Oleh:
A. G. Hadzarmawit Netti
PADA tanggal 12 Desember 2012 tahun ini akan genap
dua puluh tahun terjadinya suatu peristiwa teramat tragis di sepenggal dunia
bernama Flores. Peristiwa tragis itu ialah gempa
berkekuatan 7,5 SR yang terjadi
di laut Flores, sebelah utara pulau tersebut, sehingga menimbulkan tsunami setinggi 36 meter yang menyapu
permukiman di pesisir pantai Flores. Bencana dahsyat itu terjadi pada tanggal
12 Desember 1992.
Gempa tersebut menghancurkan 18.000 rumah, 113
sekolah, 90 tempat ibadah, dan lebih dari 65 tempat lainnya. Kabupaten yang
terkena gempa itu ialah Kabupaten Sika, Ngada, Ede, dan Flores Timur. Sedangkan
tsunami yang menyapu permukiman di pesisir pantai Flores menewaskan 2.100 orang;
500 orang dinyatakan hilang; 447 orang mengalami luka-luka, dan 5.000 orang
mengungsi. Gempa dan tsunami Flores tergolong bencana alam yang dahsyat! Dari
berbagai sumber yang saya catat, di samping gempa dan tsunami Flores, dan gempa
serta tsunami Aceh yang menewaskan 226
ribu orang, ada 13 gempa dahsyat dan tsunami yang terjadi antara tahun 1920
sampai tahun 2011 yang menewaskan 1.288.800 orang.
Sehubungan dengan
peristiwa gempa dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2004, saya sangat
terkesan dengan refleksi teologis Dr. Paul Budi Kleden, SVD dalam artikel
“Bencana alam: Sebuah hukuman Allah?” (POS
KUPANG, Senin, 10 Januari 2005). Pada alinea 13, Paul Budi Kleden berkata,
“Adalah benar bahwa kita perlu menimba hikmah dari bencana alam seperti yang terjadi
pada tanggal 26 Desember [2004]. Peristiwa itu hendaknya menyadarkan kita akan
betapa goyahnya hidup ini. Kematian dapat menimpa seseorang secara tak terduga.
Bencana dapat merenggut orang yang kita kasihi sebelum kita sanggup
menyampaikan rasa terima kasih atau ungkapan penyesalan kita kepadanya. Sebab
itu, kita perlu mendekatkan diri kepada-Nya, mencari dan melaksanakan
kehendak-Nya, karena dapat saja terjadi kita sudah mesti mempertanggungjawabkan
peluang hidup yang diberikan-Nya sebelum kita merasa cukup matang untuk itu…”
Dan pada alinea 16, Paul Budi Kleden lebih lanjut berkata, “Di tengah alam yang
terus berubah ini, di tengah dunia yang bisa saja mendatangkan bencana bagi
manusia, pertanyaan yang paling penting adalah: bagaimana mengimani Allah
sebagai kekuatan untuk tetap mencintai dan mengupayakan kehidupan. Semua
gambaran tentang Allah yang menghancurkan semangat hidup perlu dijauhkan, untuk
menumbuhkan konsep tentang Allah yang menjadi sumber harapan di tengah kematian
yang tak terduga dan penderitaan yang bertimbun…” Refleksi teologis Paul Budi Kleden, yang saya kutip ini sangat
benar.
Berkenaan
dengan peristiwa gempa dan tsunami Flores pada 12 Desember 1992, yang pada 12
Desember 2012 genap terjadi 20 tahun yang lalu, saya tergugah untuk
mengapresiasi sebuah puisi indah tentang bencana alam berjudul, “RATAPAN
SEMESTA”, karya penyair John Dami Mukese, yang larik-lariknya berbunyi sebagai
berikut:
“Pandanglah ya… Tuhan apa yang terjadi atas kami/
Lihatlah dan saksikan sendiri kehinaan umat-Mu tersiksa/ Kami terjepit oleh
derita, napas kami didesak/ bencana, udara tercemar mengelilingi kami/ Dan air
kotor menggenangi kami/ Mengapa Engkau menghindar ya … Tuhan/ Biarkan kami
dalam rana?/ Mengapa wajahmu Kaupalingkan/ Sedangkan alam terus menyiksa?/
Karena negeri kami tercinta telah menjadi musuh kami/ Tanah yang kami usahakan
kini hasilkan wabah kelaparan/ Mengapa Engkau menutup langit-Mu/ Melarang hujan
menetesi bumi?/ Mengapa Kaubiarkan tanah kami hangus/ Dibakar mentari terik?/
Di tepi-tepi kali kering kami menangis/ Menyesali salah leluhur kami/ karena
seluruh daerah aliran sungai/ Kini kerontang sejak sumbernya Kau tutupi/ Di
sana air mata kami membasahi/ Segenap alur sungai/ tapi hujan tak kunjung tiba
membawa/ damai batin kami yang damba/ Lidah kami melekat di langit-langit/
karena dahaga terlampau hebat/ Kerongkongan kami mengering/ Oleh kehausan maha
dahsyat/ Kaki kami melepuh nyeri/ Oleh debu menebal sepanjang jalanan/ Kauhidangkan
keringat bercucuran/ Bagai minuman di tengah siang/ Sia-sia kami mencari bakung
di padang/ Mawar yang menghiasi tanaman kami/ Telah musnah jadi mangsa dalam
racun tanah/ Tanpa humus tanpa air/ Gelak tawa anak-anak kami telah diganti/
Kuatir tak usai/ Tentang masa depan tak pasti/ Di ujung senja-Mu penuh sanksi./
Dari padang-padang tandus kami mengadu/ dari bukit-bukit gundul kami mengeluh/
dari lembah-lembah gersang kami mengerang/ dari sungai-sungai kering kami
menjerit/ Tapi tak seorangpun mendengar/ rela membawa berita kesukaan/ nasib
ciptaan-Mu terlantar” ( Majalah Lintasan WISATA *Untaian Mutiara Flobamora*. Dinas Pariwisata Provinsi
NTT, Edisi Kedua, 1993:24).
Ya, “Ratapan Semesta”! Tangisan universal yang
disertai ucapan yang mengharukan akibat
bencana alam. Itulah nosi dan emosi yang diwedarkan dalam larik yang berbunyi: “Pandanglah ya… Tuhan apa yang terjadi atas
kami/ Lihatlah dan saksikan sendiri kehinaan umat-Mu tersiksa/ Kami terjepit
oleh derita, napas kami didesak/ bencana, udara tercemar mengelilingi kami/ Dan
air kotor menggenangi kami”. Itulah ratapan semesta akibat bencana yang
mencetuskan persoalan teodice bagi seluruh umat manusia: “Mengapa Engkau menghindar ya… Tuhan/
Biarkan kami dalam rana?/ Mengapa wajah-Mu Kaupalingkan/ Sedangkan alam terus menyiksa?/
Mengapa Engkau menutup langit-Mu/ Melarang hujan menetesi bumi?/ Mengapa
Kaubiarkan tanah kami hangus/ Dibakar mentari terik?”
Di dalam lingkungan pemikiran Kristen yang bergumul
dengan masalah teodice, dapat dibedakan
beberapa dasar pandangan. Namun satu pandangan yang sangat saya setujui ialah
pandangan teologis Paul Budi Kleden, sebagaimana telah saya kutip di atas. Dan
senada dengan pandangan teologis Paul Budi Kleden, penyair John Dami Mukese
melakukan suatu refleksi berkenaan dengan bencana alam yang terjadi, dan yang
dialami: “Di tepi-tepi kali kering kami
menangis/ Menyesali salah leluhur kami.” Larik puisi ini menyarankan suatu keinsafan,
bahwasanya bencana alam yang terjadi bukan
semata-mata hukuman Allah yang ditimpakan kepada manusia, melainkan karena ulah
manusia yang tidak bertanggung jawab dalam mengelola alam dan lingkungan hidup.
Akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab, yang penyair lukiskan
sebagai “salah leluhur kami”, maka berbagai
nestapa bencana alam dialami generasi kemudian dan anak-cucu, sebagaimana nosi
dan emosi yang penyair lukiskan mulai
dari larik ke-16 dan ke-17: “karena
seluruh daerah aliran sungai/ Kini kerontang sejak sumbernya Kaututup”, sampai
dengan larik-larik yang berbunyi: “Dari
padang-padang tandus kami mengadu/ dari bukit-bukit gundul kami mengeluh/ dari
lembah-lembah gersang kami mengerang/ dari sungai-sungai kering kami menjerit”.
Lalu, adakah orang-orang sebagai pihak-pihak berkompeten
yang mendengar dan mempedulikan mereka yang mengadu, mengeluh, dan menjerit
akibat bencana alam? Pada tiga larik terakhir, penyair John Dami Mukese menyaksikan:
“Tapi tak seorangpun mendengar/ rela
membawa berita kesukaan/ nasib ciptaan-Mu terlantar.” Larik-larik ini
menyarankan: tidak adanya kepedulian sosial terhadap mereka yang menderita dari
pihak yang berkompeten! Sungguh sangat tragis dan ironis.
***
(Telah dimuat di
Harian Umum FLORES POS, edisi Rabu,
12 Desember 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar