Ilustrasi: http://inhusatu.com |
Oleh: A. G.
Hadzarmawit Netti
Catatan pendahuluan
Ketika
bangsa Indonesia hendak merayakan “tahun emas” kemerdekaan pada 17 Agustus 1995,
Buletin Akademi Leimena Jakarta Vol.1/Th
I, edisi Juli 1995 bertema, “Nasionalisme Memasuki Milenium Ketiga” memuat artikel
saya berjudul “Presensi dan Doa Bagi Negeri Berwajah Cerah”. Artikel itu
diterbitkan bersama-sama dengan artikel-artikel yang ditulis oleh Siswono
Yudohusodo, Laksamana Madya TNI A. Hartono, Prof. Dr. Midian Sirait, John Pieris, SH., MS, dan Dr. Phil. J. Garang.
Inilah enam orang Indonesia yang pertama kali merenungkan “Nasionalisme (Indonesia)
memasuki milenium ketiga”, masing-masing menurut kepakarannya, ketika bangsa Indonesia hendak merayakan
“tahun emas” kemerdekaan pada 17 Agustus 1995.
Berdasarkan
teori vibrasi sejarah yang saya kembangkan pada tahun 1992 – 1994, saya
memperoleh petunjuk bahwa Indonesia akan mengalami suatu vibrasi yang sangat
mencemaskan sebelum memasuki abad ke-21. Vibrasi krisis besar akan terjadi,
sehingga berdasarkan perenungan sebagai seorang pengamat Sastra Kristen (ini
sebutan dari Redaksi Buletin Akademi
Leimena Jakarta untuk saya) dalam
konteks bangsa Indonesia yang bineka dalam suku dan agama, saya merefleksikan
sebuah pergumulan dalam bentuk artikel sastrais berkenaan dengan presensi
(Kristen) dan doa bagi negeri (Indonesia) berwajah cerah yang bakal mengalami
cobaan dan tantangan besar. Dan
ternyata, pada tahun 1998 terjadi vibrasi krisis luar biasa, yang akhirnya
disebut “reformasi”.
Pada
8 Januari 1999, Mingguan DIAN yang
terbit di Ende, Flores, memuat artikel saya berjudul “Menghadapi Gelombang
Depresi, Bagaimana Sikap Kita?” Dalam artikel itu saya menguraikan tentang
gelombang depresi yang muncul pada tahun 1930-an –1940-an; tahun 1950-an –
1960-an; tahun 1970-an – 1980-an; dan tahun 1990-an. Saya sebutkan pula bahwa Letupan-letupan
vibrasi depresi masih akan muncul pada tahun 2001 – 2006 dan tahun 2010 – 2015,
sementara vibrasi yang tersirat dalam tahun 2007 –2009 memiliki kepekaan dan
kerawanan yang patut di cermati.
Pada
8 Februari 1999, Koran POS KUPANG
memuat artikel saya berjudul “Pergolakan Timor Timur menurut teori vibrasi”
berkenaan dengan “dua opsi tentang Timor Timur” yang dikeluarkan oleh Presiden
B.J. Habibie pada waktu itu. Pada dua alinea terakhir artikel itu saya tegaskan
bahwa Timor Timur akan terlepas dari NKRI. Dan terbukti, menjadi kenyataan
menjelang akhir tahun 1999.
Menjelang
akhir Desember tahun 1999 Trisna Dano, Wartawati Tabloit Mingguan KOMPAK di
Kupang, mewawancarai saya tentang gelombang depresi dan vibrasi kemelut bangsa
memasuki tahun 2000. Hasil wawancara
dimuat di Tabloit Mingguan KOMPAK edisi 28 Desember 1999 – 3 Januari 2000 di bawah dua judul: “Tahun
2000 gelombang depresi masih berlanjut” dan “Vibrasi kemelut bangsa belum
kunjung berhenti”. Sekali lagi saya
tandaskan mengenai letupan depresi/kemelut yang bakal muncul pada tahun 2001 –
2006 dan tahun 2010 – 2015. Mengenai siklus gelombang depresi yang diuraikan di
atas ini telah saya muat di blog www.bianglalahayyom.blogspot.com, waktu pemuatan
Kamis, 04 Agustus 2011.
Demikianlah
sedikit catatan kilas balik mengenai gelombang depresi/krisis dari masa ke masa
yang telah saya analisis berdasarkan teori vibrasi sejarah, dan yang telah
dimuat di beberapa media surat kabar lokal di Nusa Tenggara Timur.
Perkembangan
kini dan nanti
Memperhatikan
apa yang dikemukakan pada catatan pendahuluan di atas saya ingin menekankan
bahwa letupan-letupan krisis/depresi yang muncul dan terasa agak mencolok pada
tahun 2014 sampai dengan tahun 2015 adalah bagian ujung yang tak terpisahkan
dari letupan krisis/depresi yang tersirat dalam kurun waktu tahun 2010 – 2015. Dengan
demikian, depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika yang sempat menembus
Rp.14.142,- kemudian menguat ke level
Rp.13.993,- Rp.13.999 dan Rp.14.004,- per dolar Amerika menjelang akhir bulan
Agustus 2015; serta muncul pula kelesuan di bidang ekonomi/perdagangan pada hakikatnya inheren dengan dinamika
vibrasi sejarah perkembangan bangsa, serta turut ditentukan oleh vibrasi
kepemimpinan dan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Seandainya
mantan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang menjadi Presiden RI masa bakti
2014 – 2019, letupan-letupan krisis/depresi
akan tetap muncul dan berkembang. Sebab, kepemimpinan mantan Presiden
Soesilo Bambang Yudhoyono yang muncul pada masa bakti 2004 – 2009 dan 2009 –
2014 itu berada dalam siklus vibrasi dan dinamika vibrasi letupan krisis/depresi
kurun waktu 2001 – 2006; 2007 – 2009; dan 2010 – 2015, yang telah saya
sebutkan di atas. Perhatikanlah dan renungkan berbagai letupan krisis/depresi yang
muncul dalam kurun waktu 2001 – 2006. Perhatikan dan renungkan letupan-letupan krisis/depresi
yang muncul dalam kurun waktu 2004 – 2009 dan
2009 – 2014, ketika Soesilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden RI dua
periode.
Perlu
saya tekankan di sini bahwa letupan-letupan krisis/depresi yang terjadi pada
tahun 2014 dan tahun 2015 adalah merupakan letupan depresi/kemelut yang
terhisab pada kurun waktu 2010 – 2015. Krisis/depresi
yang terjadi pada tahun 2014 bertepatan dengan masa transisi pemerintahan (dari
Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono kepada penggantinya, Joko Widodo, yang memenangkan pemilihan Presiden). Pada
masa transisi tahun 2014 itu pun telah muncul dan berkembang vibrasi politis
tidak sehat di luar parlemen, yang akhirnya menembus dan membelah parlemen.
Terjadi pula vibrasi politis tidak sehat yang mengakibatkan perpecahan pada
partai-partai politik tertentu, yang penyelesaiannya berbelit-belit. Demikian pula dengan vibrasi yang memasygulkan
yang muncul di bidang penegakan hukum yang menjerat beberapa menteri, kader
inti partai, dan petinggi institusi penegak hukum.
Krisis/depresi yang terus menembus pada tahun
2015, sebagaimana disebutkan di atas, adalah krisis/depresi paling ujung dari krisis/depresi yang tersirat dalam kurun waktu
2010 – 2015. Dengan demikian, semua perkembangan krisis/depresi yang terjadi
pada tahun 2014 saat Joko Widodo secara sah dan resmi menjadi Presiden/Kepala
Negara RI mulai bulan Oktober 2014 sampai dengan Desember 2015, adalah
merupakan ujian bagi kepemimpinan Joko Widodo sebagai
Presiden/Kepala Negara, yang mengoper (mengambil alih) segala sesuatu yang
sudah ada dan berkembang selama kurun waktu 2009 – 2014 masa kepemimpinan
mantan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Ujian bagi kepemimpinan Presiden Joko Widodo
ini akan terus berlanjut pada tahun 2016. Dan
apabila Presiden Joko Widodo lulus ujian pada tahun 2016, maka
vibrasi kepeloporan/kepemimpinan Presiden Joko Widodo akan berkembang dalam
ritme yang harmoni dan berterima sampai dengan tahun 2019, sekalipun dalam
kurun waktu 2016 – 2019 depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika tetap ada atau
tetap berlanjut.
Dapat
saya tambahkan di sini bahwa vibrasi depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika,
dan depresi di bidang ekonomi/perdagangan antara bulan September sampai
Desember 2015 masih tetap ada. Depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika akan berada
pada level di atas Rp.14.000, dan bisa mendekati Rp.15.000. Akan terjadi kelesuan di bidang ekonomi/moneter.
Meskipun demikian, kita tidak perlu khawatir, sebab tidak akan terjadi krisis
besar di bidang ekonomi/moneter. Pada
tahun 2016 vibrasi depresiasi rupiah terhadap dolar AS masih terus terjadi.
Depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika bisa berada pada level Rp.16.000 per
dolar pada bulan Mei 2016. Dan juga akan
muncul vibrasi politis yang merongrong vibrasi kepeloporan Presiden Joko
Widodo. Karena itu, vibrasi ini patut dicermati. Walaupun begitu, tidak perlu
dikhawatirkan, sebab vibrasi kepeloporan Presiden Joko Widodo tetap eksis
sesuai ritme dan dinamikanya. Dan berkenaan dengan pelaksanaan pemilihan kepala
daerah secara serentak pada bulan Desember 2015 di Indonesia, kita tidak perlu
khawatir bahwa akan terjadi kericuhan sebab vibrasinya bergerak dalam ritme yang tidak merisaukan
keamanan dan kestabilan nasional.
Catatan akhir
Lalu,
bagaimanakah kita harus menghadapi dan menanggulangi depresi yang sedang terjadi? Dalam artikel, “Menghadapi Gelombang Depresi,
Bagaimana Sikap Kita?” (DIAN, 08
Januari 1999” dan “Menelusuri Siklus Gelombang Krisis dari Masa ke Masa” (www.bianglalhayyom.blogspot.com Kamis, 04
Agustus 2011), saya katakan begini: Pertama,
menurut siklus Simon Kuznetz, resep untuk meniadakan depresi tidak ada.
Penyebabnya inheren dalam sistem itu sendiri. Itulah sebabnya, dalam menghadapi
gelombang depresi kita tidak boleh terlalu mengharapkan yang terbaik (hope for
the best), melainkan kita harus bersedia menghadapi dan menerima kenyataan yang
terburuk (be prepared for the worst). Ini tidak berarti bahwa kita
pasrah/menyerah, tetapi sabar dan tabah dalam menghadapi kenyataan. Kedua, menurut teori vibrasi, depresi
inheren dengan dinamika vibrasi sejarah perkembangan bangsa serta turut
ditentukan oleh vibrasi kepemimpinan dan sistem penyelenggaraan pemerintahan
negara (cermati apa yang telah saya uraikan dalam buku Vibrasi Sejarah Pergerakan Kemerdekaan dan Vibrasi Eksistensi Bangsa
Indonesia. B You Publishing Surabaya 2010). Dengan demikian, gelombang
depresi dapat dikurangi atau diperkecil dengan jalan memperbaiki vibrasi
kepemimpinan, sekaligus memperbaiki sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Menurut
pertimbangan saya, dua simpulkan pemikiran di atas ini patut diperhatikan dan
diamalkan. Seluruh rakyat dan komponen bangsa Indonesia harus bisa mengamalkan
simpulan pemikiran yang pertama Dan
terutama bagi para pihak yang karena kedudukan,
jabatan dan peranannya terkait dengan
kepemimpinan (bangsa dan negara) serta tak terpisahkan dari sistem
penyelenggaraan pemerintahan negara, simpulan pemikiran kedua yang disebutkan di atas merupakan kewajiban yang tidak boleh
diabaikan. Simpulan pemikiran kedua di atas inilah yang terutama harus
diperhatikan dan dikerjakan oleh Presiden Joko Widodo yang memimpin Kabinet
Kerja yang dibentuknya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar