Oleh:
A. G. Hadzarmawit Netti
DALAM tulisan ini ada tiga sajak penyair Yudhistira
Ardi Nugraha yang akan saya bahas. Ketiga sajak itu yakni, “BIARIN”, “TAK SUDI”,
dan “LAGU KIRIMAN”. Sajak-sajak ini digolongkan sebagai puisi lugu atau puisi
mbeling. Untuk kepentingan pembahasan, saya akan kutip larik-larik sajak yang
berjudul “BIARIN” berikut ini.
Larik-larik sajak saya pisahkan dengan garis miring tunggal ( / ), dan
bait-bait sajak saya pisahkan
dengan garis miring ganda ( // ).
“Kamu
bilang hidup ini brengsek. Aku bilang biarin/ kamu bilang hidup ini ngak punya
arti. Aku bilang biarin/ kamu bilang aku ngak punya kegembiraan. Aku bilang
biarin/ kamu bilang aku ngak punya pengertian. Aku bilang biarin// habisnya, terus
terang saja, aku ngak percaya sama kamu/ Tak usah marah. Aku tahu kamu orangnya
sederhana/ cuma karena kamu merasa asing saja makanya kamu selalu bilang/
seperti itu// kamu bilang aku bajingan. Aku bilang biarin/ kamu bilang aku
perampok. Aku bilang biarin// soalnya, kalau aku ngak jadi bajingan, menjadi
apa coba, lonte?/ aku laki-laki. Kalau kamu ngak suka kepadaku sebab itu/ aku
rampok hatimu. Tokh ngak ada yang ngak perampok di/ dunia ini, iya ngak? Kalau
ngak percaya tanya saja sama polisi// habisnya, kalau ngak kubilang begitu mau
apa coba/ bunuh diri? Itu lebih brengsek dari pada membiarkan hidup ini/
berjalan seperti kamu sadari sekarang ini// kamu bilang itu menyakitkan. Aku
bilang biarin”
Mungkinkah sajak penyair Yudhistira yang berjudul
“BIARIN” ini merupakan suatu refleksi berkenaan dengan perkembangan dinamika
kehidupan masyarakat kota yang sering menunjukkan sikap pesimis, skeptis,
individualistis, anarkistis, apatisme (acuh tak acuh, tidak peduli, masa bodoh)?
Ya, agaknya begitu. Terasa benar bahwa melalui larik-larik sajak ‘BIARIN”
penyair mengaksentuasikan nosi dan emosi imajinatifnya pada masalah perbedaan
paham, perbedaan penghayatan terhadap nilai-nilai kehidupan, perbedaan
pengertian serta visi yang melahirkan pertentangan, penolakan, saling tidak
menerima, curiga-mencurigai, tuduh-menuduh, fintah-memfitnah, yang melahirkan
sikap pesimis, skeptis, individualis, anarkis, dan apatisme. Suasana yang
dilukiskan oleh penyair terasa tiada keselarasan, tiada keseimbangan, dan tiada
keharmonisan. “Aku” dan “kau” berada
dalam suatu dunia ketidakpedulian melulu.
Bagaimanakah dengan puisi berjudul “TAK SUDI” yang
larik-lariknya berbunyi: “Kalau di tiap
tak sudi orang boleh minggir/ itu namanya: kiri!/ Kalau di tiap tak sudi orang
tak boleh minggir/ itu namanya: bukan kanan!/ Ada abstraksi? Kiri atau bukan
kanan orang tetap bilang: tak sudi!”
Permainan kata-kata atau permainan logika melulu?
Saya pikir, tidak. Bersifat banal, tidak berbobot, atau Kitsch? Tunggu dulu! Baiklah kita pertimbangkan dengan cermat. Agaknya
nosi dan emosi imajinatif yang tersirat dalam puisi “TAK SUDI” menyarankan
suatu dinamika masyarakat kota yang bersifat apatis, dan defaitisme. Sikap
apatis, dan defaitisme ini sangat kuat mempengaruhi pertimbangan, dan penentuan
sikap warga masyarakat. Perhatikan nosi dan emosi imajinatif yang tersirat
dalam larik yang berbunyi: “Kalau di tiap
tak sudi orang boleh minggir/ itu namanya: kiri!” Ungkapan kiri dalam
larik ini bukan menyarankan makna radikal, melainkan menyarankan
makna kelemahan, ketakberdayaan, dan masa bodoh di dalam menghadapi
dan memecahkan masalah yang tersirat dalam ungkapan di tiap tak sudi. Perhatikan pula larik yang berbunyi: “Kalau di tiap tak sudi orang tak boleh
minggir/ itu namanya: bukan kanan!” Ungkapan bukan kanan dalam larik ini menyarankan
makna bukan berkecenderungan selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan
yang ekstrem, sekaligus makna sikap bertahan, sikap radikal, sikap ekstrem
dalam menuntut perubahan. Dengan
demikian, antara makna yang disarankan oleh ungkapan kiri pada larik pertama,
dan makna yang disarankan oleh ungkapan bukan kanan yang terdapat pada larik
kedua, ada abstraksi, seperti kata penyair Yudhistira. Dan ada
abstraksi dalam puisi ini menyarankan arti: ada kebingungan, ada
kelinglungan, ada ketidakpastian. Akibatnya orang tidak dapat
menjatuhkan pilihan di antara opsi: atau kiri, atau bukan kanan. Itulah
sebabnya pada larik terakhir penyair berkata: “Kiri atau bukan kanan orang tetap bilang: tak sudi!
Lalu, bagaimanakah pula dengan puisi berjudul “LAGU
KIRIMAN” yang larik-lariknya berbunyi sebagai berikut: “(dengan ucapan: salam kompak selalu)/ Sekarang kita dengarkan kembali/
satu nomor dari (tak terbaca)/ Listrik mati./ Banyak salam tak jadi dikirim/
Apa boleh buat./ Banyak orang tak berdaya/ tak pernah jadi terhibur.”
Pada tahun 1976, ketika Komite Sastra Dewan Kesenian
Jakarta menetapkan Yudhistira sebagai salah satu pemenang dalam pemilihan
penulis buku puisi terbaik, Sutardji Calzoum Bachri pernah melontarkan kritik/penilaian
bahwa puisi ini hanya merupakan suatu catatan secara datar mengenai apa yang
didengar dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah percakapan yang banal dari siaran
radio amatir sudah bisa menjadi sajak, hanya dengan memindahkannya begitu saja
di atas kertas. Dua baris terakhir menguji berapa kedalaman hidup yang bisa
diberikan penyair ke dalam sajaknya. Ternyata kebanalan belaka. Yudhistira
tampaknya hanya ingin melucu saja dalam sajaknya itu. Begitulah penilaian
Sutardji Calzoum Bachri.
Tetapi menurut pertimbangan saya, penyair Yudhistira
tidak ingin melucu melalui puisi lugunya itu. Sebenarnya, secara lugu
Yudhistira menyingkapkan kenyataan yang hampir tak disadari oleh manusia
moderen, bahwa sesungguhnya pada situasi-situasi tertentu, manusia telah
terperangkap di bawah dominasi permesinan dan teknologi moderen yang diciptakan
oleh manusia itu sendiri. Memang benar, bahwa permesinan dan teknologi moderen
dalam kenyataannya memberikan manfaat yang tak terkatakan bagi manusia yang
mempergunakannya. Manusia merasa puas dan sangat terhibur berkat jasa mesin dan
teknologi. Namun apabila kita berpikir dan merenungkan secara mendalam, maka bukankah benar pula bahwa rasa puas dan
rasa terhibur yang diberikan oleh jasa mesin dan teknologi moderen itu
sewaktu-waktu dapat berubah secara tiba-tiba menjadi rasa kecewa dan ketiadaan
daya, sebagai akibat dari kemacetan atau kerusakan pada mesin atau teknologi
moderen yang diandalkan oleh manusia itu?
Peristiwa kecil yang, kendati pun secara lugu,
dilukiskan oleh penyair Yudhistira dalam puisi “LAGU KIRIMAN” : listrik mati di
studio radio amatir, sehingga penyiar tidak dapat membacakan salam, dan lagu
kiriman tidak dapat diperdengarkan/diudarakan, jelas menunjuk kepada apa yang
telah dikemukakan di atas ini. Dengan demikian maka larik-larik yang berbunyi: “Banyak salam tak jadi dikirimkan/ Apa boleh
buat./ Banyak orang tak berdaya/ tak pernah jadi terhibur”, secara lugu namun
tepat melukiskan keterperangkapan manusia di bawah dominasi permesinan dan
teknologi moderen pada situasi-situasi tertentu, ketika mesin dan/atau
teknologi moderen yang diandalkan itu mengalami kemacetan/ kerusakan. Dan ini
pun merupakan secuil gejolak hidup yang dialami oleh masyarakat maju umumnya di
kota-kota, dan kota metropolitan di berbagai negara di dunia ini, pada
situasi-situasi tertentu.
***
(Telah dimuat di Harian Umum FLORES POS, edisi Selasa, 18 Desember 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar