Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti
INTEROGASI
adalah kata adaptasi atau kata pungutan dari bahasa Inggris, “interrogation”,
yang disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia. Kata “interrogation” dalam
bahasa Inggris itu sendiri berasal dari bahasa Latin, interrogare, interrogatum; inter, artinya “di antara” dan rogare, artinya “bertanya”. Dalam bahasa
Indonesia, “interogasi” diartikan dengan “hal menanyai (biasanya pada suatu
penyelidikan)”, atau “mengajukan pertanyaan dengan harapan memperoleh jawaban
secara wajar”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa cetakan pertama,
edisi ke-4 tahun 2008, “interogasi” diartikan dengan “pertanyaan; pemeriksaan
terhadap seseorang melalui pertanyaan lisan yang bersistem”.
Dalam
sastra, “interogasi” tergolong salah satu majas atau gaya bahasa yang memiliki
fungsi dan daya gugah tersendiri. Menurut Nesfield, majas interogasi pada
umumnya dipergunakan dalam dua cara. Pertama, apabila pembicara atau penulis
mengungkapkan nosi (pendapat, tanggapan, gagasan) secara tidak langsung dalam
bentuk pertanyaan dengan maksud untuk menggugah pendengar atau pembaca untuk
merenungkan nosi yang diungkapkan dalam bentuk pertanyaan tersebut. Kedua,
apabila pembicara atau penulis mengungkapkan suatu nosi dalam bentuk pertanyaan
dengan maksud untuk menguraikan, menjelaskan, atau mengomentari sendiri nosi
yang telah diajukan dalam bentuk pertanyaan tersebut. “Soliloquy” (percakapan
seorang diri), yaitu apabila pembicara atau penulis mengemukakan suatu nosi
dalam bentuk pertanyaan bagi dirinya kemudian pertanyaan tersebut dijawabnya
sendiri, terhisab pada penggunaan majas interogasi cara kedua (J.C. Nesfield. Figures Of Rhetoric, hlm.246). Kata
“soliloquy” telah dipungut ke dalam bahasa Indonesia menjadi “solilokui” yang
sama artinya dengan kata “senandika”, yaitu “wacana seorang tokoh dalam karya
susastra dengan dirinya sendiri di dalam drama yang dipakai untuk mengungkapkan
perasaan, firasat, konflik batin yang paling dalam dari tokoh tersebut, atau
untuk menyajikan informasi yang diperlukan pembaca atau pendengar” (KBBI, Ibid, hlm.1266, 1328). Perhatikan
larik-larik sajak yang dibangun dengan majas interogasi berikut ini.
“Di bumi yang hangus hati selalu bertanya/
apa lagi kita punya? Berapakah harga cinta?/ Di bumi yang hangus hati selalu
bertanya/ Kita harus pergi ke mana, di mana rumah kita?/ Di bumi yang hangus
hati selalu bertanya/ bimbang kalbu oleh cedera/ Di bumi yang hangus hati
selalu bertanya/ hari ini maut giliran siapa?” (W.S. Rendra. “Bumi Hangus”). Larik-larik
sajak W.S. Rendra yang dikutip ini dibangun dengan majas interogasi cara
pertama. Penyair mengungkapkan nosi secara tidak langsung tentang
kecemasan/kegamangan hidup di “bumi yang hangus” (bumi yang kacau balau
lantaran berkecamuknya peperangan) dalam larik-larik bermajas interogasi,
dengan maksud untuk menggugah pembaca merenungkan sendiri nosi
kecemasan/kegamangan hidup di “bumi yang hangus”. Perhatikan lagi larik-larik
sajak berikut ini.
“Rumah batu, rumah kelabu/ begitu remang
berpenghuni satu/ kesuraman merebahinya/ redup lampu, denting piano bertalu//
terpendam penghuninya mengurung diri/ warna duka menembusi jendela/ lagu piano,
lelap sepi, redup lampu// Racun apa mendindingi dirinya/ begitu benar
dicintainya sepi?// Pupus kepercayaan oleh ketidakabadian segala/ Apa ia
kelewat mencintai dirinya?/ Tidak dibiarkan satu luka di sisi bekas yang lama?/
Mati cita rasa bagi nikmat agung sedetik bunga?// Penghuni yang mengunci diri
dan hati pada sepi/ di hati kutanya-tanya, kapan ia bunuh diri?// Rumah batu,
rumah kelabu/ kemuramannya tidak memberita kecuali teka-teki” (W. S.
Rendra. “Rumah Kelabu”).
Sajak yang
dikutip di atas ini terdiri atas enam bait. Pemisahan bait-bait saya tandai
dengan garis miring rangkap (//) dan pemisahan larik-larik, seperti lazimnya,
ditandai dengan garis miring tunggal (/). Bait pertama dan kedua hanya
merupakan sebuah lukisan tentang sebuah rumah dan penghuninya, kesuraman dan
duka, tentang redup lampu, lagu, piano dan sepi. Lukisan itu hidup dan
sugestif, karena konkret dan cermat. Dengan lukisan tersebut penyair ingin
menggambarkan suatu suasana ketertutupan yang mengundang tanda tanya, yang
merupakan sebuah teka-teki: “Penghuni rumah batu, rumah kelabu, yang mengurung
diri bersama hati yang dirundung sepi dan duka, serta mencoba berusaha
mengatasinya sendiri… Mengapa? Atau, kenapa…?”
Untuk menerobos
dan menyingkapkan tabir misteri yang menyelubungi penghuni yang menyendiri
dalam rumah batu, rumah kelabu itu, maka dalam bait ketiga sampai bait kelima
penyair mengemukakan beberapa nosi secara tidak langsung dalam majas interogasi
cara pertama: “Racun apa mendindingi
dirinya/ begitu benar dicintainya sepi?// Pupus kepercayaan oleh ketidakabadian
segala?/ Apa ia kelewat mencintai dirinya?/ Tidak dibiarkan satu luka di sisi bekas
yang lama?/ Mati cita rasa bagi nikmat agung sedetik bunga?// Penghuni yang
mengunci diri dan hati pada sepi/ di hati kutanya-tanya, kapan ia bunuh diri?” Dengan larik-larik bermajas interogasi ini
penyair ingin menggugah pembaca untuk merenungkan sendiri beberapa nosi dan
emosi yang penyair ungkapkan dalam bentuk pertanyaan, sehubungan dengan suasana
ketertutupan penghuni rumah batu, rumah kelabu yang mengundang tanda tanya,
yang merupakan teka-teki itu.
Majas
interogasi cara kedua dapat kita lihat dalam sajak Amir Hamzah yang berjudul
“Turun Kembali”. “Kalau aku dalam engkau/ Dan engkau dalam aku/ Adakah begini jadinya/
Aku hamba engkau penghulu?// Aku dan engkau berlainan/ Engkau raja, maha raja/
Cahaya halus tinggi mengawang/ Pohonnya rindang menaung dunia// Di bawah teduh
engkau kembangkan/ Aku berhenti semati hati/ Pada bayang engkau mainkan/ Aku
melipuri meriang hati// Diterangi cahaya engkau sinarkan/ Aku menaiki tangga
mengawang/ Kecapi firdausi melena telinga/ Menyentuh gambuh dalam hatiku//
Terlihat ke bawah,/ Kandil kemerlap/ Melambai cempaka ramai tertawa/ Arti
duniawi melambung tinggi/ Berpaling aku turun kembali”. Dalam sajak ini,
majas interogasi cara kedua terdapat pada bait pertama yang berbunyi: “Kalau aku dalam engkau/ Dan engkau dalam
aku/ Adakah begini jadinya/ Aku hamba engkau penghulu?” Dan berkenaan dengan nosi dan emosi yang
dibangun dengan majas interogasi cara kedua ini, penyair mengemukakan
penjelasan, uraian, atau komentarnya pada bait kedua yang diawali dengan larik
yang berbunyi, “Aku dan engkau
berlainan”, sampai dengan bait kelima yang diakhiri dengan larik yang
berbunyi, “Berpaling aku turun kembali”.
Majas atau
gaya bahasa interogasi terdapat juga dalam ayat-ayat Alkitab (Perjanjian Lama
maupun Perjanjian Baru). Pada umumnya majas interogasi dikenal oleh para teolog
dengan sebutan “pertanyaan retoris” (C. Hassell Bullock. Kitab-Kitab Puisi Dalam Perjanjian Lama, 2003:101), atau dalam
bahasa Inggris dikenal dengan sebutan “rhetorical question” (T.W. Manson. A Companion To The Bible, 1947:18).
Pengenalan
majas interogasi sebagai suatu “pertanyaan retoris” atau “rhetorical question”,
menurut hemat saya tidak banyak membantu pemahaman yang baik dan benar akan
ayat-ayat Alkitab yang dibangun dengan majas interogasi. Sebab, “pertanyaan
retoris” atau “rhetorical question” pada
umumnya hanya dipahami sebagai suatu “pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban
kecuali demi efek retoris (efek yang menyentuh perasaan) belaka”. Padahal majas
interogasi, sebagaimana telah dijelaskan di bagian awal tulisan ini, memiliki
kegunaan yang lebih luas dari pada apa yang dimaksudkan dengan pertanyaan
retoris atau “rhetorical question”. Perhatikanlah kutipan-kutipan ayat Alkitab
yang disusun dalam majas interogasi berikut ini.
“Dapatkah engkau memberkas ikatan bintang
Kartika, dan membuka belenggu bintang Belantik? Dapatkah engkau menerbitkan
Mintakulburuj pada waktunya, dan memimpin bintang Biduk dengan
pengiring-pengiringnya? Apakah engkau mengetahui hukum-hukum bagi langit? Atau
menetapkan pemerintahannya di atas bumi? Dapatkah engkau menyaringkan suaramu
sampai ke awan-awan, sehingga banjir meliputi engkau? Dapatkah engkau
melepaskan kilat, sehingga sabung menyabung, sambil berkata kepadamu: Ya?
Siapakah menaruh hikmat dalam awan-awan atau siapa memberi pengertian kepada
gumpalan mendung? Siapakah dapat menghitung awan dengan hikmat, dan siapa dapat
mencurahkan tempayan-tempayan langit, ketika debu membeku menjadi logam
tuangan, dan gumpalan tanah berlekat-lekatan?” (Ayub 38:31-38; perhatikan
juga ayat 2,4-8,12,16-20,22-29).
Semua ayat
yang dikutip di atas ini dibangun dengan majas interogasi. Jika diinterpretasikan
menurut penggunaan majas interogasi cara pertama, maka dengan majas ini kita
digugah untuk merenungkan nosi dan emosi tentang “keterbatasan manusia dalam
memahami kekuasaan Tuhan yang memenuhi alam semesta”, yang penulis kitab Ayub
ungkapkan secara tidak langsung dalam ayat-ayat bermajas interogasi tersebut. Tetapi
jika diinterpretasikan menurut penggunaan majas interogasi cara kedua, maka
dengan majas tersebut kita (para ilmuan modern) didorong untuk melakukan
penelitian untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh penulis
kitab Ayub tersebut.
Perhatikan
lagi majas interogasi yang rasul Paulus pergunakan dalam tulisannya yang saya
kutip di bawah ini.
“Bukankah aku rasul? Bukankah aku orang
bebas? Bukankah kamu adalah buah pekerjaanku
dalam Tuhan? (1 Korintus 9:1). “Tidakkah
kami mempunyai hak untuk makan dan minum? Tidakkah kami mempunyai hak untuk
membawa seorang isteri Kristen, dalam perjalanan kami, seperti yang dilakukan
rasul-rasul lain dan saudara-saudara Tuhan dan Kefas? Atau hanya aku dan
Barnabas sajakah yang tidak mempunyai hak untuk dibebaskan dari pekerjaan
tangan? Siapakah yang menanami kebun anggur dan tidak makan buahnya? Atau
siapakah yang menggembalakan kawanan domba dan yang tidak minum susu domba
itu?” (1 Korintus 9:4-7; perhatikan juga ayat-ayat bermajas interogasi yang
tersisip pada ayat 8 sampai ayat 18).
Dengan
ayat-ayat bermajas interogasi tersebut rasul Paulus mau menjelaskan,
menguraikan, mengomentari hak dan kewajibannya sebagai seorang rasul
sebagaimana dapat dibaca dalam 1 Korintus 9: 8 sampai ayat 27. Dengan demikian,
dalam 1 Korintus 9:4-7 itu rasul Paulus bukan mempergunakan majas interogasi
cara pertama, melainkan majas interogasi cara kedua.
Dalam kitab
Ayub, kitab Mazmur dan bagian-bagian lain dalam kitab Perjanjian Lama dan juga
Perjanjian Baru, terdapat banyak ayat yang dibangun dengan majas interogasi
cara pertama maupun majas interogasi cara kedua. Untuk memperluas dan
memperdalam pemahaman tentang fungsi dan daya gugah majas interogasi, saya
kutip lagi satu contoh yang terdapat dalam Mazmur 8:4,5 yang berbunyi: “Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu,
bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau
mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” Mazmur 8:4,5 ini dibangun dengan majas
interogasi cara kedua, yang dapat disifatkan juga sebagai solilokui atau senandika, sebagaimana telah
dijelaskan di awal tulisan ini. Dengan majas ini pemazmur mengungkapkan nosi
dan emosi dalam bentuk pertanyaan dengan maksud untuk menguraikan, menjelaskan
atau mengomentari nosi dan emosi yang diajukan dalam bentuk pertanyaan
tersebut.
Apakah nosi
dan emosi yang pemazmur ungkapkan dalam majas interogasi dalam Mazmur 8:4,5
itu? Jawabnya: “Manusia (yang lemah dan
hina) yang diingat TUHAN”, atau “manusia (yang lemah dan hina) yang diindahkan
TUHAN”. Inilah nosi dan emosi yang pemazmur ungkapkan dalam kalimat bermajas
interogasi: “Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia,
sehingga Engkau mengindahkannya?” Ungkapan “anak manusia”, atau “son of man”
dalam bahasa Inggris (transksipsi bahasa Ibrani, ben adam), secara sederhana berarti “manusia” (Inggris, “human
being”, atau “member of the human race”) banyak kali dipergunakan dalam
Perjanjian Lama dan biasanya dipergunakan sebagai padanan kata “manusia”
(Inggris, “man”, yang juga berarti “orang, pria, orang laki-laki”, Ibrani: ish, atau enosh). Ungkapan “manusia” dan “anak manusia” dipergunakan untuk
menekankan “kelemahan dan kehinaan manusia jika dibandingkan dengan
keagungan/kemuliaan Tuhan”. “Manusia” dan “anak manusia” dalam arti inilah yang
dimaksudkan atau yang tersirat dalam Mazmur 8:5, sehingga ayat tersebut dapat
diparafrasa sebagai berikut: “Apakah arti manusia yang lemah dan hina ini,
sehingga Engkau mengingatnya? Apakah arti manusia yang lemah dan hina ini,
sehingga Engkau mengindahkannya?” Berkenaan dengan nosi dan emosi yang tersirat
dalam ayat ini, pemazmur berkata: “Namun
Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya
dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu;
segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya: kambing domba dan lembu sapi
sekalian, juga binatang-binatang dipadang; burung-burung di udara dan ikan-ikan
di laut, dan apa yang melintasi arus lautan”
(Mazmur 8:6-9).
Itulah
refleksi pemazmur yang menunjuk kembali ke berita Kejadian 1:26,27. Itulah
uraian, penjelasan, komentar yang pemazmur berikan berkenaan dengan nosi dan
emosi yang diungkapkannya dalam majas interogasi cara kedua yang berbunyi:
“Apakah manusia sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia sehingga
Engkau mengindahkannya?” Dan berkenaan dengan kepedulian Tuhan atas manusia,
serta “mahkota rajawi” yang Tuhan berikan kepada manusia (ayat 6-9), pemazmur
bermadah: “Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi!”
(ayat 10).
Ayat 10
tersebut adalah repetisi ayat 2 bagian a. Dalam puisi, repetisi semacam
ini adalah majas yang dimaksudkan untuk mengaksentuasi sekali lagi “bagian
utama” sebuah puisi demi intensifikasi makna sebelum puisi itu diakhiri (J.C.
Nesfield, Ibid, hlm.249). Sehubungan
dengan Mazmur 8, “bagian utama” adalah “keagungan/kemuliaan TUHAN yang meliputi
seluruh bumi (alam semesta), tanpa kecuali manusia, yang ditakjubi dan
dimadahkan oleh pemazmur”, yang secara padat dan bernas tersirat dalam ayat 2
bagian a yang berbunyi: “Ya TUHAN,
Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi!” Kemudian digemakan
lagi dalam ayat 2 bagian b yang berbunyi: “Keagungan-Mu yang mengatasi langit dinyanyikan”. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar