Oleh:
A. G. Hadzarmawit Netti
TAHUN 2012 telah berlalu, tetapi bagi saya ada
sebuah memori yang mengharuskan saya membuat pertanggungjawaban dalam tahun
2013. Dan memori yang mengharuskan pertanggungjawaban itu tersurat dan tersirat
dalam “Ratapan Atas Ratapan Semesta” (FP, 18-12-2012). Ketika membaca artikel
berjudul “Ratapan Atas Ratapan Semesta” (FP, 18-12-2012, hlm.10), saya sangat
menyesal bahwa puisi “Ratapan Semesta” karya penyair John Dami Mukese yang
termuat di Majalah Lintasan WISATA Dinas
Pariwista Provinsi NTT, edisi kedua, Maret 1993 itu, ternyata terdapat banyak
kesalahan.
Sebagai pertanggungjawaban, secara pribadi saya
telah mengirim kepada penyair John Dami Mukese majalah Lintasan WISATA yang memuat
puisi “Ratapan Semesta” (Surat Kilat
Khusus, 28-12-2012). Saya kirim majalah aslinya, dengan
tujuan ingin menjaga dan menegakkan citra saya sebagai seorang penulis. Pada
halaman 23 Majalah Lintasan WISATA itu
terdapat komentar atau catatan pengantar dari redaksi di bawah judul “Kelabu di Flores”. Pada alinea ketiga, dikatakan begini: “Ah … inikah murka? Dari Ende, JOHN DAMI MUKESE, imam yang gembala umat
itu mengirim untaian hatinya ratapan semesta, sementara dari Larantuka THOMAS
BORO & ROFIN ALBERT LAZAREN mengirim goresan lagu “Lukaku Akhir Tahun” dan
“Natal Kelabu”. Catatan redaksi ini meyakinkan saya bahwa larik-larik dan keutuhan
struktur puisi “Ratapan Semesta” yang termuat di halaman 24 majalah tersebut sungguh asli, dan sungguh benar adanya.
Catatan pengantar dari redaksi itu pun memberi petunjuk secara gamblang bahwa
puisi “Ratapan Semesta” yang dimuat di majalah Lintas WISATA itu dikirim oleh penyair John Dami Mukese kepada
redaksi.
Dengan demikian, kecerobohan dilakukan
oleh redaksi majalah Lintasan WISATA. Dan
saya—lantaran tidak memiliki buku kumpulan puisi Doa-Doa Semesta karya
penyair John Dami Mukese—berpendapat bahwa puisi yang dimuat di majalah
tersebut niscaya sesuai dengan aslinya, sehingga saya tidak ragu-ragu merujuknya
untuk dikontemplasikan. Semoga penjelasan singkat ini, serta majalah Lintasan WISATA yang telah saya serahkan
sebagai bukti pertanggungjawaban itu, dapat
dimaklumi oleh penyair John Dami Mukese [yang tak lain adalah Pemimpin
Umum Harian Umum FLORES POS],
bahwasanya saya [A. G. Hadzarmawit Netti] sama sekali tidak melakukan
kecerobohan.
Bersama dengan majalah Lintasan WISATA, saya serahkan pula fotokopi kliping artikel Dr.
Paul Budi Kleden, SVD berjudul “Bencana alam: Sebuah hukuman Allah?” (POS KUPANG, Senin 10 Januari 2005), di
mana pandangan beliau saya kutip [ditandai dengan stabilo]. Tujuan saya
menyerahkan kliping itu pun sama: untuk menjaga integritas/kejujuran. Karena
sebagai penulis, sejak mulai menekuni dunia tulis-menulis pada tahun 1970-an—apalagi
kini memasuki usia yang ke-72 tahun—saya tidak suka mengada-ada dan
memutarbalikkan pendapat/pandangan orang lain. Apalagi mengingat artikel
tersebut telah diterbitkan delapan tahun yang lalu, dan belum tentu banyak
orang menyimpan klipingnya, kecuali naskah aslinya disimpan secara baik oleh
penulisnya, yaitu Dr. Paul Budi Kleden, SVD.
***
Berkenaan dengan pengutipan yang salah atas larik-larik
puisi, maupun pengubahan dan penghilangan kata, penambahan kata dan tanda baca,
pemenggalan dan pengubahan susunan larik-larik, peniadaan bait-bait yang
membangun keutuhan struktur puisi, sehingga mengganggu intensi serta koherensi
nosi dan emosi imajinatif yang tersurat dan tersirat dalam puisi sebagaimana
telah terjadi atas puisi “Ratapan Semesta” karya penyair John Dami Mukese, memang
sungguh sangat menjengkelkan dan menyakitkan hati. Saya benar-benar merasa
terusik dan sangat kecewa ketika membaca dan membandingkan puisi “Ratapan
Semesta” yang termuat dalam majalah Lintasan
WISATA dengan puisi asli yang ditampilkan oleh penyair John Dami Mukese dalam
artikel “Ratapan Atas Ratapan Semesta” (FP, 18-12-2012). Karena itu, menurut
saya, sangat pantas apabila penyair John Dami Mukese mengekspresikan kekesalan
maupun ‘kemarahannya’ secara tegas.
Bayangkan! Puisi asli [“Ratapan Semesta”] yang
terdiri atas 13 bait dengan larik-larik yang membangun keutuhan puisi sebanyak
60 larik, dipermak oleh redaksi majalah Lintasan
WISATA menjadi 46 larik tanpa bait. Selain itu, terdapat berbagai kecerobohan
yang dilakukan yaitu: bait pertama yang terdiri atas
empat larik dijadikan dua larik; bait kedua empat larik dijadikan tiga larik,
kemudian kata habis dihilangkan, lalu
kata dan ditambahkan. Empat larik
bait ketiga cocok tetapi ada penambahan garis titik-titik di antara ya Tuhan dan huruf M ditulis m pada
kata ganti kepunyaan –Mu. Larik kelima dan keenam bait ketiga
dijadikan satu larik, dan larik ketujuh dan kedelapan dijadikan satu larik.
Pada bait keempat, langit-Mu ditulis langit Mu;
hujan-Mu ditulis hujan Mu;
Kaubiarkan ditulis Kau biarkan; dan
kata murka-Mu dihilangkan. Pada bait
kelima, Kaututupi ditulis Kau tutupi. Pada bait keenam kata berderai pada akhir larik
pertarma dihilangkan, lalu digantikan dengan kata membasahi yang sebenarnya terdapat pada larik kedua yang berbunyi membasahi segenap alur sungai. Kemudian
larik ketiga dan keempat bait keenam yang berbunyi Tapi hujan-Mu tak kunjung tiba/ membawa damai batin kami yang damba, diubah
menjadi tapi hujan tak kunjung tiba
membawa/ damai batin kami yang damba. Bait ketujuh tidak mengalami
perubahan. Pada bait kedelapan, kata terbakar
pada akhir larik pertama dihilangkan, dan kata sepanjang jalan pada larik
kedua ditulis sepanjang jalanan. Bait
kesembilan larik ketiga dan keempat yang berbunyi telah musnah menjadi mangsa malang/ racun tanah tanpa humus tanpa air, diubah
menjadi Telah musnah menjadi mangsa malam
racun tanah/ tanpa humus tanpa air. Pada bait kesepuluh, larik pertama yang
berbunyi Gelak tawa anak-anak kami ditulis gelak
tawa anak-anak kami telah diganti; larik kedua yang berbunyi telah diganti kuatir tak usai diubah menjadi Kuatir tak usai; dan larik keempat bait kesepuluh yang berbunyi di ujung senja-Mu penuh sangsi diubah
menjadi Di ujung senja Mu penuh sanksi. Pada
bait kesebelas, larik pertama dan kedua puisi asli dijadikan satu larik; larik
ketiga dan keempat puisi asli dijadikan satu larik; larik kelima dan keenam
puisi asli dijadikan satu larik; larik tujuh dan delapan puisi asli dijadikan
satu larik. Pada bait kedua belas, larik ketiga puisi asli yang berbunyi bahwa Engkau datang memulihkan dihilangkan
. Dan bait ketiga belas yang terdiri atas empat larik, dihilangkan sama sekali
oleh redaksi majalah Lintasan WISATA.
Berdasarkan tinjauan di atas ini saya dapat
menyimpulkan bahwa (1) redaksi majalah Lintasan WISATA telah melakukan kecerobohan
dengan sengaja dalam pengeditan puisi “Ratapan Semesta” karya penyair John Dami Mukese, karena itu
patut dicela dan dikecam secara tegas. (2) Nosi dan emosi imajinatif yang
tersirat dalam puisi “Ratapan Semesta” tetap merupakan pemikiran dan pergumulan
kristen dengan masalah teodice. Dan dalam larik-larik puisi
“Ratapan Semesta” yang asli, pemikiran dan pergumulan dengan masalah teodice
diwedarkan oleh penyair John Dami Mukese secara sangat baik dan sangat
memuaskan, ketika puisi tersebut diakhiri dengan bait ketiga belas yang
larik-lariknya berbunyi: “Ya Tuhan
semesta alam/ Pulihkanlah kami kembali/ Ciptakan lagi alam nan indah/ Negeri
tercinta kediaman kami!” Larik-larik
bait ketiga belas ini mencerminkan ketakwaan penyair terhadap Tuhan yang
mahabaik, mahaadil dan mahakasih di dalam kehidupan manusia dengan segala
penderitaan yang dialami. Dan seharusnya demikian juga ketakwaan kita terhadap
Tuhan yang kita imani di dalam menghadapi setiap bencana dan cobaan hidup. Namun sangat disayangkan, nosi dan emosi
imajinatif yang sangat indah yang tersurat dan tersirat dalam larik-larik bait
ketiga belas itu dihilangkan oleh redaksi majalah Lintasan WEISATA.
***
(Telah dimuat di Harian Umum FLORES POS, edisi Senin, 11 Februari
2013).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar