Oleh: A. G.Hadzarmawit
Netti
Catatan
pengantar
Ioanes
Rakhmat dalam bukunya (2013:202-207) menyindir habis-habisan orang beragama
yang menjunjung kisah penciptaan, taman Eden, Adam, dan Hawa sebagaimana
tertulis dalam Perjanjian Lama (kitab Kejadian). Kisah penciptaan (Kejadian
1:1-31 dan 2:1-4a); Taman Eden, Adam, dan Hawa (Kejadian 2:8-25; 3:1- 24)
merupakan mitos, dongeng, fiksi teologis, yang direndahkan sampai pada taraf
tak bermakna yang patut disingkirkan. Hal ini ia lakukan dengan terlalu nekat
karena ia telah menjadi seorang agnostik dan/atau ateis, serta mengambil posisi
konflik abadi dengan agama yang
semula dianutnya.
Akan
tetapi kenekatan Ioanes Rakhmat merendahkan dan menafikan mitos, fiksi teologis
tentang kisah penciptaan, Taman Eden, Adam dan Hawa yang dikisahkan dalam Kitab
Kejadian, sesungguhnya sangat konyol. Mengapa
saya katakan kenekatan Ioanes Rakhmat sangat konyol? Sebab, di bagian lain dari
bukunya, Ioanes Rakhmat berkata begini: “Teologi
ternyata juga memerlukan dan memang memakai fiksi-fiksi atau kisah-kisah
imajinatif sebagai wahana-wahana sastra komunikatif untuk menyampaikan pesan-pesannya.
Fiksi juga menyandang suatu nilai religius. Dengan fiksi juga, orang dapat
membuat banyak hal dalam dunia ini make
sense, bermakna, dapat dimengerti dan masuk ke dalam akalnya. Fiksi memang
bisa membangun suatu moralitas yang bagus pada diri seorang beragama, dan bisa
juga membuatnya lebih berhikmat, imajinatif, berbahagia dan terhibur dalam
arti-arti tertentu, dan dapat membantunya masuk ke dalam berbagai pengalaman
religius yang diproses dalam organ otak manusia.” (2013:52).
Jikalau
Ioanes Rakhmat mengakui manfaat fiksi-fiksi atau kisah-kisah imajinatif dalam
teologi sebagaimana dikutip di atas ini, mengapa Ioanes Rakhmat begitu nekat
menafikan kisah (mitos) tentang penciptaan, Taman Eden, Adam, dan Hawa
sebagaimana diwedarkannya dalam bukunya (2013:202 – 207)? Apakah kisah tentang
penciptaan, Taman Eden, Adam, dan Hawa tidak mengandung nilai-nilai religius dan
tidak menyampaikan pesan-pesan moral? Rupanya Ioanes Rakhmat mengalami suatu
gangguan mental-psikologis yang berat ketika mulai menjadi seorang agnostik
dan/atau ateis yang mengambil posisi konflik
abadi dengan agama yang dianutnya semula.
Berkenaan
dengan kisah (mitos) tentang penciptaan maupun fiksi atau kisah imajinatif
tentang Taman Eden, Adam, dan Hawa dalam kitab Kejadian, saya ingin merangsang
otak Ioanes Rakhmat dengan wedaran-wedaran yang saya kemukakan di bawah ini.
Mudah-mudahan setelah membaca wedaran ini, kondisi kerja otak Ioanes Rakhmat
bisa normal kembali, sehingga lobus temporalis otak kiri dan lobus temporalis
otak kanannya bisa menjadi sinkron dan harmonis memberikan kesadaran, bahwa
mitos tentang penciptaan dalam kitab Kejadian, kisah-kisah imajinatif atau fiksi-fiksi teologis,
mengandung nilai-nilai kebenaran deskriptif demi kearifan yang melampaui
kebenaran instruksional demi kecekatan.
Tentang Kejadian
1:1-2:1-4a
Pada
tahun 2012 salah satu buku saya yang sangat sederhana berjudul, BILANGAN SUPER Dalam Konteks Religi dan
Budaya Etnis Rote Ndao diterbitkan oleh B You Publishing Surabaya. Dalam
buku tersebut saya uraikan tentang bilangan super 3, 6, 9, yang,
filosofis, merupakan pangkal adanya bilangan 1, 2, 4, 5, 7, 8. Bagaimana
menjelaskan adanya bilangan super 3, 6, 9 ini?
Mengenai
bilangan
super 3, 6, 9, dapat dijelaskan sebagai berikut: 3 tidak perlu dijumlahkan
dengan 6, atau 6 tidak perlu dijumlahkan dengan 3 sebab
hasil penjumlahannya, 9, sudah ada. Demikian pula 9 tidak perlu dikurangi 6 sebab
hasil pengurangannya, 3, sudah ada; dan juga 9 tidak
perlu dikurangi 3 sebab hasil pengurangannya, 6, sudah ada. Selanjutnya,
9 tidak
perlu dibagi 3 sebab hasil pembagiannya, 3 sudah ada; dan 3 tidak
perlu dikalikan dengan 3 karena hasil perkaliannya, 9,
sudah ada. Bilangan super yang dapat dibagi untuk memperoleh bilangan baru
hanyalah 6 dibagi 3, yang hasil pembagiannya ialah 2. Dengan hadirnya bilangan 2 yang
diperoleh dari hasil pembagian 6 : 3, maka bilangan-bilangan lain
dapat diperoleh dalam suatu harmoni susunan sebagai berikut: 3 – 2
= 1; sehingga tersusunlah bilangan 1, 2, 3. Kemudian, 3 + 1
= 4; 3 + 2 = 5; sehingga tersusunlah bilangan 1, 2, 3, 4, 5, 6. Setelah
itu, 3
+ 4 = 7 dan 3 + 5 = 8; sehingga tersusunlah bilangan-bilangan 1, 2,
3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, secara harmonis yang dikenal sebagai bilangan
pokok.
Dari
manakah saya peroleh pengetahuan bahwa bilangan 3, 6, 9 itu adalah bilangan super? Jawabnya singkat dan tegas: bukan dari Higgs
Boson dan/atau supernovae atau orang-orang yang mendewakan
Higgs
Boson dan/atau supernovae; dan bukan pula dari Pythagoras
maupun orang-orang Pythagorean; melainkan saya peroleh dari kredo
demi kearifan yang diwedarkan dalam kitab Kejadian 1:1-31 dan 2:1-4.
Apabila dunia diibaratkan sebagai pentas tempat manusia dan semua makhluk ada
dan berlakon,
masing-masing dengan caranya, maka pada tiga (3) hari pertama ALLAH menjadikan pentas dan dekorasinya yang kelak
bermanfaat dan menunjang manusia dan semua makhluk hidup yang berlakon di
atasnya. Dan pada tiga (3) hari kedua barulah ALLAH
menjadikan para pelaku
(makhluk-makhluk hidup dan manusia) yang akan menghuni dan berlakon di pentas
kehidupan yang telah dibuat oleh ALLAH. Di samping itu, dalam penciptaan ada tiga
(3) macam pemisahan, dan tiga (3) macam penguasa, yang dapat
diuraikan sebagai berikut.
Pada
hari pertama, ALLAH memisahkan terang dari
gelap. Terang itu dinamai siang, dan gelap itu malam (1:4), sejajar
dan saling isi-mengisi dan jalin-menjalin dengan hari keempat, ALLAH menjadikan benda penerang yang besar (matahari) untuk menguasai siang, dan benda penerang yang lebih kecil (bulan)
untuk menguasai malam, dan juga bintang-bintang pada cakrawala (1:14-18).
Pada
hari kedua, ALLAH memisahkan air yang ada di bawah
cakrawala dari air yang ada di atasnya, dan cakrawala itu dinamai langit (1:7),
sejajar
dan saling isi-mengisi dan jalin-menjalin dengan hari kelima, ALLAH menjadikan makhluk yang hidup berkeriapan
dalam air, burung beterbangan di atas bumi melintasi cakrawala,
binatang-binatang laut yang besar, segala makhluk hidup yang bergerak
(1:20-21).
Pada
hari ketiga, ALLAH memisahkan darat yang
kering dari air (laut) lalu menjadikan tumbuh-tumbuhan yang berbiji,
pohon-pohon yang menghasilkan buah (1:9-12), sejajar dan saling isi-mengisi
dan jalin-menjalin dengan hari keenam, ALLAH menjadikan binatang
ternak dan binatang liar dan segala jenis binatang melata di muka bumi, setelah
itu ALLAH
menjadikan manusia (laki-laki dan perempuan) untuk menguasai bumi, dan semua
makhluk lain yang hidup (1:24-27). Kesejajaran dan saling isi-mengisi
serta jalin-menjalin antara penciptaan pada hari ketiga dan hari keenam dapat
dibaca pada ayat 29-30.
Dari
uraian di atas terlihat dengan jelas keteraturan dan harmoni susunan eksistensi
bilangan
super tiga (3) dan (6) secara konsisten dalam kisah penciptaan langit
dan bumi serta segala isinya yang dilakukan oleh ALLAH. Dalam
kisah penciptaan itu pula terdapat tiga (3) intensitas
pernyataan/penegasan yang berbunyi: “ALLAH melihat bahwa terang itu baik”; “ALLAH
melihat bahwa semuanya itu baik”; dan ALLAH melihat segala yang
dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik”. Tiga intensitas pernyataan ini terdapat
dalam tujuh (7) ayat (1:4, 10, 12, 18, 21, 25, 31). Dan tiga intensitas
pernyataan yang terdapat dalam tujuh ayat tersebut terkait erat dan tak
terpisahkan dari sembilan (9) pernyataan yang berbunyi: “Berfirmanlah ALLAH…” yang terdapat dalam sembilan (9) ayat (1:3, 6, 9, 11,
14, 20, 24, 26, 29).
Lebih
lanjut, perhatikanlah keteraturan dan harmoni susunan bilangan super 3, 6, 9 dalam
enam
(6) hari penciptaan berdasarkan patokan pola dasar perkalian sebagai
berikut: Hari pertama (bilangan pokoknya, 1): 3 x 1 = 3; 6 x 1 = 6; 9 x 1 = 9.
Hari kedua (bilangan pokoknya, 2): 3 x 2 = 6; 6 x 2 = 12 (1 +
2) = 3; 9 x 2 = 18 (1 + 8) = 9. Hari ketiga (bilangan pokoknya, 3):
3
x 3 = 9; 6 x 3 = 18 (1 + 8) =9; 9 x 3 = 27 (2 + 7) = 9. Hari keempat (bilangan
pokoknya, 4): 3 x 4 = 12 (1 + 2) = 3; 6 x 4 = 24 (2 + 4) = 6; 9 x 4 = 36 (3 + 6) = 9.
Hari kelima (bilangan pokoknya, 5): 3 x 5 = 15 (1 + 5) = 6; 6 x 5 =
30 (3 + 0) = 3; 9 x 5 = 45 (4 + 5) = 9. Hari keenam (bilangan pokoknya,
6):
3 x
6 = 18 (1 + 8) = 9; 6 x 6 = 36 (3 + 6) = 9; 9 x 6 = 54 (5 + 4) = 9.
Berdasarkan
hasil kerja di atas ini saya mencatat keteraturan dan harmoni susunan
bilangan super 3, 6, 9, yang merupakan hasil perkalian dengan bilangan
pokok hari-hari penciptaan sebagai berikut: Hari pertama memiliki susunan hasil
perkalian bilangan super 3, 6, 9 yang sama dengan hari
keempat. Hari kedua memiliki susunan hasil perkalian bilangan
super 6, 3. 9 yang sama dengan hari kelima. Hari ketiga memiliki
susunan hasil perkalian bilangan super 9, 9, 9 yang sama dengan hari
keenam. Dan pada hari ketujuh (bilangan pokoknya, 7),
ALLAH menyelesaikan pekerjaan yang
dibuat-Nya memiliki keteraturan dan harmoni bilangan super sebagai berikut: 3 x 7
= 21 (2 + 1) = 3; 6 x 7 = 42 (4 + 2) = 6; 9 x 7 =63 (6 + 3) = 9. Kenyataan
ini memberi petunjuk bahwa bilangan super 3 dan 6 sebagai lambang
keteraturan dan harmoni dasar berperan dalam saling isi-mengisi dan memberi
makna di dalam membangun serta mewujudkan keteraturan dan harmoni yang sempurna,
yang dilambangkan oleh bilangan super 9.
Memperhatikan
hasil analisis sederhana di atas ternyata ALLAH yang diimani dan disembah oleh orang-orang beragama itu sungguh mahabesar dan mahakuasa; ALLAH
pencipta yang diimani dan disembah oleh orang-orang beragama itu
sungguh sebagai perancang mahacerdas. “Pada mulanya bumi belum
berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya,” (1:2); Roh ALLAH melayang-layang di atas permukaan air” (1:2),
setelah itu ALLAH berfirman dalam proses penciptaan, maka terciptalah
segala sesuatu yang dikisahkan dalam matriks enam (6) hari penciptaan. Pada
Kejadian 1:2 itu pun ALLAH sebagai
Pencipta dicitrakan dalam 3 citra, yaitu: ALLAH; ROH (ALLAH); dan FIRMAN
(ALLAH).
Ya,
ALLAH yang diimani dan disembah oleh
orang-orang beragama jauh lebih perkasa dari supernovae
yang diagungkan oleh Ioanes Rakhmat yang berkata: “Tanpa supernovae, tak ada kehidupan apapun dalam jagat raya kita.
Tanpa bintang-bintang yang meledak, tak kan ada komponen-komponen dasariah
molekul DNA. Tanpa DNA, tak akan ada bentuk kehidupan apapun dalam jagat raya” (IR,
2013:203); dan “tanpa Higgs Boson, tak
akan ada materi massif dan kohesif dalam jagat raya, dus jagat raya tak akan
terbentuk, juga tubuh anda dan kancing-kancing baju anda, dan, maaf, dua puting susu anda” (IR, 2013:118). Demikianlah pemuliaan yang Ioanes Rakhmat
rumuskan untuk yang diimaninya: supernovae dan/atau Higgs
Boson.
Berkenaan
dengan Kejadian 1:1-2:4a yang saya analisis di atas, Ioanes Rakhmat (2013:328,
329), berkata begini: “Jika analisis
internal atas kisah penciptaan langit dan Bumi selama 6 hari dalam Kejadian
1:1-2:4a dilakukan, kita akan menemukan informasi-informasi yang tak sesuai
dengan fakta-fakta sains, sehingga kita harus menyimpulkan kisah ini bukan
kisah sejarah. Beberapa kejanggalan
yang menonjol dapat disebutkan. Dalam kisah itu (sampai ayat 13), ‘hari
pertama’, ‘hari kedua’ dan ‘hari ketiga’ yang ditetapkan berdasarkan tibanya
‘petang’ dan tibanya ‘pagi’, sudah ada kendatipun Matahari baru diciptakan pada
‘hari keempat’ (ayat 14-19). Kejanggalan lainnya ada pada pernyataan bahwa
tetumbuhan sudah ada dan hidup, tumbuh, bertunas dan berbuah, pada ‘hari
ketiga’ (ayat 11-12), sementara Matahari yang cahayanya dibutuhkan untuk proses
fotosintesis baru ada pada ‘hari keempat’ (ayat 14-18)…”
Analisis
berdasarkan metode penulisan ilmu demi
kecekatan yang lazim dalam penelitian dan penulisan sains modern seperti
yang dilakukan oleh Ioanes Rakhmat atas Kejadian 1:1-2:4a sebagaimana dikutip
di atas ini, memang kelihatan benar pada permukaannya. Kelihatannya terdapat kejanggalan-kejanggalan
seperti yang ditunjukkan oleh Ioanes Rakhmat. Akan tetapi, analisis berdasarkan
kredo demi kearifan, sebagaimana
telah saya lakukan guna melihat kesejajaran
informasi yang saling terkait, isi-mengisi dan jalin-menjalin di antara
hari-hari penciptaan antara ‘hari pertama’ dengan ‘hari keempat’, ‘hari kedua’
dengan ‘hari kelima’ dan ‘hari ketiga’ dengan hari keenam’ yang dibuktikan
dengan kesamaan urutan bilangan super: 3, 6, 9 (hari pertama dan hari
keempat); 6, 3, 9 (hari kedua dan hari kelima); 9, 9, 9 (hari ketiga dan
hari keenam) sungguh sangat menakjubkan dan menggugah perhatian, sebab
kenyataan ini membuktikan bahwa otak penulis Kejadian 1:1-2:4a
dituntun oleh kuasa ilahi yang bersumber dari
ALLAH, mengutamakan keteraturan dan harmoni yang
tersirat di dalam cetak biru penciptaan oleh ALLAH. Dalam pewedaran tentang
penciptaan, penulis kitab Kejadian melakukan inversi pada wedaran
penciptaan hari pertama dan penciptaan hari keempat. yang tidak dipahami oleh
Ioanes Rakhmat. Sebab inversi yang dilakukan oleh penulis
kitab Kejadian itu hanya dapat dipahami oleh orang beragama yang memiliki kearifan, atau orang-orang yang
kondisi kerja otaknya normal, di mana lobus temporalis otak kiri dan lobus
temporalis otak kanan bekerja secara sinkron dan harmonis!
Pada
pihak lain, Ioanes Rakhmat benar, ketika menyimpulkan bahwa kisah Kejadian 1:1-2:4a ditulis dalam suatu
kebudayaan yang sudah mengenal sistem penanggalan yang membagi 1 minggu ke
dalam 7 hari, yang dipakai sebagai bingkai kisah tentang Allah menciptakan
langit dan Bumi selama 6 hari, dengan ‘hari ketujuh’ (Ibrani: Sabath) sebagai
saat Allah ‘berhenti’ dari segala kegiatannya (2:2-3)”. Hal ini pun telah
saya uraikan di atas. Tetapi, Ioanes Rakhmat salah apabila mengatakan bahwa dalam kisah ini muncul enam pernyataan bahwa
segala hal yang Allah telah kerjakan dalam
hari-hari penciptaan, ‘semuanya baik
adanya’ (ayat 10, 12, 18, 21, 25, 31); sebab yang sebenarnya, ada tiga
intensitas pernyataan “baik” berkenaan dengan karya
penciptaan ALLAH yang terdapat dalam
tujuh (7) ayat, yakni: [1] “Allah
melihat bahwa terang itu baik”
(1:4); [2] “Allah melihat bahwa semuanya
itu baik” (1:10, 12, 18, 21, 25); dan [3] “Allah melihat segala yang dijadikannya itu, sungguh amat
baik (1:31).
Selain
itu, Kejadian 1:1-2:4a sesungguhnya bukan syahadat Yahudi sebagaimana
dikatakan oleh Ioanes Rakhmat, melainkan kredo Yahudi. Alasannya, kata syahadat artinya [1] persaksian (perihal bersaksi); [2] Isl.
Persaksian dan pengakuan (ikrar) yang
benar, diikrarkan dengan lisan dan dibenarkan dengan hati bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah. Sedangkan kredo artinya, pernyataan kepercayaan, atau pernyataan
keyakinan, dan dasar tuntunan hidup.
Dengan demikian, Kejadian 1:1-31 dan 2;1-4a itu merupakan wedaran pernyataan kepercayaan, atau wedaran pernyataan keyakinan, dan dasar tuntunan hidup umat Yahudi yang
percaya akan ALLAH sebagai pencipta langit dan bumi serta segala isinya,
termasuk manusia, yang mereka [umat Yahudi] imani dan sembah.
Demikianlah
Kejadian 1:1-31 dan 2:1-4a itu semestinya diarifi, karena ia adalah kredo demi
kearifan, yang mengandung kebenaran deskriptif, yaitu kebenaran yang
bersifat menguraikan sesuatu secara jelas dan terperinci apa adanya berdasarkan iman/kepercayaan; bukannya suatu laporan
hasil penelitian ilmiah demi kecekatan yang mengandung kebenaran
instruksional, yaitu kebenaran eksak yang dapat diukur dan dibuktikan
detail-detailnya berdasarkan teori-teori sains modern.
Berkenaan
dengan bilangan super 3, 6, 9 yang tersirat dalam enam hari penciptaan dan hari
penyelesaian pekerjaan yang dilakukan oleh ALLAH yaitu hari ketujuh, maka bilangan
super 3, 6, 9 itu pun ALLAH
sangat utamakan dan siratkan dalam cetak
biru karya penebusan/penyelamatan-Nya melalui Yesus. Dalam Markus 15:25
dikatakan bahwa, “Pada jam sembilan pagi Yesus
disalibkan.” Dalam teks Yunani,
transkripsinya berbunyi, ēn de hōra tritē kai estaurōsan auton. [Teks Indonesia jam
sembilan, merupakan terjemahan kontekstual dari teks Yunani hōra tritē, yang secara
harafiah berarti jam ketiga]. Pada Markus 15:23 (Matius 27:45; Lukas 23:44)
dikatakan bahwa, “Pada jam dua belas kegelapan meliputi
seluruh daerah itu dan berlangsung sampai jam tiga”. Dalam teks Yunani,
transkripsinya berbunyi, Kai genomenēs hōras hektēs stokos egeneto eph holēn tēn gēn hōras enatēs. (Teks Indonesia jam
dua belas merupakan terjemahan kontekstual dari teks Yunani hōras hektēs, yang secara
harafiah berarti jam keenam; dan teks Indonesia
jam tiga merupakan terjemahan kontekstual dari teks Yunani hōras enatēs, yang secara
harafiah berarti jam kesembilan).
Perlu
kiranya Ioanes Rakhmat insaf bahwa bilangan super 3, 6, 9 yang tersirat
dalam cetak biru karya penciptaan dan karya penyelamatan sebagaimana diuraikan
di atas ini bukan diatur oleh Higgs Boson dan/atau supernovae yang Ioanes
Rakhmat puja dan agung-agungkan, melainkan ditata oleh ALLAH yang diimani di
dalam Yesus Kristus. Dan, selain itu, keberadaan bilangan super 3, 6, 9, tidak
dapat disadari dan direnungkan oleh kera-kera besar simpanse dan bonobo,
melainkan hanya dapat disadari dan direnungkan oleh manusia yang memiliki kesadaran dan penyadaran diri,
karena “nesyama” dan/atau nismat
hayyim (napas hidup) yang ALLAH berikan
kepada manusia.
.
Untuk mengetahui selengkapnya tentang eksistensi
bilangan super 3, 6, 9 sebagai suatu realitas transenden, baca saja buku
saya, Bilangan Super Dalam Konteks Religi
dan Budaya Etnis Rote Ndao (B You Publishing Surabaya, 2012:9 – 36).
Taman Eden,
Adam, dan Hawa
Lalu,
bagaimanakah dengan Taman Eden, Adam, dan
Hawa? Sekali lagi saya ulangi di sini bahwa Ioanes Rakhmat dalam bukunya
(2013:202-207) menyindir habis-habisan orang beragama yang menjunjung kisah
taman Eden, serta Adam dan Hawa sebagaimana tertulis dalam Perjanjian Lama
(kitab Kejadian). Akan tetapi pada bagian lain, Ioanes Rakhmat berkata: “Teologi ternyata juga memerlukan dan memang
memakai fiksi-fiksi atau kisah-kisah imajinatif sebagai wahana-wahana sastra
komunikatif untuk menyampaikan pesan-pesannya. Fiksi juga menyandang suatu
nilai religius. Dengan fiksi juga, orang dapat membuat banyak hal dalam dunia
ini make sense, bermakna, dapat
dimengerti dan masuk ke dalam akalnya. Fiksi memang bisa membangun suatu moralitas yang bagus pada
diri seseorang beragama, dan bisa juga membuatnya lebih berhikmat, imajinatif,
berbahagia dan terhibur dalam arti-arti tertentu, dan dapat membantunya masuk ke
dalam berbagai pengalaman religius yang diproses dalam organ otak manusia…” (2013:52).
Pernyataan
Ioanes Rakhmat sebagaimana dikutip di atas ini benar sekali, dan sepatutnya
Ioanes Rakhmat menunjukkan toleransinya. Namun anehnya, Ioanes
Rakhmat mengejek dan menafikan kisah tentang Taman Eden, Adam, dan Hawa; bahkan
ALLAH
yang dilukiskan secara anthropomorf
diejek pula. Bagi Ioanes Rakhmat,
kisah tentang Taman Eden, Adam, dan Hawa, serta ALLAH yang dilukiskan secara anthropomorf
adalah dongeng sepenuh-penuhnya yang lucu dan tak bermanfaat
(2013:202-207).
Taman
Eden, artinya
Taman Kesenangan; Taman Kenikmatan; Taman Kesukaan yang sangat besar; Taman
tempat Adam dan Hawa hidup menurut kisah kitab Kejadian. Terlepas dari dongeng,
fiksi, dan mitos, setiap orang, kini dan di sini, kapan pun dan di mana pun, senantiasa
berharap dan rindu untuk hidup dalam suatu lingkungan hidup yang penuh
kesenangan, kesukaan, kenikmatan, bahagia. Tetapi untuk dapat menikmati
kehidupan seperti itu, setiap orang harus hidup sesuai dengan rambu-rambu yang
ditentukan atau ditetapkan. Berdasarkan uraian singkat ini, maka Taman Eden yang dikisahkan dalam kitab
Kejadian punya pesan dan nilai moral serta nilai
religius yang tidak sepatutnya Ioanes Rakhmat ejek dan nafikan.
Adam
(Ibrani,
adam), manusia pertama [maskulin]
yang diciptakan (dijadikan) oleh ALLAH. Adam dijadikan dari debu tanah
(Ibrani, adamah). Demikianlah
“cara/tahap pertama” ALLAH bekerja
dengan mempergunakan bahan, unsur, atau zat (pelikan) ketika menciptakan
manusia. Kemudian, ALLAH menghembuskan
“napas hidup” (Ibrani, nesyama, atau nismat hayyim) ke dalam hidung tubuh
manusia yang ALLAH bentuk (jadikan)
itu. Ini merupakan “cara/tahap kedua ALLAH
melakukan pekerjaan-Nya dalam menciptakan manusia. Dan, sebagai hasil
(akibat) dari “menyatunya napas hidup yang dihembuskan ALLAH “ dengan “tubuh manusia yang dibentuk dari debu
tanah itu”, terjadilah “suatu kehidupan
yang sama sekali baru, atau sama sekali lain”, yaitu: “manusia (yang semula
dibentuk dari debu tanah itu)” menjadi “makhluk yang hidup” (Ibrani, nefes hayya). Dengan demikian, “manusia
sebagai makhluk yang hidup” (nefes hayya)
adalah sintesis dari pemberian “napas hidup” (nesyama, atau nismat hayyim) dari ALLAH
“ dengan “tubuh material (yang dibentuk dari debu tanah)”. Manusia
(Kejadian 2:7) sebagai “makhluk yang hidup” (nefes hayya), sama dengan “makhluk yang hidup” (nefes hayya) lainnya (Kejadian 1:20,21,24,
dyb) karena tubuh materialnya berasal dari pelikan. Akan tetapi “makhluk yang
hidup” (nefes hayya) yang disebut
manusia lebih tinggi martabatnya dari “makhluk yang hidup” (nefes hayya) lainnya, karena manusia,
secara khusus, diberikan “napas hidup” (nesyama,
atau nismat hayyim) oleh ALLAH.
Hawa
(Ibrani,
khawwa), adalah perempuan pertama [ibu
semua yang hidup] dan istri dari laki-laki Adam. Dalam kitab Kejadian 2:21,22,
dikisahkan bahwa Hawa dijadikan dari salah satu rusuk Adam. Terlepas dari
dongeng, fiksi, dan mitos, kisah penciptaan Hawa yang dilakukan oleh ALLAH dari salah satu rusuk Adam menyiratkan makna
simbolik suatu “pembedahan [operasi] fisik yang murni”. Setiap laki-laki
memiliki ‘bayangan’ personalitas
keperempuanan yang berfungsi untuk mengimbangi kodrat kelaki-lakiannya
yang dominan. Dengan demikian, asal Hawa dari salah satu rusuk Adam menyarankan
secara simbolis pemisahan gabungan dua jenis kelamin yang pada mulanya ada pada
Adam. Kejadian 2:21 yang berbunyi: “Lalu
TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah
mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging”, secara simbolis menyarankan “pembiusan
yang dilakukan terhadap seseorang ketika hendak dilakukan pembedahan [operasi]”.
Kemudian, ayat 22 yang berbunyi: “Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah
dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-nya kepada
manusia itu”; bukankah ayat ini secara simbolis menyarankan teknik “clone hypodermic” sebagaimana dilakukan
oleh Dr. Jerry Hall pada tahun 1994?
Selanjutnya,
camkanlah pernyataan Adam, ketika ALLAH membawa Hawa kepadanya: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku…” (ayat
23). Bukanlah pernyataan ini menyiratkan
pesan kemanunggalan laki-laki dan
perempuan serta kesetaraan perempuan dan laki-laki?
Ayat
24 dan 25 memberi petunjuk secara jelas bahwa relasi Adam dan Hawa di Taman
Eden adalah relasi suami dan istri. Dengan
demikian, Adam dan Hawa (dalam relasi sebagai suami dan istri) niscaya melaksanakan fungsi kesuami-istrian, namun
penulis kitab Kejadian tidak mewedarkan hal-hal yang bertalian dengan pelaksanaan
fungsi kesuami-istrian, maupun “rangsangan seksual, berahi, dan lain-lain, termasuk
pusar, seperti yang disindir oleh Ioanes Rakhmat” (2013:41, 205), karena
hal-hal tersebut bukan merupakan ide sentral yang harus diuraikan.
Demikianlah
warna kehidupan Adam dan Hawa di Taman Eden:
“And the man and his wife were both naked, and were not ashamed” (RSV). Berkenaan
dengan ayat ini, saya mau katakan begini: “And the man and his wife were both
naked, and they were quite without shame” (Dan laki-laki dan istrinya, keduanya
telanjang, dan mereka tanpa perasaan malu sama sekali)”. Mengapa? Karena
keduanya masih suci, bersih, belum ada noda, belum berdosa. Pikiran dan suara
hati mereka belum tercemar. Pada saat
keduanya jatuh ke dalam dosa, barulah keduanya insaf bahwa keduanya telanjang,
dan berupaya menutupi ketelanjangan mereka (Kejadian 3:7).
Dosa
(Ibrani,
khattat; khata) adalah “moral offence
especially from the point of view of religion” (pelanggaran moral, penyimpangan
moral, atau kejahatan moral terutama dari sudut pandang agama). Inilah dosa
yang dilakukan oleh Adam dan Hawa terhadap ALLAH
dan diri mereka sendiri di Taman Eden. Penulis kitab Kejadian yang
mendongeng tentang Taman Eden, Adam, dan Hawa, menuturkan bahwa di Taman Eden, ALLAH menempatkan “pohon moral”, yang
disebut “pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat”, buahnya tidak
boleh dimakan, karena berakibat “kematian”. Dalam perkembangan kemudian,
lantaran tergoda oleh rayuan “ular
yang cerdik”, Hawa memetik buah itu lalu memakannya, dan diberikannya juga
kepada Adam, dan Adam pun memakannya… Demikianlah Adam dan Hawa jatuh ke dalam
dosa, dan memperoleh ganjaran hukuman dari ALLAH….!
Dalam
kehidupan masyarakat di dunia modern dewasa ini maupun di masa depan, siapakah
penjahat yang telah ditelanjangi kejahatannya yang tidak berupaya menutupi
ketelanjangan dosanya dengan berbagai cara dan dalih? Adam tidak ikut memetik
buah; ia hanya ikut memakan buah, karena diberikan oleh Hawa yang memetik buah.
Namun Adam pun ikut dihukum, karena ikut menikmati hasil kejahatan yang
dilakukan oleh Hawa. Dewasa ini, dalam kehidupan masyarakat modern, orang yang
membeli barang hasil curian disebut penadah, sehingga—selain si pencuri
dihukum—penadah pun ikut dihukum. Orang
yang melakukan korupsi dihukum, dan orang yang menerima aliran dana korupsi pun
akan dihukum, sekalipun ia tidak ikut melakukan korupsi.
Sesungguhnya
ada banyak pesan moral yang dapat kita peroleh dari kisah tentang kejatuhan
Adam dan Hawa ke dalam dosa. Setiap orang yang memiliki kondisi kerja otak yang
normal karena lobus temporalis otak kiri dan lobus temporalis otak kanannya
sinkron dan harmonis, pasti akan menemukan pesan-pesan moral yang tetap “up to
date” dari kisah yang disebut mitos atau dongeng ini. Jikalau Piccaso berkata:
“Art is a lie that makes us realize the truth” (Kesenian adalah kebohongan yang
menyebabkan kita sadar akan hal yang benar); maka dengan meminta permisi kepada
Piccaso, saya ingin mengatakan: “Myth or fairy-tale is a lie that makes us
realize the truth” (Mitos atau cerita dongeng adalah kebohongan yang
menyebabkan kita sadar akan hal yang benar).
Hanya
Ioanes Rakhmat saja yang tidak sanggup menyadari akan adanya kebenaran yang tersirat dalam “kebohongan mitos dan/atau
cerita dongeng”, lantaran lobus temporalis otak kiri dan lobus temporalis otak
kanannya tidak sinkron dan harmonis. Apa yang saya katakan ini dapat disimak
dalam komentar-komentar sarkastis tentang Taman Eden, Adam, dan Hawa dalam
bukunya, Beragama dalam Era Sains Modern (2013:204
– 207). Saya tidak perlu menanggapi
semua komentar sarkastis itu, karena sifatnya kekanak-kanakan, dan useless [tidak berguna, sia-sia]. Tetapi
untuk membuktikan ketidaknormalan otak Ioanes Rakhmat, saya ingin mengutip
alinea ketujuh pada halaman 204 buku tersebut, yang berbunyi sebagai berikut: “Hanya
dalam dongeng saja, curiosity atau
rasa ingin tahu yang besar pada diri Hawa yang mendorongnya memetik dan memakan
buah pohon moral itu, harus dikutuk dan dijadikan alasan untuk menghukum
manusia, sementara dalam dunia real modern masa kini curiosity-lah, selain kebutuhan survival manusia, yang membuat sains maju dan terus berkembang di
tangan manusia-manusia cerdas dan pemberani, seperti dicontohkan oleh Hawa
dalam mitos Taman Eden.”
Ketika
mencermati pernyataan Ioanes Rakhmat sebagaimana dikutip di atas ini dengan
tatapan tenang seperti ketika menatapi
lukisan tiga dimensi, saya melihat di balik pernyataan tersebut “Ioanes Rakhmat
menunggangi Hawa” dalam upaya pembelaan dan pembenaran diri. Curiosity
atau rasa ingin tahu yang besar pada diri Hawa yang mendorongnya
memetik dan memakan buah pohon moral itu, pada hakikatnya menunjuk kepada curiosity
atau rasa ingin tahu yang besar pada diri Ioanes Rakhmat yang
mendorongnya memetik teori-teori sains modern, dan melahap temuan hasil penelitian sains modern sehingga
ia menjadi seorang agnostik dan/atau ateis.
Hawa,
karena pelanggaran moral yang dilakukannya mendapat kutukan dan dikeluarkan
dari Taman Eden oleh ALLAH, identik
dengan Ioanes Rakhmat—karena menjadi seorang agnostik dan/atau ateis—disiasati oleh the benign mother-nya,
dikucilkan dari kemah peribadatannya,
sehingga ia memilih posisi konflik abadi dengan agama yang
semula dianutnya.
Menurut
Ioanes Rakhmat, selain kebutuhan survival manusia, curiosity-lah
yang membuat sains maju dan terus berkembang di tangan manusia-manusia cerdas
dan pemberani. Pernyataan ini benar, tetapi Kazuo Murakami (ahli genetika
terkemuka dunia) mengatakan: “Setiap
orang bebas untuk menetapkan keyakinan mereka pada ilmu pengetahuan jika memang
itu pilihan mereka, tetapi saya
beranggapan bahwa ilmu pengetahuan sendiri tidak akan dapat memecahkan
segalanya….” “Secara pribadi, saya melihat bahwa baik ilmu pengetahuan dan
agama berasal dari sebuah sumber yang sama, dan oleh karenanya saya mencari
cara untuk menyatukan mereka….” “Ada banyak hal yang masih
tidak kita pahami mengenai hidup. Cita-cita saya adalah terus menjelajahi inti
dari kehidupan tidak hanya dari sudut pandang ilmiah, tetapi juga dari
perspektif spiritual dan keagamaan.” (The Divine Message of the DNA, 2007:195,216).
Pernyataan
pendapat dan sikap yang dikemukakan oleh Kazuo Murakami yang menghabiskan waktu
lebih dari 40 tahun dalam penelitian tentang genetika dan ilmu tentang
kehidupan sebagaimana dikutip di atas ini,
lahir dari kondisi kerja otak- nya yang normal, di mana lobus temporalis
otak kiri dan lobus temporalis otak kanan sinkron dan harmonis. Kalau Ioanes
Rakhmat, kondisi kerja otaknya rancu, karena—sama seperti Saul (1Samuel 16:14)—Roh
ALLAH telah mundur dari padanya, dan
sekarang ia diganggu (dan disesatkan) oleh roh jahat yang berasal dari pada ALLAH, sehingga ia menilai, memuji, dan
mengagungkan, bahwa Hawa adalah contoh manusia cerdas
dan pemberani dalam mitos Taman Eden (2013:204, alinea ketujuh).
Benarkah
Hawa—lantaran curiosity-nya—adalah contoh manusia cerdas dan pemberani dalam
mitos di Taman Eden, seperti kata Ioanes Rakhmat? Jawabnya tegas: Tidak!
Curiosity
Hawa
untuk memetik dan memakan buah pohon
tentang pengetahuan yang baik dan yang jahat itu bukan motivasi intrinsik dari
dalam benak Hawa, melainkan motivasi ekstrinsik dari ular
yang cerdik. Pengamatan, penilaian, dan curiosity (keingintahuan) Hawa berhasil dipengaruhi, diwarnai, dan dijuruskan oleh motivasi
ekstrinsik yang dilancarkan
secara meyakinkan oleh si ular yang
cerdik (Kejadian 3:6a); sehingga selanjutnya Hawa mengambil keputusan,
berbuat/bertindak (ayat 6b); untuk mencapai, memperoleh, menjadi, menikmati
atau mengalami kualitas kehidupan yang lebih baik…, sebagaimana dikatakan
secara meyakinkan oleh si ular yang
cerdik: “sekali-kali kamu tidak akan mati…, matamu akan terbuka…, kamu akan
menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat” (ayat 4 dan 5).
Dengan analisis singkat yang saya wedarkan di atas ini saya ingin catat tiga
hal sebagai penutup:
Pertama, dalam mitos tentang
percakapan ular yang cerdik dan Hawa
di Taman Eden (Kejadian 3:1-7) tersirat dasar-dasar ilmu komunikasi modern yang
sangat efektif dalam rangka memotivasi orang untuk bertindak ke arah tujuan
yang mau dicapai.
Kedua, berdasarkan
analisis singkat yang saya kemukakan di atas, maka buyarlah argumentasi Ioanes Rakhmat yang memuliakan, memuji, dan
mengagungkan, bahwa Hawa—lantaran curiosity-nya—adalah contoh manusia cerdas
dan pemberani dalam mitos Taman Eden.
Ketiga, otak Ioanes
Rakhmat memang benar-benar rancu. Ia mencela, meremehkan, dan tidak mempercayai
dongeng dan mitos dalam kitab Kejadian, tetapi ia berusaha mengambil hikmah dalam rangka pembenaran diri berkenaan dengan curiosity (keingintahuan) dengan
menunggangi manusia (perempuan) bernama Hawa yang ia katakan tanpa pusar
(2013:41), seraya memuliakan, memuji, dan mengagungkan Hawa sebagai contoh
manusia cerdas dan pemberani dalam mitos Taman Eden. Apakah ini tidak
membuktikan kerancuan pikiran Ioanes Rakhmat, sekaligus apakah ini tidak
menyarankan bahwa cara kerja otak Ioanes Rakhmat dalam keadaan tidak normal? ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar