Oleh:
A. G. Hadzarmawit Netti
SEKITAR tahun 1970-an di Indonesia muncul suatu
corak puisi yang dinamakan “puisi lugu” [puisi bersahaja]. Ada pula yang
menamakannya “puisi mbeling” [puisi ringan yang tujuannya membebaskan rasa
tertekan, gelisah, dan tegang], “puisi awam” [puisi biasa, tidak istimewa],
atau “puisi populer” [puisi yang mudah dipahami orang banyak], “puisi picisan”
[puisi bermutu rendah]. Muncul dan berkembangnya puisi lugu pada tahun-tahun
tersebut sempat menimbulkan sikap/penilaian pro dan kontra, baik dikalangan
penyair sendiri maupun di kalangan penikmat sastra dan kritikus sastra.
Puisi lugu mendapat perhatian dan tanggapan serius
lagi pada tahun 1976, ketika seorang
penyair muda Jakarta bernama Yudhistira Ardi Nugraha turut ditetapkan oleh Komite Sastra Dewan
Kesenian Jakarta sebagai pemenang dalam pemilihan penulis buku puisi terbaik,
di samping penyair senior Sitor Situmorang, Abdul Hadi W.M., dan Sutardji Calzoum
Bachri. Adapun buku-buku puisi terbaik yang ditetapkan oleh Komite Sastra DKJ
tersebut yakni: Peta Perjalanan
(Sitor Situmorang), Meditasi (Abdul
Hadi W.M.), Amuk (Sutardji Calzoum
Bachri), dan Sajak Sikat Gigi (Yudhistira Ardi Nugraha).
Keputusan Komite Sastra DKJ yang menetapkan penyair
muda Yudhistira Ardi Nugraha termasuk sebagai pemenang menimbulkan reaksi yang
keras, khususnya dari ketiga penyair senior yang dinyatakan pula sebagai
pemenang. Sitor Situmorang, Abdul Hadi W.M., dan Sutardji Calzoum Bachri secara
tegas menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap Komite Sastra DKJ, bahkan
menilai Komite Sastra DKJ ceroboh, karena karya mereka sebagai penyair senior
dimasukkan dalam kategori yang sama dengan karya penyair muda Yudhistira Ardi
Nugraha, yang mereka anggap “lugu, tidak berbobot, atau Kitsch”. Catatan:
Kitsch, dalam kesenian,
artinya: tulisan yang tidak bermutu; roman picisan; karya seni apa saja yang
terlalu berlebih-lebihan, mutunya lebih rendah, atau cita rasanya buruk (Chambers Twentieth Century Dictionary 1972:726;
The New Lexicon Webster International
Dictionary 1971:529).
Reaksi ketiga penyair senior tersebut bukan saja
ditentukan oleh faktor subjektif, yaitu rasa ketersinggungan mereka sebagai
penyair senior yang disetarakan dengan seorang penyair muda yang karyanya
dinilai lugu, melainkan ditentukan pula oleh faktor mendasar yang secara
fanatik telah dianut dalam dunia kepenyairan dan dunia perpuisian, yaitu faktor
kriteria yang menentukan suatu karya puisi itu dinilai berbobot atau tidak, dan
yang serentak menentukan pula seorang penyair diakui sebagai penyair yang
berbobot atau tidak berbobot. Pada dasarnya kriteria yang dianut dalam dunia
perpuisian dan dunia kepenyairan konvensional yakni: pertama, pendalaman
masalah manusia yang luas dan universal; kedua, wawasan cipta sang penyair;
ketiga, keterlibatan penyair dengan masalah manusia yang luas dan universal;
keempat, sikap dan motif bersajak sang penyair harus jelas; dan kelima,
pencapaian estetik sang penyair dalam karya puisinya harus betul-betul personal,
tidak imitatif.
Berdasarkan kelima kriteria di atas inilah Sitor
Situmorang, Abdul Hadi W.M, dan Sutardji Calzoum Bachri tegas menolak ditetapkannya
penyair muda Yudhistira Ardi Nugraha
sebagai pemenang. Menurut
ketiga penyair senior tersebut, sajak Yudhistira merupakan parodi yang gagal
dari sajak. Yudhistira dinilai tidak mengerti apa itu puisi dan peranan
penyair. Di dalam Sajak Sikat Gigi tidak
ada pendalaman masalah manusia dan penyairnya, serta tidak ada wawasan cipta
penyair. Keterlibatan penyair dengan masalah-masalah manusia yang luas dan
universal tidak tampak, begitu pula dengan sikap dan motif bersajak penyair
tidak jelas, di samping tidak adanya pencapaian estetik penyair dalam
puisi-puisinya yang betul-betul personal. Abdul Hadi W.M mengatakan: apa yang
Yudhistira kemukakan dalam sajaknya, adalah sekadar melucu, sekadar permainan
kata-kata atau logika, dan hanya menulis sesuatu mengenai kulit luarnya saja.
Apapun komentar atau kritik yang dilontarkan kepada
penyair Yudhistira Ardi Nugraha dengan karyanya yang berjudul Sajak Sikat Gigi, menurut pertimbangan
saya, Yudhistira sudah menempati posisi tersendiri dalam dunia perpuisian
kontemporer Indonesia pada tahun 1970-an. Sama saja dengan presensi penyair
Sutardji Calzoum Bachri yang pernah berpendirian, “kata-kata bukanlah alat
mengantarkan pengertian, kata-kata haruslah bebas dari penjajahan pengertian,
dari beban idea”, lalu pada tahun 1973-1974 menggubah puisi semisal “Q”, “Tragedi Winka & Sihka” , dan “AMUK”;
maupun Sitor Situmorang yang dulu melahirkan puisi “Malam Lebaran” yang hanya
terdiri atas satu larik saja yang berbunyi, “Bulan
di atas kuburan”; maka mengapa Yudhistira tidak boleh menampilkan puisi
yang lugu atau puisi mbeling seperti “Biarin”, “Tak Sudi”, dan “Lagu Kiriman”
Lalu, apakah ciri puisi yang dikategorikan sebagai
puisi lugu atau puisi mbeling itu? Puisi lugu atau puisi mbeling itu, berbeda
dengan puisi serius, pada umumnya ditandai oleh: (1) pengungkapan kesan sekilas
dari peristiwa kehidupan sehari-hari; (2) Apakah itu peristiwa kehidupan yang
besar atau kecil, diungkapkan oleh penyair secara lugu dan mengandung humor;
(3) Penggunaan diksi dan simbol yang ringan dan tepat, bahkan kata-kata yang
sering dipergunakan oleh penyair adalah kata-kata yang kasar dan jorok; (4)
Cara pengungkapan bersifat blak-blakan, terus terang, di samping penggunaan
bahasa kacauan, atau penggunaan bahasa yang tidak mengindahkan norma bahasa. Berikut
ini saya kutip puisi penyair Yudhistira Ardi Nugraha berjudul “BIARIN” sebagai
contoh. Larik-lariknya berbunyi sebagai berikut:
“Kamu
bilang hidup ini brengsek. Aku bilang biarin/ kamu bilang hidup ini ngak punya
arti. Aku bilang biarin/ kamu bilang aku ngak punya kegembiraan. Aku bilang biarin/
kamu bilang aku ngak punya pengertian. Aku bilang biarin// habisnya, terus
terang saja, aku ngak percaya sama kamu/ tak usah marah. Aku tahu kamu orangnya
sederhana/ cuma karena kamu merasa asing saja makanya kamu selalu bilang/
seperti itu// kamu bilang aku bajingan. Aku bilang biarin/ kamu bilang aku
perampok. Aku bilang biarin// soalnya, kalau aku ngak jadi bajingan, menjadi
apa coba,/ lonte?// aku laki-laki. Kalau kamu ngak suka kepadaku sebab itu/ aku
rampok hati kamu. Tokh ngak ada yang ngak perampok di/ dunia ini, iya ngak?
Kalau ngak percaya tanya saja sama polisi// habisnya, kalau ngak kubilang
begitu mau apa coba/ bunuh diri? Itu lebih brengsek daripada membiarkan hidup
ini/ berjalan seperti kamu sadari sekarang ini// kamu bilang itu menyakitkan.
Aku bilang biarin.”
Terlepas dari
berbagai macam kategori, setiap puisi dapat dipertanyakan: adakah artinya yang
sebenarnya? Terhadap pertanyaan ini, terdapat beberapa jawaban: (1) Dengan
puisi penyair dapat memberikan hiburan, semangat, sindiran, kritikan atau
kecaman, nasihat, bahkan juga hasutan, atau propaganda kepada masyarakat. (2)
Puisi sebagai suatu karya seni yang otentik dapat membawa manusia untuk berdoa.
Dan setiap puisi yang baik adalah suatu pemberitaan dan kesaksian yang sangat
efektif. (3) Puisi bukanlah selamanya sesuatu yang agung (penyaksian kedalaman
makna kehidupan), tetapi sesuatu yang dapat diajak santai dan bermain-main.
***
(Telah dimuat di Harian Umum FLORES POS, edisi
Rabu, 21 November 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar