TANGGAPAN ATAS
PA GKRI EXODUS
Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti
SETELAH membaca naskah “PA GKRI EXODUS TRITUNGGAL”
yang disusun oleh Pdt. Yakub Tri Handoko, Th.M., maka saya tertarik untuk
mengemukakan tanggapan berkenaan dengan doktrin
Tritunggal yang dijelaskan dalam naskah tersebut. Dalam tulisan ini saya
hanya akan menanggapi konsepsi teologis-alkitabiah seputar doktrin Trinitas saja, Materi-materi lainnya, untuk sementara saya
langkaui. Mudah-mudahan akan saya bahas pada kesempatan lain.
Pertama. Pada halaman 1 Doktrin Tritunggal: Penjelasan &
Pembelaan (1) Pendahuluan, Yakub Tri
Handoko (selanjutnya saya singkatkan dengan YTH) menjelaskan kata “trinity”
yang berasal dari bahasa Latin “trinite” atau “trinitas” yang berarti “keadaan
menjadi tiga” (the state of being threefold). Dengan penjelasan singkat ini,
YTH menunjuk pada Webster’s New
Collegiate Dictionary: A Merriam Webster (Springfield: G & C Merriam
Company, 1973:1250). Ini memberi petunjuk bahwa YTH menerapkan metode ilmiah
dalam karya tulisnya. Namun tampaknya YTH kurang teliti. Perkenankanlah saya
merujuk pada sumber lain untuk menjelaskan kata/istilah “Trinity” secara lebih
baik sebagai berikut:
“Trinity”,
[Old French, trinite (French, trinité), berasal dari Late Latin, trinitas;
Latin, trinus, arti harafiahnya, “threefold”]. Dalam bidang teologi
Kristen, “Trinity” (diindonesiakan menjadi “Trinitas”) digunakan sebagai sebuah
istilah yang dengan cermat mengungkapkan makna konsep “the union of three
distinct persons, Father, Son, and Holy Spirit, in one Godhead” (= keesaan tiga
oknum [pribadi] yang berbeda, yaitu
Bapa, Anak, dan Roh Kudus, di dalam satu Allah). Demikianlah yang dicatat dalam
buku The Lexicon Webster Dictionary Volume II, 1977: 105. Mudah-mudahan Webster’s
New Collegiate Dictionary: A Merriam Webster yang dirujuk oleh YTH mencatat
rumusan tentang Trinity sebagaimana
saya kutip di atas.
Dengan demikian, penjelasan tentang “trinity” oleh YTH
sebagaimana dikutip di atas tidak membantu ke arah pemahaman yang baik dan
benar.
Kedua.
YTH menjelaskan tentang “Tritunggal” sebagai berikut: “Apa yang dimaksud dengan
“Tritunggal” (tiga tapi satu)? Tiga dalam hal apa? Satu dalam hal apa? Secara
sederhana, istilah “Tritunggal” dapat didefinisikan “tiga pribadi ilahi
(hypostasis) dalam satu hakekat
(ousia). Menurut YTH, penjelasan yang
lebih baku dirumuskan dalam Pengakuan Iman Konstantinopel sebagai berikut “kami
percaya bahwa ada satu hakekat (ousia)
dari Bapa dan Anak dan Roh Kudus dalam tiga kepribadian yang sempurna (hypostasis) atau tiga Pribadi yang
sempurna (prosōpois). Penekanan pada
rumusan ini sebenarnya lebih terletak pada kesatuan dan kesamaan hakekat (homoousios) yang dimiliki oleh ketiga
pribadi dalam Tritunggal.” Begitulah uraian YTH.
Catatan:
Tampaknya YTH tidak memiliki konsepsi
yang jelas tentang Trinitas dan Tritunggal. YTH mendefinisikan
“Tritunggal”: “tiga pribadi ilahi (hypostasis) dalam satu hakikat
(ousia). Apa yang dikatakan oleh YTH ini salah. Tritunggal dipakai untuk menyebut Allah, the triune God (Father, Son, and Holy Spirit), sehingga kita dapat berkata Allah Tritunggal: Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Sedangkan mengenai doktrinnya, bukan
disebut doktrin Tritunggal, melainkan doktrin Trinitas. Dengan demikian uraian singkat YTH yang
dikutip di atas ini, bukan menyangkut Tritunggal, melainkan menyangkut ajaran
atau doktrin Trinitas.
YTH mengatakan: “tiga pribadi ilahi (hypostasis) dalam satu hakikat (ousia)”. Penggunaan istilah dalam
pernyataan ini sangat rancu. Pertama, makna
lugas kata Gerika, hypostasis, yaitu “substance, essence”, yang diindonesiakan menjadi
“substansi, esensi”. Dengan demikian, “substansi” dan “esensi” tidak perlu
dibedakan secara tajam, sebab “substansi” dan “esensi” terhisab ke dalam medan
makna kata hypostasis. Dan kata
“hakikat” itu pun terhisab ke dalam medan
makna kata “esensi”. Kedua, kata
Gerika, hypostasis, dipergunakan
sebagai metafora untuk menyatakan
tentang “the essence or real personal subsistence or substance of each of the
three divisions of the Trinity” (Chambers
Twentieth Century Dictionary, 1972: 644).
Dalam teologi Kristen, hypostasis dirumuskan sebagai “one
of the three real and distinct subsistences in the one undivided substance or essence of God;
a person of the Trinity; the one personality of Christ in which His two
natures, human and divine, are united.” (The
Lexicon Webster Dictionary 1977:473). Dalam rumusan ini kita lihat bahwa kata
“substance” (substansi) dan “essence” (esensi) dipergunakan untuk menyatakan arti yang
bersinonim. Itulah sebabnya, doktrin Trinitas yang bersumber pada Pengakuan
Iman Nicea Konstantinopel dapat dirumuskan sebagai berikut: “Bapa, Anak, dan Roh Kudus beda satu dengan
lain. Bapa bukan Anak, Anak Bukan Bapa
juga bukan Roh Kudus; seperti Bapa juga bukan Roh Kudus. Kendatipun
Bapa, Anak, dan Roh Kudus berbeda namun Bapa, Anak, dan Roh Kudus satu Allah.
Bapa adalah Allah, Anak adalah Allah, dan Roh Kudus juga adalah Allah.
Kalau Bapa, Anak, dan Roh Kudus kumpul, Bapa, Anak, dan Roh Kudus hanya satu
Allah. Begitu juga kalau Bapa, Anak, dan Roh Kudus ada
sendiri-sendiri—Bapa, Anak, dan Roh Kudus tetap satu Allah. Dari pertama
sekali, sebelum dunia ada, Tuhan Allah sudah ada sebagai satu Allah:
sebagai Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Allah inilah (Bapa, Anak, dan Roh
Kudus) yang menciptakan dunia dan manusia”. Inilah inti doktrin Trinitas
yang dianut juga oleh GMIT (Gereja Masehi Injili Timor), di mana saya terhisab
sebagai warga dan memilih untuk berbakti di gereja Imanuel Oepura Kupang (dan
sejak 18 Desember 2011, berbakti di
gereja Gunung Sinai Naikolan [GMIT]) namun saya tidak mengamini inti doktrin Trinitas sebagaimana dikutip di
atas ini.
Berkenaan
dengan hypostasis dan ousia, YTH menjelaskan pada catatan kaki
butir 5 bahwa “baik kata hypostasis maupun
ousia muncul dalam Alkitab (Lukas
15:12-13 “bagian/harta”; Ibrani 1:3 “wujud”). Kata Gerika ousias/ousian dalam Lukas 15:12,13) dari kata dasar ousia, memang artinya harta milik. Yang menjadi pertanyaan ialah, apakah harta milik bersinonim dengan hakikat dan/atau harta milik identik dengan hakikat? Pertanyaan
ini diajukan, mengingat YTH mencatat sebelumnya
tentang pribadi ilahi (hypostasis)
dan hakikat (ousia). Ternyata
YTH melakukan kesalahan dalam perujukan. Ada
kata Gerika lain yaitu, ousiā, yang artinya “eksistensi, substansi, esensi/hakikat”. Kata Gerika
ousia
dan ousiā adalah homonim. Yang dimaksudkan dengan homonim ialah dua kata atau lebih yang
ejaannya atau lafalnya sama, tetapi maknanya berbeda. Kata Gerika, ousiā
yang berarti “eksistensi,
substansi, esensi/hakikat” inilah yang terdapat dalam bentuk kata homoiousian,
yang berasal dari kata homos = same; homoios = like, similar dan ousiā = being (= existence; substance;
essence). (periksa, Chambers
Twentieth Century Dictionary 1972:625,117). Dalam teologi Kristen kata homoiousian
artinya “believing the Father and Son to be of similar essence” (Ibid.); atau “an adherent of a 4th
century church party which asserted that the essence of the Son is similar to,
but not the same as, that of the Father”
(The Lexicon Webster Dictionary 1977:460).
Arti kata homoiousian inilah yang tersirat dalam istilah teologi homoousios.
Catatan: Ketika Konsili
Nicea diadakan pada tahun 325 yang dipimpin langsung oleh Konstantinus yang
menjadi kaisar dalam kerajaan Roma raya, atas nasihat dari ahli teologinya yang
bernama Hosios, uskup dari Kordoba, maka kaisar Konstantinus dengan paksa
mengusulkan kata homoousios untuk dikenakan pada Yesus. Kata itu artinya “Yesus
sama dengan Allah Bapa. Yesus adalah Allah; Allah yang menjadi manusia. Jadi,
Yesus benar-benar Allah dan benar-benar manusia. Bukan seperti pandangan Arius
yang mengatakan bahwa Yesus setengah Allah setengah manusia. Pada saat itu,
uskup-uskup tidak bisa melawan. Mereka berpikir bahwa inilah jalan yang paling
baik untuk mengatasi persoalan, sekalipun belum jelas bagi mereka arti homoousios
itu. (Dr. Eben Nuban Timo. Sejarah
Pengakuan Iman Rasuli. Yayasan Afnekan GMIT 2004:28).
Salah satu uskup bernama Eusebius dari Kaesarea yang
dalam Konsili Nicea memegang peranan penting dan mendapat tempat terhormat,
yaitu duduk di sebelah kanan kaisar Konstantinus yang memimpin Konsili,
sebenarnya tidak setuju, mengajukan keberatan, dan menghindari pemakaian
istilah homoousios, karena menurut keyakinannya istilah ini tidak
alkitabiah, jauh menyimpang dari Kitab Suci. Namun, istilah homoousios
akhirnya dia terima juga dalam Konsili Nicea karena terpaksa. Patut
dicatat di sini bahwa Eusebius adalah sahabat karib kaisar Konstantinus, sehingga Eusebius dipercayakan untuk mengawasi
salinan-salinan Kitab Suci yang dipakai dalam Gereja Konstantinopel (Dr. F.D.
Wellem, M.Th. Riwayat Hidup Singkat
Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja. BPK Gunung Mulia Jakarta 2003:76).
Lalu,
bagaimanakah dengan hypostasis yang YTH hubungkan dengan Ibrani 1:3 dengan
menunjuk pada kata “wujud”? Lagi-lagi pada bagian ini YTH keliru. Mari kita
perhatikan frasa Ibrani 1:3 transkripsi bahasa Gerika berikut ini: hos ōn apaugasma tēs doxēs kai charaktēr tēs
hupostaseōs autou,… Terjemahan LAI:
“Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah,”. Ungkapan gambar wujud adalah terjemahan dari kata
Gerika charaktēr (= gambar wujud yang
sempurna [rupa yang persis sama dengan aslinya]). Dengan demikian, terlihat
bahwa LAI tidak menerjemahkan kata Gerika hupostaseōs,
yang dalam teks Ibrani 1:3 berarti “substance”
(substansi), yang dalam RSV diterjemahkan dengan “nature” , dan dalam GNB diterjemahkan dengan “being” (= existence, substance, essence).
Beralih ke halaman 2 tulisan YTH, maka dengan
mempertimbangkan catatan-catatan di atas ini mudah-mudahan YTH dapat menyadari
bahwa pemahaman tentang hakikat tak
terpisahkan dari substansi dan esensi. Namun ‘loncatan pikiran’ YTH yang
tersirat dalam pernyataannya, “Allah
pasti BUKAN berhubungan dengan materi. Allah adalah roh (Yoh 4:24; 2Kor 3:17-18),
sehingga tidak relevan kalau kita membicarakan-Nya dalam konteks materi atau
ruang (Yoh 4:21,23; Kis 17:24)” membuat saya bertanya: apa gerangan relevansi
pernyataan ini dengan doktrin Trinitas dan/atau sebutan Allah Tritunggal? Benar,
Allah bukan materi. Sebab Allah adalah roh. Tetapi juga “Allah adalah terang” (1 Yohanes 1:5,6), “Allah
adalah benar” (Yohanes3:33); “Allah damai sejahtera” (1 Tesalonika 5:23);
“Allah sumber pengharapan” (Roma 15:13); “Allah adalah kasih” (1 Yohanes 4:8,
dyb.); “Allah (adalah) kudus” (Imamat 11:44,45; 19:2; 1 Petrus 1:16); “Allah
adalah sempurna” (Matius 5:48); “Allah adalah setia” (1 Korintus 1:9), yang
pada hakikatnya menjadi “materi” (=
sesuatu yang menjadi bahan pemikiran, pertimbangan, perenungan, percakapan,
diskusi), yang pada gilirannya melahirkan teologi.
Allah dalam Alkitab dipahami sebagai yang omnipoten (berkuasa di mana-mana), omnisiens (serba mengetahui), dan
benar-benar pencipta yang baik atas segala sesuatu yang ada. Diharapkan bahwa
ketaatan kepada Allah akan membawa kesejahteraan personal dan komunal serta
terhindar dari bahaya. Ketaatan tersebut dilakukan dalam cara hidup yang telah
ditentukan. Dalam Perjanjian Lama,
Taurat berisi hukum ritual dan perilaku etis, dan itu semua dianggap langsung
berasal dari Allah. Karena itu, bagi umat Israel, percaya kepada Allah
berarti harus pula ambil bagian dalam kehidupan persekutuan dan
upacara-upacaranya. Allah yang transenden
(di luar segala kesanggupan manusia)
adalah juga Allah yang berkenan merendahkan diri untuk diam di tengah-tengah
umat-Nya. Orang Ibrani percaya bahwa “Kemah Suci” adalah “hadirat Allah” di
tengah-tengah mereka dan pada waktunya Allah diam di Bait-Nya (Keluaran
40:34-38; Bilangan 9:15-23). Allah dipandang sebagai Allah yang menuntut
kebenaran dan keadilan, dan murka-Nya akan ditimpakan kepada mereka yang tidak
taat kepada-Nya.
Dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sangat banyak
kita temukan kesaksian tentang Allah berhubungan dengan materi sebagai simbol karya/penciptaan-Nya, kehadiran-Nya, kasih-Nya, penyertaan-Nya,
perlindungan-Nya, murka-Nya dan penghukuman-Nya. Di sini saya tidak perlu
memberikan banyak contoh sebab YTH dapat
memahami satu dua contoh yang saya sebutkan berikut ini. “Malaikat TUHAN
menampakkan diri kepada Musa di dalam nyala api yang keluar dari semak duri”
(Keluaran 3:2,dyb). Perhatikan Keluaran 4:1-17, bagaimana Allah berhubungan
dengan materi dalam rangka menyatakan kehadiran-Nya, kuasa-Nya, dan
penyertaan-Nya terhadap Musa yang diutus-Nya. Perhatikan pula Keluaran 19:1-25,
bagaimana Allah berhubungan dengan materi dalam menampakkan diri dan kuasa-Nya
kepada Musa. Terlalu banyak untuk mengemukakan semuanya di sini. Dan dalam
terang kesaksian Perjanjian Baru, sesungguhnya percakapan tentang Allah yang
adalah roh, terang, benar, damai sejahtera, sumber pengharapan, kasih, kudus,
sempurna, dan setia itu tidak dapat dipisahkan dari konteks materi, ruang, dan
waktu, karena Allah di dalam Yesus Kristus telah masuk ke dalam sejarah
manusia. Dan di dalam perkembangan sejarah manusia, Yesus Kristus tidak berdiri
sendiri, tetapi Ia—melalui ajaran-Nya maupun kehidupan-Nya—merupakan perwujudan
hakikat dan kehendak Allah yang adalah roh, terang, benar, damai sejahtera,
sumber pengharapan, kasih, kudus, sempurna, dan setia.
Masih pada halaman 2, YTH mengemukakan pernyataan
begini: “Terlepas dari ambiguitas arti
dari masing-masing istilah yang dipakai, doktrin Tritunggal dapat diterangkan
sebagai berikut:” Berkenaan dengan pernyataan YTH ini ada dua hal yang
ingin saya kemukakan. Pertama, kalau
arti sebuah istilah yang dipakai untuk mengungkapkan sebuah konsep sudah ambigu, niscaya orang tidak akan sampai
pada pemahaman yang baik dan benar. Perhatikan uraian tentang arti kata ousia,
ousiān, dan hypostasis, serta trinitas dan Tritunggal yang
telah dikemukakan di atas. Kedua, perlu
ditegaskan lagi bahwa penyebutan doktrin
Tritunggal itu salah. Istilah Tritunggal tidak pernah dipakai untuk
dogma atau doktrin gereja tentang Allah. Kalau
ada teolog (entah dia bergelar doktor maupun profesor) yang menyebut doktrin Tritunggal sehingga YTH mengutip
istilah itu, maka teolog itu telah melakukan kesalahan yang memalukan sekali. Dan
juga memalukan, karena YTH mengutip kesalahan yang dilakukan orang lain sebagai
sebuah kebenaran. Penyebutan istilah yang benar ialah doktrin Trinitas atau ajaran
Trinitas. Dalam bahasa Inggris disebut “Doctrine of the Trinity”. Sedangkan
istilah Tritunggal dipakai untuk menyebut tentang Allah—the triune God (= Allah
Tritunggal [Bapa, Anak, dan Roh Kudus]). Pada halaman 2, 4, 5, dst., YTH tetap
menyebut istilah doktrin Tritunggal. Penyebutan
ini salah, dan memberi petunjuk bahwa memang YTH tidak tahu perbedaan konsepsi
yang tersirat dalam istilah Trinitas dan
Tritunggal.. Mudah-mudahan YTH insaf,
karena orang-orang di luar gereja (yang bukan kristen) akan mengejek: “Ah, bagaimana seorang pendeta, penganut
doktrin Trinitas, yang percaya kepada Allah Tritunggal (Bapa, Anak, dan Roh
Kudus), kok bisa salah menggunakan istilah terkait dengan doktrin gereja yang
dianutnya?!”
Selanjutnya, YTH menerangkan tentang Tritunggal
sebagai berikut:
•
Bapa, Anak dan Roh Kudus adalah setara dalam hakikat di antara ketiganya, tidak
ada yang hakikatnya lebih tinggi atau
lebih rendah.
•
Ketiganya tidak hanya memiliki hakikat yang setara,
tetapi juga hakikat yang satu. Tritunggal tidak mengajarkan adanya “tiga atau banyak Allah” yang bersatu” (triteisme/politeisme).
•
Bapa, Anak dan Roh Kudus adalah pribadi yang berbeda. Hal ini terlihat dengan
jelas pada waktu peristiwa baptisan Yesus (Mat 3:16-17) dan teks-teks lain yang
menunjukkan adanya komunikasi antara
Bapa dan Anak (Yoh 11:41-42).
•
Ketiga pribadi dalam Tritunggal adalah satu Allah dan satu-satunya Allah yang benar. Walaupun dalam dunia ini banyak yang
disebut atau dianggap allah, tetapi bagi kita hanya satu Allah (Ul 6:4; Kel
20:3; 1Kor 8:5; Gal 4:8 (kamu memperhambakan diri kepada allah-allah yang pada
hakikatnya [phusis] bukan Allah).
Doktrin Trinitas yang menjelaskan tentang
Allah Tritunggal secara ringkas sebagaimana dikutip di atas ini sesungguhnya
tidak Alkitabiah, sekalipun ayat-ayat Alkitab dikutip untuk membenarkan doktrin
tersebut. Berikut ini saya akan memberikan beberapa catatan berdasarkan data
ayat-ayat kitab Perjanjian Baru secara komprehensif.
►PERTAMA: Di
dalam keempat kitab Injil, Yesus menggunakan sebutan/sapaan “Bapa” bagi “Allah”, sebanyak 148 kali di dalam
berbagai hubungan. “Bapa” digunakan dalam 61 ayat; “Ya
Bapa” digunakan dalam doa kepada Allah,
dalam 17 ayat; “Bapa-Ku” digunakan
dalam 50 ayat; “Bapamu”, kadang-kadang
“Bapamu yang di surga”, digunakan
dalam 18 ayat; “Bapa kami”, digunakan
dalam “doa Bapa kami” (Matius 6:9; Lukas 11:2).
Secara keseluruhan, sebutan/sapaan “Bapa”
yang ditujukan kepada “Allah” terdapat
kira-kira 300 kali di dalam kitab Perjanjian Baru (Robert Ernest Hume, Ph.D. The World’s Living Religions. New York 1933:251).
Berdasarkan
penjelasan di atas ini, “Bapa” adalah
sapaan/sebutan yang Yesus tujukan kepada
“Allah”. Dalam Yohanes 8:54, Yesus berkata: “……Bapa-Kulah yang
memuliakan Aku, tentang siapa kamu berkata: Dia adalah Allah kami,” Jadi, frasa
yang berbunyi “Bapa-Kulah yang memuliakan Aku,”
sama dengan “Allah-Kulah yang memuliakan Aku”. Dan
kalau Yesus mengajar murid-murid-Nya berdoa: “Bapa kami yang di sorga,” maka sebutan Bapa dalam frasa ini adalah
sebutan yang ditujukan kepada “Allah”. Oleh karena Yesus menyebut “Allah” sebagai “Bapa” dan mengajarkan murid-murid-Nya untuk
berdoa kepada Allah dengan menyebut Allah sebagai Bapa, maka dengan demikian Allah yang omnipoten (mahakuasa) menjadi Bapa (pengayom) yang ideal bagi semua umat manusia (Efesus 3:14-15). Sehingga
Paulus pun menegaskan, “namun bagi kita
hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala
sesuatu dan untuk Dia kita hidup…” (1
Korintus 8:6). Berdasarkan
penghayatan inilah muncul ungkapan “Allah Bapa” (1 Tesalonika 1:1, par.); “Allah, Bapa kita” (1 Korintus
1:3, par.); “Allah dan Bapa kita” (Galatia 1:4, par.). Ya, karena
Yesus sendiri mengatakan bahwa “Allah” adalah “Bapa-Nya” dalam frasa “Bapa-Ku
……Allah-Ku” (Yohanes 20:17), maka “Allah” juga disapa/disebut “Allah
dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus” (Efesus 1:3, par).
Catatan: Pada halaman 2, Doktrin Tritunggal: Penjelasan dan
Pembelaan (6): Bapa Sebagai Allah, YTH mengatakan sebagai berikut: “Jika segala sesuatu – termasuk manusia –
diciptakan oleh Yesus (Yoh 1:3; Kol 1:16), maka Yesus paling tidak layak untuk
disebut sebagai Bapa dalam arti nativistik (band. Kis 17:28). Alkitab pun
pernah menyebut Yesus sebagai Bapa (Yes 9:6 ‘Bapa yang kekal’).” Pernyataan YTH ini menunjukkan bahwa YTH
memiliki pemahaman yang keliru atas kerugma Yohanes 1:3; Kolose 1:16; Kisah
17:28; dan Yesaya 9:6. Baiklah kita simak ayat-ayat tersebut.
(1) Yohanes 1:3: “Segala
sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi
dari segala yang telah dijadikan”. YTH berasumsi ayat ini menyaksikan bahwa
Yesus adalah pencipta segala sesuatu
termasuk manusia. Karena itu, Yesus layak disebut sebagai Bapa. Frasa “Segala sesuatu dijadikan oleh Dia”,
transkripsi teks Gerika, panta di’ autou
egeneto, lebih tepat diterjemahkan: “Segala
sesuatu dijadikan dengan perantaraan Dia…” Kata Gerika dia, yang ditulis di’
di depan autou egeneto, tidak seharusnya diterjemahkan ‘oleh’, melainkan seharusnya diterjemahkan ‘dengan
perantaraan’ (= by the instrumentality of) yang menyatakan ‘bertindak
sebagai perantara’ dan bukannya sebagai ‘pencipta yang orisinal (baca,
Alexander Souter, M.A. A Pocket Lexicon
To The Greek New Testament, Hlm.61, entry
dia.). Kata Gerika dia yang berarti ‘dengan perantaraan’ terdapat juga dalam Matius 1:22: “Hal
itu terjadi supaya genaplah yang difirmankan Tuhan oleh nabi…” (Gerika, dia
tou prophētou, terjemahan yang tepat, ‘dengan perantaraan nabi’). Begitu pula dengan kata Gerika dia dalam 1 Korintus 8:6: “…yang oleh-Nya segala sesuatu telah
dijadikan dan yang karena Dia kita hidup; transkripsi Gerika: di’ hou ta panta kai hēmeis di’ autou. Terjemahan
yang tepat, ‘yang dengan perantaraan-Nya
segala sesuatu telah dijadikan dan dengan perantaraan Dia kita hidup.’
(2) Kolose 1:16, khususnya frasa yang berbunyi ‘…segala sesuatu diciptakan oleh
Dia...’ transkripsi Gerika, ta panta di’
autou, sangat tepat diterjemahkan: ‘segala sesuatu diciptakan dengan
perantaraan Dia.’ Kata Gerika, dia, dapat juga diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris dengan kata through; dan
apabila diterjemahkan dengan by, maka
arti kata by lebih tepat diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia,
dengan perantaraan.
(3) Kisah 17:28. Sangat keliru sekali apabila YTH
berasumsi bahwa Kisah 17:28 merupakan kesaksian Paulus tentang Yesus. Kisah
17:28 harus dicermati hubungannya mulai
dari ayat 22 sampai dengan ayat 31. Di situ Paulus tampil sebagai saksi Kristus
dan pemberita Injil, yang memanfaatkan pengertian-pengertian keagamaan dan
kebudayaan orang-orang Atena (namun tidak menyembahnya) untuk bersaksi tentang ‘Allah yang diimaninya di dalam Yesus
Kristus, yaitu Allah yang tidak dikenal oleh orang-orang Atena (ayat 23),
yang telah menjadikan bumi dan segala
isinya, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi…(ayat 24), yang memberikan hidup
dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang (ayat 25), yang dari satu orang
saja [yaitu Adam] Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk
mendiami seluruh muka bumi dan Ia telah menentukan musim-musim bagi mereka dan
batas-batas kediaman mereka (ayat 26), supaya mereka mencari Dia dan
mudah-mudahan menjamah dan menemukan Dia, walaupun Ia tidak jauh dari kita
masing-masing (ayat 27); sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita
ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini
dari keturunan Allah juga (ayat 28).
Dengan
melakukan kesaksian dan pemberitaan tentang Allah yang diimani di dalam Yesus
Kristus dengan memanfaatkan pengertian-pengertian keagamaan dan kebudayaan
orang-orang Atena seperti itulah, maka Paulus mulai mengarahkan perhatian
orang-orang Atena untuk menginsafi kesia-siaan peribadatan mereka untuk datang
kepada pertobatan (ayat 29-30), karena Allah telah menetapkan suatu hari di
mana Ia dengan adil akan menghakimi dunia dengan perantaraan seorang yang
telah ditentukan-Nya, sesudah Ia memberikan kepada semua orang suatu bukti
tentang hal itu dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati (ayat 31).
Camkan baik-baik: kesaksian Paulus tentang Yesus dan kebangkitan-Nya, serta
peranan-Nya sebagai hakim akhir zaman, baru dinyatakan secara tersirat (tanpa
menyebut nama Yesus) dalam ayat 31. Sementara kesaksian Paulus mulai ayat 22
sampai 29 adalah tentang ‘Allah yang
diimani di dalam Yesus Kristus’ dengan bertolak dari ‘Allah yang tidak dikenal’
yang tertulis pada sebuah mezbah (ayat 23). Dengan demikian, sungguh sangat
keliru apabila YTH berasumsi bahwa Kisah 17:28 menyaksikan tentang Yesus,
sehingga Yesus dapat disebut sebagai Bapa dalam arti nativistik.
(4) Yesaya 9:5:
“Sebab seorang anak telah lahir untuk
kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di
atas bahunya, dan namanya disebut orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa,
Bapa yang Kekal, Raja Damai.” Ayat
ini diadopsi sebagai nubuat mesianik yang digenapi oleh Yesus. YTH mengutip
ayat ini untuk mengukuhkan asumsinya tentang Yesus disebut sebagai Bapa. Perlu
diperhatikan bahwa pemahaman atas Yesaya
9:5 harus dikaitkan dengan ayat 6, sebab ayat 5 dan 6 itu merupakan suatu
kesatuan. Benarkah Yesaya 9:5-6 itu merupakan nubuat mesianik yang digenapi
oleh Yesus? Jawab saya tegas: tidak. Yesaya
9:5-6 itu adalah nubuat mesianik politis berkenaan dengan seorang raja yang dinanti-nantikan kedatangannya untuk
duduk di atas takhta Daud guna memerintah bangsa Israel. Yesus tidak datang ke dunia untuk
menggenapi nubuat mesianik politis itu! Perhatikan sikap Yesus
sebagaimana tertulis dalam Yohanes 6:14-15: “Ketika
orang-orang itu melihat mujizat yang telah diadakan-Nya, mereka berkata: ‘Dia
ini adalah benar-benar Nabi yang akan datang ke dalam dunia’. Karena Yesus
tahu, bahwa mereka hendak datang dan hendak membawa Dia dengan paksa untuk
menjadikan Dia raja, Ia menyingkir pula ke gunung, seorang diri.” Ayat ini
jelas menunjukkan bahwa Yesus bukan datang ke dunia untuk memenuhi nubuat
mesianik politis Yesaya 9:5-6 (par). Yesus datang ke dunia untuk memenuhi nubuat
mesianik Hamba TUHAN yang menderita sebagaimana tertulis dalam Yesaya 53 (par).
Dengan demikian, menyebut Yesus dengan sebutan Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai, adalah
salah kaprah yang telah berabad-abad disebarluaskan melalui doktrin gereja!.
►KEDUA: Tentang “Anak”. Di dalam keempat
kitab Injil dan keseluruhan kitab Perjanjian Baru, Yesus disebut “Anak Allah Yang Mahatinggi” (Lukas
1:32); “kudus, Anak Allah” (ayat 35);
“Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan
Bapa” (Yohanes 1:18). Sesudah Yesus
dibaptis, terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan: “Inilah Anak-Ku
yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan” (Matius 3:17, par.). Yesus
sendiri menyaksikan tentang diri-Nya sebagai Anak (Yohanes 5:1-19-26,
dyb). Dan perlu dicamkan bahwa di dalam keempat Injil dan keseluruhan kitab
Perjanjian Baru, tidak terdapat satu ayat pun yang menyebut Yesus sebagai “Allah
Anak”. Sebutan Allah Anak yang dikenakan kepada
Yesus dikembangkan dalam teologi kristen berdasarkan analogi (yang keliru). Karena
di dalam Perjjanjian Baru ada sebutan Allah Bapa, maka Yesus sebagai Anak disebut Allah Anak, begitu pula Roh
Kudus disebut Allah Roh Kudus. Padahal,
kenyataannya di dalam Perjanjian Baru tidak terdapat satu ayat pun yang
menyebut Allah Anak dan Allah Roh Kudus.
Gelar Anak Allah di dalam alam kepercayaan
Yahudi, erat hubungannya dengan mesias. Di dunia Timur memang tidak
asing bahwa raja itu diakui sebagai anak Allah. Dalam kitab 2 Samuel
7:12-14, TUHAN berkata dengan
perantaraan nabi Natan kepada Daud: “… maka
Aku akan membangkitkan keturunanmu yang kemudian, anak kandungmu, dan Aku akan
mengokohkan kerajaannya. Dialah yang akan mendirikan rumah bagi nama-Ku dan Aku
akan mengokohkan takhta kerajaannya untuk selama-lamanya. Aku akan menjadi Bapanya, dan ia akan menjadi anak-Ku. …”
Pada waktu penobatan raja, biasa ada pernyataan ilahi
yang berbunyi: “Pada hari ini Aku (Allah)
memperanakkan engkau.” Pernyataan
ilahi pada waktu penobatan raja seperti ini masih dapat dikenali bunyi
pernyataannya dalam Mazmur 2:7: “…
ketetapan TUHAN; Ia berkata kepadaku: ‘Anak-Ku engkau! Engkau telah
Kuperanakkan pada hari ini.” Pengertian seperti ini masih tersimpan dalam
tradisi cerita pembaptisan Yesus. Pada saat pembaptisan Yesus itu terdengar
suara dari surga yang menyatakan: “Engkaulah
Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan” (Markus 1:11, par.),
begitu juga ketika Yesus dimuliakan di atas gunung (Matius 17:5.); dan
kesaksian Paulus tentang Yesus (Kisah 13:32-34). Anak Allah di sini adalah
Mandataris dari
Allah. Mandataris artinya
‘orang yang menerima (diserahi, menjalankan) mandat. Dan ‘mandat’ itu sendiri
artinya ‘kekuasaan untuk melakukan kewenangan kekuasaan dari pihak yang
memberikan mandat’. (baca, Yohanes 5:19-43; par.). Seperti itulah kedudukan
dan kewibawaan Yesus, karena itu Yesus mempunyai kuasa Ilahi sehingga roh-roh jahat takut kepada-Nya (Markus 3:11;
5:7-8). Demikianlah Yesus adalah Anak
Allah. Kemudian, di lingkungan alam Yunani lebih berkembanglah
pengertian Anak Allah secara metafisik (Matius 1:18-25; Lukas 1:26-38).
Pengertian Anak Allah secara metafisik yang khas diwarnai filsafat Heraklitus,
tersirat dalam Injil Yohanes 1:1-18 (Baca, tulisan saya berjudul “Logos”).
Garis pengertian metafisik ini semakin nyata pada abad-abad berikut sesuai
dengan perkembangan kepercayaan Kristen ke daerah-daerah kebudayaan Yunani,
seperti tampak dalam Konsili Nicea tahun 325 M, dimana kedudukan ilahi yang
pasti diberikan kepadaYesus.
Catatan: Dalam Doktrin Tritunggal: Penjelasan dan Pembelaan (8):
Keilahian Yesus: Gelar “Anak Allah”, mulai dari halaman 1-6, YTH menjelaskan
tentang ‘Yesus sebagai Anak Allah; dan sebutan Anak Allah untuk Yesus menyiratkan
kesetaraan dengan Allah’. Pada halaman 2, YTH mengemukakan sanggahannya
terhadap konsepsi tentang Anak Allah menurut
kaum non-Trinitarian.. Namun sayangnya, sanggahan YTH sangat lemah, padahal
konsepsi tentang Anak Allah dari kaum
non-Trinitarian yang dikutip YTH itu sangat rancu. YTH tidak mengemukakan latar
belakang konsepsi tentang Anak Allah sebagaimana
saya kemukakan di atas.
Pada
halaman 3 YTH mengatakan bahwa sebutan
Anak Allah untuk Yesus menyiratkan kesetaraan dengan Allah. Ini merupakan
pandangan kaum ortodoks dan kaum fundamentalis ekstrem pada umumnya, yang
biasanya merujuk pada Yohanes 10:30: “Aku
dan Bapa adalah satu”; Yohanes
10:38: “Bapa di dalam Aku dan Aku di
dalam Bapa”; Yohanes 14:10: “…Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku…”
Akan tetapi dengan ayat-ayat itu Yesus sesungguhnya tidak menyetarakan diri-Nya dengan Allah. Ayat-ayat itu
hanya mau menegaskan tentang “persatuan
dan keselarasan hubungan timbal balik yang esensial antara Yesus (Anak) dan
Allah (Bapa). Mengenai topik ini, baca tulisan saya, “Yohanes 10:30”
(“Menyiasati Tanggapan Balik Pdt. Budi Asali, M.Div., dan Esra Alfred Soru,
S.Th., Atas Tanggapan A. G. Hadzarmawit Netti”, halaman 40-46).
Yesus tetap menyadari
diri-Nya sebagai Anak yang diutus
oleh Bapa, yaitu Allah (Yohanes 3:33-35; 5:19-43); Yesus tetap menyadari bahwa Ia tidak dapat berbuat apa-apa dari diri-Nya
sendiri, dan tidak menuruti kehendak-Nya sendiri, melainkan kehendak Dia (Bapa)
yang mengutus-Nya (Yohanes 5:30; 8:28-29; 12:4-50). Yesus tetap menyadari bahwa
segala pekerjaan yang diserahkan Bapa kepada-Nya supaya dilaksanakan, itulah
yang dikerjakan-Nya (Yohanes 5:36;14:31). Yesus tetap menyadari eksistensinya,
bahwa Bapa lebih besar dari pada-Nya sebagai Anak (Yohanes 14:28). Dalam
ilustrasi yang lain Yesus berkata: “Seorang
hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya, ataupun seorang utusan dari pada
dia yang mengutus” (Yohanes 13:16). Berdasarkan ayat ini, “Bapa” yang mengutus
lebih besar dari pada “Anak” yang diutus. Dan Allah yang Mahakudus lebih besar
dari pada Yesus, Hamba Allah yang kudus (baca, Kisah Para Rasul 4:27,30, dimana
Yesus disebut ‘Hamba-Mu [Hamba Allah] yang kudus’). Dan oleh karena Allah (Bapa) lebih besar dari Yesus (Anak), maka
Paulus berkata, “…Kepala dari Kristus
ialah Allah” (1 Korintus 11:3); “Kristus adalah milik Allah” (1 Korintus 3:23);
“……maka Ia (Kristus Yesus) sendiri sebagai Anak
akan menaklukkan diri-Nya di
bawah Dia (Allah), yang telah
menaklukkan segala sesuatu di bawah-Nya, supaya Allah menjadi semua di dalam semua” (1 Korintus 15:28).
Namun lucunya, YTH tetap
bersikukuh bahwa Yohanes 5:19-24
memberikan indikasi kuat tentang kesetaraan antara Yesus dan Bapa. Empat butir
alasan yang YTH kemukakan, akan saya uji kebenarannya . (1) Anak melakukan apa saja yang dilakukan oleh Bapa (ayat
19b). Untuk mampu melakukan apa saja yang dilakukan Bapa, maka Yesus harus
memiliki kuasa yang setara dengan Bapa. Begitulah kata YTH. Sayang sekali bahwa
YTH melangkaui pernyataan Yesus yang berbunyi: “Anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari dirinya sendiri, jikalau
tidak Ia melihat Bapa mengerjakannya…” (ayat 19a); “Aku tidak dapat berbuat
apa-apa dari diri-Ku sendiri;…” (ayat 30a); “Aku tidak menuruti kehendak-Ku
sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku,” (ayat 30c); “segala
pekerjaan yang diserahkan Bapa kepada-Ku, supaya Aku melaksanakannya. Pekerjaan
itu juga yang Kukerjakan sekarang, dan itulah yang memberi kesaksian tentang
Aku, bahwa Bapa yang mengutus Aku” (ayat 36).
Catatan: YTH
mengatakan bahwa LAI:TB tidak menerjemahkan kata ha……tauta yang seharusnya diterjemahkan “apa saja”. Lihat semua
versi Inggris. Perlu YTH ketahui bahwa terjemahan versi Good News Bible dan
Today’s English Version berbunyi begini: “…What
the Father does, the Son also does” (Apa yang Bapa kerjakan, Anak juga
kerjakan). Transkripsi teks Gerika begini: ha gar ekeinos poiē(i), tauta kai ho huios homoiōs poiei. Terjemahan
harafiah dari saya: “Karena apa yang
dikerjakan (Bapa), seperti itu juga Anak kerjakan.” Dalam teks Gerika, tidak ada kata yang berarti
“saja” yang YTH katakan tidak
diterjemahkan oleh LAI:TB. Rupanya YTH harus mencamkan kesaksian Petrus yang
dipenuhi Roh Kudus di hari
Pentakosta: “Hai orang-orang Israel,
Dengarlah perkataan ini: Yang kumaksudkan,
ialah Yesus dari Nazaret, seorang yang telah ditentukan Allah dan yang
dinyatakan kepadamu dengan kekuatan-kekuatan dan mujizat-mujizat dan
tanda-tanda yang dilakukan Allah dengan perantaraan Dia di tengah-tengah kamu,
seperti yang kamu tahu.”
(2) Anak memberi hidup
kepada barangsiapa yang dikehendaki-Nya (ayat 21). Otoritas ini setara dengan
otoritas Bapa (band. “sama seperti Bapa membangkitkan orang mati dan
menghidupkannya…”). Bukan hanya itu, Anak juga memiliki kebebasan penuh untuk
menghidupkan barangsiapa yang dikehendaki-Nya. Begitulah keyakinan YTH. Saya
heran, mengapa YTH tidak memperhatikan ayat 20 yang berbunyi: “Sebab Bapa mengasihi Anak dan Ia
menunjukkan kepada-Nya segala sesuatu yang dikerjakan-Nya sendiri, bahkan Ia
akan menunjukkan kepada-Nya pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar lagi dari pada
pekerjaan-pekerjaan itu, sehingga kamu menjadi heran.” Ayat 21 terkait erat dengan ayat 20,
sebagaimana ayat 20 terkait erat dengan ayat 19. Pendek kata, Yohanes 5:19
sampai dengan ayat 47 berisi satu rangkaian kesatuan kerugma yang harus
diperhatikan secara komprehensif. Dan apabila ayat 20 secara cermat dipertimbangkan
sesuai ruang dan waktunya ketika ayat itu diucapkan oleh Yesus—“pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari
pada pekerjaan-pekerjaan yang telah dikerjakan oleh Yesus, belum diserahkan
oleh Allah (Bapa) kepadaYesus—maka bukankah
ini memberi petunjuk bahwa Bapa lebih
besar dari pada Anak, seperti kata
Yesus dalam Yohanes 14:28?
(3) Anak menjalankan
penghakiman atas semua manusia (ayat 22). Pernyataan ini menyiratkan kesetaraan
dengan Bapa, karena bagi orang Yahudi, Hakim seluruh bumi adalah Allah (Kej
18:25). Dalam tulisan para rabi disebutkan bahwa hak ini merupakan prerogatif
Allah yang tidak akan diberikan kepada siapapun, termasuk mesias. Begitulah
kata YTH. Sayang sekali bahwa YTH tidak melihat hubungan antara ayat 22 dengan ayat
27 yang berbunyi: “Dan Ia [Allah] telah
memberikan kuasa kepada-Nya [= Anak] untuk menghakimi, karena Ia [= Anak]
adalah Anak Manusia”. Selain itu, mengapa YTH lupa kesaksian Petrus: “Dan Ia telah menugaskan kami memberitakan
kepada seluruh bangsa dan bersaksi, bahwa Dialah [= Yesus] yang ditentukan
Allah menjadi Hakim atas orang-orang yang hidup dan orang-orang mati” (Kisah
10:42; juga kesaksian Paulus dalam Kisah 17:31; dyb.).YTH mengatakan bahwa
dalam tulisan para rabi disebutkan bahwa hak menghakimi merupakan prerogatif
Allah yang tidak akan diberikan kepada siapapun, termasuk kepada mesias. Saya
tidak tahu tulisan rabi-rabi mana yang dirujuk oleh YTH. Tetapi saya persilakan
YTH membaca kesaksian Petrus dalam Kisah 10:43: “Tentang Dialah semua nabi bersaksi, bahwa barangsiapa percaya
kepada-Nya, ia akan mendapat pengampunan dosa oleh karena nama-Nya.” Ayat ini harus dipahami dalam kaitannya dengan
ayat 42b yang berbunyi: “…bahwa Dialah
yang ditentukan Allah menjadi Hakim atas orang-orang hidup dan orang-orang
mati.” Dengan demikian, Allah yang
memiliki hak prerogatif telah melimpahkan kuasa-Nya kepada Yesus untuk menjadi
Hakim atas orang-orang hidup dan orang-orang mati.
(4) Anak dan Bapa
menerima penghormatan yang sama (ayat 23). Kesimpulan yang dibuat oleh YTH atas
ayat 23 ini, sangat salah. Perhatikan
baik-baik. “Ayat 23a merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ayat 22. Jadi,
ayat itu harus dibaca begini: “Bapa tidak
menghakimi siapapun, melainkan telah menyerahkan penghakiman itu seluruhnya kepada
Anak, supaya semua orang menghormati Anak sama seperti mereka
menghormati Bapa.” Setelah kalimat panjang ini diucapkan, barulah ada tanda
titik (.) Baru dilanjutkan lagi dengan ayat 23b: “Barang siapa tidak menghormati Anak, ia juga tidak menghormati Bapa,
yang mengutus Dia.” Ayat 22-23a itu
merupakan suatu pemberitahuan atau pemakluman disertai suatu pengharapan. Apakah gerangan pemberitahuan atau pemakluman itu? Ini: “Bapa tidak menghakimi siapapun, melainkan
telah menyerahkan penghakiman itu seluruhnya kepada Anak.” Lalu, apakah pengharapan yang disertakan dengan pemberitahuan atau pemakluman itu? Ini: “supaya
semua orang menghormati Anak sama seperti mereka menghormati Bapa.” Perhatikan: kata supaya yang terdapat
di bagian depan kalimat ini adalah “kata penghubung untuk menandai tujuan atau
harapan” yang bersinonim dengan kata “agar
hendaknya”. Jadi makna ayat 22-23a
itu begini: “Karena Bapa tidak menghakimi
siapapun, melainkan Bapa telah menyerahkan penghakiman itu seluruhnya kepada
Anak, agar hendaknya semua orang
menghormati Anak sama seperti mereka menghormati Bapa.” Jadi, ayat 22-23a itu belum menunjukkan bahwa semua orang sudah menghormati Anak seperti
penghormatan yang semua orang sudah berikan kepada Bapa, melainkan barulah
merupakan suatu pengharapan belaka.
Berdasarkan uraian di atas ini, seluruh asumsi YTH berkenaan dengan ayat 23
sebagaimana dikemukakan pada butir 4 itu saya gugurkan.
Berkenaan dengan asumsi
YTH seputar Markus 14:61-63 (Matius 26:63-65) pada halaman 5 Doktrin Tritunggal:
Penjelasan dan Pembelaan (8): Keilahian Yesus: Gelar “Anak Allah”, saya
langkaui saja karena tidak relevan. Saya akan beralih ke halaman 6 untuk
menyiasati asumsi YTH tentang Yohanes
20:31. Untuk itu, ayat 31 perlu dikutip di sini: “tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu
percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu
memperoleh hidup dalam nama-Nya.” Berkenaan dengan ayat ini, YTH berkata: dalam teks ini Yohanes memberitahukan tujuan
injilnya, yaitu untuk meyakinkan bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah. Apa
yang dikatakan oleh YTH ini benar. Lebih tegas lagi, Yohanes 20:31 itu
merupakan pernyataan yang bersifat afirmasi. Afirmasi artinya penegasan, peneguhan, penetapan
yang positif, pernyataan atau pengakuan yang sungguh-sungguh. Frasa-frasa
dalam ayat 31 yang memberi petunjuk bahwa ayat itu merupakan suatu afirmasi
, yaitu frasa yang berbunyi: tetapi
semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya”; dan partikel
penegas untuk mengungkapkan penegasan, yaitu -lah, yang ditempatkan
di belakang nama Yesus, pada frasa
yang berbunyi: bahwa Yesus-lah Mesias, Anak Allah.
Sehingga ayat ini apabila diparafrase akan berbunyi: bahwa Yesus sungguh-sungguh Mesias, Anak Allah.
Perlu diperhatikan bahwa ayat 31 itu merupakan catatan penutup atau simpulan
akhir dari Yohanes pasal 20 yang
mengisahkan tentang kebangkitan Yesus; penampakan diri Yesus kepada Maria
Magdalena; penampakan diri Yesus kepada murid-murid-Nya; dan penampakan diri
Yesus kepada Thomas.
Dalam penampakan diri
kepada Maria Magdalena, terjadi suatu percakapan yang sangat mendasar yang
diucapkan Yesus kepada Maria Magdalena: “…sekarang
Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapa-mu, kepada Allah-Ku dan Allahmu.” Pernyataan Yesus ini memberi petunjuk secara
jelas dan tegas bahwa Yesus tetap
menyadari eksistensi-Nya sebagai Anak,
dan Allah
sebagai Bapa. Dengan
demikian, Yesus adalah Anak Allah.
Ketika
Yesus menampakkan diri kepada Thomas, dalam keheranan/ketakjuban yang luar
biasa Tomas berkata kepada Yesus: “Ya
Tuhanku dan Allahku!” Apakah jawaban
Thomas ini memberi petunjuk bahwa Yesus adalah Allah? Tidak demikian! Bacalah
tulisan saya berjudul “Pengakuan Tomas”. Jikalau benar
Yesus adalah Allah sebagaimana kata
Thomas, niscaya penulis Injil Yohanes akan memberi catatan penutup atas Yohanes
pasal 20 dengan mengukuhkan pernyataan Thomas bahwa Yesus adalah Allah.
Ternyata penulis Injil Yohanes secara tegas mengafirmasi: “bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah…”
Untuk mempertahankan asumsi bahwa Yesus adalah Allah, YTH merujuk pada
Yohanes 1:1. Ini memberi petunjuk bahwa YTH menjunjung pandangan ortodoks
secara buta. Yohanes 1:1 itu menyaksikan tentang “pra-eksistensi Yesus yang pada mulanya sebagai logos”. Dimana disaksikan bahwa logos itu bersama-sama
dengan Allah dan logos adalah Allah. Tetapi bukankah logos
itu telah menjadi manusia (Yohanes 1:14); dan untuk
menjadi manusia maka logos
yang ada dalam rupa Allah itu telah mengosongkan diri-Nya
sendiri dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia
(Filipi 2:6-7); dan manusia itu bernama Yesus dari Nazaret yang dinobatkan sebagai Anak
Allah ? Bukankah setelah
kebangkitan dan kenaikan ke surga, “Yesus tetap sebagai Anak Allah yang duduk
di sebelah kanan Allah?” Hendaknya YTH ingat bahwa setelah kebangkitan,
Yesus
tidak naik ke surga untuk berada kembali sebagai Logos. Bahkan berkenaan
dengan kedatangan Yesus yang kedua kalinya pada akhir zaman, Yesus lebih
menyukai sebutan bagi diri-Nya sebagai Anak
Manusia, yang akan datang pada kesudahan zaman sebagai raja dan hakim
untuk menghakimi semua orang yang hidup dan yang mati.
►KETIGA: “Roh Kudus” adalah “Kuasa Ilahi yang timbul (keluar) dari
kehidupan adikodrati Allah yang berhubungan langsung dengan manusia.” Dalam Perjanjian Lama hanya terdapat tiga ayat
yang secara transparan menyebut “Roh
Kudus”, yaitu Yesaya 63:10: “Tetapi
mereka memberontak dan mendukakan Roh
Kudus-Nya; …” Yesaya 63:11: “……
Di manakah Dia yang menaruh Roh
Kudus-Nya dalam hati mereka;” Mazmur 51:13: “…… dan janganlah mengambil roh-Mu
yang kudus dari padaku!”
“Roh Kudus” yang merupakan “Kuasa Ilahi yang
timbul (keluar) dari kehidupan adikodrati Allah yang berhubungan langsung
dengan manusia”, di dalam kitab Injil, terbaca dalam Matius 1:18: “Kelahiran Yesus Kristus adalah seperti
berikut: Pada waktu Maria, Ibu-Nya, bertunangan dengan Yusuf, ternyata ia
mengandung dari Roh Kudus, sebelum
mereka hidup sebagai suami isteri.” Lukas 1:35: “Jawab malaikat itu kepadanya: ‘Roh
Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi
engkau’ ……” Dan juga tentang
kelahiran Yohanes, malaikat Tuhan berkata kepada Zakharia: “Sebab ia akan besar di hadapan Tuhan dan ia tidak akan minum anggur
atau minuman keras dan ia akan penuh
dengan Roh Kudus mulai dari rahim
ibunya.” Selanjutnya, ketika Yesus
dibaptis, “…… turunlah Roh Kudus dalam rupa burung merpati ke
atas-Nya”. Penulis kitab Injil Matius menyebut Roh Kudus dengan sebutan Roh
Allah; penulis kitab Injil Markus menyebut Roh Kudus dengan sebutan Roh. Penulis kitab Injil Yohanes 1:33
mengatakan: “Jikalau engkau melihat Roh itu turun ke atas seseorang dan
tinggal di atas-Nya, Dialah itu yang akan membaptis dengan Roh Kudus.” Jadi, Roh Kudus dapat disebut Roh, atau Roh Allah, yang tidak
lain dan tidak bukan adalah “Kuasa Ilahi
yang timbul (keluar) dari kehidupan adikodrati Allah yang berhubungan langsung
dengan manusia” sebagaimana telah dikatakan di atas. Dengan “Kuasa Ilahi…” inilah, yaitu
Roh Kudus, atau Roh Allah¸ Yesus mengusir setan
(Matius 12:28; Lukas 11:20). Siapa yang menentang Roh Kudus tidak akan
diampuni (baca: Matius 12:32). Mengapa? Sebab menentang Roh Kudus sama artinya
dengan menentang Allah sendiri, karena Roh Kudus adalah “Kuasa
Ilahi yang timbul (keluar) dari kehidupan adikodrati Allah yang berhubungan
langsung dengan manusia.”
Yesus yang telah berada dalam kehidupan supernatural setelah
kebangkitan, dapat memberikan Roh Kudus kepada murid-murid-Nya dengan
cara menghembusi murid-murid-Nya (Yohanes 20:22). Dan pada hari Pentakosta, Roh
Kudus memenuhi murid-murid Yesus (Kisah 2:4), setelah tiba-tiba turun
dari langit suatu bunyi seperti tiupan angin keras yang memenuhi seluruh rumah,
dimana murid-murid Yesus berada, dan tampak lidah-lidah seperti nyala api yang
bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing (Kisah 2:2-3). Petrus dan
Yohanes menumpangkan tangan di atas
orang-orang Samaria
yang telah menerima firman Allah dan yang telah dibabtis dalam nama Tuhan Yesus,
lalu mereka menerima Roh Kudus (Kisah 8:14-17).
Penulis kitab Injil Yohanes mempergunakan kata Gerika paraklētos
untuk mempersonifikasi (mengumpamakan Roh Kudus seolah-olah bertindak sebagai manusia) atau
mengantropomorfisme (=mengenakan ciri-ciri manusia kepada) Roh Kudus (Yohanes 14:26, dyb.).
Dengan demikian, Roh Kudus yang adalah “Kuasa
Ilahi yang timbul (keluar) dari kehidupan adikodrati Allah yang berhubungan
langsung dengan manusia”, yang oleh penulis kitab Injil Yohanes disebut Paraklētos
itu artinya: seorang yang menaruh simpati terhadap yang lain; seorang
yang bersedia menolong terhadap yang lain (one who speaks in favour of
another); seorang yang berdoa atau menyampaikan permohonan untuk orang lain (an
intercessor); penolong (helper [Yohanes 14:16]); penghibur (consoler [Yohanes 14:26; 16:7]). Roh Kudus itu juga disebut Roh
Kebenaran (Yohanes 14:17; 16:13).
Roh
Kudus yaitu Roh Kebenaran itu tidak akan berkata-kata dari dirinya sendiri,
tetapi segala sesuatu yang didengarnya itulah yang akan dinyatakan-Nya…; Roh
Kudus yaitu Roh Kebenaran akan memuliakan Yesus (Anak), sebab Ia akan
memberitakan apa yang diterimanya dari Yesus (Anak). Segala sesuatu yang Bapa
(Allah) punya, adalah juga Anak (Yesus) punya; sebab itu Yesus berkata: Ia ( Roh
Kudus atau Roh
Kebenaran) akan memberitakan apa yang diterimanya dari Yesus (baca,
Yohanes 16:12-15).
Memperhatikan tiga butir catatan di atas inilah kita
harus memahami pernyataan Yesus sebagaimana dicatat oleh penulis Injil Matius: “Karena itu pergilah, jadikanlah semua
bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,” (Matius 28:19). Dalam
ayat ini Yesus menegaskan tiga nama yang diistimewakan
benar-benar dalam pembaptisan. Pertanyaan yang patut direnungkan dan dijawab
sekarang ialah: siapakah Bapa? Siapakah Anak? Siapakah Roh Kudus? Dengan
memperhatikan ketiga butir penjelasan di atas maka jawabannya: Bapa adalah
sebutan untuk Allah, yang dalam Yohanes 17:3, Yesus saksikan sebagai satu-satunya Allah yang benar. Anak adalah
sebutan untuk Yesus. Dan Roh Kudus adalah sebutan untuk “Kuasa Ilahi yang timbul (keluar) dari
kehidupan adikodrati Allah yang berhubungan langsung dengan manusia.” Ini
berarti: Bapa, Anak, dan Roh Kudus beda satu dengan lain. Bapa bukan Anak,
karena Bapa adalah Allah yang disebut sebagai Bapa oleh Yesus sebagai Anak. Anak bukan
Bapa dan juga bukan Allah, karena Anak adalah Yesus yang
disebut Anak. Dan Roh Kudus bukan Bapa dan bukan Allah; Roh Kudus juga bukan Anak dan juga bukan Yesus yang disebut Anak; melainkan Roh Kudus adalah
Kuasa Ilahi yang timbul (keluar) dari kehidupan adikodrati Allah yang
berhubungan langsung dengan manusia. Bahkan
ketika Yesus berada dalam kehidupan supernatural setelah kebangkitan,
Yesus memberikan Roh Kudus kepada
murid-murid-Nya dengan cara menghembusi murid-murid-Nya (Yohanes 20:22). Jikalau
demikian, hanya ada satu Allah yang disebut Bapa. Dan Yesus bukan Allah melainkan
Anak
Allah. Serta Roh Kudus bukan Allah melainkan
Kuasa
Ilahi yang timbul (keluar) dari kehidupan adikodrati Allah yang berhubungan
langsung dengan manusia.
Berdasarkan tinjauan di atas inilah pada tahun 2001, ketika Tuhan menuntun saya
untuk mengalami pertobatan pada usia yang keenam puluh tahun, Roh Kudus mengilhami saya untuk berkata
begini: “ALLAH Yang Esa—dalam karya
penciptaan, penebusan, dan penyelamatan, menyatakan diri dan penyertaan-Nya
dalam citra Bapa sebagaimana diperkenalkan oleh Yesus sebagai Anak-Nya,
dan Roh Kudus sebagai Penolong, yang menyertai setiap orang percaya
sampai kesudahan zaman.” Dan inilah inti
doktrin Trinitas yang saya anut.***
Ada link naskahnya Pak?
BalasHapus