Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti
Pertama,
Kritik Sastra
Kritik sastra merupakan salah satu bidang studi sastra
di samping teori sastra, dan sejarah sastra. Kritik sastra merupakan studi
sastra yang langsung berhubungan dengan sastra, dan secara langsung membahas
karya sastra dengan penekanan pada penilaiannya. Menurut H.B. Jassin (1977:95),
kritik sastra ialah pertimbangan baik atau buruk sesuatu hasil karya sastra,
penerangan, dan penghakiman karya sastra.
Ada tiga kegunaan kritik sastra. Pertama, untuk
memperkembangkan ilmu sastra, yang bertalian dengan penyusunan teori sastra dan
sejarah sastra. Kedua, untuk
memperkembangkan kesusastraan suatu bangsa atau suatu daerah dengan menjelaskan
baik buruknya, dan menunjukkan daerah-daerah jangkauan persoalan karya sastra. Dengan
demikian sastrawan dapat mengambil manfaat dari kritik sastra, sehingga mereka
dapat memperkembangkan penulisan karya sastra mereka, demi perkembangan
kesusastraan. Ketiga, untuk penerangan bagi masyarakat pada umumnya melalui
proses menganalisis, menginterpretasi, dan menilai karya sastra, sehingga
masyarakat umum dapat mengambil manfaat kritik sastra bagi pemahaman dan
apresiasinya terhadap karya sastra (Pradopo, 1988:17-23).
Analisis, interpretasi, dan penilaian merupakan
aspek-aspek pokok kritik sastra. Karya sastra merupakan sebuah struktur yang
kompleks, sehingga untuk memahaminya diperlukan analisis, yaitu penguraian
terhadap bagian-bagian atau unsur-unsurnya. Sebuah karya sastra memiliki
struktur yang rumit, berisi pemikiran-pemikiran yang rumit, serta ditulis
dengan medium bahasa yang rumit pula. Itulah sebabnya karya sastra perlu
diinterpretasi untuk memperjelas artinya, dan analisis merupakan salah satu
sarana interpretasi.
Interpretasi dalam arti luas adalah penafsiran semua aspek
karya sastra. Dalam arti sempit, interpretasi adalah penjelasan arti
bahasa sastra dengan sarana analisis, parafrase, dan komentar, biasanya terpusat
terutama pada kesamar-samaran, kegelapan, ambiguitas, atau bahasa kiasannya.
Oleh karena karya sastra adalah karya seni, maka kritikus harus menerangkan
sampai sejauh manakah nilai seni karya sastra yang dianalisis dan/atau
diinterpretasi itu. Selain itu, analisis
dan interpretasi karya sastra harus dihubungkan dengan penilaian. Dengan
demikian analisis, interpretasi, dan penilaian saling berhubungan erat dan
saling menentukan, sehingga tidak dapat
dipisahkan dalam aktivitas kritik sastra.
Dari sekelumit uraian di atas terlihat bahwa kritik
sastra memiliki peranan sebagai jembatan penghubung antara sastra dengan
penikmat sastra; sebagai perantara antara pengarang dan masyarakat pembaca.
Analisis, interpretasi, komentar dan sumbangan pikiran kritikus sastra yang
dikemukakan dalam kritik sastra, bisa merangsang dan menimbulkan minat pembaca,
sekaligus dapat menjadi penuntun bagi pembaca dalam menikmati karya sastra.
Selain itu, kritik sastra juga dapat menjadi alat pemandu bakat bagi pengarang
muda, dan juga dapat mematangkan pengarang yang telah berkreasi. Lebih dari
semuanya itu, kritik sastra pada gilirannya telah mempromosikan pengarang dan
karya sastranya yang dianalisis, diinterpretasi, dan dikomentari di dalam
kritik sastra yang dihasilkan oleh kritikus sastra.
Sudah tentu, seorang kritikus sastra tidak boleh
serampangan di dalam melakukan kritik. Kritikus harus benar-benar tahu akan
sastra, memiliki pengertian sastra yang benar, memiliki prinsip dan pengertian penilaian yang jujur,
serta bijaksana di dalam menyiasati, menilai, dan mengkritik. Kritikus harus
memiliki ketajaman pikiran, dan kehalusan cita rasa. Kritikus harus dapat menggugah
dan membangkitkan kesadaran, membina akal budi, dan menghidupkan suara hati
nurani. Kritikus harus dapat berperan sebagai pendidik dalam berupaya membina
dan menumbuhkembangkan kebatinan dan kejiwaan suatu masyarakat; serta mengajak
dan membimbing pembaca sastra menelusuri liku-liku dan lorong-lorong sastra
yang terkadang remang-remang dan gelap.
Kedua,
Aliran Pukuafu
Ketika pada tahun 1977 BPK Gunung
Mulia Jakarta menerbitkan buku saya, Kristen
Dalam Sastra Indonesia, secara bergurau saya katakan kepada sahabat-sahabat
saya: inilah buku “kritik sastra aliran
Pukuafu”. Alasannya: karena pengarangnya, A.G. Hadzarmawit Netti, tinggal di
Rote, dan selat yang memisahkan pulau
Rote dengan pulau Timor [termasuk Semau], terkenal dengan nama selat Pukuafu. Sesungguhnya latar
belakang penyebutan kritik sastra aliran Pukuafu, tidak berbeda dengan
penyebutan kritik sastra aliran Rawamangun, kritik sastra Ganzheit, dan kritik sastra aliran Sawo Malina.
Kritik sastra aliran Rawamangun yang dimunculkan
pada tahun 1970-an oleh M.S. Hutagalung, adalah aliran kritik sastra dari
sekelompok sarjana sastra Universitas Indonesia yang pada waktu itu berada di
Rawamangun, Jakarta. Termasuk di dalam kelompok itu adalah kritikus-kritikus
sastra seperti S, Effendi, Saleh Saad, J.U. Nasution, Boen Sri Oemarjati dan
lain-lain. Kelompok kritik sastra aliran Rawamangun melakukan kritik
berdasarkan “New Criticism” yang menekankan analisis yang memusatkan perhatiannya
hanya pada karya sastra. Sastrawan yang tidak menyetujui metode ini
mengibaratkan kritik ini bagai membedah karya sastra di meja kadaver.
Kritik sastra Ganzheit merupakan kritik sastra yang menandingi kritik sastra
aliran Rawamangun. Bagi aliran Ganzheit, karya
sastra merupakan keseluruhan. Karya sastra tak dapat dipisahkan dari
pengarangnya. Karena itu, menganalisis karya sastra, sesungguhnya mengadakan
pertemuan yang intim dengan pengarangnya, berdialog secara merdeka antara
subjek dengan subjek, bukan antara subjek dengan objek. Tokoh utama aliran ini
adalah Goenawan Mohamad dan Arief Budiman. Sedangkan Kritik sastra aliran Sawo
Manila adalah aliran kritik sastra yang dimunculkan pada tahun 1980-an oleh
sarjana sastra dari kampus Universitas Nasional, yang beralamat di Jalan Sawo
Manila Jakarta.
Terinspirasi oleh munculnya aliran
kritik sastra sebagaimana diuraikan di atas ini, maka antara tahun 1970-an
sampai dengan tahun 1990-an saya bercita-cita untuk memunculkan satu aliran
kritik sastra yang namanya terambil dari nama tempat yang ada di daerah NTT,
sebagai simbol kehadiran saya dalam dunia kritik sastra. Untuk mewujudkan
cita-cita ini saya memilih nama “Pukuafu”, yaitu nama selat yang memisahkan
pulau Timor [Semau] dengan pulau Rote.
Nama selat Pukuafu saya pilih,
karena selat itu memendam kenangan masa lalu yang luar biasa. Selama 25 tahun tinggal
di pulau Rote, setiap kali berlayar ke Kupang, selat Pukuafu niscaya harus
diseberangi. Selat Pukuafu ada kalanya ramah, namun ada kalanya mendebarkan dan
mengerikan, lantaran terpaan gelombang yang menyatu dengan angin kencang dan
arus deras pada musim atau waktu-waktu tertentu. Dinamika dan karakter selat
Pukuafu itulah yang tersirat di dalam kritik sastra yang saya hasilkan.
Dengan
mengandalkan metode “perspektivisme yang komprehensif dan integral”, serta ada
kalanya dikombinasi dengan metode reductio ad absurdum, dinamika dan
karakter kritik sastra aliran Pukuafu dapat
dirasakan dan dialami dalam hasil karya saya,
Kristen Dalam Sastra Indonesia (BPK
GM Jakarta 1977); artikel-artikel sastra yang telah dimuat di berbagai media
cetak antara tahun 1980-an sampai tahun 2000-an; Sajak-Sajak Chairil Anwar Dalam
kontemplasi (B You Publishing Surabaya 2011). Dan masih ada beberapa naskah buku apresiasi sastra yang akan
diterbitkan pada tahun-tahun depan, untuk mempertegas eksistensi kritik sastra
aliran Pukuafu.
***
(Telah dimuat di Harian Umum FLORES POS, edisi Jumat, 5 Oktober 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar