Oleh: A. G.
Hadzarmawit Netti
Pertama- tama
saya ucapkan terima kasih banyak kepada redaksi Flores Pos yang telah menerbitkan tiga tulisan saya, masing-masing
berjudul: “Menumbuhkan Minat Sastra Masyarakat NTT” (FP, Kamis, 20 September
2012); “Sastra dan Kritik Sastra” (FP, Kamis, 27 September 2012); serta “Kritik
Sastra dan Aliran Pukuafu” (FP, Jumat, 5 Oktober 2012). Dengan telah
diterbitkannya tiga tulisan sederhana tentang sastra, kritik sastra, dan aliran
Pukuafu, yaitu nama aliran kritik sastra versi kritikus sastra A. G.
Hadzarmawit Netti, maka dalam tulisan kali ini saya sajikan sebuah telaah
sastra berjudul, “Pelukisan dan penalaran dalam sajak ‘Karangan Bunga’”. Dan
pada kesempatan berikutnya, ada dua sajak lagi yang akan saya telaah, yaitu
sajak “Setasiun Tugu”, karya Taufiq Ismail, dan sajak “Rumah Kelabu”, karya W.
S. Rendra.
Dalam buku Bimbingan
Apresiasi Puisi (1974:139 – 142), Drs. S. Effendi membahas tentang “pelukisan
dan penalaran” dalam sajak. Beberapa sajak yang dibahas oleh Effendi antara
lain “Karangan Bunga” dan “Setasiun Tugu” karya Taufiq Ismail, serta sajak
“Rumah Kelabu” karya W. S, Rendra. Setelah membahas sajak-sajak tersebut,
Effendi menyimpulkan bahwa “Lukisan yang hidup, tanpa tanggapan, komentar atau
amanat, dapat bersifat sugestif terhadap pembaca.”
Berikut ini
saya akan membahas sajak “Karangan Bunga” karya Taufiq Ismail untuk menguji apakah
kesimpulan Effendi sebagaimana di kutip di atas ini memuaskan, atau kurang memuaskan.
Dalam pengutipan sajak “Karangan Bunga” berikut ini, pemisahan lari-larik sajak
saya tandai dengan garis miring tunggal ( / ), sedangkan pemisahan bait sajak
saya tandai dengan garis miring ganda ( // ). Dengan demikian larik-larik dan
bait sajak “Karangan Bunga” saya kutip sebagai berikut: “Tiga anak kecil/ Dalam langkah malu-malu/ Datang ke Salemba/ Sore
itu// ‘Ini dari kami bertiga/ Pita hitam pada karangan bunga/ Sebab kami ikut
berduka/ Bagi kakak yang ditembak mati/ Siang tadi’.”
Menurut Effendi,
kewajaran lebih menonjol pada sajak ini. Selain itu, nadanya lebih tersirat,
lebih implisit. Ketersiratan dan keimplisitan nada ini disebabkan karena
penciptanya hanya menunjukkan atau melukiskan apa yang hendak diungkapkannya,
tanpa menanggapi, mengomentari atau menentukan sikap terhadap lukisan itu.
Pesan atau amanatpun hanya tersirat, tidak tegas-tegas dinyatakan.
Penjelasan
Effendi sebagaimana dikutip di atas ini hanya cocok dan memuaskan untuk bait
pertama (larik pertama sampai larik keempat). Pada bait pertama yang terdiri
atas empat larik itu penyair hanya menunjukkan atau melukiskan tentang tiga
anak kecil, (yang) dalam langkah malu-malu datang ke Salemba, sore itu.
Perhatikan larik-larik bait pertama: “Tiga
anak kecil/ Dalam langkah malu-malu/ Datang ke Salemba/ Sore itu”. Dalam larik-larik tersebut tidak ada
tanggapan, komentar atau penentuan sikap penyair, dan juga tidak ada amanat.
Keempat larik pada bait pertama itu benar-benar hanya merupakan sebuah lukisan.
Namun untuk
bait kedua (larik pertama sampai larik kelima), penjelasan Effendi kurang cocok
dan kurang memuaskan. Rupa Effendi tidak memperhatikan empat hal yang terdapat
dalam bait kedua itu. Empat hal yang saya maksudkan itu yaitu: Pertama, bait kedua yang terdiri atas
lima larik itu diapit oleh tanda petik tunggal (‘…’). Dalam karangan atau
tulisan biasa, tanda petik tunggal (‘…’) berfungsi untuk mengapit makna atau
penjelasan kata. Dalam sajak, tanda petik tunggal (‘…’) berfungsi untuk
aksentuasi makna (maksud, amanat, arti,
isi), yang lazimnya saya sebut “nosi dan
emosi”.
Kedua, penggunaan pronomina penunjuk
umum (ini), mengacu ke acuan yang
dekat dengan pembicara (penulis), atau mengacu ke informasi yang akan
disampaikan. Pronomina penunjuk ini yang
penyair pergunakan di awal larik pertama bait kedua, mengacu ke informasi
(pesan, keterangan, komentar) yang akan disampaikan. Apabila larik sajak
tersebut dilisankan atau dibaca, maka pronomina penunjuk ini diikuti jeda dan/atau aksentuasi. Dengan demikian terciptalah
aksentuasi/penekanan yang mengacu pula ke informasi (pesan, keterangan,
komentar) yang akan disampaikan.
Ketiga, penggunaan keterangan penyebab (sebab) pada awal larik ketiga bait kedua
berfungsi untuk menyatakan alasan terjadinya suatu peristiwa atau kejadian. Dengan
demikian, penggunaan kata sebab di
awal larik ketiga bait kedua pada gilirannya merupakan suatu pernyataan alasan,
atau pernyataan prinsip. Keempat, penggunaan
preposisi monomorfemis (bagi) di awal
larik keempat, berfungsi untuk menandai hubungan peruntukan—yang di dalam larik
sajak, kata itu berfungsi pula untuk menegaskan makna (maksud, amanat, arti,
isi), yang lazimnya saya sebut nosi dan emosi.
Berdasarkan
empat hal yang dikemukakan di atas inilah, saya berpendapat bahwa pelukisan dan
penalaran larik-larik bait kedua sajak “Karangan Bunga” tidak sama dengan pelukisan
dan penalaran larik-larik bait pertama. Larik-larik pada bait pertama memang
hanya merupakan sebuah lukisan. Akan tetapi bait kedua seutuhnya merupakan
sebuah pernyataan (sebuah maklumat, sebuah manifestasi) yang tegas. Larik-larik
bait kedua merupakan sebuah tanggapan (pendapat, reaksi, komentar, respons)
penyair, yang menempatkan diri pada posisi tiga anak kecil, berkenaan dengan
tokoh “kakak yang ditembak mati/ Siang
tadi”. Dengan demikian, dalam bait kedua itu pesan atau amanat tidak lagi
tersirat, melainkan telah dinyatakan secara tegas (tersurat).
Bait kedua
sajak “Karangan Bunga” itu akan menjadi sebuah lukisan seperti bait pertama, apabila
larik-lariknya digubah sebagai berikut: “Seorang
di antaranya/ Meletakkan karangan bunga berpita hitam/ Di keranda jenazah kakak
yang ditembak mati/ Siang tadi”.
***
( Telah dimuat di Harian Umum FLORES POS, edisi Jumat, 19 Oktober 2012
).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar