Catatan Pendahuluan
BERAWAL dari opini “Seputar Paham Pluralisme Agama -- Bisakah Selamat Dengan Berbuat Baik” (bagian pertama dari empat tulisan) yang ditulis oleh Esra Alfred Soru, pengajar Systematic Theology di Sekolah Teologi Awam “PELANGI KASIH” dan Kursus Alkitab “AIR HIDUP” (Timex, Senin, 27 Maret 2006), maka muncullah sebuah tanggapan berjudul “Bila Berbuat Baik, Engkau Masuk Sorga!”, Dialog Santai: To’o Mahatahu deng Ama Tukang Batanya, yang ditulis oleh Buang Sine (Timex, Selasa, 11 April 2006).
Tanggapan Buang Sine tersebut kemudian ditanggapi kembali oleh Esra Alfred Soru (selanjutnya saya sapa, Esra) dalam tiga seri tulisan berjudul “Bisakah Masuk Surga Dengan Berbuat Baik?” (Timex, Selasa, 2 Mei - Kamis, 4 Mei 2006). Tanggapan Esra Alfred Soru tersebut disajikan dalam bentuk (style) “dialog santai” antara “Ama tukang batanya & Om Pandita banyak tahu”. Bentuk tulisan seperti ini, yang muncul di Harian Pagi Timor Express, sesungguhnya asli kreasi penulis Buang Sine yang juga seorang karikaturis. Bentuk tulisan Buang Sine ternyata ditiru oleh Esra.
Menurut Chesterfield, bentuk (style) tulisan adalah pakaian dari pikiran dan perasaan seorang penulis. Dan Swift mengatakan bahwa bentuk tulisan itu mengandung ketampanan (Adi Negoro. RATU DUNIA, 1948:113). Dengan demikian, apabila di dalam membuat suatu tulisan atau karangan kita meniru bentuk tulisan orang lain, kita sebenarnya telah mencolong pakaian dari pikiran dan perasaan penulis lain, atau, tanpa rasa malu, kita berlagak/bergaya dengan meniru ketampanan penulis lain. Tudingan seperti ini tidak akan muncul, apabila kita secara jujur membuat pernyataan dalam tulisan kita, antara lain begini: “Tertarik dengan bentuk tulisan Buang Sine – “Dialog santai To’o mahatahu deng Ama tukang batanya”, maka dalam tulisan ini saya mencoba mengutarakan opini saya dalam bentuk “Dialog santai Ama tukang batanya dan Om Pandita banyak tahu”. Sama halnya dengan ungkapan “Aku mau hidup seribu tahun lagi” adalah ungkapan asli Chairil Anwar, sehingga apabila dalam suatu tulisan kita merasa tertarik untuk mengutip ungkapan tersebut, maka kita harus katakan, misalnya: “Dengan mengutip ungkapan Chairil Anwar, aku pun ingin mengatakan bahwa “Aku mau hidup seribu tahun lagi”.
Oleh karena ‘tata krama’ dalam dunia tulis-menulis sebagaimana dikemukakan di atas ini tidak diperhatikan oleh Esra, maka pantaslah Buang Sine harus mengatakan kepada Esra: “Tapi, lucunya, justru tanpa malu-malu penulis telah menjiplak bentuk tulisan saya, orang yang ia katakan bodoh ini. Kasihan. Banyak pembaca tertawa melihat perbuatannya itu” (Buang Sine. Timex, Sabtu, 9 September 2006). Berkenaan dengan pernyataan Buang Sine ini, Esra memberikan semacam pertanggungjawaban sebagai berikut: “… bermula dari beta tulis opini biasa lalu ditanggapi oleh To’o dengan gayanya. Rasanya tidak nyambung kalau beta tanggapi pake gaya lain. Jadi beta pakai gayanya untuk ‘lipat’ dia toh, biar nyambung dan seru!!! … Sebenarnya dalam tulisan beta dan tulisan To’o ada yang sama tapi ada juga yang beda. Samanya yakni sama-sama “dialog santai” dan ada “Ama Tukang Batanya” tapi bedanya adalah dia “To’o Mahatahu” beta “Om Pandita Banyak Tahu” (Timex, Kamis, 21 September 2006).
Pertanggungjawaban Esra sebagaimana dikutip di atas ini seharusnya dikemukakan sejak awal, seperti yang telah saya katakan di atas. Namun sayangnya, Esra alpa, karena kurang mempertimbangkan ‘tata krama’ dalam dunia tulis-menulis. Kalaupun Esra akan mengubah bentuk penulisan yaitu “Dialog Serius antara Pasien dan Pak Dokter Doktrin”, toh sesungguhnya tidak ada perubahan, sebab “bentuknya” tetap bersifat “dialog”, dan bentuk atau style ini khas milik Buang Sine yang dimunculkan melalui Harian Pagi Timor Express. Dengan demikian, apabila Esra tetap memunculkan opini di Harian Pagi Timor Express dalam bentuk “Dialog Serius antara Pasien dan Pak Dokter Doktrin”, maka Esra akan tetap dicap sebagai epigon (= pengekor sebuah karya atau gagasan orang lain; pengekor sebuah bentuk (style) penulisan orang lain). Dan ini menunjukkan bahwa sesungguhnya Esra yang menjuluki dirinya “Om Pandita Banyak Tahu” pada galibnya tidak banyak tahu. Hal ini tercermin dalam pernyataan Esra: “… Sekedar usul, sebaiknya To’o urus ijin hak paten atas model tulisannya (di Notaris?) sehingga lain kali kalau ada orang menjiplaknya, langsung ditangkap Pak Polisi dan masukkan di sel. Okey????” (Ibid.). Pernyataan ini benar-benar konyol. Mengapa? Sebab notaris tidak memiliki kewenangan menetapkan Hak Cipta. Yang berwenang menetapkan Hak Cipta adalah Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten, Dan Merek. Dan berkenaan dengan bentuk penulisan, tidak tergolong sesuatu yang harus dimohonkan perlindungan hak ciptanya.
Rupanya beberapa pandangan Adi Negoro berikut ini perlu direnungkan oleh Esra: “Kalau hendak mengarang pakailah pikiran sendiri, fantasi sendiri. Keaslian ialah pangkal dari kebesaran seorang penulis. Orang yang asli cuma sendirian, tidak ada duanya. Kalau ada ‘duanya’ tentu salah satu tidak bersifat asli. Orang yang suka plagiat, mencolong bentuk (style) penulisan orang lain, menunjukkan bahwa otaknya beku, fantasinya tidak ada untuk menjadi pengarang atau penulis yang sejati. Pengarang atau penulis yang sejati tidak mau melagak-lagak dengan bentuk (style) penulisan orang lain. Mengarang atau menulis adalah pekerjaan orang baik-baik, yang sehat pikirannya, yang tahu kesopanan, yang asli buah tangannya…. Karena itu, jauhkanlah diri dari plagiat. Jauhkanlah diri dari kebiasaan mencolong bentuk (style) penulisan orang lain” (RATU DUNIA, Hlm.82-83).
Kembali ke topik: Berbuat baik
Melalui tulisan berjudul “Bila Berbuat Baik, Engkau Masuk Sorga” (Timex, 11 April 2006), Buang Sine mengemukakan tanggapannya sebagai berikut: “Menurut saya, apabila seseorang berbuat baik terutama kepada orang miskin, ia akan masuk surga! Sebab perbuatan baik itu identik dengan kasih yang merupakan lawan daripada kejahatan. Kasih itu lemah lembut, kasih itu murah hati, kasih itu panjang sabar, kasih itu tidak iri hati, kasih itu tidak dengki.” Buang Sine merujuk pada Matius 19:16-24; Matius 5:16; Markus 12:24-34, dan Matius 25:31-46. Dengan memperhatikan ayat-ayat ini, Buang Sine yakin bahwa orang yang berbuat baik akan masuk surga.
Tanggapan Buang Sine sebagaimana pokok pikirannya diringkaskan di atas ini ditanggapi kembali oleh Esra. Melalui tulisannya yang berjudul “Bisakah Masuk Surga Dengan Berbuat baik?” (Timex, 2 Mei - 4 Mei 2006), Esra tetap berteguh bahwa perbuatan baik tidak menentukan masuk surga. Dalam tulisan bagian pertama (Timex, 2 Mei 2006), Esra berkata: “Katong manusia berdosa bisa masuk surga bukan karena berbuat baik tapi karena anugerah semata-mata dari ‘Bapa Tua’ di atas yang dapat diterima dengan iman. Doktrin semacam inilah yang diperjuangkan oleh katong pung Reformator dong yang semboyannya adalah ‘Sola Gratia’ (Hanya Anugerah) dan ‘Sola Fide’ (Hanya Iman).” Dan mengenai berbuat baik, Esra tetap menggarisbawahi Yakobus 2:17, yang diaksentuasi lagi dengan pernyataan: “Jadi katong harus berbuat baik. Tapi ingat perbuatan baik itu sebagai akibat/buah dari keselamatan dan bukan syarat dari keselamatan.”
Demikianlah inti pokok pikiran Esra dalam tanggapan baliknya terhadap pendapat Buang Sine. Adakah manfaat yang dapat kita pungut dari polemik antara Esra Alfred Soru dan Buang Sine seputar hal “berbuat baik”?
M a r g i n a l i a
Esra, dalam “Seputar Paham Pluralisme Agama – Bisakah Selamat Dengan Berbuat Baik?” (Timex, 27 Maret 2006), sebenarnya berteologi tentang “Salvation by works” dan “Salvation by faith”, dalam rangka menyanggah paham pluralisme agama dan inklusivisme.
Mengenai “berbuat baik” Esra berkata: “… orang Kristen harus berbuat baik karena Yakobus 2:17 berkata: ‘Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya mati’. Namun demikian harus disadari bahwa perbuatan baik itu sama sekali tidak punya andil dalam menyelamatkan kita melainkan sebagai syukur atas keselamatan yang telah kita peroleh. Dengan kata lain kita tidak berbuat baik SUPAYA diselamatkan melainkan KARENA diselamatkan. Perbuatan baik kita bukanlah SYARAT keselamatan melainkan AKIBAT atau buah keselamatan…” (Ibid; Timex, 2 Mei 2006).
Sesungguhnya saya merasa heran ketika mencermati jalan pikiran Esra yang mengaitkan “perbuatan baik” dengan “keselamatan” sebagai “akibat” atau “buah keselamatan” dengan Yakobus 2:17. Ya, saya heran, karena dengan mengutip Yakobus 2:17 untuk mengukuhkan doktrin “Salvation by faith”, Esra harus menjelaskan pula apa yang tersirat dalam Yakobus 2:20-24: “Hai manusia yang bebal, maukah engkau mengakui sekarang, bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong? Bukankah Abraham, bapa kita, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, ketika ia mempersembahkan Ishak, anaknya, di atas mezbah? Kamu lihat, bahwa iman bekerja sama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna. Dengan jalan demikian genaplah nas yang mengatakan: ‘Lalu percayalah Abraham kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.’ Karena itu Abraham disebut: ‘Sahabat Allah.’ Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman.”
Kalau saya tidak salah tangkap, Esra berteologi tentang “Salvation by faith” menurut pandangan reformator Martin Luther berkenaan dengan tafsirannya atas tulisan rasul Paulus dalam Roma 1:16-17. Martin Luther berkata begini: “Aku mulai sadar bahwa kebenaran Allah tidak lain daripada pemberian yang dianugerahkan Allah kepada manusia untuk memberi hidup kekal kepadanya; dan pemberian kebenaran itu harus disambut dengan iman. Injillah yang menyatakan kebenaran Allah itu, yakni kebenaran yang diterima oleh manusia, bukan kebenaran yang harus dikerjakannya sendiri. Dengan demikian Tuhan yang rahmani itu membenarkan kita oleh rahmat dan iman saja…” (Dr. F.D. Wellem, M.Th. 2003:126). Berdasarkan pandangan Martin Luther ini maka konsepsi tentang “perbuatan baik bukanlah syarat keselamatan melainkan akibat atau buah keselamatan” yang Esra kemukakan itu seharusnya dikukuhkan, bukan menurut konsepsi penulis surat Yakobus tentang iman dan perbuatan, melainkan, menurut konsepsi rasul Paulus tentang “pembenaran oleh iman, dibenarkan oleh iman, diselamatkan oleh iman”.
Esra rupanya tidak menyadari bahwa penulis surat Yakobus bertitik-tolak dari suatu pengertian tentang iman yang lebih rasional daripada pengertian Paulus, dan oleh karena itu ia berpegang kepada suatu pandangan atas pertalian antara iman dan perbuatan berhubung dengan pembenaran, yang berbeda juga: “Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, dan bukan hanya karena iman” (J.A.B. Jongeneel, 1980:90). Esra rupanya tidak tahu bahwa “Surat Yakobus 2:14-17 dyb., tidak disukai Martin Luther, karena ia mencurigai ada doktrin keselamatan oleh perbuatan di dalamnya, dan dengan demikian menjadi kemunduran ke Yudaisme—yang adalah suatu salah pengertian tentang Yudaisme” (W.R.F. Browning, 2009:342).Bukankah dengan ini kita melihat bahwa konsepsi penulis surat Yakobus berbeda sekali dengan konsepsi pandangan Martin Luther atas teologi rasul Paulus tentang pembenaran karena iman, bukan karena perbuatan? (Roma 3:27-28,30; Galatia 2:16; bnd. Roma 3:20,24,26; 4:2,5; 5:1,9). Perlu dicatat bahwa rasul Paulus tidak menganggap remeh “perbuatan baik” (baca antara lain: Roma 2:6,7; Roma 13; Galatia 5:22-6:10, dan masih banyak lagi yang dapat dirujuk).
Lebih lanjut Esra membangun argumentasi sebagai berikut: “Iman yang sejati pastilah akan diikuti oleh adanya ketaatan/perbuatan baik/pengudusan, tetapi yang menyebabkan kita diselamatkan adalah imannya, dan sama sekali bukan perbuatan baiknya. Perhatikan ilustrasi berikut ini: sakit * obat * sembuh * olah raga/bekerja (orang yang sakit minum obat lalu menjadi sembuh dan bisa berolahraga/bekerja). Analogi ini sejajar dengan: dosa * iman * selamat * taat/berbuat baik (orang yang berdosa beriman lalu menjadi selamat dan bisa taat/berbuat baik). Apa yang menyebabkan sembuh? Tentu saja obat, bukan olah raga/bekerja. Olah raga/bekerja hanya merupakan bukti bahwa orang itu sudah sembuh. Demikian juga dengan orang berdosa. Ia selamat karena iman, bukan karena ketaatan/perbuatan baik.” Begitulah ilustrasi dan argumentasi Esra. Kelihatannya masuk akal. Namun sesungguhnya tidak. Untuk itu mari kita periksa. “Sakit * obat * sembuh * olah raga/bekerja (orang yang sakit minum obat lalu menjadi sembuh dan bisa berolahraga/bekerja)”.
Benarkah ilustrasi yang Esra kemukakan di atas ini? Perhatikanlah penjelasan berikut ini: Orang yang sakit memiliki inisiatif dan upaya untuk memperoleh kesembuhan. Inisiatif dan upaya itu bisa secara langsung dari dirinya sendiri atau dari orang lain, keluarga, sesamanya. Orang yang sakit itu tidak langsung minum obat, tetapi harus didiagnosa oleh petugas kesehatan. Setelah itu barulah obat diberikan; obat diminum oleh orang yang sakit; kemudian barulah terjadi kesembuhan. Apabila belum terjadi kesembuhan, orang sakit itu harus didiagnosa ulang untuk diberikan obat lain yang dapat menyembuhkan penyakitnya, sehingga orang itu sembuh dan dapat menjalankan aktivitasnya sehari-hari: bekerja dan berolah raga. Ilustrasi ini tidak dapat dianalogikan dengan ilustrasi “dosa * iman * selamat * taat/berbuat baik (orang berdosa beriman lalu menjadi selamat dan bisa taat/berbuat baik)”. Mengapa? Sebab orang berdosa sama sekali tidak berdaya/tidak bisa melakukan apapun juga untuk meluputkan dirinya dari kuasa dan kutuk dosa, sehingga ia bisa menjadi orang beriman, memperoleh jaminan keselamatan, dan dapat menjalani kehidupannya dengan penuh kepastian dan harap menuju ke pengadilan akhir zaman. Inilah kekonyolan dan ke-tidak-masuk-akal-an yang terdapat dalam ilustrasi yang dibuat oleh Esra Alfred Soru.
Esra lupa, bahwa manusia yang berdosa tidak dapat menyelamatkan dirinya dari cengkraman kuasa dosa. Esra lupa, bahwa Allah sendiri yang jatuh cinta terhadap dunia dan manusia. Esra lupa, bahwa karena cinta Allah yang bertujuan menyelamatkan manusia dan dunia ini, Yesus Kristus telah datang ke dalam dunia untuk melaksanakan misi karya penyelamatan Allah, disalibkan, mati dan dikuburkan, bangkit dari antara orang mati, naik ke surga. Esra lupa, bahwa karya penyelamatan Allah di dalam Yesus Kristus diberitakan berkat kuasa Roh Kudus, di mana iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus (Roma 10:17), Roh Kudus bekerja (1 Korintus 12:3), orang berdosa mengaku dengan mulutnya bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatinya bahwa Allah telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati; maka orang berdosa diselamatkan (Roma 10:9-10); orang berdosa diselamatkan karena iman sama artinya dengan orang berdosa dibenarkan karena iman (Roma 3:24, 27-28).
Itulah inti doktrin “Salvation by faith” rasul Paulus. Manusia yang dibenarkan/diselamatkan karena iman dengan sukacita menjalani kehidupannya dengan kepastian harap menuju ke penghakiman akhir zaman. Dan sementara di tengah perjalanan waktu yang bertanda nama “not yet” (pinjam ungkapan Karl Barth), orang beriman mengungkapkan, mengejawantahkan, mengkonkretisasikan imannya sesuai dengan Hukum Kasih (Matius 22:37-40) yang dianjurkan oleh Yesus yang diimani sebagai Tuhan dan Juruselamat. Di tengah waktu yang bertanda nama “not yet” ini, rasul Paulus berkata: “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.” (1 Korintus 13:13). Dan menurut rasul Paulus, “Kasih adalah kegenapan Hukum Taurat”, karena itu rasul Paulus berkata: “…Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah mematuhi hukum Taurat” (Roma 13:8,9); “Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia, karena itu kasih adalah kegenapan hukum Taurat” (Roma 13:10,11). Saya sungguh merasa trenyuh ketika membaca dan menyiasati ilustrasi yang ditampilkan oleh Esra Alfred Soru, namun apa hendak dikata. Perlu dicatat bahwa ilustrasi yang ditampilkan oleh Esra itu sesungguhnya ilustrasi yang dikemukakan oleh Budi Asali dalam bukunya berjudul, Menangkal Saksi Yehovah (Visimedia, cetakan pertama 2006:156). Dengan demikian, terbukti lagi bahwa Esra mencolong ilustrasi Budi Asali!
Dalam uraian selanjutnya Esra berkata: “Orang berdosa sebelum diselamatkan tidak dapat berbuat baik karena mengalami ‘total depravity’ atau kebejatan total (Kej 6:5; Roma 6:20; Titus 1:15). Setelah diselamatkan barulah ia memiliki kemampuan untuk berbuat baik yang adalah buah Roh Kudus (Gal 5:22-23). Esra merujuk Kejadian 6:5 untuk mengukuhkan asumsi kebejatan total orang berdosa sebelum diselamatkan karena itu tidak dapat berbuat baik. Namun Esra lupa bahwa Habel (Kejadian 4:4 [hidup pada kurun waktu sebelum diselamatkan]) menurut kesaksian Yesus adalah ‘orang benar’ (Matius 23:35), menurut kesaksian penulis surat 1 Yohanes 3:12 ‘orang yang berbuat benar’, dan dalam surat Ibrani 11:4 dikatakan ‘orang beriman yang mempersembahkan korban yang lebih baik kepada Allah’. Selain itu, Esra juga lupa bahwa Kejadian 4:22 menyaksikan bahwa Henokh (hidup pada kurun waktu sebelum diselamatkan oleh karya penyelamatan Allah di dalam Yesus Kristus) hidup bergaul dengan Allah selama ratusan tahun, lalu Henokh diangkat oleh Allah; dan dalam Kejadian 6:9 dikatakan pula bahwa “Nuh adalah seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya, dan Nuh (juga hidup pada kurun waktu sebelum diselamatkan oleh Yesus) itu hidup bergaul dengan Allah”. Begitu pula dengan Titus 1:15 yang dirujuk oleh Esra, sama sekali tidak mendukung doktrin “total depravity” yang Esra katakan. Karena Titus 1:15 menekankan dua pokok pikiran: pertama, bagi orang suci semuanya suci; kedua, tetapi bagi orang yang najis dan bagi orang tidak beriman suatu pun tidak ada yang suci, karena baik akal maupun suara hati mereka najis.
Seterusnya, Esra berkata: “Perhatikan kasus Zakheus! Dalam Lukas 19:9 Yesus berkata: ”Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini, karena orang inipun anak Abraham.” Berkenaan dengan ayat ini Esra memberi komentar: “Itu berarti bahwa keselamatan terjadi begitu seseorang beriman, dan baru setelah itu muncul perbuatan baik, sebagai buah Roh Kudus dalam kehidupan itu. Karena itu tidak mungkin perbuatan baik itu yang menyelamatkan, karena keselamatan itu sudah ada sebelum perbuatan baik itu ada” (Timex, 27 Maret 2006).
Benarkah komentar Esra atas kasus Zakheus sebagaimana dikutip di atas ini? Kasus Zakheus bukan hanya tersurat dan tersirat dalam Lukas 19:9, melainkan tersurat dan tersirat dalam Lukas 19:1-10. Namun ternyata Esra memfokuskan perhatiannya hanya sebatas Lukas 19:9 lalu berkomentar tentang keselamatan, iman dan perbuatan baik. Saya ingin mengajak Esra untuk meninggalkan ‘kaca mata kuda’ yang hanya fokus pada ayat 9, agar bersama-sama dengan saya memakai ‘kaca mata pemahaman komprehensif’ di dalam memahami kasus Zakheus yang dikisahkan dalam Lukas 19:1-10. “Ketika Yesus masuk ke kota Yerikho dan berjalan terus melintasi kota itu (ayat 1), ada seorang pemungut cukai yang kaya bernama Zakheus, berusaha untuk melihat (menyaksikan) siapakah Yesus. Maka ia berlari mendahului orang banyak, lalu memanjat pohon ara untuk melihat Yesus yang akan lewat di situ (ayat 2-4). Ayat 3 dan 4 memberi petunjuk bahwa Zakheus memiliki hasrat yang kuat yang dibuktikan dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk melihat (menyaksikan) siapa sesungguhnya (atau orang apakah) Yesus itu.
Lukas 9: 3-4 sama sekali tidak menyatakan bahwa Zakheus sudah beriman kepada Yesus, melainkan secara eksplisit melukiskan “hasrat dan upaya Zakheus untuk melihat orang apakahYesus itu”. Hasrat dan upaya Zakheus” itu mendapat tanggapan positif dari Yesus (baca ayat 5). Zakheus menyambut Yesus dengan sukacita (ayat 6). Dan kepada Yesus yang berkenan menumpang di rumah Zakheus yang dicap sebagai orang berdosa (ayat 7), Zakheus berikrar dengan tulus: ‘Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat’ (ayat 8). Berdasarkan ikrar tulus yang diucapkan oleh Zakheus inilah, Yesus berkata: ‘Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini, karena orang inipun anak Abraham. Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang’” (ayat 9-10).
Ungkapan ‘keselamatan’ dan ‘menyelamatkan’ dalam ayat 9 dan 10 berkonotasi ‘pembebasan’ dan ‘penemuan kembali’, karena Zakheus yang diisolasi oleh semua orang sebagai ‘orang berdosa’ dibebaskan oleh Yesus, sehingga Zakheus tergolong anak Abraham; dan Zakheus yang terhilang ‘ditemukan kembali’ oleh Yesus, sehingga Zakheus dapat hidup dalam relasi keluarga Allah. Berdasarkan pemahaman komprehensif atas Lukas 19:1-10 seperti diuraikan di atas ini, maka komentar Esra yang hanya memfokuskan perhatiannya pada Lukas 19:9 sangat tidak memadai dan salah!
Dalam opini berjudul “Bisakah Masuk Surga Dengan Berbuat Baik?” (Timex, Selasa, 2 Mei 2006), Esra mengangkat lagi sebuah contoh dari Lukas 23:43 dalam bentuk dialog santai Ama tukang batanya & Om Pandita Banyak Tahu, sebagai berikut:
“Pandita: … Satu hal lagi Ama, kira-kira menurut Ama itu penjahat yang bertobat di atas salib itu masuk sorga ko sonde?”
“Ama: Masuk he? Ko Yesus su kasi jaminan: ‘sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus’ jadi beta yakin dia masuk surga.”
“Pandita: Kalau begitu kira-kira menurut Ama, kenapa dia bisa masuk surga? Coba Ama sebutkan itu penjahat pung perbuatan baik?”
“Ama: Beta rasa sonde ada ho. Namanya saja “Penjahat” pasti dia buat jahat terus makanya dihukum di atas salib.”
“Pandita: Betul Ama! Dia bukan hanya jahat tapi sonde ada kesempatan untuk berbuat baik sama sekali soalnya itu hari juga dia ‘game’ na. Jadi dia sama sekali sonde berbuat baik tapi Yesus jamin dia masuk surga kan? Jadi apa alasan Yesus memberi jaminan surga bagi dia? Ama jawab dolu…!!!!”
“Ama: Karena dia percaya pada Yesus.”
“Pandita: Batttuuuullllll sekali Ama! Pegang tangan dolu….”
Saya ingin mengajak Esra untuk merenungkan salah satu episode kritis (genting) di tempat yang bernama Tengkorak, di mana Yesus dan dua orang penjahat kelas kakap sedang tergantung di kayu salib, menunggu detik-detik terakhir kematian mereka. Dalam situasi yang begitu kritis, dalam kesempitan ruang dan waktu, di sana, di tiga kayu salib yang terpancang di tempat yang bernama Tengkorak, terjadi sebuah lakon singkat yang diperankan (dilakonkan) oleh tiga orang yang sedang menunggu ajal. “Seorang dari penjahat yang digantung itu menghujat Yesus, katanya: ‘Bukankah Engkau adalah Kristus? Selamatkanlah diri-Mu dan kami!’” (Lukas 23:39). Apakah yang dilakukan oleh penjahat ini kepada Yesus? Penjahat itu menghujat Yesus. “Menghujat” artinya “mencaci, mencela, memfitnah, menjelekkan, menodai kehormatan”. Dengan demikian, “menghujat” adalah “perbuatan jahat, perbuatan tercela, perbuatan tidak baik”. Inilah yang dilakukan oleh seorang dari penjahat yang digantung itu kepada Yesus.
Tetapi seorang penjahat yang lain menegur dia, katanya: “Tidakkah engkau takut, juga tidak kepada Allah, sedang engkau menerima hukuman yang sama? Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah” (Lukas 23:40-41). Apakah yang dilakukan oleh salah seorang penjahat ini kepada rekannya? Penjahat ini menegur rekannya yang menghujat Yesus. “Menegur” dalam konteks ini artinya “memperingatkan, menasihati”. Ternyata penjahat ini bukan saja menegur, memperingatkan, menasihati rekannya yang telah menghujat Yesus, tetapi ia juga menginsafkan rekannya. Yang dilakukan oleh penjahat ini adalah “perbuatan yang baik”. Ia masih memiliki rasa takut kepada Allah, dan sadar/insaf bahwa “orang ini” (yaitu Yesus) tidak berbuat sesuatu yang salah.
Sayang sekali, bahwa Esra ternyata memiliki pemahaman yang rudimentir atas Lukas 23:39-41, sehingga tidak menyadari bahwa ternyata pada saat-saat menjelang kematian di kayu salib, kedua penjahat itu telah berbuat sesuatu: salah seorang penjahat masih sempat berbuat jahat, yaitu menghujat Yesus, sedangkan yang satu lagi menginsyafi kesalahannya dan masih sempat berbuat baik, yaitu menegur, memperingatkan, menasihati dan menginsafkan rekannya yang telah menghujat Yesus. Penjahat yang satu ini ternyata masih memiliki kesadaran, keinsafan, suara hati (suneidesis). Berdasarkan suara hati inilah ia berkata: “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja” (ayat 42). Dan secara spontan Yesus berkata kepadanya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus” (ayat 43).
Memperhatikan tinjauan di atas ini, maka dengan sangat iba saya terpaksa harus menyatakan bahwa “dialog santai Ama tukang batanya & Om Pandita Banyak Tahu” sebagaimana telah dikutip di atas, benar-benar merupakan dialog yang konyol. Esra sebagai “Om Pandita Banyak Tahu” ternyata tidak tahu, bahwa percakapan/ucapan-ucapan yang dilakukan oleh dua orang penjahat itu adalah perbuatan yang dilakukan dengan mulut. Apakah Esra sebagai “Om Pandita Banyak Tahu” tidak tahu bahwa “perbuatan” yang dilakukan dengan mulut dalam bentuk ucapan harus dipertanggungjawabkan pada hari penghakiman? Dalam Matius 12:36-37 Yesus berkata: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman. Karena menurut ucapanmu engkau akan dibenarkan, dan menurut ucapanmu pula engkau akan dihukum.”
Berdasarkan Matius 12:37, saya boleh berkata, ucapan Yesus kepada penjahat sebagaimana dikisahkan dalam Lukas 23:43 itu adalah suatu pernyataan pembenaran. Penjahat itu dibenarkan oleh Yesus, oleh karena perbuatan baik dalam ucapan-ucapannya sebagaimana dikisahkan dalam Lukas 23:40-42 mencerminkan pengejawantahan atau konkretisasi ‘keyakinan’ penjahat itu kepada Yesus sebagai ‘orang benar’ dan ‘Mesias’ yang tidak patut dihukum. Di dalam pembenaran ini, Yesus memberi jaminan kebahagiaan dan keselamatan bagi si penjahat: “… hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus”. Ini merupakan peristiwa yang luar biasa (extraordinary case). Di dalam Injil Markus 16:16 Yesus berpesan kepada murid-murid-Nya: “Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan.” Namun di tiang salib di tempat yang bernama Tengkorak, si penjahat itu langsung memperoleh pembenaran dan jaminan kebahagiaan dan keselamatan dari Yesus di dalam baptisan kematian bersama-sama dengan Yesus, tanpa ia harus diturunkan dari tiang gantungan untuk dibaptis oleh murid-murid Yesus. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar