengungkapkan pikiran dan/atau isi hati dengan serius” (Prof. Alexander Souter, M.A. A. Pocket Lexicon To The Greek New Testament, 1943:32). Inilah arti sekaligus “mood” yang tersirat di dalam kata apekrithē, berbeda dengan kata apokrithē (apokrinomai) yang hanya berarti “menjawab”. Frasa kai eipen autō(i) artinya “dan berkata kepadanya”. Jadi, frasa apekrithē Thōmas kai eipen autō(i) artinya: “Thomas mengungkapkan pikiran dan isi hatinya dengan takzim dan menyahut kepada-Nya.” Atau, “Thomas mengungkapkan pikiran dan isi hatinya dengan serius dan menyahut kepada-Nya.” Dengan memperhatikan “mood” yang tersirat dalam kata apekrithē sebagaimana dijelaskan ini, maka Yohanes 20:28 dalam PB bahasa Gerika itu sangat pas bila diterjemahkan secara dinamis fungsional ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut: “Thomas mengungkapkan pikiran dan isi hatinya dengan takzim dan menyahut kepada-Nya: ‘Tuhanku dan Allahku.’” Atau, “Thomas mengungkapkan pikiran dan isi hatinya dengan serius dan menyahut kepada-Nya: ‘Tuhanku dan Allahku’”. Mengungkapkan pikiran dan isi hati dengan ‘takzim’, artinya mengungkapkan pikiran dan isi hati dengan ‘amat hormat’, atau dengan ‘amat memuliakan’. Dengan demikian, ucapan Thomas itu bukan sekadar sebuah ungkapan keterkejutan dan keheranan saja seperti kata Frans Donald, akan tetapi sebuah ungkapan ‘pengakuan percaya’ yang lahir dari kedalaman isi hati dan keseriusan berpikir Thomas. Ya, suatu ungkapan ‘pengakuan percaya’ yang di dalamnya tersirat rasa hormat dan pemuliaan yang sungguh-sungguh terhadap Tuhan dan/atau Allah yang diimani Thomas.
Lalu, apakah ‘pengakuan percaya’ yang Thomas ungkapkan itu merupakan bukti bahwa “Yesus adalah Allah” seperti kata Esra dan juga kebanyakan pendeta, penginjil, dan teolog fundamentalis ekstrem pada umumnya? Tidak. Pengakuan Thomas yang berbunyi, “Tuhanku dan Allahku” , bukan pengakuan bahwa “Yesus adalah Allah”, melainkan “pengakuan percaya Thomas terhadap Tuhan dan/atau Allah yang diimani oleh Thomas atas fakta kebangkitan Yesus yang dialami, disaksikan, dilihat sendiri oleh Thomas secara langsung yang, delapan hari sebelumnya, tidak dipercayainya sama sekali (Yohanes 20:24,25).” Ini berdasarkan kata Yesus sendiri kepada Thomas dalam Yohanes 20:29 yang berbunyi: “Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” Ya, karena Thomas telah melihat Yesus yang telah bangkit, maka Thomas percaya bahwa ternyata benar Yesus telah bangkit. Berbahagialah mereka yang tidak melihat Yesus yang telah bangkit, namun percaya bahwa Yesus telah bangkit. Jadi, bukannya “bukannya percaya bahwa Yesus adalah Allah”.
Dalam pengakuan percaya Thomas atas fakta kebangkitan Yesus yang dialami, disaksikan, dilihat sendiri oleh Thomas itu, tersirat dua gagasan, yaitu pengakuan percaya akan “Tuhan” dan “Allah” yang saling berhubungan dan tak terpisahkan, yang Thomas imani, hormati dan muliakan. Inilah isi pengakuan percaya Thomas dalam Yohanes 20:28: “Tuhanku dan Allahku”. Dengan pengakuan percaya ini Thomas mengaku percaya, “bahwa Yesus adalah Tuhan”; dan di dalam Yesus yang adalah Tuhan itu, Thomas melihat dan percaya pula kepada Allah yang telah membangkitkan Yesus yang adalah Tuhan itu dari antara orang mati” (Roma 10:9). Pengakuan percaya Thomas kepada Yesus yang bangkit itu sekaligus merupakan ungkapan pemuliaan Thomas kepada Yesus, dan Allah yang menyatakan kemuliaan-Nya di dalam Yesus yang telah bangkit itu. Pengakuan percaya Thomas itu ibarat jari yang menunjuk kembali kepada pernyataan Yesus kepada murid-murid-Nya dalam Yohanes 13:31,32: “Sekarang Anak Manusia dipermuliakan dan Allah dipermuliakan di dalam Dia. Jikalau Allah dipermuliakan di dalam Dia, Allah akan mempermuliakan Dia juga di dalam diri-Nya, dan akan mempermuliakan Dia dengan segera.” Yesus dibangkitkan dari antara orang mati oleh Allah adalah bukti bahwa Yesus sebagai Anak Allah sekaligus Anak Manusia dipermuliakan oleh Allah, dan oleh karena itu pula Allah dipermuliakan di dalam Dia (Yesus) yang telah bangkit itu. Itulah sebabnya barangsiapa yang melihat Yesus, ia telah melihat Allah, karena Yesus di dalam Allah dan Allah di dalam Yesus. Dan barangsiapa yang memuliakan Yesus, niscaya memuliakan Allah karena Allah dipermuliakan di dalam Yesus. Berdasarkan refleksi ini saya setuju dengan pernyataan teologis dari Juergen Moltmann, sebagaimana dikutip oleh Dr.L.Oranje, “Allah yang kita temukan di dalam Perjanjian Baru ialah ‘yang membangkitkan Yesus’” (“Pembahasan Buku Juergen Moltmann”. Jakarta 1973). Pengakuan Thomas dalam Yohanes 20:28 harus dipahami secara komprehensif seperti dikemukakan di atas ini.
Thomas, sama halnya dengan murid-murid lain, tahu bahwa Yesus adalah Tuhan (Yohanes 13:13,14). Thomas, sama halnya dengan murid-murid lain, tahu bahwa Yesus pernah menganjurkan untuk “percayalah kepada Allah, dan percayalah juga kepada-Nya (Yesus)” (Yohanes 14:1). Thomas, sama halnya dengan murid-murid lain, ingat bahwa Yesus pernah berkata: “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau (Allah), satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau (Allah) utus” (Yohanes 17:3). Thomas niscaya ingat kembali akan kata-kata Yesus (Yohanes 14:1—14): “barang siapa telah melihat Aku (Yesus), ia telah melihat Bapa (Allah); bahwa Aku (Yesus) di dalam Bapa (Allah) dan Bapa (Allah) di dalam Aku (Yesus)”. Apabila ayat-ayat yang disebutkan di atas ini diperhatikan secara komprehensif dalam kaitannya dengan Yohanes 20:28, maka tafsiran Esra, para pendeta, penginjil, dan teolog fundamentalis ekstrem pada umumnya yang mengatakan bahwa pengakuan Thomas dalam Yohanes 20:28 itu merupakan bukti bahwa “Yesus adalah Allah”, niscaya merupakan suatu tafsiran yang keliru, karena terbentur pada masalah semantik, sehingga menjuruskan orang kepada kepercayaan atau keyakinan yang keliru tentang Allah dan Yesus.
Mengapa? Pertama, karena apabila “Yesus yang bangkit dari antara orang mati itu adalah Allah (Yahweh), maka niscaya Yesus yang mati di kayu salib dan dikuburkan itu adalah Allah (Yahweh) yang disalibkan dan dikuburkan”. Dan ini tidak berbeda dengan anggapan ‘modalisme’ Sabellius, atau ajaran ‘patripassianisme’ yang ditolak oleh Sinode-sinode. Kenyataannya, menurut kesaksian Injil, di kayu salib Yesus berseru: “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Kemudian Yesus berseru pula: Bapa, kedalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” Bukankah Bapa yang Yesus sapa itu adalah satu-satunya Allah yang benar, yang Yesus (Anak Allah) katakan dalam doa-Nya untuk murid-murid-Nya dalam Yohanes 17:3? Kedua, jikalau “Yesus yang bangkit dari antara orang mati itu adalah Allah (Yahweh), maka siapakah Allah yang membangkitkan Yesus yang adalah Allah (Yahweh) itu dari antara orang mati?” Barangkali Esra akan berkata: “Yang disalibkan itu adalah ‘Allah Anak’, jadi yang bangkit dari antara orang mati itu adalah ‘Allah Anak’ yang dibangkitkan oleh ‘Allah Bapa’. Jawaban ini secara eksplisit memberi petunjuk bahwa Allah lebih dari satu, yaitu ‘Allah Bapa’ dan ‘Allah Anak’, sehingga agama Kisten yang Esra anut bukan agama monoteisme melainkan agama politeisme. ‘Allah’ disebut ‘Bapa’, adalah benar, karena Yesus yang mengajarkan dan memperkenalkan ‘Allah’ adalah ‘Bapa’ (Matius 6:9, dyb.), dan ‘Bapa adalah satu-satunya Allah yang benar’ (Yohanes 17:1-3). Sedangkan Yesus adalah ‘Anak Allah’; Yesus adalah ‘Mesias’. Dalam Perjanjian Baru tidak terdapat satu ayat pun yang secara eksplisit menyebut Yesus sebagai Allah Anak! Penulis Injil Yohanes yang mencatat pengakuan Thomas dalam Yohanes 20:28 itu malahan berkata dalam Yohanes 20:31 sebagai berikut: “tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah,…” Jikalau benar pengakuan Thomas yang dicatat oleh penulis Injil Yohanes pada Yohanes 20:28 itu menyaksikan bahwa Yesus adalah benar-benar Allah, maka mengapa pengakuan Thomas itu sama sekali tidak diimani pula oleh penulis Injil Yohanes, malahan penulis Injil Yohanes sebaliknya berkata: “tetapi semua yang tercantum disini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya?” (Yohanes 20:31)
Yesus tidak pernah menyebut diri-Nya ‘Allah Anak’, dan Yesus tidak pernah menyebut diri-Nya ‘Allah’. Penyebutan ‘Allah Anak’ adalah penyebutan yang lahir dari alam pikiran teologis-filosofis, atau teologi/kristologi yang diwarnai dan dipengaruhi oleh filsafat Yunani (Heraklitus). Dengan demikian, jikalau “Yesus yang disalibkan, mati, dikuburkan, dan dibangkitkan oleh Allah dari antara orang mati itu adalah Allah, maka Esra, para pendeta, penginjil, dan teolog fundamentalis ekstrem telah menyaksikan dan berimankan “kristologi tentang Yesus” menurut filsafat Yunani (Heraklitus) yang lain daripada Yesus yang disaksikan oleh murid-murid-Nya dengan perantaraan Petrus yang dipenuhi kuasa/wibawa Roh Kudus pada hari Pentakosta. Sebab dalam Kisah Para Rasul 2:22—24 Petrus berkata: “Hai orang-orang Israel, dengarlah perkataan ini: Yang aku maksudkan, ialah Yesus dari Nazaret, seorang yang telah ditentukan Allah dan dinyatakan kepadamu dengan kekuatan-kekuatan dan mukjizat-mukjizat dan tanda-tanda yang dilakukan oleh Allah dengan perantaraan Dia di tengah-tengah kamu, seperti yang kamu tahu. Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka. Tetapi Allah membangkitkan Dia dengan melepaskan Dia dari sengsara maut, karena tidak mungkin Ia tetap berada dalam kuasa maut itu” (bdk. ayat 32,33; 3:13—15; 4:10; 10:37—42, dyb.). Berdasarkan kesaksian iman seperti inilah, dengan pimpinan Roh Kudus, ribuan orang bertobat dan menyerahkan dirinya untuk dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosa dan untuk menerima karunia Roh Kudus (Kisah 2:38,41, dyb).
Yesus pada zaman-Nya, ketika hidup bersama murid-murid-Nya, tidak pernah disebut Allah, YAHWEH. Akibat motif akomodasi dan motif distansi di dalam pemikiran kekristenan tentang logos yang berasal dari filsafat Yunani (Heraklitus) di dalam ‘berteologi dan/atau berkristologi tentang Yesus’, maka ketika Injil Yohanes ditulis, barulah logos diperkenalkan. “Pada mulanya adalah logos; logos itu bersama-sama dengan Allah dan logos adalah Allah” (Yohanes 1:1—2). Padahal Yesus, yang kelahirannya diinformasikan oleh malaikat Gabriel yang diutus oleh Allah kepada perawan Maria, disebut “Anak Allah Yang Mahatinggi (Lukas 1:32); kudus, Anak Allah (Lukas 1:35)”; “mereka akan menamakan Dia Imanuel—yang berarti: “Allah menyertai kita” (Matius 1:23), tidak berarti bahwa “Yesus adalah benar-benar Allah”, melainkan “melalui Yesus, atau di dalam Yesus, Allah menyertai kita; atau melalui Yesus dan/atau di dalam Yesus, Allah menyatakan penyertaan-Nya terhadap kita”; sehingga dengan demikian orang (mereka, dan juga kita) menamakan Yesus Imanuel. Yesus pada zaman-Nya, ketika hidup bersama-sama dengan murid-murid-Nya, hanya disebut Mesias (Markus 8:29); Mesias dari Allah (Lukas 9:20); Mesias artinya Kristus (Yohanes 1:41); Guru dan Tuhan, dan Yesus sendiri mengukuhkan bahwa Ia adalah Guru dan Tuhan (Yohanes 13:13); Yesus disebut Tuhan, Mesias, Anak Allah (Yohanes 11:27; Matius 16:16), dan Yesus mengukuhkan pernyataan Petrus bahwa Ia adalah Mesias, Anak Allah yang hidup (Matius 16:16-17); bahkan, berkenaan dengan pernyataan Petrus bahwa “Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup”, Yesus berkata kepada Petrus: “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang si sorga.” Selain itu, Yesus lebih menyukai sebutan Anak Manusia atas diri-Nya (Markus 2:10; 8:31; 14:63; Matius 16:28; 26:64; Yohanes 9:35-39; 12:23,34 dyb). Di samping itu, di dalam Perjanjian Baru, Yesus disebut juga Anak Daud (Matius 1:1; 22:42, dyb) dan nabi Yesus dari Nazaret di Galilea (Matius 21:11). Bahkan jemaat mula-mula meneyebut Yesus, “Hamba Allah yang kudus, yang Allah urapi” (Kisah 4:27: “… Yesus, Hamba-Mu yang kudus, yang Engkau urapi,” ( ayat 30).
Pada periode pekabaran Injil mula-mula saat Pentakosta (Kisah 2, dst.), murid-murid Yesus yang dipenuhi kuasa Roh Kudus/Kuasa Allah “tidak pernah bersaksi bahwa Yesus adalah Allah, atau Yesus adalah YAHWEH, sebagaimana kesaksian/tafsiran Esra dan Budi Asali. Petrus dengan penuh wibawa Roh Kudus berkata dengan suara lantang: “Yesus dari Nazaret, seorang yang telah ditentukan Allah dan yang dinyatakan kepadamu dengan kekuatan-kekuatan dan mujizat-mujizat dan tanda-tanda yang dilakukan oleh Allah di tengah-tengah kamu, seperti yang kamu tahu” (Kisah 2:22; 4:10; 10:38-43). Selanjutnya Petrus berkata, “bahwa Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tuhan dan Kristus” (Kisah 2:36); sehingga Yesus disebut “Kristus” (Kisah 3:6; 4:10, dyb.); Yesus disebut “Yang Kudus dan Benar” (3:14); “Pemimpin kepada hidup” (3:15); “Hamba Allah yang kudus” (4:30); “Yesus Kristus Anak Allah” (Kisah 8:37; 9:20); “Anak Allah yang berkuasa, Yesus Kristus Tuhan kita” (Roma 1:4); “Yesus Kristus adalah Tuhan, bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Filipi 2:11); “Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat kita” (2 Petrus 2:20; 3:18).
Kesaksian-kesaksian tentang Yesus sebagaimana disebutkan di atas ini tersebar luas di dalam Perjanjian Baru. Dan apabila kita ikhlas berpegang pada kesaksian Yesus tentang diri-Nya, maka kita niscaya harus berkata: (1) Yesus tidak pernah mengatakan bahwa Ia adalah Allah, atau Ia adalah Yahweh; (2) Murid-murid Yesus tidak pernah mengatakan bahwa Yesus adalah Allah, atau Yesus adalah Yahweh. Dengan demikian, pendapat yang mengatakan bahwa Yesus adalah Allah, atau Yesus adalah Yahweh, adalah pendapat yang lahir dari pemikiran “teologis-filosofis” yang diwarnai oleh filasafat Yunani (Heraklitus) dan “pemujaan yang berlebih-lebihan” terhadap Yesus, sehingga ayat-ayat Alkitab (PL dan PB) ditafsirkan semena-mena untuk membenarkan pendapat yang dianut, bahwa Yesus adalah Allah atau Yesus adalah Yahweh. Tafsiran semacam ini mulai muncul pada abad ke-2 dari salah satu bidat, aliran Docetisme, yang memandang Yesus sebagai sama sekali berhakikat ilahi, yang tampil di dunia ini dalam tubuh sorgawi yang ‘maya’ (dokein = tidak nyata); karena itu Yesus adalah Allah yang kebetulan saja mengambil rupa manusia, yaitu bertubuh yang hanya mirip bentuknya dengan manusia. Ajaran ini mirip dengan ajaran tentang Yesus dalam Injil Apokrif, yang memandang Yesus sebagai “manusia supernatural” sama seperti “kodrat Yang Mahakuasa berinkarnasi di dalam Rama dalam epik Ramayana” (A.C. Bouquet. Comparative Religion. Gilling House, Cambridge 1945:112).
Pada dasarnya, pengajaran iman kepada Yesus yang ditegaskan dalam Perjanjian Baru, dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia (Allah) telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:16); (2) “Barangsiapa mengaku bahwa Yesus adalah Anak Allah, Allah tetap berada di dalam dia dan dia di dalam Allah” (1 Yohanes 4:15); (3) “Setiap orang yang percaya, bahwa Yesus adalah Kristus, lahir dari Allah” (1 Yohanes 5:1); (4) “… Yesus Kristus adalah Tuhan, bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Filipi 2:11) ; (5) “… jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan” (Roma 10:9); (6) “… bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, … dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus…” (1 Korintus 8:6); (7) “Demikianlah kita mengenal Roh Allah: setiap roh yang mengaku, bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia, berasal dari Allah” (1 Yohanes 4:2). (8) “Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus” (1 Timotius 2:5). Dan berkenaan dengan 1Yohanes 4:2 dan 1 Timotius 2:5, patutlah kiranya Esra renungkan kesaksian rasul Paulus dalam Kisah 22:6-8: “Tetapi dalam perjalananku ke sana, ketika aku sudah dekat Damsyik, yaitu waktu tengah hari, tiba-tiba memancarlah cahaya yang menyilaukan dari langit mengelilingi aku. Maka rebahlah aku ke tanah dan aku mendengar suatu suara yang berkata kepadaku: Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku? Jawabku: Siapakah Engkau, Tuhan? Kata-Nya: Akulah Yesus, orang Nazaret, yang kauaniaya itu.” Suara yang berkata kepada Saulus itu “adalah suara Yesus yang telah dimuliakan dan ditinggikan oleh Allah di sebelah kanan-Nya di sorga”, ketika Saulus melancarkan aksi penganiayaan terhadap pengikut-pengikut Yesus.
Apabila kita berpegang pada 1 Yohanes 4:2 dan sejumlah ayat yang disebutkan di atas, maka kita pantas mengajukan pertanyaan: “Orang yang mengaku bahwa Yesus Kristus adalah Allah, atau Yahweh itu sendiri, “mengenal roh yang mana dan berasal dari allah yang mana…? Di dalam surat 2 Yohanes 1:7 dikatakan: “Sebab banyak penyesat telah muncul dan pergi ke seluruh dunia, yang tidak mengaku, bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia. Itu adalah si penyesat dan antikristus.” Dengan mengutip 2 Yohanes 1:7, saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa mereka yang mengaku percaya bahwa “Yesus adalah Allah, atau Yesus adalah Yahweh”, adalah penyesat dan antikristus. Tidak! Yang hendak saya katakan hanyalah, “sesungguhnya pengakuan percaya mereka sangat melampaui realitas kesaksian Yesus mengenai diri-Nya sendiri yang dapat kita temui di dalam kitab Injil/Perjanjian Baru”. Penyebabnya adalah pangaruh “teologis-filosofis” yang diwarnai filsafat Yunani (Heraklitus), yang menodai pemikiran teologi dan kristologi, serta mempengaruhi cara penafsiran ayat-ayat Alkitab.
Saya tahu, bahwa Esra pasti akan membantah argumentasi saya dengan mengutip Yohanes 1:1-4; Roma 9:5; Ibrani 1:8,9; dan 1 Yohanes 5:20. Namun perlu saya ingatkan bahwa mengenai redaksi Yohanes 1:1-4; Roma 9:5; Ibrani 1:8,9; dan 1 Yohanes 5:20 itu adalah masalah semantik belaka yang menimbulkan salah kaprah. Dan sebagai catatan akhir dari tulisan ini, saya ingin menekankan sebagai berikut: “Pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah sekaligus ilahi dan insani bersifat hakiki. Dalam konteks mana pun kita berada, pengakuan ini tidak dapat dikurangi, baik dari segi ilahinya maupun dari segi insaninya. Menekankan secara sepihak keinsanian Yesus dan menafikan keilahian Yesus berarti menjerumuskan diri ke dalam aliran sesat “Ebionitisme” yang menekankan pada kemanusiaan Yesus, sehingga Yesus hanya dipandang sebagai nabi, guru, pembawa hukum baru yang diangkat oleh Allah sebagai tuan, sedangkan Roh Kudus hanya menyertai Yesus secara pra-eksistensi. Kelihatannya Frans Donald terjebak dalam aliran “Ebionitisme” sebagaimana dijelaskan di atas ini.
Sebaliknya, aliran “Docetisme” yang memandang Yesus dengan bertolak dari pra-eksistensi Yesus berdasarkan Yohanes 1:1-3 dan memandang Yesus sebagai sama sekali berhakikat ilahi, yang tampil di dunia ini dalam tubuh sorgawi, karena itu tidak mungkin Yesus benar-benar manusia, juga merupakan suatu aliran yang sesat. Dan aliran “Modalisme” yang ingin mengamankan keilahian Yesus Kristus dengan pendapat bahwa Allahlah yang lahir sebagai manusia, dari anak dara Maria, yaitu yang tampil sebagai manusia, juga merupakan aliran yang sesat pula. Kelihatannya pandangan Esra dan Budi Asali yang terlampau berat menekankan “ke-Allah-an” Yesus, dan oleh karena itu cenderung “doketistik” dan agak “modalistik” kalau mengatakan bahwa “Yesus adalah Allah”, ”Yesus adalah Allah sejati”, “Yesus adalah YHWH” itu sendiri. Sebab dengan demikian, yang mati di kayu salib adalah Allah (YHWH) sendiri, dan yang dikuburkan itu pun adalah Allah (YHWH) sendiri, lantas siapakah lagi Allah yang membangkitkan Allah (YHWH) dari kuburan pada kari ketiga?
Alangkah indahnya rumusan Tritunggal yang dianjurkan oleh Yesus kepada murid-murid-Nya: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,” (Matius 28:18,19). Dan alangkah menyejukkan dan mendamaikan batin, bila menghayati rumusan Tritunggal yang diucapkan rasul Paulus: “Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian” (2 Korintus 13:13, par.).***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar