Oleh:
A. G. Hadzarmawit Netti
DALAM buku Bimbingan Apresiasi Puisi (1974;139-142),
Drs. S. Effendi membahas pula tentang “pelukisan dan penalaran” dalam sajak
“Setasiun Tugu” karya Taufiq Ismail. Untuk mencermati apakah pembahasan Effendi
memuaskan atau tidak, di bawah ini saya kutip sajak “Setasiun Tugu” seutuhnya. Pemisahan
larik-larik sajak ditandai dengan garis miring tunggal ( / ) sedangkan
pemisahan bait-bait sajak ditandai dengan garis miring ganda ( // ). Beginilah
bunyi larik-larik sajak “Setasiun Tugu”
“Tahun
empat puluh tujuh, suatu malam di bulan Mei/ Ketika kota menderai dalam gerimis
yang renyai/ Di tiang barat lentera merah mengerjap dalam basah/ Menunggu
perlahan naiknya tanda penghabisan// Kleneng andong terputus di jalan
berlinang/ Suram ruang Setasiun, beranda dan tempat menunggu/ Truk menderu dan
laskar berlalu lagu perjuangan/ Di Tugu seorang ibu menunggu, dua anak di
pangku// Berhentikah waktu di setasiun Tugu, malam ini/ Di suatu malam yang
renyai, tahun empat puluh tujuh/ Para penjemput kereta Jakarta yang
penghabisan/ Hujan pun aneh di bulan Mei, tak kunjung teduh// Di tiang barat
lentera mengerjap dalam basah/ Anak perempuan itu dua tahun, melekap dalam
pangkuan/ Malam makin lembab, kuning gemetar lampu setasiun/ Kakaknya masih
mencoba nyanyi Satu Tujuh Delapan Tahun// Udara telah larut ketika tanda naik
pelan-pelan/ Seluruh penjemput sama tegak, memandang ke arah barat/ Ibu muda
menjagakan anaknya yang kantuk dalam lena/ Berkata lambaikan tanganmu dan
panggilan bapak// Wahai ibu muda, sepanjang hari atap-atap kota untukmu
berbasah/ Karena kezaliman militer pagi tadi terjadi di Kelender/ Kini seluruh
republik menundukkan kepala, nestapa dan resah/ Dan uap ungu berdesir menyeret
gerbang jenazah yang terakhir.”
Menurut Effendi, sajak “Setasiun Tugu” senada dengan
sajak “Karangan Bunga”. Dijelaskan bahwa bait pertama sajak ini melukiskan
kota, malam dan gerimis, serta tiang, lentera dan tanda kereta, pada tahun
empat puluh tujuh. Bait kedua melukiskan tentang andong di jalan, ruang setasiun dan
berandanya, truk dan laskar, ibu dan anaknya. Bait ketiga melukiskan tentang
setasiun Tugu, malam dan hujan, penjemput dan kereta dari Jakarta, pada tahun
itu juga. Demikianlah selanjutnya sajak itu hanya melukiskan sepenggal
pengalaman pada suatu tempat dan pada suatu waktu, dengan pengimajian yang
konkret dan cermat. Lukisan itu pun jadi hidup dalam penglihatan dan
pendengaran imajinatif. Lukisan itu benar-benar sugestif terhadap pembaca.
Tanggapan atau komentar terhadap lukisan itu tidak dinyatakan tegas-tegas,
apalagi amanat. Semuanya itu seakan-akan
diserahkan sepenuhnya kepada pembaca.
Nadanya benar-benar tersirat.
Penjelasan Effendi kurang memuaskan. Ada beberapa pelukisan
dalam sajaknya itu yang ternyata terlangkaui oleh Effendi, padahal
lukisan-lukisan tersebut patut dicermati. Sebab, dari lukisan-lukisan itu dapat
diketahui: apakah penyair hanya melukiskan sepenggal pengalaman pada suatu
tempat dan pada suatu waktu, ataukah penyair melukiskan pengalaman orang lain
yang menggugah, dan menawan batinnya. Di samping itu, cara/bentuk pengucapan yang terdapat dalam sajak juga harus
diperhatikan, teristimewa pada larik-larik tertentu, karena ada kemungkinan di situ nada dan pesan penyair bukannya tersirat,
melainkan tersurat.
Menurut hemat saya, lukisan-lukisan dalam sajak
“Setasiun Tugu”, merupakan wahana bagi nosi dan emosi tertentu yang penyair mau
ungkapkan. Nosi dan emosi tertentu itu ialah: “suatu pengalaman tragis yang
dialami oleh seorang ibu muda dengan dua anaknya yang masih kecil, yang
sementara menunggu dengan penuh harap akan kembalinya suami dan/atau bapak tercinta kedua anak itu bersama kereta Jakarta
di setasiun Tugu.” Cermatilah larik keempat bait keempat, serta larik kedua
sampai larik keempat bait kelima. Dari larik-larik tersebut kita ketahui bahwa
ibu muda dengan dua anaknya yang dikisahkan nasibnya itu merupakan tokoh
sentral sajak “Setasiun Tugu”, namun penyair sengaja menyembunyikannya dengan
cermat di antara para penjemput kereta Jakarta. Apakah gerangan pengalaman
tragis yang menimpa ibu muda dan kedua anaknya yang masil kecil itu, yang mau
diungkapkan oleh penyair?
Dari larik ketiga dan keempat bait kelima, terdapat
petunjuk: “Ibu muda menjagakan anaknya
yang kantuk dalam lena/ Berkata lambaikan tanganmu dan panggillah bapak.” Namun ternyata sang bapak tidak membalas
lambaikan tangan, dan juga tidak membalas panggilan anaknya sesuai anjuran sang
ibu muda. Mengapa? Jawabannya tersirat dalam bait keenam yang diawali dengan
larik bermajas eksklamasi: “Wahai ibu
muda, sepanjang hari atap-atap kota untukmu berbasah”.” Larik ini
mengungkapkan rasa haru/kesedihan yang mendalam. Dengan larik ini penyair meratapi
nasib sang ibu muda dengan kedua anaknya, yang terpaksa harus menempuh
hari-hari kehidupan yang suram, yang terbentang di muka, tanpa didampingi lagi
oleh suami dan/atau bapak kedua anak terkasih.
Dalam bait keenam itu penyair tidak secara tegas
menyatakan kematian bapak dari kedua
anak dan/atau suami dari sang ibu muda yang dilukiskan dalam sajak
“Setasiun Tugu”. Secara halus penyair menyiratkan kematian bapak kedua anak
dan/atau suami sang ibu muda itu di dalam larik kedua sampai larik keempat bait
keenam: “Karena kezaliman militer pagi
tadi terjadi di Kelender/ Kini seluruh republik menundukkan kepala, nestapa dan
resah/ Dan uap ungu berdesir menyeret gerbang jenazah yang terakhir.”
Dari pelukisan dan penalaran tersebut kita
memperoleh petunjuk bahwa suami sang ibu muda dan/atau bapak kedua anak yang
masih kecil itu telah gugur sebagai bunga bangsa di Kelender. Sang bapak kedua
anak yang masih kecil dan/atau suami
sang ibu muda itu tidak kembali dalam keadaan selamat, melainkan dalam keadaan mati,
terbujur diam dan kaku dalam gerbong jenazah yang terakhir. Karena peristiwa yang
tragis inilah, penyair berkata dalam larik ketiga dan keempat bait keenam: “Kini seluruh republik menundukkan kepala,
nestapa dan resah/ Dan uap ungu berdesir menyeret gerbong jenazah yang
terakhir.” Itulah nosi dan emosi terutama dalam sajak “Setasiun Tugu” yang ternyata
lolos dari pengamatan Effendi.
Berdasarkan analisis di atas ini, maka nada dalam
sajak “Setasiun Tugu” tidak sama dengan nada
dalam sajak “Karangan Bunga”. Nada dalam sajak “Karangan Bunga” bersifat
manifestasi yang datar, karena sajak
tersebut tidak lahir dari suatu proses pengendapan dan perenungan yang mendalam.
Sedangkan nada dalam sajak “Setasiun Tugu” bersifat pengungkapan rasa iba dan
sayu yang mendalam. Di samping perbedaan nada, pelukisan dan penalaran dalam
sajak “Setasiun Tugu” dan sajak “Karangan Bunga” pun tidak sama. Dalam sajak “Karangan Bunga”, pelukisan dan
penalaran bersifat lugas. Sedangkan dalam sajak “Setasiun Tugu”, pelukisan dan
penalaran bersifat lebih sayu, dan iba. Dengan
demikian, kurang cermat dan kurang memuaskan apabila Effendi menyimpulkan bahwa
pelukisan dan penalaran dalam sajak “Setasiun Tugu” tidak terdapat tanggapan,
komentar, atau amanat.
***
(Telah dimuat di Harian Umum FLORES POS, edisi Senin, 29 Oktober 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar