Gambar: akalmu.com |
Oleh: A. G.
Hadzarmawit Netti
Sebagai
seorang pionir teori vibrasi sejarah
yang telah menerbitkan buku Vibrasi
Sejarah Pergerakan Kemerdekaan dan Vibrasi Eksistensi Bangsa Indonesia (B
You Publishing Surabaya 2010); dan sebagai seorang pionir teori vibrasi
kepeloporan yang telah mempublikasikan vibrasi kepeloporan sejumlah tokoh yang
tampil di pentas politik nasional maupun daerah yang mencalonkan diri sebagai presiden
maupun kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota serta anggota DPR dan DPRD); saya
terpanggil untuk mewedarkan hasil penelitian dan deteksi tentang vibrasi
kepeloporan tokoh-tokoh terkemuka bangsa Indonesia di pentas politik dari masa
ke masa.
Tujuan
saya bukan untuk “melawan lupa” seperti yang dilakukan oleh para sejarawan
yang secara periodik tampil dalam tayang bincang melalui stasiun televisi
nasional di Jakarta, yang mengisahkan berbagai peristiwa sejarah masa lampau
yang tidak boleh dilupakan; melainkan tujuan saya untuk menyingkapkan vibrasi yang
terselindung di balik suatu peristiwa sejarah, gerakan politik dan sebagainya),
agar setiap orang dapat menyadari dan memungut hikmah dari vibrasi sejarah masa
lalu guna membenahi hidup dan pengabdian pada masa kini demi masa depan secara
arif. Analisis dalam buku Vibrasi Sejarah
Pergerakan Kemerdekaan dan Vibrasi Eksistensi Bangsa Indonesia yang diterbitkan pada tahun 2010 itu merupakan
bukti yang mengukuhkan apa yang saya katakan di atas ini.
Dengan
teori vibrasi kepeloporan saya berupaya mencari tahu hikmah suatu peristiwa
sejarah, bobot vibrasi kepeloporan seseorang tokoh dalam hubungannya dengan
kedudukan politis yang ingin diraih; serta bobot kualitas vibrasi kepeloporan dan hasil kerja
seseorang tokoh yang telah meraih kedudukan politis yang diincarnya. Vibrasi kepeloporan juga dapat memberi
petunjuk tentang berhasil atau tidak berhasilnya seseorang tokoh dalam upaya
meraih kedudukan politis yang diincarnya. Perlu dicatat di sini bahwa skor bobot
vibrasi kepeloporan seseorang yang tinggi dalam suatu bidang kehidupan dan
pengabdian tertentu tidak serta-merta berlaku pada bidang kehidupan dan pengabdian lain. Dan dengan
mengetahui bobot vibrasi kepeloporan orang dapat mengendalikan dan/atau
menjuruskan ambisinya untuk meraih hasrat yang didambakan.
Berdasarkan
uraian pengantar di atas ini saya akan mewedarkan di bawah ini vibrasi sejarah
dan vibrasi kepeloporan beberapa tokoh sejarah dalam eksistensi bangsa
Indonesia dari masa ke masa, sebagaimana telah uraikan dalam buku yang judulnya
telah saya sebutkan di atas, mulai dari zaman pergerakan kemerdekaan sampai
kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945; sejarah eksistensi
bangsa Indonesia antara 1945 – 1949; sejarah pembebasan Irian Barat sampai
timbulnya G-30-S/PKI pada tahun 1965; diterbitkannya Surat Perintah 11 Maret
1966 sampai MPRS menetapkan dan melantik
Soeharto menjadi Presiden pada tahun 1968; luas siklus vibrasi kepeloporan
Soeharto sebagai Presiden RI mencapai kulminasinya pada 11 Maret 1998; setelah
itu vibrasi kepeloporan Soeharto
mengalami stagnasi pada tanggal 21 Mei 1998 malam karena guncangan
vibrasi reformasi yang sangat dahsyat!
Vibrasi sejarah
(siklus vibrasi dan luas siklus vibrasi tonggak sejarah)
antara tahun
1908 sampai tahun 1998/1999
(1)
Tahun 1908 tercatat sebagai tonggak sejarah Kebangkitan Nasional. Luas siklus
vibrasi Kebangkitan Nasional tahun 1908
adalah 1+9+0+8 = 18 (1+8) = 9. Apabila angka tahun 1908 dijumlahkan
dengan angka 9 secara terus-menerus maka luas siklus vibrasi tahun 1908 akan
mencapai kulminasinya pada tahun 1998. Kalau pada tahun 1908 tercetus vibrasi Kebangkitan
Nasional sebagai tonggak awal sejarah pergerakan kemerdekaan bagi eksistensi
bangsa Indonesia pada awal abad ke-20, maka pada tahun 1998 tercetus vibrasi
reformasi terhadap eksistensi bangsa Indonesia pada akhir abad ke-20 sebelum
bangsa Indonesia memasuki abad ke-21.
(2)
Tahun 1928 tercatat sebagai tonggak sejarah Sumpah Pemuda yang mengikrarkan
semangat satu bangsa, satu bahasa, satu tanah air yaitu Indonesia. Luas siklus
vibrasi Sumpah Pemuda tahun 1928 adalah 1+9+2+8 = 20 (2+0) = 2. Apabila angka
tahun 1928 dijumlahkan dengan angka 2 secara terus-menerus maka siklus vibrasi
tahun 1928 mencapai tahun 1948 yang di dalamnya tersirat vibrasi disintegrasi
bangsa. Pada tahun 1948 vibrasi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia
mengalami ujian dan tantangan yang berat, akan tetapi ternyata eksistensi
bangsa Indonesia tetap mempertahankan vibrasi persatuan dan kesatuan bangsa.
Apabila perhitungan terus dilanjutkan yaitu 1948 + 2 dan seterusnya, maka
siklus vibrasi Sumpah Pemuda tahun 1928 akan mencapai tahun 1968 yang di
dalamnya tersirat vibrasi eksistensi bangsa Indonesia yang bersatu di awal
tonggak sejarah Orde Baru ketika MPRS menetapkan dan melantik Jenderal Soeharto
menjadi Presiden RI, setelah vibrasi G-30-S/PKI mengalami stagnasi di bawah
vibrasi kepeloporan Soeharto sebagai pemegang SP 11 Maret 1966. Dan apabila perhitungan
dilanjutkan terus maka luas siklus vibrasi Sumpah Pemuda tahun 1928 akan
mencapai kulminasinya pada tahun 1998, yaitu tahun munculnya vibrasi
reformasi eksistensi bangsa Indonesia
pada akhir abad ke-20 yang sudah jenuh terhadap vibrasi kepeloporan Soeharto
yang telah menjadi presiden RI selama 30 tahun antara tahun 1968 sampai tahun
1998. Pada tahun 1998, ketika vibrasi reformasi terjadi begitu dahsyat,
ternyata vibrasi Sumpah Pemuda tahun 1928 tidak mengalami stagnasi. Vibrasi
Semangat Sumpah Pemuda tahun 1928 tetap mempertahankan eksistensi bangsa
Indonesia yang bersatu pada tahun 1998
(akhir abad ke-20) sekalipun pada waktu
itu timbul vibrasi disintegrasi bangsa yang merembes ke tahun-tahun awal abad
ke-21.
(3)
Tahun 1945 tercatat sebagai tahun kemerdekaan bangsa Indonesia yang
diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Luas siklus vibrasi eksistensi
kemerdekaan bangsa Indonesia tahun 1945 adalah 1+9+4+5 = 19 (1+9) = 10 (1+0) =
1. Luas siklus vibrasi eksistensi kemerdekaan bangsa Indonesia berdasarkan
analisis ini menyiratkan dua makna. Pertama,
makna vibrasi eksistensi kemerdekaan bangsa Indonesia dapat muncul dan
dirasakan atau dialami dalam luas siklus vibrasi sepuluh tahunan. Kedua, makna
vibrasi eksistensi kemerdekaan bangsa Indonesia berlangsung secara alamiah dan
ajek dari tahun ke tahun berdasarkan luas siklus vibrasi tahunan dengan segala dinamika
dan romantika yang berkembang dari tahun ke tahun. Analisis bagian pertama sangat menarik untuk
diperhatikan. Apabila vibrasi eksistensi kemerdekaan bangsa Indonesia tahun
1945 dijumlahkan dengan angka 10 yaitu skor luas siklus vibrasi eksistensi
kemerdekaan bangsa Indonesia, maka hasil penjumlahannya adalah 1955. Peristiwa yang muncul pada tahun 1955
adalah Pemilihan Umum yang menggunakan sistem demokrasi liberal, dimana
pemilihan anggota DPR diikuti oleh 118 partai politik atau gabungan atau perseorangan.
Apabila luas siklus vibrasi eksistensi kemerdekaan tahun 1945 dilanjutkan terus
dengan menambahkan angka 10 sesudah tahun 1955 maka hasilnya adalah 1965.
Peristiwa apa yang terjadi pada tahun 1965? Pada tahun 1965 terjadi G-30-S/PKI
yang merongrong eksistensi kemerdekaan bangsa Indonesia. Apabila perhitungan
dilanjutkan lagi maka siklus vibrasi eksistensi kemerdekaan akan muncul pada
tahun 1975, yaitu Timor Timur direbut oleh Pemerintah Indonesia dan dihisabkan
ke dalam wilayah kedaulatan RI. Jika perhitungan dilanjutkan maka siklus
vibrasi kemerdekaan RI bermuara pada tahun 1995, yaitu tahun eksistensi
kemerdekaan RI yang genap berusia 50 tahun. Apabila perhitungan terus
dilanjutkan, yaitu 1995+10 maka hasilnya akan bermuara pada tahun 2005, tahun
penandatanganan perdamaian Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Indonesia,
sehingga Aceh tidak lagi menjadi Daerah Operasi Militer yang ingin memisahkan
diri dari NKRI.
Catatan
sisipan: Ketika
bangsa Indonesia akan merayakan “Tahun Emas Kemerdekaan” pada 17 Agustus 1995,
Buletin Akademi Leimena Jakarta
Vol.1/Th. I, Edisi Juli 1995 bertema
“Nasionalisme Memasuki Milenium Ketiga” memuat artikel saya berjudul “Presensi
dan Doa bagi Negeri Berwajah Cerah”.
Artikel itu diterbitkan bersama-sama dengan artikel-artikel yang ditulis oleh
Siswono Yudohusodo, Laksamana Madya TNI A. Hartono, Prof. Dr. Midian Sirait,
John Pieris, SH., MS., dan Dr. Phil. J. Garang.
Enam orang Indonesia inilah yang pertama kali merenungkan “Nasionalisme
Indonesia memasuki milenium ketiga”, masing-masing menurut kepakarannya. Melalui artikel berjudul “Presensi dan Doa
bagi Negeri Berwajah Cerah” , pada tahun 1995 saya sudah memperoleh petunjuk
berdasarkan teori vibrasi sejarah yang saya tekuni bahwa “menjelang akhir abad
ke-20 bangsa Indonesia akan mengalami kerusuhan besar. Dalam membayangkan
kerusuhan besar yang bakal terjadi itu saya berdoa: “Ya, TUHAN! Berikanlah
kepada bangsa Indonesia keberanian setajam pedang untuk mempertahankan republik
ini!” Dan ternyata, tiga tahun setelah
bangsa Indonesia merayakan tahun
emas kemerdekaannya pada 17 Agustus 1995, mulai tahun 1996, 1997 terjadi
berbagai kerusuhan di berbagai daerah yang akhirnya memuncak dalam kerusuhan besar yang terjadi di Jakarta, bertepatan
dengan gerakan reformasi yang berhasil menumbangkan kekuasaan Presiden Soeharto
pada bulan Mei 1998!
(4)
Vibrasi tahun 1955, tahun dilaksanakannya Pemilihan Umum pertama setelah
kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945,
memiliki skor luas siklus vibrasi 2 yang
diperoleh dari penjumlahan angka tahun 1955 (1+9+5+5 = 20; 2+0 = 2). Jika angka tahun 1955 dijumlahkan secara
terus-menerus dengan angka 2 maka hasilnya adalah 1965, tahun terjadinya
G-30-S/PKI; angka tahun 1965 dijumlahkan lagi dengan angka 2 secara
terus-menerus maka hasilnya adalah 1975, yaitu di Timor Timur direbut oleh
pemerintah Indonesia; dan jika dijumlahkan lagi dengan angka 2 secara
terus-menerus maka hasilnya adalah 1999, tahun terjadinya Pemilihan Umum menjelang akhir abad ke-20 yang diikuti oleh
48 Partai Politik, setelah reformasi tahun 1998 yang berhasil menumbangkan kekuasaan
Presiden Soeharto.
(5)
Vibrasi tahun 1965, tahun terjadinya G-30-S/PKI memiliki luas siklus vibrasi 3
yang diperoleh dari penjumlahan angka tahun 1965 (1+9+6+5 = 21; 2+1= 3). Jika
angka tahun 1965 dijumlahkan secara terus-menerus dengan angka 3 maka hasilnya
adalah 1968, tahun pelantikan Soeharto (pemegang SP 11 Maret 1966) menjadi
Presiden RI oleh MPRS. Jika angka tahun 1968 dijumlahkan lagi dengan angka 2
secara terus-menerus maka hasilnya adalah 1974, tahun terjadinya kerusuhan besar
di Jakarta pada bulan Januari yang terkenal dengan sebutan Peristiwa Malari. Kemudian jika angka tahun
1974 dijumlahkan lagi secara terus-menerus maka hasilnya adalah 1998, tahun
terjadinya gerakan reformasi—dan juga kerusuhan besar di Jakarta—yang menumbangkan kekuasaan Soeharto.
(6)
Vibrasi tahun 1975, tahun terjadinya perang Timor Timur dan pemerintah RI
merebut Timor Timur ke dalam wilayah kedaulatan RI. Tahun 1975 memiliki luas
siklus vibrasi 4 yang diperoleh dari penjumlahan angka tahun 1975 (1+9+7+5 = 22; 2+2 = 4). Jika angka
tahun 1975 dijumlahkan secara terus-menerus dengan angka 4 maka hasilnya adalah
1999, Timor Timur terlepas dari kekuasaan
Pemerintah RI. Catatan sisipan: Mengenai Timor Timur terlepas dari NKRI, pada
8 Februari 1999 Koran POS KUPANG, NTT
memuat artikel saya berjudul “Pergolakan Timor Timur menurut teori vibrasi”.
Berkenaan dengan dua opsi tentang Timor Timur yang dikeluarkan oleh Presiden B.
J. Habibie pada waktu itu, saya katakan bahwa menurut teori vibrasi Timor Timur
akan terlepas dari NKRI. Dan terbukti
menjadi kenyataan menjelang akhir tahun 1999.
Berdasarkan enam butir catatan mengenai
siklus vibrasi dan luas siklus vibrasi tonggak sejarah antara tahun 1908 sampai
tahun 1999 di atas kita dapat melihat kekuatan
vibrasi sejarah yang tersirat dalam tahun-tahun peristiwa yang tercatat
sebagai peristiwa sejarah.
Vibrasi kepeloporan
tokoh sejarah dalam eksistensi bangsa Indonesia
dari masa ke
masa
Di
dalam tahun-tahun peristiwa sejarah pada hakikatnya tersirat vibrasi kepeloporan setiap tokoh yang
terkait langsung dengan peristiwa-peristiwa sejarah. Vibrasi kepeloporan tokoh
sejarah dapat dideteksi. Sebagaimana dokter dapat mendeteksi dan mendengarkan
bunyi kerja alat tubuh dalam rongga dada (terutama bunyi paru-paru dan jantung)
dengan sebuah alat yang disebut stetoskop; atau sebagaimana kekuatan getaran
gempa bumi dapat diukur dan direkam dengan sebuah alat yang disebut
seismometer; atau sebagaimana kebohongan dapat dideteksi dengan alat yang
disebut lie-detector, demikian pula vibrasi kepeloporan seseorang dalam
kaitannya dengan sesuatu aktivitas dapat dideteksi oleh seorang pionir teori
vibrasi kepeloporan. Di bawah ini saya wedarkan hasil deteksi vibrasi kepeloporan beberapa tokoh sejarah terkemuka dalam
eksistensi bangsa Indonesia.
Pertama, Aktivitas
perjuangan Soekarno di pentas politik pada masa pergerakan kemerdekaan mulai tahun 1925, 1926, 1927, 1928 sampai
kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 memiliki skor
vibrasi kepeloporan 120. Ini merupakan skor vibrasi kepeloporan batas atas yang
normal; sedangkan skor vibrasi kepeloporan batas bawah yang normal adalah 80. Vibrasi kepeloporan Soekarno sebagai Presiden
RI antara tahun 1945 – 1955 memiliki skor 90/100. Vibrasi kepeloporan Soekarno
sebagai Presiden RI antara tahun 1955 – 1965 memiliki skor 80/90 ketika terjadi
peristiwa G-30-S/PKI. Dan mulai tahun 1966/1967 vibrasi kepeloporan Soekarno mengalami stagnasi sampai wafat pada tahun
1970.
Kedua, Aktivitas
perjuangan Mohammad Hatta pada zaman pergerakan kemerdekaan mulai tahun
1926/1927 sampai kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus
1945 memiliki skor vibrasi kepeloporan sebesar 90/100. Vibrasi
kepeloporan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden RI antara tahun 1945 - 1950 memiliki
skor 80.
Vibrasi kepeloporan Mohammad Hatta mengalami stagnasi karena faktor
ketidakharmonisan dengan vibrasi kepeloporan Soekarno sehingga akhirnya Mohammad
Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden pada tahun 1956.
Ketiga, Vibrasi
kepeloporan Soeharto muncul secara kuat pada tahun 1949. Skor vibrasi
kepeloporannya pada waktu itu 90. Skor vibrasi kepeloporan Soeharto
muncul lagi pada tahun 1962 dan meningkat
menjadi 90/100 pada tahun 1962 sampai 1965. Pada tahun 1966 sampai 1968
skor vibrasi kepeloporan Soeharto mencapai 100/110.
Pada tahun 1968 sampai 1978 vibrasi kepeloporan Soeharto mulai
mengalami degradasi sehingga skornya menjadi 80/90. Kemudian pada tahun 1978 – 1988 skor vibrasi
kepeloporan menurun menjadi 80; dan pada tahun 1988 – 1998
(bulan Maret), skor vibrasi kepeloporan
Soeharto sebesar 60/70 ; setelah itu mengalami stagnasi pada 21 Mei 1998 lantaran
dahsyatnya guncangan vibrasi reformasi.
Keempat, Vibrasi
kepeloporan yang sangat menentukan Soeharto tumbang dari kekuasaannya sebagai
presiden yang terpilih pada Sidang Umum MPRS bulan Maret 1998 adalah vibrasi
kepeloporan massa (aktivis) yang melakukan demonstrasi, menuntut Soeharto
meletakkan jabatan. Aktivis Forum Kota—yang dikoordinasi oleh Adian Napitupulu
(skor vibrasi kepeloporan 100/110) yang beranggotakan aktivis mahasiswa dari 56
kampus di Jakarta dan sekitarnya termasuk mahasiswa dari FKSMJ, UI, HMI dan MPO
(seluruhnya memiliki skor vibrasi kepeloporan 120) yang sesungguhnya
punya andil menumbangkan Soeharto pada
tahun 1998. Gerakan massa (aktivis) ini dimanfaatkan dan/atau disusupi oleh
kelompok-kelompok lain yang menimbulkan vibrasi kaos yang mencemaskan. Tokoh-tokoh nasional yang menonjol
pada saat reformasi tahun 1998 antara lain: Megawati Soekarnoputri (tokoh
terkemuka PDI)—yang terkenal sebagai oposan PDI pimpinan Soerjadi yang didukung
Soeharto—memiliki skor vibrasi kepeloporan 120. Abdurrahman Wahid sebagai salah
satu Ulama terkemuka (Ketua Umum PBNU) memiliki skor vibrasi kepeloporan 80/90
akan tetapi skor vibrasi kepeloporannya dalam bidang politik kepartaian
sebesar 60; Nurcholis Madjid sebagai seorang tokoh cendekiawan
Muslim Indonesia memiliki skor vibrasi kepeloporan 80/90; Amien Rais (mantan
Ketua Umum Muhammadiyah) dan tokoh cendekiawan Muslim Indonesia memiliki skor
vibrasi kepeloporan 80/90 akan tetapi skor vibrasi kepeloporannya dalam kancah
politik sebesar 60. Yusril Ihza Mahendra memiliki skor vibrasi kepeloporan 80/90
dalam bidang hukum ketatanegaraan, akan tetapi dalam bidang politik
hanya memiliki skor vibrasi kepeloporan 50. Hamzah Haz memiliki skor vibrasi
kepeloporan politik kepartaian 60/70. Vibrasi kepeloporan Harmoko,
Akbar Tanjung dan tokoh-tokoh Golkar mengalami stagnasi ketika terjadi
reformasi yang menumbangkan Soeharto. Jenderal Wiranto ketika terjadi reformasi
tahun 1998 memiliki skor vibrasi kepeloporan 90/100; Susilo Bambang
Yudhoyono memiliki skor vibrasi kepeloporan 60/70 dan Prabowo
Subianto memiliki skor vibrasi kepeloporan 30/40. Dan selain itu, ada
vibrasi-vibrasi politis terselubung yang hakikatnya ingin memecah-belah bangsa
serta menjuruskan dan/atau memberi corak baru dalam politik pemerintahan negara
Republik Indonesia pascareformasi.
Kelima, Vibrasi
kepeloporan B. J. Habibie, ketika Soeharto lengser dari jabatannya sebagai
presiden pada 21 Mei 1998 malam, memiliki skor vibrasi kepeloporan 60 .
Meskipun demikian, vibrasi pemerintahan transisi di bawah kepemimpinan B. J.
Habibie sebagai pengganti Soeharto berhasil menggenapi tuntutan kekuatan vibrasi
reformasi yang menghendaki Pemilihan Umum yang demokratis dilakukan pada tahun
1999. Setelah itu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil Pemilihan
Umum tahun 1999 melakukan pemilihan
presiden dan wakil presiden.
Keenam, Pemilihan Umum
1999 melahirkan vibrasi kepeloporan partai politik (sesuai hasil penghitungan
suara pemilihan umum) sebagai berikut: (1) Vibrasi kepeloporan Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan sebesar 33,12%. (2)
Vibrasi kepeloporan Partai Golongan Karya sebesar 25,97%. (3) Vibrasi
kepeloporan Partai Persatuan Pembangunan sebesar 12,55%. (4) Vibrasi kepeloporan Partai Kebangkitan Bangsa sebesar 11,03%. (5)
Vibrasi kepeloporan Partai Amanat Nasional sebesar 7,36%. (6) Vibrasi kepeloporan Partai Bulan Bintang sebesar 2,81%. Vibrasi kepeloporan partai
politik yang berada di bawah 2% tidak disebutkan di sini. Demikianlah realitas objektif dan realitas
faktual vibrasi kepeloporan partai politik dalam Lembaga MPR hasil Pemilihan
Umum tahun 1999 setelah terjadi reformasi pada tahun 1998. Akan tetapi realitas
objektif dan realitas faktual vibrasi kepeloporan partai politik yang tercermin
dalam Lembaga MPR itu distagnasikan oleh suatu kekuatan vibrasi lain yang pada
hakikatnya merongrong kekuatan vibrasi
demokrasi yang dilahirkan oleh vibrasi reformasi. Kekuatan vibrasi lain yang
merongrong vibrasi demokrasi hasil reformasi sebagaimana tercermin dalam
Lembaga MPR pada tahun 1999 itu adalah vibrasi
kekuatan poros tengah yang dimotori dan/atau dikendalikan oleh Amin Rais
(tokoh terkemuka Partai Amanat Nasional). Vibrasi kekuatan poros tengah inilah
yang mengempang vibrasi kepeloporan Megawati Soekarnoputri dengan “tanggul
gender” agar tidak terpilih sebagai Presiden pada Sidang Umum MPR
tahun 1999. Dan untuk merealisasikan
vibrasi tersebut—melalui vibrasi kekuatan poros tengah yang dikendalikan oleh Amin Rais—Abdurrahman Wahid
(Ulama terkemuka PBNU dan Partai Kebangkitan Bangsa) “dilobikan” dan dicalonkan
menjadi Presiden RI setelah berbagai persyaratan terkait kesehatan fisik diubah
untuk disesuaikan dengan kondisi fisik Abdurrahman Wahid. Akhirnya, Abdurrahman
Wahid dan Megawati Soekarnoputri diajukan sebagai calon presiden untuk dipilih
oleh Anggota MPR melalui mekanisme pemungutan suara pada Sidang Umum MPR pada
tanggal 20 Oktober 1999. Abdurrahman Wahid memperoleh dukungan 373 suara dari
seluruh anggota MPR yang berjumlah 691 orang (5 suara abstain), menyisihkan
Megawati Soekarnoputri yang memperoleh dukungan 313 suara. Pada waktu itu semua pihak tidak menyadari
bahwa sesungguhnya suatu vibrasi
perongrongan terhadap demokrasi dan keluhuran aspirasi rakyat telah terjadi
dalam Lembaga MPR hasil Pemilihan Umum
tahun 1999 yang jujur, bersih dan adil! Dan ini merupakan benih
krisis yang ditanamkan dan/atau ditaburkan oleh MPR pada Sidang Umum
MPR RI Tahun 1999.
Vibrasi krisis
demokrasi dan politik pada awal abad ke-21
Vibrasi krisis baru dalam demokrasi dan politik di Indonesia setelah
memasuki abad ke-21 terjadi pada tahun 2001. Sesuai ketentuan UUD 1945, Abdurrahman Wahid yang
dipilih oleh MPR pada tahun 1999 seyogianya melaksanakan tugas kepresidenan
sampai akhir masa jabatan pada tahun 2004. Akan tetapi ternyata MPR RI
melengserkan Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2001. Pada tahun 1999 Amien Rais sebagai Ketua MPR RI bermanuver
politik di MPR melalui vibrasi poros
tengah untuk memuluskan Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden RI. Demi
penataan dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan memuaskan, MPR RI di
bawah kepemimpinan Amien Rais menetapkan Sidang MPR setiap tahun untuk
mengevaluasi kinerja Presiden dan
kabinet. Ternyata pada tahun 2001 Presiden Abdurrahman Wahid terjaring
politisasi! Lalu Amien Rais sebagai Ketua MPR RI melalui sidang MPR yang
dipimpinnya, terbuka hati dan tangan untuk melengserkan Presiden Abdurrahman
Wahid! Vibrasi kepeloporan Megawati
Soekarnoputri yang berada pada posisi Wakil Presiden ditingkatkan pada posisi
atau kedudukan Presiden sampai habis masa jabatan pada tahun 2004, dan Hamzah
Haz terpilih untuk menjadi Wakil Presiden. Pada era kepemimpinan Megawati
Soekarnoputri sebagai presiden mulai tahun 2001 sampai 2004, Amin Rais sebagai
Ketua MPR memutuskan: MPR tidak perlu lagi melakukan sidang tahunan untuk
mengevaluasi kinerja presiden dan kabinet!
Catatan
antara untuk dicamkan: Menjelang akhir abad ke-20 yaitu pada tahun 1998, terjadi demonstrasi
besar-besaran untuk melengserkan Presiden Soeharto yang ditetapkan oleh MPR RI
hasil Pemilihan Umum tahun 1997 yang dinilai tidak demokratis. Akibatnya,
Presiden Soeharto lengser. Dan pada awal abad ke-21 yaitu pada tahun 2001, terjadi
politisasi demonstrasi besar-besaran untuk melengserkan Presiden Abdurrahman
Wahid yang dipilih oleh MPR RI hasil Pemilihan Umum tahun 1999 yang
sesungguhnya sangat demokratis. Akibatnya, Presiden Abdurrahman Wahid lengser. Perhatikan
skor luas siklus vibrasi politik tahun
2001 yaitu angka 3 dalam hubungannya dengan angka tahun 1998 yaitu 1998 +3 = 2001. Inilah
hasil yang
dituai dari benih krisis yang
ditabur oleh MPR RI dalam Sidang Umum MPR tahun 1999. Berdasarkan teori vibrasi
sejarah yang saya kembangkan, vibrasi krisis yang terjadi pada tahun 1998 yang
merupakan kulminasi vibrasi multikrisis yang terjadi antara tahun 1908 sampai
tahun 1998 muncul kembali pada tahun 2001.
Perlu diperhatikan bahwa krisis yang
terjadi pada tahun 1998 itu bukan saja terbatas pada krisis demokrasi dan
politik, melainkan terhisab pula krisis
ekonomi dan moneter, krisis sosial dan budaya, krisis keamanan dan
hukum, krisis akhlak dan moral, krisis bencana alam dan krisis kemanusiaan. Vibrasi multikrisis ini menembus abad: tidak
mencapai kulminasinya pada tahun 1998 dan stagnan di akhir abad ke-20,
melainkan merembes gerbang abad ke-21 dan merebak pada tahun 2001 dan
seterusnya. Skor luas siklus vibrasi tahun 2001, yaitu 3, jika dijumlahkan
dengan angka tahun 2001 maka hasilnya adalah 2004, yaitu tahun berakhirnya masa
jabatan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI yang menggantikan Abdurrahman
Wahid sesuai dengan ketentuan UUD 1945. Dengan terjadinya krisis demokrasi dan
politik pada tahun 2001 maka luas siklus vibrasi krisis selalu berpeluang eksis
di sela-sela kurun waktu 3 tahunan. Dengan demikian, luas siklus vibrasi
krisisnya dapat dipetakan sebagai berikut: tahun 1998/1999 – 2001// 2001 – 2004 // 2004 -- 2007 // 2007 -- 2010 // 2010 – 2013 // 2013 – 2016 // 2016–
2019 // 2019 – 2022 // 2022 – 2025 // 2025 – 2028 // 2028 – 2031 // 2031 – 2034 // 2034 – 2037// 2037 – 2040 // 2040 – 2043 // 2043 – 2046 // 2046 –
2049 …, dan seterusnya. Di sela-sela luas siklus vibrasi krisis yang dipetakan
ini timbul pula krisis-krisis yang berkaitan erat dengan dinamika vibrasi
pemilihan umum lima tahunan mulai tahun 2004 – 2009// 2009 – 2014// 2014 –
2019// 2019 – 2024// 2024 – 2029// 2029 – 2034// 2034 – 2039// 2039 – 2044//
2044 – 2049 … dan seterusnya.
Pada tanggal 8 Januari 1999,
Mingguan DIAN yang terbit di Ende,
Flores, memuat artikel saya berjudul “Menghadapi Gelombang Depresi, Bagaimana
Sikap Kita?” Dalam artikel itu saya menguraikan tentang gelombang depresi yang
muncul pada tahun 1930-an – 1940-an; 1950-an – 1960-an; 1970-an – 1980-an
sampai tahun 1990-an. Saya sebutkan pada waktu itu (Januari tahun 1999) bahwa
letupan-letupan depresi masih akan muncul pada tahun 2001 – 2006 dan tahun 2010
– 2015. Dan vibrasi yang tersirat dalam tahun 2007 – 2009 memiliki kepekaan dan
kerawanan yang patut dicermati! Skor luas siklus vibrasi tahun 2001 yaitu 3 turut
menentukan kepekaan dan kerawanan yang tersirat dalam vibrasi tahun 2007 –
2009. Apa yang saya katakan berdasarkan teori vibrasi pada tahun 1999 sebagaimana
dikutip di atas ini tidak meleset, sebab kronologi dan latar belakang krisis
financial yang beritakan melalui detikfinance edisi Rabu 15 April
2009 12.06 WIB ternyata sesuai dengan hasil deteksi dan analisis saya. Vibrasi
krisis yang tersirat dalam tahun 2007 akan bersiklus dengan vibrasi tahun 2010,
2013, 2016, 2019 dan seterusnya. Dan vibrasi krisis yang tersirat dalam tahun
2009 akan bersiklus dengan vibrasi tahun 2012, 2015, 2018, 2021, dan
seterusnya. Demikianlah romantika kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia dalam abad ke-21.
Krisis
ekonomi dan krisis nilai tukar rupiah,
telah saya wedarkan dalam artikel berjudul “Menghadapi gelombang depresi,
bagaimana sikap kita” (Mingguan DIAN Ende,
Flores, 8 Januari 1999); “Menelusuri
gelombang krisis dari masa ke masa” (www.bianglalahayyom.blogspot.co.id,
edisi Kamis, 04 Agustus 2011); dan artikel
berjudul “Vibrasi krisis belum berakhir” (www.bianglalahayyom.blogspot.co.id edisi Selasa,
01 September 2015). Letupan luas siklus vibrasi krisis ekonomi dan nilai tukar
rupiah akan muncul dalam luas siklus krisis yang kurun waktunya telah dipetakan
dan diwedarkan atas ini, termasuk krisis yang ditimbulkan oleh bencana alam; krisis
politik, krisis moral dan akhlak yang
merongrong nama baik/reputasi, serta aksi teror dan makar. Di sini
saya tidak menyebut semua krisis yang telah terjadi dan yang muncul kembali
sesuai luas siklus vibrasinya. Semua pengamat yang cerdas dan rajin
mendokumentasikan setiap peristiwa yang berhubungan erat dengan krisis dari
masa ke masa niscaya akan tahu dan mengakui kebenaran yang telah ditunjukkan
oleh analisis teori vibrasi yang dipetakan dan diwedarkan di atas ini. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar