Oleh:
A. G. Hadzarmawit Netti
PADA awal bulan Juni 2012 lalu, ada seorang pemuda
bertamu ke rumah saya. Pemuda itu memperkenalkan diri sebagai mahasiswa salah
satu perguruan tinggi di kota Kupang, yang berminat terhadap sastra. Ketika
berbincang-bincang tentang sastra, pemuda tersebut mengemukakan beberapa
pernyataan sastrawi seraya memintakan komentar atau pendapat saya. Pemuda itu
berkata begini, “Bapa, ada orang mengatakan, ‘bila sastra terlalu teori,
maka sastra
hanyalah sebuah barang rongsokan. Bila tak ada naluri dalam sastra,
maka hanya artifisial. Kalau dogma ditimpakan atasnya, maka sastra
seperti jenazah yang tak mau dikuburkan. Sastra adalah bukan untuk
dimengerti, tetapi untuk dinikmati.’ Bisakah Bapa jelaskan kepada saya
pernyataan ini?” Sang pemuda mengakhiri pembicaraannya seraya menatap saya.
Dari tatapannya, saya memperoleh kesan bahwa sang pemuda itu sungguh-sungguh
mengharapkan komentar atau jawaban saya.
Saya balik bertanya kepada sang pemuda, “Dari buku apa
Anda kutip pernyataan itu? Atau, dari siapakah Anda peroleh penjelasan itu?”
Sang pemuda tidak menjawab pertanyaan yang saya ajukan kepadanya. Ia terdiam
saja. Namun dari ekspresinya saya memperoleh kesan bahwa ia enggan berterus
terang. Ada sesuatu yang mengganjalnya. Tetapi ketika saya menunjukkan
perhatian yang lebih akrab untuk berbagi pengalaman tentang sastra, sang
pemuda pun berkata, “Begini Bapa. Rumusan mengenai sastra yang saya kemukakan
tadi, saya baca dalam Jurnal Sastra Santarang, sebuah media kreasi bagi penulis
muda yang tergabung dalam Komunitas Dusun Flobamora yang ada di Kupang. Dan
yang mencetuskan rumusan itu adalah Dr.
Marsel Robot.”
“O, begitu. Mudah-mudahan sebuah buku segera ditulis
oleh Dr. Marsel Robot, dan diterbitkan untuk menjelaskan pernyataan yang luar
biasa itu. Eheem…, bila sastra terlalu teori, maka sastra
hanyalah sebuah barang rongsokan; bila tak ada naluri dalam sastra,
maka hanya artifisial; kalau dogma ditimpakan atasnya, maka sastra
seperti jenazah yang tak mau dikuburkan; sastra adalah bukan untuk
dimengerti, tetapi untuk dinikmati.” “Bapa tidak setuju dengan pernyataan itu?”
tanya sang pemuda dengan nada serius. “Ya, saya tidak setuju. Itu rumusan
sastra yang kabur, yang tidak jelas juntrungannya!” begitulah jawab saya dengan
nada tegas.
Sejenak, sang pemuda melongo, lalu berkata dalam
nada sangsi, “Bapa tidak sedang bercanda?” “Ya, saya tidak sedang bercanda!
Sebab, tidak ada sastra yang mewedarkan teori; tidak ada sastra yang tidak
bernaluri; tidak ada sastra yang mewedarkan dogma. Dan
hendaknya dicamkan: tanpa pengertian, sastra tidak dapat dinikmati. Itulah sebabnya, sastra seyogianya dimengerti
untuk dapat dinikmati.” Inilah penggalan percakapan antara saya dengan pemuda
yang bertamu ke rumah saya.
Ya, sastra pada hakikatnya adalah suatu pengungkapan
kehidupan lewat bentuk bahasa. Sastra lahir dari subyektivitas seorang
sastrawan yang mengalami dan mengamati dunia kehidupan yang diliputi misteri
dan kemungkinan-kemungkinan. Sastra merupakan suatu kebulatan yang utuh,
spesifik, dan otonom, serta merupakan suatu dunia keindahan dalam ujud bahasa
yang pada dirinya sendiri telah dipenuhi dengan kehidupan dan realitas. Yang
mendorong lahirnya sastra adalah keinginan dasar manusia (sastrawan) untuk
mengekspresikan diri, lantaran menaruh minat yang besar terhadap sesama manusia
dan dunia kehidupan, serta dunia angan-angan yang difantasikan sebagai dunia
nyata. Hakikat sastra sebagaimana dikemukakan ini bukan sastra non-imajinatif, melainkan sastra imajinatif. Dalam sastra imajinatif, sastrawan tidak mewedarkan teori; sastrawan
tidak mewedarkan dogma; dan sastra imajinatif itu bukan gua yang
berisi kadaver; melainkan suatu dunia
kehidupan, dunia kreasi sastrawan yang
di dalamnya terkandung seluruh kemanusiaan seorang sastrawan, baik pancaindera,
imajinasi, intelek, cinta, nafsu, naluri, darah dan roh.
Berbeda halnya dengan sastra non-imajinatif. Di dalam sastra non-imajinatif
pengarang bisa berteori tentang sastra; pengarang
bisa berdogma tentang sastra; pengarang
bisa berfilsafat dan berteologi tentang
sastra sejauh hasil penelusuran, pendalaman, dan pertemuan yang terjadi
antara pengarang sastra non-imajinatif dengan pengarang sastra imajinatif dengan
sekalian faktor-faktor subyektivitasnya yang tersirat di dalam sastra
imajinatif yang dihasilkannya, yang menjadi ‘bahan’ observasi dan
kajian seorang pengarang sastra non-imajinatif. Dan perlu dicatat bahwa hasil karya sastra
yang disebut sastra non-imajinatif itu
juga pada gilirannya merupakan suatu dunia
kehidupan baru, dunia re-kreasi, yang juga penuh dengan imajinasi, intelek,
cinta, nafsu, naluri, darah dan roh. Dengan demikian, pernyataan sastrawi yang
termuat di Jurnal Sastra Santarang itu
rasanya sangat mengada-ada.
Lantas, apakah itu kritik sastra? Bardasarkan
tinjauan di atas, kritik sastra pada hakikatnya adalah sastra non-imajinatif, yang
dihasilkan oleh seorang pengarang yang disebut kritikus sastra. Kritik sastra
baru ada setelah orang mempertanyakan apa itu sastra, dan apakah sastra itu mempunyai
nilai atau manfaat. Oleh karena itu, umur sastra lebih tua dari kritik sastra.
Dalam perkembangan selanjutnya setelah munculnya kritik sastra, orang mulai
bertanya: apa gerangan fungsi kritik sastra, serta apa dan/atau bagaimana
hubungan antara kritik sastra dengan sastra. Dengan demikian, berbicara tentang
kritik sastra berarti berbicara tentang hubungan kritik sastra dengan karya
sastra. Dan berbicara tentang karya sastra juga berarti berbicara tentang
pencipta sastra dan penikmat sastra.
Hendaknya dicamkan bahwa sastra yang sudah
diciptakan oleh sastrawan belum tentu langsung dapat dinikmati oleh pembaca. Mengapa? Karena persoalannya: apakah pembaca siap
membaca karya sastra yang dihasilkan oleh sastrawan itu dengan modal
pengetahuan dan kepekaan estetis yang ada pada dirinya? Sesungguhnya bisa
terdapat jurang pemisah antara karya sastra yang dihasilkan sastrawan dengan
pembaca sastra. Jurang pemisah itu bertanda nama pengertian. Sebab pada
hakikatnya penikmatan bisa terjadi bila [sudah]
ada pengertian. Dengan demikian
jelaslah bahwa faktor pengertian tidak dapat dipinggirkan
atau disepelekan. Apabila pandangan, alam pikiran, visi kepengarangan, sikap
pengarang jauh berbeda dan/atau sama sekali asing bagi pembaca, maka bagaimana
mungkin pembaca dapat menikmati sastra yang dibacanya? Apabila faktor bahasa
yang digunakan oleh pengarang tidak dapat dipahami dan/atau dimengerti
sebaik-baiknya oleh pembaca, maka bagaimana mungkin si pembaca dapat menikmati
karya sastra yang dibacanya? Berdasarkan tinjauan ini, saya tidak ragu-ragu
untuk mengatakan bahwa pernyataan yang dikemukakan di Jurnal Sastra Santarang
yang berbunyi, “sastra adalah bukan untuk
dimengerti, tapi untuk dinikmati” adalah sebuah pernyataan yang lahir dari
pemikiran yang kabur.
Sesungguhnya sastra bukan saja untuk dinikmati,
tetapi untuk dimengerti. Sastra juga bukan
hanya untuk dimengerti melainkan lebih dari itu sastra harus dinikmati,
dihayati, dan diinterpretasikan. Aktivitas ini hanya dapat terjadi dan
berlangsung dengan baik dan memuaskan, jikalau ada pemahaman dan/atau
pengertian yang baik dan memuaskan. Untuk semuanya itu, peranan kritik
sastra yang dihasilkan oleh kritikus
sastra sangat diperlukan.
***
(Telah dimuat di Harian Umum FLORES POS, edisi Kamis, 27 September 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar