Oleh:
A. G. Hadzarmawit Netti
DALAM buku Bimbingan Apresiasi Puisi (1974:139-142), Effendi tidak saja
membahas tentang pelukisan dan penalaran dalam sajak “Karangan Bunga” dan
“Setasiun Tugu” (baca: FP, Jumat, 19-10-2012; dan FP, Senin, 29-10-2012),
melainkan Effendi membahas juga sajak “Rumah Kelabu” karya W. S. Rendra.
Berikut ini larik-larik sajak “Rumah Kelabu” saya kutip seutuhnya untuk dicermati/dianalisis,
sekaligus diinterpretasi/dikomentari.
“Rumah,
batu, rumah kelabu/ begitu lapang berpenghuni satu/ kesuraman merebahinya/
redup lampu, denting piano bertalu// Terpendam penghuninya mengurung diri/
warna duka menembusi jendela/ lagu
piano, lelap sepi, redup lampu// Racun apa mendindingi dirinya/ begitu benar
dicintainya sepi?// Pupus Kepercayaan oleh ketidakabadian segala/ Apa ia
kelewat mencintai dirinya?/ Tidak dibiarkan satu luka di sisi bekas yang lama?/
Mati cita rasa bagi nikmat agung sedetik bunga?// Penghuni yang mengunci diri
dan hati pada sepi/ di hati kutanya-tanya, kapan ia bunuh diri?// Rumah batu,
rumah kelabu/ kemuramannya tidak memberita kecuali teka-teki.”
Terhadap sajak “Rumah Kelabu” ini
Effendi memberi komentar sebagai berikut: “Bait pertama dan kedua hanya
merupakan sebuah lukisan. Lukisan tentang sebuah rumah dan penghuninya,
kesuraman dan duka, tentang redup lampu, lagu, piano dan sepi. Lukisan itu
hidup dan sugestif, karena konkret dan cermat. Tetapi ketika dikatakannya: Racun apa mendindingi dirinya/ begitu benar
dicintainya sepi?, mulailah tanggapan atau komentar terhadap lukisan itu
tersurat, tidak lagi tersirat, hingga dua bait berikutnya. Ia lahir dari
perenungan atau penalaran penciptanya. Pikiran pencipta mulai ikut campur. Nada
ketiga bait ini tersurat, eksplisit, tetapi tidak menyampaikan amanat secara
eksplisit.”
Komentar Effendi terhadap sajak
“Rumah Kelabu” sebagaimana dikutip di atas ini kurang memuaskan. Rupanya
Effendi sama sekali tidak mencermati majas Interogasi yang dipergunakan oleh
penyair W.S. Rendra di dalam sajaknya itu. Untuk itu, demi pembahasan yang
lebih baik dan memuaskan, saya kutip penjelasan Nesfield mengenai majas
Interogasi. Menurut Nesfield (“Figures of Rhetoric”. Dalam Manual of English Grammar and Composition, 1938:246), majas
Interogasi umumnya dipergunakan untuk dua maksud. Pertama, penyair
mengungkapkan nosi dan emosi dalam bentuk pertanyaan dan membiarkan pertanyaan
itu direnungkan, dijawab, atau dikomentari sendiri oleh pembaca. Kedua, penyair
mengungkapkan nosi dan emosinya dalam bentuk pertanyaan, kemudian penyair
sendiri mengemukakan hasil renungannya, jawabannya, atau komentarnya atas
pertanyaan yang telah dikemukakannya dalam sajaknya itu. Dalam hal ini penyair
tidak mempersoalkan apakah pembaca akan setuju atau tidak setuju dengan
renungan, jawaban, atau komentar yang dikemukakannya itu.
Berdasarkan penjelasan Nesfield
tentang majas Interogasi di atas ini, maka sajak “Rumah Kelabu” karya W.S.
Rendra tergolong sajak yang dibangun dengan majas Interogasi untuk maksud yang pertama,
namun secara cermat penyair W.S. Rendra memanfatkan pula penggunaan majas Interogasi
untuk maksud yang pertama itu untuk merangsang pembaca guna mempertimbangkan
komentar-komentar alternatif yang penyair kemukakan dalam majas Interogasi demi
memenuhi penggunaan majas Interogasi untuk maksud yang kedua. Inilah salah satu
contoh kelihaian Rendra memanfatkan
majas-majas di dalam bersajak. Dengan demikian, di dalam sajak “Rumah Kelabu”,
W.S. Rendra mempergunakan majas Interogasi secara utuh untuk mengungkapkan nosi
dan emosi imajinatifnya.
Dengan semua pelukisan dan penalaran dalam bait
pertama dan bait kedua, penyair ingin menggambarkan suatu suasana ketertutupan
yang mengandung tanda tanya, yang merupakan sebuah teka-teki: “Penghuni rumah
batu, rumah kelabu, yang mengurung diri bersama hati yang dirundung sepi dan
duka, serta mencoba berusaha mengatasinya sendiri…., kenapa…? Mengapa…? Ada apa
dengannya…? Untuk mencoba menerobos suasana
ketertutupan itulah, atau untuk mencoba menyingkapkan tabir misteri yang
menyekat penghuni yang menyendiri dalam rumah batu, rumah kelabu itulah, maka
dalam bait ketiga dan bait keempat penyair menyuguhkan kepada kita (pembaca)
beberapa alternatif dalam majas Interogasi untuk kita renungkan, atau kita
pecahkan bersama-sama dengan penyair: “Racun
apa mendindingi dirinya/ begitu benar dicintainya sepi?// Pupus Kepercayaan
oleh ketidakabadian segala?/ Apa ia kelewat mencintai dirinya?/ Tidak dibiarkan
satu luka di sisi bekas yang lama?/ Mati cita rasa bagi nikmat agung sedetik
bunga?//
Penyair tidak memberikan jawaban atau pemecahan yang
tegas terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ditaruh dalam majas Interogasi itu.
Penyair mengajak kita (pembaca) untuk bersama-sama dengannya memikirkan,
merenungkan, dan mencoba menyingkapkan berbagai kemungkinan yang dibungkus
dalam majas Interogasi tersebut. Ya, racun apakah gerangan yang
mendindingi sang penghuni rumah batu, rumah kelabu, sehingga begitu benar
dicintainya sepi? Apakah racun itu adalah karena telah pupus[-nya]
kepercayaan (sang penghuni) oleh ketidakabadian segala? Ataukah lantaran ia
(sang penghuni) kelewat mencintai dirinya? Ataukah karena sang penghuni tidak
sudi membiarkan satu luka di sisi bekas yang lama? Atau…, apakah sang penghuni rumah batu, rumah kelabu
itu telah mati cita rasa bagi nikmat agung sedetik bunga…?
Rupanya “racun
yang mendindingi sang penghuni rumah batu, rumah kelabu itu” tetap
merupakan misteri dan kemungkinan-kemungkinan yang tak terpecahkan oleh
penyair, sehingga penyair bertanya sangsi: “Penghuni
yang mengunci diri dan hati pada sepi/ di hati kutanya-tanya, kapan ia bunuh
diri?” Dua larik bait kelima ini merupakan pemecahan yang terlintas di
benak penyair, namun pemecahan ini diungkapkan pula oleh penyair dalam majas
Interogasi untuk menjadi bahan pertimbangan pembaca. Dan bait terakhir: “Rumah batu, rumah kelabu/ kemuramannya
tidak memberita kecuali teka-teki”, adalah merupakan aksentuasi nosi dan
emosi imajinatif penyair menyangkut suasana ketertutupan sang penghuni, yang
mengurung diri bersama hati yang dirundung sepi dan duka. Suasana ketertutupan
yang diliputi misteri dan kemungkinan-kemungkinan sebagaimana telah dijelaskan
di atas.
Berdasarkan uraian di atas ini maka dapat saya
simpulkan sebagai berikut: (1) Sajak “Rumah Kelabu” tidak tepat untuk
dibandingkan dengan sajak “Karangan Bunga” maupun sajak “Setasiun Tugu”. Cara
pengucapan sajak “Karangan Bunga”, “Setasiun Tugu”, dan “Rumah Kelabu” tidak
sama (berbeda), karena itu nilai-nilainya pun berbeda. (2) Sajak “Rumah Kelabu”
memiliki daya evokasi tersendiri, daya pikat tersendiri terhadap perasaan dan
pendengaran imajinatif kita—teristimewa bagi orang yang telah mengenal hakikat
majas Interogasi. Daya evokasi sajak “Rumah Kelabu” yang dibangun dengan majas
Interogasi sebagaimana dijelaskan di atas ini, sesungguhnya kembali menyadarkan
kita akan kemajemukan realita kehidupan: ada realita kehidupan yang terucapkan,
namun ada pula yang tetap tidak terucapkan. Ada realita kehidupan yang dapat
diramalbayangkan dan dipastikan, namun ada pula yang tak dapat diramalbayangkan
apalagi dipastikan.
Ya, dengan majas Interogasi sajak “Rumah Kelabu”,
kita digugah untuk senantiasa menyadari bagaimana menjalani kehidupan di dunia
ini yang senantiasa diliputi misteri dan
kemungkinan-kemungkinan. Kita digugah untuk belajar hidup dengan
ketidakpastian. Kita didorong untuk hidup karena percaya, walaupun tidak melihat.
***
(Telah dimuat di Harian Umum FLORES
POS, edisi 6 November 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar