Oleh:
A. G. Hadzarmawit Netti
YANG menjadi pertanyaan untuk direnungkan berkenaan
dengan judul tulisan ini ialah: “Apakah sastra itu bermanfaat sehingga minat
sastra generasi muda di daerah NTT perlu ditumbuhkembangkan?”
Sastra
Untuk mendefinisikan sastra secara tepat barangkali
tidak mungkin (Edward Sapir, 1949:21). Perhatikanlah beberapa definisi sastra
yang dikutip oleh Rachmat Djoko Pradopo dalam bukunya Prinsip-Prinsip Kritik Sastra (1994:32-36). Namun demi kepentingan
penyajian tulisan ini, saya akan mengutip tiga kesimpulan tentang sastra untuk
dijadikan sebagai patokan pemerian.
Pertama,
“Sastra—sebagai suatu pengungkapan baku dari apa yang telah disaksikan orang
dalam kehidupan, apa yang telah dialami orang tentang kehidupan, apa yang telah
dipermenungkan, dan dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan yang paling
menarik minat secara langsung lagi kuat—pada hakikatnya adalah suatu
pengungkapan kehidupan lewat bentuk bahasa” (W.H. Hudson, 1961:10). Kedua, “Sastra ialah ciptaan manusia
yang dapat membangun imaji tertentu yang dapat memberi kesan terhadap orang
lain” (M.S. Hutagalung, 1971:22). Ketiga,
“Sastra adalah hasil usaha manusia (sastrawan) dalam mencoba mengungkapkan
misteri dan kemungknan-kemungkinan dari eksistensi kehidupan manusia. Dengan
mempergunakan kata-kata atau bahasa sebagai alat, sastrawan membuat visinya lebih jelas bagi dirinya
sendiri dan juga bagi orang lain” (A.G. Hadzarmawit Netti, 1977:27).
Ketiga kesimpulan tentang sastra di atas menunjukkan
bahwa sastra lahir dari subjektivitas seorang sastrawan, yaitu keutuhannya
sebagai pribadi manusia yang mengalami/mengamati dunia kehidupan yang diliputi
misteri dan kemungkinan-kemungkinan. Dengan demikian, sastra bertumbuh pada dan
lahir dari keseluruhan kemanusiaan seorang sastrawan: baik pancaindera, imajinasi,
intelek, cinta, napsu, naluri, darah dan roh.
Mengenai faktor subjektivitas seorang sastrawan yang
menjadi pusat lahirnya sastra, Rudolf Otto menjelaskan sebagai berikut:
“Seorang sastrawan memiliki ‘sense of mystery’ yaitu perasaan, kesadaran,
indera yang melampaui perasaan, kesadaran dan indera manusia biasa. Selain itu,
sastrawan juga memiliki ‘religious experience’ yaitu pengalaman eksistensial
yang meliputi seluruh keadaan manusia. Dengan pengalaman eksistensial ini
sastrawan sebagai visioner sanggup melihat dalam pluralitas dan kompleksitas
alam kabir (makrokosmos), suatu kesatuan. Dan dengan ‘sense of mystery’,
sastrawan digugah dan didorong untuk membahasakan segala sesuatu yang
dilihat,dialami dan dirasakan untuk dirinya sendiri dan juga untuk orang lain
sesamanya” (Das Heilige 1917. John W. Harvey, 1959: 23,26).
Dengan ‘sense of mystery’ dan ‘religious experience’
itulah, Ronggowarsito berkata: “Seorang sastrawan senantiasa prihatin turut
memikirkan dunia. Sastrawan senantiasa mencari arti dari yang ada, memikirkan
suka duka manusia yang kompleks. Sastrawan bukan orang yang pandai memainkan
kata-kata melainkan orang yang merenung, orang yang lebih sadar akan misteri
dunia dan mampu mengatakannya dengan tepat” (Th. Koendjono, SJ. Agama dan Sastra, 1971:47). Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa sastra sebagai seni merupakan rekaman isi jiwa
sastrawan yang mengenal, mengalami dan merangkul dunia kehidupan yang diliputi
misteri dan kemungkinan-kemungkinan. Sastra sebagai rekaman isi jiwa sastrawan
sebagaimana dikatakan di atas ini merupakan ekspresi dan interpretasi
kehidupan, dan sekaligus merupakan dialog.
Apakah
sastra itu bermanfaat?
Mengenal, menikmati, dan menjalani pengalaman sastra
dari hasil bacaan setumpukan buku-buku sastra memang tidak punya kegunaan
praktis yang langsung. Pengenalan, pemahaman, dan pengalaman sastra tidak
serta-merta menjadikan seseorang terampil dan dapat menerapkan pengalaman
sastranya itu dalam mengerjakan suatu pekerjaan. Namun demikian manfaat sastra
itu ada. Manfaat sastra terkait dengan perkembangan daya-daya roh atau
aspek-aspek spiritual manusia. Bertambah tajamnya kepekaan batin, semakin
baiknya perkembangan kerohanian, semakin terang dan hidupnya kegiatan intelek
(akal budi, daya pikir), serta semakin baiknya fantasi, adalah manfaat-manfaat
yang setiap orang bisa peroleh dari ketekunan mengakrabi sastra, sehingga
sastra menjadi bagian yang seolah-olah tidak terpisahkan dari hidupnya.
Manfaat sastra berkenaan dengan fantasi, Harvey
Cox berkata: “Fantasi adalah imajinasi
yang dikembangkan dan diteruskan mengatasi struktur kenyataan sehari-hari. Agar
fantasi itu dinamis dan kreatif, maka fantasi itu harus selalu berpangkal dari
kenyataan dan pulang ke kenyataan” (Feast
of Fools, 1969). Perlu dicatat di sini bahwa fantasi yang pada mulanya
berpangkal pada kenyataan tetapi tidak pulang ke kenyataan, dan fantasi yang tidak berpangkal pada kenyataan
adalah “khayalan kosong” atau “lamunan kosong” yang meracuni pertumbuhan
aspek-aspek spiritual.
Selanjutnya, Mary Harrington yang mengutip hasil
penelitian Bradbury mengatakan: “Bakat berfantasi merupakan bakat untuk hidup.
Penemuan-penemuan baru sering diakibatkan karena fantasi, inspirasi atau ilham”
Psychology today, Vol I No.1,
1968:28,37). Dan J.R.R. Tolkien mengemukakan bahwa “Fantasi tidak merusak akal
budi dan tidak mengeruhkan ketajaman pengamatan ilmiah. Makin baik fantasi
seseorang, makin terang dan hidup kegiatan inteleknya. Dan semakin terang dan
hidup kegiatan intelek seseorang, semakin baik pula fantasinya” (Tree and Leaf, 1964).
Menurut hasil penelitian dua orang sarjana Prancis,
Roger Fretigny dan Andre Viler, “Fantasi memainkan peranan sentral dan
menentukan dalam perkembangan psikis
manusia. Ada empat macam kesadaran manusia yaitu, kesadaran imajinatif,
kesadaran refleksif, kesadaran aktif,
dan kesadaran kontemplatif. Dan fantasi
adalah contoh pertama dari kesadaran imajinatif. Tanpa fantasi maka daya
pemikiran kita yang kerja secara diskursif akan menjadi pincang dan terkurung
dalam sebuah sistem yang tertutup dan beku. Tetapi dengan fantasi, hidup
manusia seutuhnya akan bergerak menurut suatu ritme tertentu antara kenyataan
dan harapan” (L’imagerie Mentale, 1968:21).
Uraian yang lebih luas mengenai fantasi dan
imajinasi dapat dibaca dalam buku
saya yang diterbitkan oleh B You Publishing Surabaya tahun 2011 berjudul, Sajak-Sajak
Chairil Anwar Dalam Kontemplasi, halaman 179 – 243.
Berdasarkan pandangan-pandangan di atas ini, manfaat
sastra bagi pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek spiritual manusia tidak
boleh diremehkan dan dimarginalkan. Sastra seyogianya diminati dan diakrabi,
sebab sastra dapat menjadi santapan rohani yang memperjelas, memperdalam,
memperkaya pemahaman dan penghayatan manusia terhadap kehidupan. D.H. Lawrens
berkata, “Good literature helps us to understand not only ourselves but others,
whereas bed literature gives a false and misleading view of human
relationships” (Useful Literature, hlm.96).
Cipta sastra yang baik membantu kita bukan hanya untuk memahami diri kita
sendiri melainkan sekaligus untuk memahami orang lain sesama kita; sedangkan
karya sastra yang buruk memberikan pandangan yang semu dan keliru tentang
hubungan antarsesama manusia. Dan Jack Gilbert, seorang penyair kontemporer
Amerika, ketika berkunjung ke Jakarta pada tahun 1975 mengatakan, “Poetry, for
me, is a witnessing to magnitude. It is the art of making urgent values
manifest, and imposing them on the readers”. Puisi bagiku adalah suatu
penyaksian terhadap kedalaman makna. Puisi adalah seni yang menjadikan nilai-nilai
yang dimanifestasikan punya arti penting, serta membuatnya bermakna bagi
pembaca.
Mengakrabi
sastra
Menyadari betapa bermanfaatnya sastra bagi
perkembangan aspek-aspek spiritual maupun bagi kehidupan sebagaimana
dikemukakan di atas, maka seyogianyalah sastra diakrabi. Menurut hemat saya, dan
inilah yang mendarah daging dalam kehidupan saya yang telah berusia di atas
tujuh puluh tahun, langkah awal ke arah mengakrabi sastra adalah “minat” atau
“suka”. Orang yang tidak berminat atau tidak suka pada sastra, dengan
sendirinya tidak akan mempedulikan sastra. Sedangkan orang yang berminat atau
suka pada sastra niscaya sangat mempedulikan sastra, dan selalu akrab dengan
sastra.
Tempat pertama yang paling baik dan terarah untuk
menumbuhkembangkan minat sastra adalah sekolah. Melalui pengajaran sastra yang
bertujuan mengembangkan kepekaan siswa terhadap nilai-nilai indrawi, nilai
akali, nilai afektif, nilai sosial, atau pun gabungan keseluruhan nilai-nilai
itu, maka guru yang akrab dengan sastra dapat menumbuhkembangkan minat sastra
pada siswa. Dalam perkembangan selanjutnya, siswa yang telah berminat pada
sastra niscaya akan terus mengembangkan minat sastranya secara sendiri-sendiri,
sekali pun ia mengalami putus sekolah atau putus kuliah.
Langkah kedua adalah “membaca, mempelajari, dan
mendalami sastra”. Pada tingkat ini, pembaca mulai menghargai sastra, dan
mengagumi sesuatu yang tidak terkatakan di balik relung-relung kehidupan yang
tersirat dalam karya sastra yang dibaca. Dan ini akan menuntunnya kepada langkah
ketiga, yaitu “keterlibatan jiwa”, lebih tepat disebut “keterlibatan segenap
daya-daya roh” atau “keterlibatan segenap aspek-aspek spiritual” antara pembaca
dan sastrawan, atau antara pembaca dengan tokoh tertentu maupun peristiwa
tertentu yang dikisahkan dalam karya sastra yang dibaca. Langkah-langkah ke
arah mengakrabi sastra sebagaimana dijelaskan di atas ini merupakan suatu
proses yang saling berhubungan secara aktif dan dinamis. Semakin tinggi minat
sastra seseorang, semakin tekun pula orang itu membaca karya-karya sastra yang
diminatinya. Dan berbarengan dengan itu, proses perkembangan segenap daya-daya
roh atau aspek-aspek spiritual orang itu semakin baik dari waktu ke waktu.
Langkah keempat adalah “mengungkapkan penghayatan
dan pengalaman sastra” yang diperoleh dari ketekunan mengakrabi sastra. Langkah
ini dapat dilakukan melalui forum pembacaan puisi (bagi siswa SD dan SMP); pembacaan
puisi, dialog dan diskusi (bagi siswa SMA dan yang sederajat); pembacaan puisi, dialog, diskusi, dan seminar
sastra (bagi mahasiswa dan peminat sastra luar kampus perguruan tinggi).
Forum-forum ini merupakan kegiatan yang positif dalam menumbuhkembangkan minat
sastra ke arah semakin mengakrabi sastra. Dan menulis artikel-artikel yang
bercorak kontemplasi sastra dan/atau kritik sastra, kemudian dipublikasikan di koran-koran
yang menyediakan rubrik sastra, merupakan aktivitas yang secara positif
menunjang upaya menumbuhkembangkan minat sastra ke arah mengakrabi sastra bagi
masyarakat pembaca secara luas, teristimewa bagi generasi muda di daerah NTT.
Terkait dengan upaya menumbuhkembangkan minat sastra
generasi muda di daerah NTT, saya patut memberikan pujian kepada Drs. Yohanes
Sehandi, M. Si., yang telah menghasilkan sebuah buku berjudul Mengenal Sastra Dan Sastrawan NTT dalam
tahun 2012. Kehadiran buku ini sangat positif di dalam upaya menumbuhkembangkan
minat sastra, karena atas petunjuk buku ini generasi muda NTT yang berminat
pada sastra dapat mencari untuk menemukan, lalu membaca karya sastra yang
ditulis oleh sastrawan yang namanya disebutkan di dalam buku ini. Saya harapkan
pula agar pada hari-hari yang akan datang muncul kritikus-kritikus sastra di
daerah NTT yang dapat menerbitkan karya mereka, sebab peranan kritikus dan
kritik sastra sangat berarti bagi pertumbuhan sastra.
***
(Telah dimuat di
Harian Umum FLORES POS, edisi Kamis,
20 September 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar