Oleh: A. G.
Hadzarmawit Netti
Gambar: Intisari Online |
KETIKA
membaca buku Ioanes Rakhmat, Beragama
dalam Era Sains Modern (Jakarta. Pustaka Surya Daun 2013), saya teringat kepada Kazuo Murakami, Ph.D,
seorang ahli genetika terkemuka dunia berkebangsaan Jepang. Ia telah terlibat
dalam penelitian ilmu tentang kehidupan selama lebih dari 40 tahun, dan
setengah terakhir dari waktu itu didedikasikan untuk penelitian genetika. Ahli
genetika terkemuka dunia pemenang Max Plank Research Award 1990 dan Japan
Academy Prize 1996 ini, dalam bukunya The
Divine Message of the DNA (2007), mengatakan, antara lain:
“Walaupun pada
awalnya kami percaya bahwa dengan menafsirkan kode genetik itu akan memecahkan misteri
kehidupan, semakin lama semakin jelas
bahwa hidup tidaklah sesederhana itu. Semakin jauh kami mempelajari bahkan satu
sel saja, semakin banyak kami mengerti akan tingkat kerumitannya yang sangat
tinggi. Mekanisme kehidupan adalah sebuah misteri yang mengagumkan. Orang-orang
berbicara mengenai ‘hidup’ seolah kehidupan adalah sesuatu yang sederhana,
tetapi tidak ada seorang manusia pun yang dapat bertahan hidup hanya melalui
usaha secara sadar.
Dengan diatur
oleh cara kerja hormon dan sistem saraf yang otomatis, seluruh fungsi vital
kita, termasuk pernapasan dan peredaran darah, bekerja setiap waktu untuk
menjaga agar kita tetap hidup tanpa adanya usaha khusus maupun campur tangan
dari pihak kita. Gen kitalah yang mengontrol sistem-sistem vital ini, dan untuk
dapat melakukan hal itu, mereka bekerja secara selaras. Ketika yang satu mulai
bekerja, yang lain bereaksi dengan berhenti atau bekerja bahkan lebih keras
lagi, memperhalus dan mengatur keseluruhan sistem tersebut.
Sepertinya
memang hampir tidak mungkin jika pengaturan yang begitu hebat ini terjadi hanya
secara kebetulan. Sesuatu yang lebih besar pastilah berada di balik keselarasan
dunia kita ini. Banyak orang yang menggunakan kata Tuhan untuk menjelaskan konsep ini; sebagai seorang ilmuwan, saya
telah memilih untuk menyebutnya Sesuatu
yang Agung. Walaupun kuasa ini tidak terlihat dan tidak dapat dengan mudah
ditangkap indra kita, dengan bekerja dalam ilmu kehidupan seperti saya ini,
saya sangat menyadari akan kebenarannya.
Memecahkan kode genetik
memang suatu prestasi yang sungguh mengagumkan; tetapi yang bahkan lebih
mengagumkan adalah kenyataan bahwa dari awal kode ini telah tercetak dalam gen
kita. Kita tahu bahwa bukan kita yang menulisnya, tetapi tentunya kode itu
tidak dapat ditulis begitu saja secara acak. Kode genetik itu, yang jumlahnya
sebanding dengan beribu-ribu buku, tersimpan dalam dan secara misterius namun
tak dapat disangkali mengontrol suatu ruang yang teramat kecil yang disebut
sel… Untuk setiap satu orang anak, terdapat tujuh puluh triliun kombinasi gen
yang memungkinkan terjadi. Walaupun gen sama-sama memiliki prinsip cara kerja
yang umum, adanya kemungkinan kombinasi yang tak terhingga memastikan tidak
akan pernah ada dua makhluk yang sama persis… Demikianlah
pernyataan Kazuo Murakami (2007: 12-15).
Berkenaan
dengan pengakuan akan adanya Sesuatu yang Agung yang oleh banyak
orang menggunakan kata Tuhan berada di balik keselarasan dunia dan
kehidupan, Kazuo Murakami menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut: “Saya sering dibanjiri oleh pertanyaan
takjub dan kagum dalam penelitian saya akan informasi genetik. Siapa yang
mungkin dapat menuliskan cetak biru kehidupan yang begitu indah ini? Rasanya
tidak mungkin jika informasi yang memiliki arti yang begitu kompleks dan
mendalam ini terjadi hanya karena kebetulan. Oleh karenanya, saya terpaksa
mengakui bahwa hal ini adalah suatu keajaiban yang jauh melebihi pengertian
atau kapasitas manusia. Hal ini membawa saya pada keputusan akan adanya sesuatu
yang lebih besar. Selama lebih dari sepuluh tahun saya menyebutnya sebagai Sesuatu yang Agung. Kita tidak dapat
menjelaskan dengan tepat apakah Sesuatu
yang Agung ini sebenarnya. Sebagian orang menyebutnya sebagai kekuatan Alam; yang lain menyebutnya Tuhan atau Buddha. Kita bebas untuk
menyebutnya apa pun yang kita inginkan. Tetapi kita tidak boleh lupa bahwa
hidup kita ada, berkat karya kekuatan misterius ini (KM, 2007:183-185).
Berdasarkan pernyataan Kazuo Murakami, ahli genetika
terkemuka dunia sebagaimana dikutip di atas ini, saya menerima, membenarkan,
dan mengimani adanya Suatu Kuasa Ilahi Yang Maha Agung yang
disebut ALLAH. Keberadaan ALLAH tidak dapat diuji dan/atau
dibuktikan melalui metode pengkajian saintifik, karena keberadaan-Nya bukan
kodrati melainkan adikodrati; keberadaan-Nya bukan material melainkan
supramaterial; keberadaan-Nya bukan natural melainkan supernatural. Dan apabila berkenaan dengan Sesuatu
yang Agung itu Kazuo Murakami berkata, “Tetapi kita tidak boleh lupa bahwa hidup kita ada berkat karya
kekuatan misterius ini”; maka Alkitab umat Kristen mengingatkan kepada saya
bahwa ALLAH adalah Pencipta langit dan
bumi dan segala isinya; ALLAH adalah Pencipta manusia sebagaimana
dikisahkan dalam kitab Kejadian (1:1-31; 2:1-25). Dan ALLAH yang saya imani ini adalah ALLAH yang supramaterial; ALLAH yang
supernatural; Suatu Kuasa Ilahi Yang Maha Agung, Adikodrati, dan Transenden, yang
kepada-Nya saya sembah. ALLAH inilah yang telah disangkal dan ditolak oleh
Ioanes Rakhmat yang (setelah mengembara
di dunia sains modern) mengakui dan
mengagumi suatu hakikat yang transenden, dalam suatu dunia sub-atomik quantum, Higgs Boson yang
weird [ajaib, gaib], bizarre [aneh, ganjil] and marvelous [menakjubkan] dan memusingkan
kepala (IR, 2013:414-418,dyb).
Berbeda
dengan Ioanes Rakhmat yang hanya membaca sains modern lalu menyimpulkan
informasi-informasi sains modern bagi dirinya yang telah menjadi seorang
agnostik dan/atau ateis, serta memilih posisi
konflik abadi terhadap agama; Kazuo
Murakami [ahli genetika terkemuka dunia] yang telah terlibat dalam
penelitian ilmu tentang kehidupan selama lebih dari 40 tahun, menyebut Sesuatu yang Agung (yang orang lain menyebutnya Tuhan)
itulah yang menuliskan cetak biru
kehidupan yang begitu indah, yang untuk setiap anak manusia terdapat tujuh
puluh triliun kombinasi gen yang mungkin terjadi; dan setiap gen mengandung
lebih dari tiga miliar huruf-huruf kimia [A, T, C dan G]; serta terdapat
sebanyak lima belas miliar sel otak; dan tubuh kita tersusun dari enam puluh
ribu triliun sel, yang melalui suatu susunan yang sangat rumit membentuk
organ-organ, jaringan-jaringan, dan bagian-bagian lain pada tubuh .
Berkenaan dengan keagungan dan kemahakuasaan ALLAH yang berada di balik kehidupan [yang
saya imani] dan yang menuliskan cetak biru kehidupan sebagaimana disebutkan
berdasarkan data hasil penelitian sains modern di atas ini, penulis kitab
Mazmur yang tidak bersekolah tinggi dan tidak bergelar doktor teologi bermadah:
“Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku,
menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena
kejadianku yang dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, jiwaku benar-benar
menyadarinya. Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu, ketika aku dijadikan di
tempat yang tersembunyi, dan aku direkam di bagian-bagian bumi yang paling
bawah; mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya
tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satu pun dari padanya” (Mazmur
139:13-16).
Dengan
demikian, alangkah naifnya Ioanes Rakhmat yang bersembunyi di balik Victor J.
Stenger yang (katanya) telah menguji keberadaan Allah adikodrati sebagai sebuah
hipotesis melalui metode pengkajian saintifik dengan ditopang bukti-bukti
empiris, di mana hasilnya Stenger mendapati bahwa hipotesis bahwa Allah itu
ada, tidak berhasil dibuktikan kebenarannya sama sekali; jadi, sebuah hipotesis
yang gagal (IR, 2013:26,118). Demikian pula sangat naïf jika Ioanes Rakhmat
berkata, “Jika para agamawan menyatakan jagat raya ada karena Allah telah
menciptakannya, maka sangat sah jika para saintis melanjutkan pertanyaan
mereka, siapa yang telah menciptakan Allah yang dipercaya ada oleh para
agamawan…” (IR, 2013:116). Ini
merupakan pernyataan yang lahir dari seseorang yang otaknya tidak normal! Ya, alangkah naifnya (alangkah celakanya; bodohnya) manusia insani, yang natural, yang kodrati, mau
membuktikan eksistensi ALLAH yang
supramaterial, yang adikodrati, yang supernatural, yang transenden dengan
metode pengkajian saintifik dengan ditopang bukti-bukti empiris!
Bukankah
Ioanes Rakhmat sendiri mengutip pendapat saintis modern yang mengatakan, “Kepercayaan pada Allah tertanam dalam di
dalam otak manusia, yang diprogramkan untuk bisa mengalami pengalaman
keagamaan. Selama ada “ruang agama” di dalam otak manusia, agama akan tetap
dibutuhkan” (IR, 2013:12).
Pernyataan yang dikutip ini tercetak di bawah ilustrasi gambar “tangan
kanan yang menyodorkan otak ke bawah [ke arah kiri] akan tetapi ditolak oleh
tangan kiri suatu sosok”. Ilustrasi [gambar] itu berada pada suatu latar
belakang yang gelap [seperti malam buta]. Ioanes Rakhmat tidak menyebutkan sumber
dari mana ilustrasi itu diambil. Akan tetapi sesungguhnya ilustrasi [gambar] itu
secara tersirat melukiskan posisi Ioanes Rakhmat sendiri yang “menolak ALLAH”, “tidak percaya lagi pada ALLAH yang pada mulanya ia imani”, setelah
ia merambah dunia sains modern; sementara keterangan yang tertulis di bawah
ilustrasi [gambar] itu merupakan suatu “peringatan dan teguran keras” kepada
Ioanes Rakhmat, akan tetapi Ioanes Rakhmat tidak menyadarinya. Camkanlah
ilustrasi [gambar] itu secara cermat [cerdas], menurut analisis yang saya
berikan di bawah ini:
- Latar belakang ilustrasi [gambar] yang gelap [seperti malam buta] menyimbolkan “ilmu pengetahuan malam” yang mengambil petunjuk-petunjuk penting dari intuisi, inspirasi, dan pengalaman-pengalaman yang tidak biasa, dengan kata lain, dari kemampuan manusia dan kejadian-kejadian yang tidak biasanya dihubungkan oleh para ilmuwan. “Ilmu pengetahuan malam” mewakili “otak kanan”, atau menurut istilah Kazuo Murakami, “cara pikir genetik”. Dari cara berpikir genetik di otak kanan inilah lahir dan berkembang ilmu-ilmu demi kearifan termasuk agama yang terkait erat dengan peranan intuisi, inspirasi dan wahyu. Dan ini, dalam ilustrasi [gambar], disimbolkan oleh lukisan “tangan kanan yang menyodorkan otak.
- Lukisan tangan kiri yang terlihat menolak otak yang disodorkan oleh tangan kanan menyimbolkan “ilmu pengetahuan siang” yang terdiri dari kuliah, meneliti objek-objek di bawah mikroskop, atau mempresentasikan temuan riset dalam berbagai pertemuan. “Ilmu pengetahuan siang” bersifat rasional dan objektif dengan logika yang jelas dan teratur. “Ilmu pengetahuan siang” mewakili cara pikir menggunakan “otak kiri”. Dari otak kiri inilah tumbuh dan berkembang sains (ilmu pengetahuan pada umumnya; pengetahuan sistematis tentang alam dan dunia fisik, termasuk di dalamnya: botani, fisika, kimia, geologi, zoology, dsb; ilmu pengetahuan alam; pengetahuan sistematis yang diperoleh dari suatu observasi, penelitian, dan uji coba yang mengarah pada penentuan sifat dasar atau prinsip sesuatu yang sedang diselidiki, dipelajari, dsb). Dan ini, dalam ilustrasi [gambar], disimbolkan oleh lukisan tangan kiri yang menolak otak yang disodorkan oleh tangan kanan. Catatan: mengenai “ilmu pengetahuan malam mewakili otak kanan” yang merupakan kebalikan dari “ilmu pengetahuan siang mewakili otak kiri”, baca saja buku Kazuo Murakami (2007:124-126).
- Analisis yang saya lakukan atas ilustrasi [gambar] yang terdapat pada halaman 12 buku Ioanes Rakhmat itu, pada hakikatnya menyimbolkan posisi konflik abadi yang dipilih oleh Ioanes Rakhmat. berkenaan dengan agama dan sains modern pada umumnya (IR, 2013:xi,xii) tetapi khususnya berkenaan dengan ketikdakpercayaan dan/atau penolakan Ioanes Rakhmat akan adanya ALLAH, yang pernah bertahun-tahun yang lampau diimaninya, sebagaimana disaksikan dalam Alkitab, sekaligus sebagaimana diajarkan oleh agama (IR, 2013:415-423, dyb).
- Adalah hak asasi dan kebebasan Ioanes Rakhmat untuk melakukan konflik abadi dengan agama dan ALLAH yang telah disangkalinya! Namun kutipan di bawah ilustrasi [gambar] pada halaman 12 itu yang berbunyi, “Kepercayaan pada Allah tertanam dalam di dalam otak manusia, yang diprogramkan untuk bisa mengalami pengalaman keagamaan. Selama ada ‘ruang agama’ di dalam otak manusia, agama akan tetap dibutuhkan”, pada hakikatnya merupakan peringatan dan teguran keras yang tertuju kepada Ioanes Rakhmat sendiri yang telah murtad dari agama dan dari ALLAH yang telah diimaninya bertahun-tahun!
Pertanyaan
yang muncul setelah membaca wedaran di atas ialah: Apakah otak Ioanes Rakhmat
normal dan sehat? Jawaban atas pertanyaan ini, singkat dan tegas: Tidak! Mengapa tidak sehat? Sebab Ioanes
Rakhmat menolak fungsi dan peranan otak kanan manusia dan hanya mengakui fungsi
dan peranan otak kiri manusia. Padahal, otak kanan dan otak kiri manusia
merupakan suatu kebulatan dan keutuhan demi keselarasan [keserasian] pertumbuhan
dan perkembangan hidup manusia.
Perlu
dicatat bahwa pada kondisi kerja otak yang normal, lobus temporalis otak kiri
dan lobus temporalis otak kanan secara sinkron dan harmonis memberikan
kesadaran pada diri kita bahwa kita ini memiliki satu identitas diri sebagai manusia [makhluk ciptaan ALLAH] yang
termulia di antara makhluk-makhluk lain. Inilah “jati diri” manusia yang muncul dalam lobus temporalis otak kanan,
pangkal bertumbuhnya agama dan kepercayaan akan adanya ALLAH. Akan tetapi, jika tidak
terjadi sinkronisasi dan harmonisasi antara lobus temporalis otak kiri dan
lobus temporalis otak kanan, maka lobus temporalis otak kiri akan salah
menafsirkan, bahkan tidak mengenal “jati
diri” yang muncul dalam lobus temporalis otak kanan. Kasus ini terlihat
secara jelas pada opini Ioanes Rakhmat yang tidak mengakui bahwa “manusia itu makhluk termulia”.
Kitab
Kejadian 1:1-31, mewedarkan suatu kredo
demi kearifan tentang penciptaan
langit dan bumi dan segala isinya; dan tentang manusia yang diciptakan menurut
citra ALLAH. Oleh karena manusia merupakan kemegahan puncak
ciptaan, maka ALLAH memberikan mandat
kepada manusia untuk “berkuasa atas bumi; berkuasa atas ikan-ikan di laut dan
burung-burung di udara dan berkuasa atas ternak dan atas segala binatang melata
yang merayap di bumi; seraya melaksanakan tugas prokreasi.
Berkenaan
dengan manusia yang diciptakan menurut
citra ALLAH sehingga manusia sebagai “makhluk termulia”, Ioanes Rakhmat
berkata begini: “Apakah benar manusia itu
makhluk termulia? Bagaimana mungkin manusia itu makhluk termulia sementara ‘homo
homini lupus est’ [bahwa ‘manusia adalah
serigala bagi sesamanya’] adalah
sebuah fakta keras dalam segala zaman. Bagaimana mungkin manusia makhluk termulia
sementara partikel-partikel dalam tubuhnya [elektron dan partikel quark]
sama dengan partikel-partikel abu gosok? Bagaimana mungkin manusia makhluk
termulia jika molekul DNA-nya sangat menyerupai dan sangat dekat dengan DNA
kera-kera besar simpanse dan bonobo? Bagaimana mungkin manusia makhluk
termulia, jika moralitas juga dimiliki berbagai hewan primata dan mamalia lain?
(IR, 2013:133). Inilah
keberatan dan/atau penolakan Ioanes Rakhmat terhadap pernyataan bahwa “manusia itu makhluk termulia”.
Menurut
Ioanes Rakhmat, “Kalau manusia disebut sebagai makhluk paling cerdas, homo sapiens, di
muka Bumi, ya benar, tapi kecerdasan tak sama dengan kemuliaan dan keagungan.” (IR, 2013:133 baris pertama, alinea
ketiga). Pandangan Ioanes Rakhmat ini pada hakikatnya mencerminkan kondisi
kerja otak yang tidak normal, sehingga tidak ada sinkronisasi dan harmoni
antara lobus temporalis otak kiri dan lobus temporalis otak kanan. Berdasarkan
kisah penciptaan dalam Kejadian 1:26-30, maka “jati diri manusia sebagai makhluk
termulia” yang muncul dalam lobus temporalis otak kanan tidak dapat
dipungkiri, karena otak kanan adalah pangkal bertumbuhnya agama dan kepercayaan
akan adanya ALLAH. Tetapi oleh karena
lobus temporalis otak kiri Ioanes Rakhmat sudah dicekoki kensep-konsep sains
modern tidak sinkron dan harmoni lagi dengan lobus temporalis otak kanan sehingga
Ioanes Rakhmat telah menolak agama dan tidak mengakui adanya ALLAH, maka “jati
diri manusia sebagai makhluk termulia” itu ditafsirkan dan/atau dipandang
tidak berbeda dengan “serigala; abu
gosok; kera-kera besar simpanse; dan
bonobo!”
Ya,
kelihatannya berpangkal pada kondisi kerja otak kiri dan otak kanan yang tidak
normal pada Ioanes Rakhmat, lantaran agama dan ALLAH telah disangkalinya, maka Ioanes Rakhmat berargumentasi menurut
konsep ilmu demi kecekatan [darwinisme] yang melihat manusia sebagai tak lebih dari produk kebetulan
evolusi, seekor hewan yang lebih tinggi, seekor hewan sosial, dan sebuah objek
telaah dengan metode-metode sains modern yang sama yang digunakan untuk
menelaah gejala-gejala lainnya di dunia “secara objektif”.
Selain
itu, pernyataan Ioanes Rakhmat yang menegaskan bahwa kecerdasan tidak sama dengan kemuliaan, pada hakikatnya
mencerminkan kedangkalan berpikir Ioanes Rakhmat sendiri. Benar, “kecerdasan”
dan “kemuliaan” adalah dua entri yang tidak sama, juga “keagungan” adalah entri
tersendiri. Namun Ioanes Rakhmat perlu tahu bahwa “kecerdasan” [perihal cerdas;
intelegensi; kesempurnaan perkembangan akal budi, seperti kepandaian dan
ketajaman pikiran] adalah kualitas esensial yang dimiliki oleh manusia
sebagai makhluk termulia; begitu pula “keagungan” memiliki arti dan/makna yang bersinonim dengan
“kemuliaan” sebagaimana dijelaskan di atas.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia [Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional,
Cetakan Pertama Edisi IV, 2008], kata mulia berarti: 1 tinggi (tentang kedudukan,
pangkat, martabat), tertinggi, terhormat…; 2 luhur (budi, dsb); baik budi (hati, dsb)…; 3 bermutu tinggi; berharga
(tentang logam…dsb); termulia artinya paling mulia; paling dimuliakan. Dengan demikian, sebutan manusia itu makhluk termulia artinya manusia itu makhluk paling mulia, yang
merujuk kepada arti butir 1 dari kata mulia terkait dengan kedudukan
manusia sebagai makhluk ciptaan
ALLAH di tengah-tengah makhluk ciptaan
lainnya. Jadi, frasa ”manusia
itu makhluk termulia” artinya “manusia itu makhluk [ciptaan ALLAH] yang paling tinggi kedudukannya, atau martabatnya di antara
makhluk-makhluk lainnya.
Untuk
menjelaskan dan/atau membuktikan kedudukan manusia sebagai makhluk paling mulia
berdasarkan madah kitab Mazmur 8:4-8, atau menurut kitab Kejadian 1:26-30, dyb,
pasti akan ditolak dan/atau tidak diakui oleh Ioanes Rakhmat, karena bagi
Ioanes Rakhmat, kitab Mazmur dan kisah kitab Kejadian 1:1-31, dyb, adalah fiksi
belaka (IR, 2013:41, 203,206,dyb). Untuk itu saya ingin mengutip
penjelasan E.F. Schumacher tentang “Empat Tingkat Eksistensi” yang besar, yang
dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
- “Manusia” dapat ditulis p + x + y + z
- “Hewan” dapat ditulis p + x + y
- “Tumbuh-tumbuhan” dapat ditulis p + x
- “Pelikan” dapat ditulis p
Pada
ikhtisar di atas, pelikan (p) adalah
tingkat eksistensi terendah.
Tingkat
eksistensi di atas pelikan (p) adalah
tumbuh-tumbuhan (p + x).
Tingkat
eksistensi di atas tumbuh-tumbuhan (p
+ x) adalah hewan (p + x + y).
Dan
tingkat eksistensi di atas hewan (p +
x + y) adalah manusia (p + x + y +
z).
Keterangan:
Pelikan (p), adalah
benda yang tidak memiliki hidup.
Tumbuh-tumbuhan (p + x), adalah
eksistensi yang memiliki hidup.
Hewan (p + x + y),
adalah eksistensi yang memiliki hidup dan
kesadaran.
Manusia (p + x + y +
z), adalah eksistensi yang memiliki hidup, kesadaran, dan penyadaran
diri (perhatikan selengkapnya uraian E.F. Schumacher dalam bukunya, Keluar Dari Kemelut. LP3ES Jakarta,
Cetakan kedua, 1981:17-29).
Uraian
di atas ini sekaligus merupakan tanggapan yang sangat lengkap dan jitu terhadap pernyataan Ioanes Rakhmat yang
berbunyi: “Pada level fundamental, dalam
dunia quantum, sains sudah menunjukkan, kita ini dan semua materi dalam jagat
raya terdiri dari partikel-partikel yang sama: quark [proton dan neutron] dan
elektron. Pada level fundamental, anda tidak beda dari kecoak, simpanse, tanah
liat, batu kali, cacing, kubis, pisang, pohon beringin, toge, debu bintang, abu
gosok, komet, mouse di tangan anda,
dan Coca Cola yang sedang anda
hirup…” (IR, 2013:419). Semua yang Ioanes Rakhmat katakan itu benar, jika
eksistensi hanya dilihat dan dijelaskan sebatas tingkat eksistensi pelikan,
tumbuh-tumbuhan, dan hewan. Akan
tetapi eksistensi manusia tidak sebatas eksistensi pelikan [p] saja yang tidak
memiliki hidup; eksistensi tumbuh-tumbuhan
[pelikan yang memiliki hidup] ; dan
eksistensi hewan [pelikan yang memiliki hidup dan kesadaran] saja. Eksistensi manusia lebih tinggi
dari semuanya itu, karena manusia [pelikan yang memiliki hidup dan kesadaran dan penyadaran diri].
Mudah-mudahan
ikhtisar dan uraian tentang tingkat eksistensi di atas ini dapat mencelekkan
“mata batin” dan mencerahkan “kecerdasan otak” Ioanes Rakhmat: bahwa manusia,
pada hakikatnya lebih tinggi atau lebih mulia dari abu gosok, sebab abu gosok hanyalah pelikan (p),
sedangkan manusia adalah pelikan + kehidupan + kesadaran + penyadaran
diri; dan manusia juga lebih tinggi
atau lebih mulia dari kera-kera besar simpanse dan bonobo, karena kera-kera besar simpanse dan bonobo tidak memiliki penyadaran diri seperti yang dimiliki manusia! Sungguh,
saya tidak habis pikir, kalau Ioanes Rakhmat menyetarakan dirinya sebagai
manusia dengan abu gosok, kecoak, cacing,
toge, dan sebagainya! Lalu, bagaimanakah dengan pernyataan Ioanes Rakhmat
bahwa “moralitas juga dimiliki berbagai
hewan primata dan mamalia lain?” Jawaban atas pertanyaan ini sederhana
saja: Benar, berbagai hewan primata dan mamalia lain juga memiliki moralitas,
akan tetapi sebetulnya disebut “moralitas
instingtif”, oleh karena hewan tidak mempelajari moralitas dari adat-istiadat,
kebudayaan, agama dan pendidikan.
Tetapi
pertanyaan yang juga serius menurut Ioanes Rakhmat adalah ini: Apakah benar manusia
itu makhluk termulia? Bagaimana mungkin manusia itu makhluk termulia, sementara
dari pikiran dan tindakannya muncul berbagai azab dan kejahatan di muka Bumi?
Bagaimana mungkin manusia makhluk termulia sementara “homo homini lupus est”
(bahwa “manusia adalah serigala bagi sesamanya”) adalah sebuah fakta keras
dalam segala zaman? (IR, 2013:133)
Terhadap
kedua pertanyaan Ioanes Rakhmat yang tidak mengakui kedudukan manusia sebagai
makhluk termulia, saya ingin mengajukan pertanyaan balik sebagai berikut:
Apakah satu orang, atau dua orang, atau sekelompok orang yang memiliki pikiran
yang jahat serta memunculkan berbagai azab dan melakukan berbagai kejahatan di
bumi ini serta-merta meniadakan
kedudukan manusia sebagai makhluk [ciptaan ALLAH]
yang paling tinggi atau paling mulia dari makhluk-makhluk lainnya? Apakah
seseorang, atau sekelompok orang yang bertindak buas seperti serigala terhadap
sesamanya secara otomatis meniadakan
kedudukan manusia sebagai makhluk termulia? Menurut hemat saya, tidak. Manusia [in general sense] tetap sebagai makhluk
termulia, sekali pun ada beberapa orang [manusia, in specific sense, dirinya sendiri] atau sekelompok orang memiliki
pikiran yang jahat, melakukan kejahatan, dan menimbulkan berbagai azab di dunia.
Seseorang atau sekelompok orang yang berpikiran jahat, bertindak buruk,
melakukan kejahatan yang membahayakan (mengorbankan) orang lain, mereka masih
tetap sebagai manusia yang berkedudukan sebagai makhluk termulia. Hanya saja
lantaran kejahatan yang mereka lakukan itu, mereka telah membiadabi keluhuran mereka sebagai manusia [makhluk termulia].
Ah, saya sangat prihatin [bersedih
hati] berkenaan dengan logika Ioanes Rakhmat yang kacau! Ia terus saja bertanya: Apakah para koruptor
itu mulia dan agung? Apakah para teroris itu agung dan mulia? Apakah para
penjahat perang itu agung dan terhormat? Ini, jawabannya!
“Koruptor” adalah orang yang
melakukan korupsi. “Orang” dalam kalimat ini menunjuk pada “manusia, in specific sense, dirinya sendiri [diri orang itu]” yang
melakukan korupsi. “Teroris” adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk
menimbulkan rasa takut. Orang yang melakukan teror itu [entah satu orang atau
beberapa orang], tetap menunjuk pada “manusia, in specific sense, dirinya sendiri [diri orang itu]” yang melakukan
teror untuk menimbulkan rasa takut. “Penjahat perang” adalah orang yang jahat
dalam perang. Orang yang jahat dalam perang itu [entah satu orang atau beberapa
orang], tetap menunjuk pada “manusia, in
specific sense, dirinya sendiri [diri orang itu]” yang jahat dalam perang.
Mengakhiri
tanggapan bagian pertama ini, saya ingin mengutip wedaran Ioanes Rakhmat dalam bukunya, Beragama dalam Era Sains Modern, khususnya
alinea ketiga pada halaman 163, yang berbunyi sebagai berikut: “Status sosiodemografis sebagai kelompok
beragama minoritas jelas menimbulkan stres besar pada kelompok ini ketika
mereka mencoba ikut mengatur masyarakat mereka. Orang yang sedang terbenam
dalam pergulatan kepercayaan keagamaan, misalnya ketika dia menolak
kepercayaan-kepercayaan yang dipegang kelompok arus utama dalam komunitas
keagamaannya atau yang dipegang keluarganya, dan mempertahankan pandangannya
sendiri, potensial mengalami stres dan konflik batin serta rasa cemas.
Mempercayai dan tunduk pada suatu Allah yang dikonsep sebagai Allah pemarah dan
penghukum, juga kerap menjadi penyebab timbulnya stres, rasa tak bahagia, dan
ketakutan, pada diri banyak orang beragama. Orang yang merasa telah melanggar
perintah-perintah Allah juga tak akan luput dari serangan stres dan rasa
cemas.”
Ketika
membaca alinea ketiga, halaman 163, buku Beragama
dalam Era Sains Modern, sebagaimana dikutip di atas, “mata batin” saya
melihat wajah seseorang tersirat di balik wedaran alinea ketiga itu. Wajah
seseorang yang saya lihat itu kelihatannya diliputi kecemasan, dicengkam stres,
konflik batin. Orang itu kelihatannya berada dalam suatu pergumulan berat
antara pengharapan dan harapan untuk memperoleh, namun gagal. Dan akhirnya ia
bertekad meninggalkan rumahnya untuk merambahi kosmos yang tak bertepi dan tak
berbatas.
Di
dalam merambahi kosmos, yang ia cari bukanlah keselamatan abadi di surga, karena
baginya surga itu tidak ada. Ia juga tidak takut pada neraka, karena neraka pun tidak ada. Surga
dan neraka hanyalah dongengan agama. Kehidupan berakhir, ketika mati dan batang
otak membusuk. Tidak ada kebangkitan, karena itu tidak ada pertanggungjawaban
di seberang kematian. Yang ia cari dan nikmati dalam kesementaraan hidupnya di
bumi ini hanyalah keterpesonaan, kegentaran dan kekaguman tanpa batas terhadap
kosmos; ia hanya ingin merengkuh pemikiran saintifik; menikmati puisi,
nyanyian, cinta dan bela rasa. Itulah makanannya dan minumannya. Dan melalui aktivitasnya sebagai
seorang pemikir bebas [agnostik dan/atau ateis] ia menggoda setiap orang:
“Marilah kita makan dan minum, sebab besok kita mati!” (Yesaya 22:13; 1
Korintus 15:32).
Adapun
wajah seseorang yang saya lihat tersirat di balik rangkaian kalimat yang
membangun alinea ketiga itu adalah wajah Ioanes Rakhmat. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar