(Bagian kedua)
Oleh: A. G.
Hadzarmawit Netti
Catatan
pendahuluan
Dalam
Marginalia bagian kedua tentang buku MENG-HARI-INI-KAN INJIL DI BUMI
PANCASILA—Bergereja dengan Cita Rasa Indonesia, karya Ebenhaizer Nuban Timo
(selanjutnya saya sapa Nuban Timo), saya akan
menyoroti tafsiran Nuban Timo atas Yohanes 21:1-14, yang terdapat dalam
halaman 59-60 buku tersebut, khususnya ayat 10-11. “Kata
Yesus kepada mereka: ‘Bawalah beberapa ikan, yang baru kamu tangkap itu’. Simon
Petrus naik ke perahu lalu menghela jala itu ke darat, penuh ikan-ikan besar:
seratus lima puluh tiga ekor banyaknya, dan sungguhpun sebanyak itu, jala itu
tidak koyak.”
Sebenarnya,
Nuban Timo menguraikan dua cerita tentang penangkapan ikan. Pertama, penangkapan ikan yang
diceritakan dalam Lukas 5:4-8; kedua,
penangkapan ikan yang diceritakan dalam Yohanes 21:1-14. Nuban Timo menguraikan
dan/atau menafsirkan kedua cerita
tersebut secara alegori. Dalam KBBI
edisi ke-4 tahun 2008, alegori diartikan sebagai “cerita yang dipakai sebagai
lambang (ibarat atau kias) perikehidupan manusia yang sebenarnya untuk mendidik
(terutama moral) atau menerangkan sesuatu (gagasan, cita-cita, atau nilai
kehidupan, seperti kebijakan, kesetiaan,
dan kejujuran). Dalam tulisan ini, saya hanya artikan alegori (berkenaan dengan
cerita atau bentuk cerita yang dipahami secara simbolis). Berikut ini saya kutip sedikit penjelasan
Nuban Timo:
“Cerita tentang
penangkapan ikan kali kedua, yakni setelah kebangkitan, sungguh berbeda. Ini
menunjuk pada Gereja di akhir zaman. Yesus memerintahkan agar murid-murid
menebarkan pukat “di sebelah kanan” perahu. Sebelah kanan menunjuk pada
orang-orang yang masuk golongan domba. Sebelah kiri adalah tempat kambing (Mt. 25:31-33). Juga disebutkan secara jelas jumlah ikan
besar yang tertangkap, 153 ekor…. Ada
153 ekor ikan besar yang tertangkap dalam pukat setelah dibuang ke sebelah
kanan perahu. 153 itu bukan sebuah jumlah matematis. Ia lebih merupakan sebuah
simbol. 153 merujuk pada hasil penjumlahan angka satu sampai tujuh belas.
Artinya, 1+2=3, 3+3=6, 6+4=10, 10+5=15. Lanjutkan menambahkan itu sampai angka
tujuh belas. Maka hasilnya bakal 153. Dasar dari bilangan 153 adalah 17. Tujuh
belas terdiri dari 10 dan 7. Angka sepuluh menunjuk pada Hukum Taurat dan
ucapan bahagia Allah sendiri yang menetapkannya. Angka tujuh menunjuk pada
pengudusan di dalam Roh Kudus…. Jadi,
153 menunjuk pada orang-orang yang tekun memperhatikan Hukum Taurat dan Injil
sampai mereka tiba pada pengudusan hidup yang dikaruniakan Allah…” Jadi ke-153
orang itu adalah mereka yang setiap hari menghasilkan buah iman yang berpadanan
dengan panggilan sebagai murid Kristus sebagai wujud dari ketaatan mereka
kepada Hukum Taurat dan Injil di dalam kuasa Roh yang kudus dari Allah.” Demikianlah
penafsiran alegoris atas Yohanes 21:10-11 yang Nuban Timo lakukan.
Tafsiran
alegoris yang Nuban Timo lakukan atas angka 153 sebagaimana dikutip di
atas membuat saya terperangah (terperanjat)! Mengapa? Karena Nuban Timo sangat
berani “melompat” dalam penafsiran tanpa mempertimbangkan “bahaya melompat” yaitu
terjerumus ke dalam kesesatan. Nuban Timo melakukan analisis untuk
menentukan dasar dari angka 153
adalah 17, dengan cara melakukan penjumlahan 1+2=3, 3+3=6, 6+4=10, 10+5=15,
dan seterusnya, sampai pada angka 136+17=153.
Oleh karena pada penjumlahan ke-17 hasilnya 153, maka Nuban Timo
menetapkan angka 17 sebagai dasar dari angka 153. Patut dicamkan bahwa angka 17 itu
bukan dasar dari angka 153, melainkan urutan penjumlahan angka menurut
perhitungan yang dilakukan. Ketika perhitungan ke-16 diperoleh hasil 136, maka
pada perhitungan ke-17 hasilnya 136 + 17 = 153.
Timbul
pertanyaan: mengapa angka 53 dibuang atau tidak dimasukkan
dalam analisis oleh Nuban Timo? Bukankah angka 153 itu merupakan suatu gugus
angka ratusan yang merupakan suatu kesatuan dan kebulatan, yang patut
diperhatikan dan diperhitungkan secara utuh? Dengan demikian, telah terjadi
suatu penyesatan! Selanjutnya,
atas dasar apa Nuban Timo memastikan bahwa angka 153 itu menunjuk ke
Gereja akhir zaman, dan hanya 153 orang saja yang tekun
memperhatikan Hukum Taurat dan Injil, menghasilkan buah iman yang berpadanan
dengan panggilan sebagai murid Kristus, sampai mereka tiba pada pengudusan
hidup yang di karuniakan Allah? Tafsiran seperti ini harus berdasarkan rujukan
Alkitab yang benar dan sah, agar jangan dicap sebagai tafsiran yang
mengada-ada dan/atau a j a r a n
s e s a t !
Dalam
buku Meng-hari-ini-kan Injil di Bumi
Pancasila (hlm. 94-95), Nuban Timo berkisah tentang Nimrot Lasbaun dan
beberapa temannya di Kupang yang bergabung dalam Persekutuan Doa Sion Kota
Allah ditangkap polisi pada tahun 2009 dengan tuduhan menyebarkan ajaran sesat.
Kesesatan mereka memang parah, sebab bukan tafsiran Alkitab saja yang salah
karena mengada-ada, melainkan juga praktik atau perilaku kehidupan yang tidak
senonoh! Saya mengetahui dan mengikuti kasus Lasbaun sampai disidangkan di
Pengadilan Negeri Kupang.
Akan
tetapi tafsiran Nuban Timo tentang 153 ekor ikan itu menunjuk kepada
Gereja akhir zaman, dan 153 orang itu adalah orang-orang yang tekun memperhatikan Hukum Taurat dan Injil sampai mereka tiba
pada pengudusan hidup yang dikaruniakan Allah…,
apakah benar, dan (maaf) tidak
mengada-ada dan/atau tidak sesat? Dasar Alkitabiahnya apa, dan dapat dirujuk di
mana? Sebagai contoh: Wahyu 7:4 menyebut
tentang seratus empat puluh empat ribu (144.000)
orang yang telah dimeteraikan
dari semua suku keturunan Israel, rujukannya terdapat pada ayat 5-8, yaitu dari 12 suku keturunan Israel, setiap suku
terdapat 12.000 orang yang dimeteraikan; dan dapat dirujuk pula dalam
Wahyu 14:1. Sedangkan 153 ekor ikan yang dilambangkan
sebagai 153 orang pilihan yang menunjuk ke Gereja akhir zaman itu dapat
dirujuk di bagian mana dari kitab Perjanjian Baru?
Catatan antara
Sebelum
melanjutkan pembahasan tentang angka 153 dan tafsiran Nuban Timo atas
angka 153 dalam Yohanes 21:10-11, saya ingin mewedarkan hasil
penelitian saya tentang temuan bilangan super yang telah saya
terbitkan dalam sebuah buku berjudul, Bilangan Super dalam Konteks Religi dan
Budaya Etnis Rote Ndao, diterbitkan oleh B You Publishing Surabaya tahun 2012; dan yang telah saya
wedarkan pula hasil penelitian itu kepada Dr. Ioanes Rakhmat, sebagaimana saya
paparkan di bawah ini.
Pada
bulan Oktober 2015, saya memperoleh sebuah buku dari kakak saya, Dr. Albinus
Lodewyk Netti. Buku tersebut berjudul, Beragama dalam Era Sains Modern (Pustaka
Surya Daun. Jakarta 2013). Ternyata dalam buku itu Ioanes Rakhmat menyindir
habis-habisan orang beragama yang menjunjung kisah penciptaan, taman Eden,
Adam, dan Hawa sebagaimana tertulis dalam Perjanjian Lama (kitab Kejadian).
Kisah penciptaan (Kejadian 1:1-31 dan 2:1-4a), taman Eden, Adam, dan Hawa
(Kejadian 2:8-25; 3:1-24) merupakan mitos, dongeng, fiksi teologis yang Ioanes
Rakhmat rendahkan sampai taraf tak bermakna yang patut disingkirkan.
Berkenaan
dengan pendapat dan pandangan Ioanes Rakhmat tersebut di atas, saya merasa
terpanggil pada waktu itu untuk memberikan tanggapan terhadapnya dari sudut
pandang lain berdasarkan hasil penelitian saya atas Kejadian 1:1-31; 2:1-4a;
dan Kejadian 2:8-25 dan 3:1-24. Tanggapan saya terhadap Ioanes Rakhmat,
berjudul “Tentang Penciptaan, Taman Eden, Adam dan Hawa”. Dalam tanggapan
tersebut saya buktikan adanya bilangan super dalam karya
penciptaan oleh Allah, dan bilangan super tersebut tersusun
secara ajek dalam karya penciptaan (Kejadian 1:1-31 dan 2:1-4a); karya penebusan
dan penyelamatan dalam kematian dan kebangkitan Yesus; dan yang mencapai
kepenuhannya dalam “Yerusalem yang baru”
(Wahyu 21-22). Baca: www.bianglalahayyom.blogspot.co.id , Selasa, 16 Februari
2016.
Kepada
Nuban Timo yang senang mengutak-atik angka 153 dalam berteologi, saya sajikan
kembali tanggapan yang saya tujukan kepada Ioanes Rakhmat itu. Semoga Nuban
Timo dapat memungut manfaat, terkait dengan tafsiran angka 153 dalam Yohanes 21:10-11.
Tentang Kejadian
1:1-2:1-4a
Pada
tahun 2012 salah satu buku saya yang sangat sederhana berjudul, BILANGAN SUPER Dalam Konteks Religi dan
Budaya Etnis Rote Ndao diterbitkan oleh B You Publishing Surabaya. Dalam
buku tersebut saya uraikan tentang bilangan super 3, 6, 9, yang,
filosofis, merupakan pangkal adanya bilangan 1, 2, 4, 5, 7, 8. Bagaimana
menjelaskan adanya bilangan super 3, 6, 9 ini?
Mengenai
bilangan
super 3, 6, 9, dapat dijelaskan sebagai berikut: 3 tidak perlu dijumlahkan
dengan 6, atau 6 tidak perlu dijumlahkan dengan 3 sebab
hasil penjumlahannya, 9, sudah ada. Demikian pula 9 tidak perlu dikurangi 6 sebab
hasil pengurangannya, 3, sudah ada; dan juga 9 tidak
perlu dikurangi 3 sebab hasil pengurangannya, 6, sudah ada. Selanjutnya,
9 tidak
perlu dibagi 3 sebab hasil pembagiannya, 3 sudah ada; dan 3 tidak
perlu dikalikan dengan 3 karena hasil perkaliannya, 9,
sudah ada. Bilangan super yang dapat dibagi untuk memperoleh bilangan baru
hanyalah 6 dibagi 3, yang hasil pembagiannya ialah 2. Dengan hadirnya bilangan 2 yang
diperoleh dari hasil pembagian 6 : 3, maka bilangan-bilangan lain
dapat diperoleh dalam suatu harmoni susunan sebagai berikut: 3 – 2
= 1; sehingga tersusunlah bilangan 1, 2, 3. Kemudian, 3 + 1
= 4; 3 + 2 = 5; sehingga tersusunlah bilangan 1, 2, 3, 4, 5, 6. Setelah
itu, 3
+ 4 = 7 dan 3 + 5 = 8; sehingga tersusunlah bilangan-bilangan 1, 2,
3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, secara harmonis yang dikenal sebagai bilangan
pokok.
Dari
manakah saya peroleh pengetahuan bahwa bilangan 3, 6, 9 itu adalah bilangan super? Jawabnya singkat dan tegas: bukan
dari Higgs
Boson dan/atau supernovae atau orang-orang yang
mendewakan Higgs Boson dan/atau supernovae; dan bukan pula dari
Pythagoras maupun orang-orang Pythagorean; melainkan saya peroleh dari kredo
demi kearifan yang diwedarkan dalam kitab Kejadian 1:1-31 dan 2:1-4.
Apabila dunia diibaratkan sebagai pentas tempat manusia dan semua makhluk ada
dan berlakon,
masing-masing dengan caranya, maka pada tiga (3) hari pertama ALLAH menjadikan pentas dan dekorasinya yang kelak
bermanfaat dan menunjang manusia dan semua makhluk hidup yang berlakon di
atasnya. Dan pada tiga (3) hari kedua barulah ALLAH
menjadikan para pelaku
(makhluk-makhluk hidup dan manusia) yang akan menghuni dan berlakon di pentas
kehidupan yang telah dibuat oleh ALLAH. Di samping itu, dalam penciptaan ada tiga (3)
macam pemisahan, dan tiga (3) macam penguasa,
yang dapat diuraikan sebagai berikut.
Pada
hari pertama, ALLAH memisahkan terang dari
gelap. Terang itu dinamai siang, dan gelap itu malam (1:4), sejajar
dan saling isi-mengisi dan jalin-menjalin dengan hari keempat, ALLAH menjadikan benda penerang yang besar (matahari) untuk menguasai siang, dan benda penerang yang lebih kecil (bulan)
untuk menguasai malam, dan juga bintang-bintang pada cakrawala (1:14-18).
Pada
hari kedua, ALLAH memisahkan air yang ada di bawah
cakrawala dari air yang ada di atasnya, dan cakrawala itu dinamai langit (1:7),
sejajar
dan saling isi-mengisi dan jalin-menjalin dengan hari kelima, ALLAH menjadikan makhluk yang hidup berkeriapan
dalam air, burung beterbangan di atas bumi melintasi cakrawala,
binatang-binatang laut yang besar, segala makhluk hidup yang bergerak
(1:20-21).
Pada
hari ketiga, ALLAH memisahkan darat yang
kering dari air (laut) lalu menjadikan tumbuh-tumbuhan yang berbiji,
pohon-pohon yang menghasilkan buah (1:9-12), sejajar dan saling isi-mengisi
dan jalin-menjalin dengan hari keenam, ALLAH menjadikan binatang
ternak dan binatang liar dan segala jenis binatang melata di muka bumi, setelah
itu ALLAH
menjadikan manusia (laki-laki dan perempuan) untuk menguasai bumi, dan semua
makhluk lain yang hidup (1:24-27). Kesejajaran dan saling isi-mengisi
serta jalin-menjalin antara penciptaan pada hari ketiga dan hari keenam dapat
dibaca pada ayat 29-30.
Dari
uraian di atas terlihat dengan jelas keteraturan dan harmoni susunan eksistensi
bilangan
super tiga (3) dan (6) secara konsisten
dalam kisah penciptaan langit dan bumi serta segala isinya yang dilakukan oleh ALLAH. Dalam
kisah penciptaan itu pula terdapat tiga (3) intensitas
pernyataan/penegasan yang berbunyi: “ALLAH melihat bahwa terang itu baik”; “ALLAH
melihat bahwa semuanya itu baik”; dan ALLAH melihat segala yang
dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik”. Tiga intensitas pernyataan ini terdapat
dalam tujuh (7) ayat (1:4, 10, 12, 18, 21, 25, 31).
Dan tiga intensitas pernyataan yang terdapat dalam tujuh ayat tersebut
terkait erat dan tak terpisahkan dari sembilan (9) pernyataan yang
berbunyi: “Berfirmanlah ALLAH…” yang
terdapat dalam sembilan (9) ayat (1:3, 6, 9, 11, 14, 20, 24, 26, 29).
Lebih
lanjut, perhatikanlah keteraturan dan harmoni susunan bilangan super 3, 6, 9 dalam
enam
(6) hari penciptaan berdasarkan patokan pola dasar perkalian
sebagai berikut: Hari pertama (bilangan pokoknya, 1): 3 x 1 = 3; 6 x 1 = 6; 9 x 1 = 9.
Hari kedua (bilangan pokoknya, 2): 3 x 2 = 6; 6 x 2 = 12 (1 + 2) = 3; 9 x 2 = 18 (1 + 8) = 9. Hari ketiga (bilangan
pokoknya 3): 3 x 3 = 9; 6 x 3 = 18 (1 + 8) = 9; 9 x 3 = 27 (2 + 7) = 9. Hari keempat (bilangan
pokoknya 4): 3 x 4 = 12 (1 + 2) = 3; 6 x 4 = 24 (2 + 4) = 6; 9 x 4 = 36 (3 + 6) = 9. Hari kelima (bilangan pokoknya 5): 3 x 5 = 15 (1 + 5) = 6; 6 x 5 = 30 (3 + 0) = 3; 9 x 5 = 45 (4 + 5) = 9. Hari keenam (bilangan
pokoknya 6): 3 x 6 = 18 (1 + 8) = 9; 6 x 6 = 36 (3 + 6) = 9; 9 x 6 = 54 (5 + 4) = 9.
Berdasarkan
hasil kerja di atas ini saya mencatat keteraturan dan harmoni susunan
bilangan super 3, 6, 9, yang merupakan hasil perkalian dengan bilangan
pokok hari-hari penciptaan sebagai berikut:
Hari pertama memiliki susunan hasil perkalian bilangan
super 3, 6, 9 yang sama dengan hari keempat. Hari kedua memiliki
susunan hasil perkalian bilangan super 6, 3. 9 yang sama dengan hari
kelima. Hari ketiga memiliki susunan hasil perkalian bilangan
super 9, 9, 9 yang sama dengan hari keenam. Dan pada hari
ketujuh (bilangan pokoknya 7), ALLAH menyelesaikan pekerjaan yang dibuat-Nya memiliki keteraturan
dan harmoni bilangan super sebagai berikut: 3 x 7 = 21 (2 + 1) = 3; 6 x 7 = 42 (4 + 2) = 6; 9 x 7 = 63 (6 + 3) = 9. Kenyataan
ini memberi petunjuk bahwa bilangan super 3 dan 6 sebagai lambang
keteraturan dan harmoni dasar berperan dalam saling isi-mengisi dan memberi makna
di dalam membangun serta mewujudkan keteraturan dan harmoni yang sempurna, yang
dilambangkan oleh bilangan super 9.
Memperhatikan
hasil analisis sederhana di atas ternyata ALLAH yang diimani dan disembah oleh orang-orang beragama itu sungguh mahabesar dan mahakuasa; ALLAH
pencipta yang diimani dan disembah oleh orang-orang beragama itu
sungguh sebagai perancang mahacerdas. “Pada mulanya bumi belum
berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya,” (1:2); Roh ALLAH melayang-layang di atas permukaan air” (1:2),
setelah itu ALLAH berfirman dalam proses penciptaan, maka terciptalah
segala sesuatu yang dikisahkan dalam matriks enam (6) hari penciptaan. Pada
Kejadian 1:2 itu pun ALLAH sebagai Pencipta dicitrakan dalam 3
citra, yaitu: ALLAH; ROH (ALLAH); dan FIRMAN
(ALLAH).
Ya,
ALLAH yang diimani dan disembah oleh
orang-orang beragama jauh lebih perkasa dari supernovae
yang diagungkan oleh Ioanes Rakhmat yang berkata: “Tanpa supernovae, tak ada kehidupan apapun dalam jagat raya kita.
Tanpa bintang-bintang yang meledak, tak akan ada komponen-komponen dasariah
molekul DNA. Tanpa DNA, tak akan ada bentuk kehidupan apapun dalam jagat raya” (IR,
2013:203); dan “tanpa Higgs Boson, tak
akan ada materi massif dan kohesif dalam jagat raya, dus jagat raya tak akan
terbentuk, juga tubuh anda dan kancing-kancing baju anda, dan, maaf, dua puting susu anda” (IR, 2013:118). Demikianlah pemuliaan yang Ioanes Rakhmat
rumuskan untuk yang diimaninya: supernovae dan/atau Higgs
Boson.
Berkenaan
dengan Kejadian 1:1-2:4a yang saya analisis di atas, Ioanes Rakhmat (2013:328,
329), berkata begini: “Jika analisis
internal atas kisah penciptaan langit dan Bumi selama 6 hari dalam Kejadian
1:1-2:4a dilakukan, kita akan menemukan informasi-informasi yang tak sesuai
dengan fakta-fakta sains, sehingga kita harus menyimpulkan kisah ini bukan
kisah sejarah. Beberapa kejanggalan
yang menonjol dapat disebutkan. Dalam kisah itu (sampai ayat 13), ‘hari
pertama’, ‘hari kedua’ dan ‘hari ketiga’ yang ditetapkan berdasarkan tibanya
‘petang’ dan tibanya ‘pagi’, sudah ada kendatipun Matahari baru diciptakan pada
‘hari keempat’ (ayat 14-19). Kejanggalan lainnya ada pada pernyataan
bahwa tetumbuhan sudah ada dan hidup, tumbuh, bertunas dan berbuah, pada ‘hari
ketiga’ (ayat 11-12), sementara Matahari yang cahayanya
dibutuhkan untuk proses fotosintesis baru ada pada ‘hari keempat’ (ayat 14-18)…”
Analisis
berdasarkan metode penulisan ilmu demi
kecekatan yang lazim dalam penelitian dan penulisan sains modern seperti
yang dilakukan oleh Ioanes Rakhmat atas Kejadian 1:1-2:4a sebagaimana dikutip
di atas ini, memang kelihatan benar pada permukaannya. Kelihatannya terdapat
kejanggalan-kejanggalan seperti yang ditunjukkan oleh Ioanes Rakhmat. Akan
tetapi, analisis berdasarkan kredo demi
kearifan, sebagaimana telah saya lakukan guna melihat kesejajaran informasi yang saling terkait, isi-mengisi dan
jalin-menjalin di antara hari-hari penciptaan antara ‘hari pertama’ dengan
‘hari keempat’, ‘hari kedua’ dengan ‘hari kelima’ dan ‘hari ketiga’ dengan hari
keenam’ yang dibuktikan dengan kesamaan urutan bilangan super: 3, 6, 9
(hari pertama dan hari keempat); 6, 3, 9 (hari kedua dan hari
kelima); 9, 9, 9 (hari ketiga dan hari keenam) sungguh sangat
menakjubkan dan menggugah perhatian, sebab kenyataan ini membuktikan bahwa otak
penulis Kejadian 1:1-2:4a dituntun oleh kuasa
ilahi yang bersumber dari ALLAH, mengutamakan keteraturan dan harmoni yang
tersirat di dalam cetak biru penciptaan oleh ALLAH. Dalam pewedaran
tentang penciptaan, penulis kitab Kejadian melakukan inversi pada wedaran
penciptaan hari pertama dan penciptaan hari keempat. yang tidak dipahami oleh
Ioanes Rakhmat. Sebab inversi yang dilakukan oleh penulis
kitab Kejadian itu hanya dapat dipahami oleh orang beragama yang memiliki
kearifan, atau orang-orang
yang kondisi kerja otaknya normal, di mana lobus temporalis otak kiri dan lobus
temporalis otak kanan bekerja secara sinkron dan harmonis!
Pada
pihak lain, Ioanes Rakhmat benar, ketika menyimpulkan bahwa kisah Kejadian 1:1-2:4a ditulis dalam suatu
kebudayaan yang sudah mengenal sistem penanggalan yang membagi 1 minggu ke
dalam 7 hari, yang dipakai sebagai bingkai kisah tentang Allah menciptakan
langit dan Bumi selama 6 hari, dengan ‘hari ketujuh’ (Ibrani: Sabath) sebagai saat
Allah ‘berhenti’ dari segala kegiatannya (2:2-3)”. Hal ini pun
telah saya uraikan di atas. Tetapi, Ioanes Rakhmat salah apabila mengatakan
bahwa dalam kisah ini muncul enam
pernyataan bahwa segala hal yang Allah telah kerjakan dalam hari-hari penciptaan, ‘semuanya
baik adanya’ (ayat 10, 12, 18, 21,
25, 31); sebab yang sebenarnya, ada tiga intensitas pernyataan “baik”
berkenaan dengan karya penciptaan ALLAH
yang terdapat dalam tujuh (7) ayat,
yakni: [1] “Allah melihat bahwa terang
itu baik” (1:4); [2] “Allah melihat bahwa semuanya itu baik” (1:10, 12, 18, 21, 25); dan [3] “Allah melihat segala yang dijadikannya itu, sungguh amat
baik (1:31).
Selain
itu, Kejadian 1:1-2:4a sesungguhnya bukan syahadat Yahudi sebagaimana
dikatakan oleh Ioanes Rakhmat, melainkan kredo Yahudi. Alasannya, kata syahadat artinya [1] persaksian (perihal bersaksi); [2] Isl. Persaksian dan pengakuan (ikrar) yang benar, diikrarkan dengan lisan
dan dibenarkan dengan hati bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad
adalah rasul Allah. Sedangkan kredo artinya, pernyataan
kepercayaan, atau pernyataan
keyakinan, dan dasar tuntunan hidup.
Dengan demikian, Kejadian 1:1-31 dan 2;1-4a itu merupakan wedaran pernyataan kepercayaan, atau wedaran pernyataan keyakinan, dan dasar tuntunan hidup umat Yahudi yang
percaya akan ALLAH—sebagai pencipta
langit dan bumi serta segala isinya, termasuk manusia—yang mereka [umat Yahudi] imani dan sembah.
Demikianlah
Kejadian 1:1-31 dan 2:1-4a itu semestinya diarifi, karena ia adalah kredo demi kearifan,
yang mengandung kebenaran deskriptif, yaitu kebenaran yang bersifat menguraikan
sesuatu secara jelas dan terperinci apa
adanya berdasarkan iman/kepercayaan; bukannya suatu laporan hasil
penelitian ilmiah demi kecekatan yang mengandung kebenaran instruksional,
yaitu kebenaran eksak yang dapat diukur dan dibuktikan detail-detailnya
berdasarkan teori-teori sains modern.
Berkenaan
dengan bilangan super 3, 6, 9 yang tersirat dalam enam hari penciptaan dan hari
penyelesaian pekerjaan yang dilakukan oleh ALLAH yaitu hari ketujuh, maka bilangan
super 3, 6, 9 itu pun ALLAH
sangat utamakan dan siratkan dalam cetak
biru karya penebusan/penyelamatan-Nya melalui Yesus. Dalam Markus 15:25
dikatakan bahwa, “Pada jam sembilan pagi Yesus
disalibkan.” Dalam teks Yunani,
transkripsinya berbunyi, ēn de hōra tritē kai estaurōsan auton. [Teks
Indonesia jam sembilan, merupakan terjemahan kontekstual dari teks Yunani
hōra
tritē, yang secara harafiah berarti jam ketiga]. Pada Markus
15:23 (Matius 27:45; Lukas 23:44) dikatakan bahwa, “Pada jam dua belas kegelapan
meliputi seluruh daerah itu dan berlangsung sampai jam tiga”. Dalam teks
Yunani, transkripsinya berbunyi, Kai
genomenēs hōras hektēs stokos
egeneto eph holēn tēn gēn hōras enatēs. [Teks
Indonesia jam dua belas merupakan terjemahan kontekstual dari teks Yunani
hōras
hektēs, yang secara harafiah berarti jam keenam; dan teks
Indonesia jam tiga merupakan
terjemahan kontekstual dari teks Yunani hōras enatēs, yang secara harafiah
berarti jam kesembilan].
Perlu
kiranya Ioanes Rakhmat insaf bahwa bilangan super 3, 6, 9 yang tersirat
dalam cetak biru karya penciptaan dan karya penyelamatan sebagaimana diuraikan
di atas ini bukan diatur oleh Higgs Boson dan/atau supernovae yang Ioanes
Rakhmat puja dan agung-agungkan, melainkan ditata oleh ALLAH yang diimani di
dalam Yesus Kristus. Dan, selain itu,
keberadaan bilangan super 3, 6, 9, tidak dapat disadari dan direnungkan
oleh kera-kera besar simpanse dan bonobo, melainkan hanya dapat disadari dan
direnungkan oleh manusia yang memiliki kesadaran
dan penyadaran
diri, karena “nesyama”
dan/atau nismat hayyim (napas hidup) yang ALLAH berikan kepada manusia.
Bilangan Super
dalam Yerusalem yang baru
Dalam
kitab Wahyu 21:10 dikatakan bahwa “… kota yang kudus…, Yerusalem, turun dari
sorga, dari Allah. Kota itu penuh dengan kemuliaan Allah… Mulai dari ayat 12
sampai ayat 21, struktur kota yang kudus itu, yakni Yerusalem yang baru,
diuraikan dan dijelaskan. Pintu gerbang ada 12 buah; di atas pintu gerbang ada
12 malaikat, dan di atasnya tertulis nama 12 suku Israel: 3 x 12 = 36 (3+6)
= 9; 6 x 12 = 72 (7+2)
= 9; 9 x 12 =108 (1+0+8) = 9.
Di
sebelah timur, utara, selatan dan barat, masing-masing terdapat 3
pintu gerbang: 3 x 3 = 9; 6 x 3 = 18 (1+8) = 9; 9 x 3 = 27 (2+7) = 9. Tembok kota
itu mempunyai 12 batu dasar, dan di atasnya tertulis ke-12 nama rasul Anak Domba
itu: 3
x 12 = 36 (3+6) = 9; 6 x 12 = 72 (7+2) = 9; 9 x 12 = 108 (1+0+8) = 9. Ukuran kota itu 12.000, panjang, lebar dan tingginya sama:
3 x
12.000 = 36.000 (3+6+0+0+0) = 9; 6 x 12.000 = 72.000 (7+2+0+0+0) = 9; 9 x 12.000 = 108.000 (1+0+8+0+0+0) = 9. Ukuran tembok 144 hasta: 3 x 144
= 432 (4+3+2) = 9; 6 x 144 = 864 (8+6+4) = 9; 9 x 144 = 1.296 (1+2+9+6) = 9. Kedua belas pintu gerbang itu adalah 12 mutiara: 3 x 12 = 36 (3+6)
= 9; 6x12 = 72 (7+2) = 9; 9 x 12 = 108 (1+0+8) = 9. Dalam
Wahyu 22: 2 dikatakan bahwa ada pohon-pohon kehidupan yang berbuah 12 kali: 3 x 12
= 36 (3+6) = 9; 6 x 12 = 72 (7+2) = 9; 9 x 12 = 108 (1+0+8) = 9.
Dari
hasil analisis di atas terlihat dengan jelas bahwa kota Yerusalem yang baru,
yang turun dari sorga, dari Allah menyiratkan “harmoni super yang tertinggi dan
sempurna, yang tersirat dalam angka (bilangan) super 9”. Dan ini benar-benar
melambangkan kesucian, kekudusan, kemuliaan, kesempurnaan tertinggi, dan
keagungan kota Yerusalem yang baru, yang turun dari sorga, dari Allah. Untuk
mengetahui selengkapnya tentang eksistensi
bilangan super 3, 6, 9 sebagai suatu
realitas transenden, dan keunikan bilangan-bilangan pokok lainnya yaitu 1, 2,
4, 5, 7, 8, baca saja buku saya, Bilangan
Super Dalam Konteks Religi dan Budaya Etnis Rote Ndao (B You Publishing
Surabaya, 2012:9 – 36).
Kembali ke
topik: angka 153
Berdasarkan
wedaran di atas, maka analisis yang benar untuk menetapkan angka dasar atau
angka pokok 153 ialah begini: 1+5+3=
9. Jadi, angka pokok 153 adalah 9. Angka 9 ini
adalah kepenuhan dan kebulatan dari gugus angka ratusan 153. Apabila
angka 9 ini dijumlahkan secara terus menerus maka hasil penjumlahan 153
akan ditemukan. Perhatikan: 9+9 =18; 18+9 =27; 27+9 =36; 36+9 =45; 45+9 =54;
54+9 =63; 63+9=72; 72+9 =81; +9 =90; 90+9=99; 99+9=108; 108+9=117; 117+9=126;
126+9=135;
135+9=144; 144+9=153.
Karena
angka 9 adalah bilangan super, maka apabila setiap
gugus angka satuan, puluhan, ratusan, ribuan, jutaan dikalikan dengan angka 9,
angka-angka hasil perkaliannya jika dijumlahkan sampai pada penjumlahan akhir
dalam bilangan pokok, niscaya bilangan pokok itu adalah angka (bilangan super)
9. Contoh: 9 x 3 = 27 (2+7) = 9; 9 x 16 = 144 (1+4+4) = 9; 6 x 17
= 153 (1+5+3) = 9; 9 x 136 = 1224
(1+2+2+4) = 9; 9 x 153 = 1377 (1+3+7+7) = 18 (1+8) = 9; 9 x 874 = 7866 (7+8+6+6)
= 27 (2+7) = 9; 9 x 1785 = 16065 (1+6+0+6+5) = 18 (1+8) = 9; 9 x 78452 = 706068
(7+0+6+0+6+8) = 27 (2+7) = 9. (baca, dan perhatikan contoh-contoh perhitungan
dalam buku: Bilangan Super dalam Konteks
Religi dan Budaya Etnis Rote Ndao, do.ib.).
Dalam
uraian catatan antara saya telah memberi petunjuk bahwa bilangan
super 3 dan 6 sebagai lambang keteraturan dan harmoni dasar berperan dalam
saling isi-mengisi dan memberi makna di dalam membangun serta mewujudkan
keteraturan dan harmoni yang sempurna, yang dilambangkan oleh bilangan super 9.
Dalam Yohanes 21:8 terdapat sebutan, “kira-kira dua ratus hasta”. Dua
ratus (200), angka pokoknya adalah 2+0+0 = 2.
Angka 2 x bilangan super 3 = 6; angka 2 x
bilangan super 6 = 12 (1+2) =3;
angka 2 x bilangan super 9 = 18 (1+8) = 9. Dengan demikian, dalam Yohanes 21:8, 10-11 terdapat bilangan
super 6, 3, 9 sebagai lambang keteraturan dan harmoni dasar yang
berperan dalam saling isi-mengisi dan memberi makna di dalam membangun serta
mewujudkan keteraturan dan harmoni yang sempurna, yang dilambangkan dengan bilangan
super 9.
Kisah
dalam Yohanes 21:1-14 itu terkait dengan penampakan diri Yesus (ke-3
kalinya) kepada murid-murid-Nya sesudah Ia bangkit. Yesus bangkit pada hari ke-3.
Kebangkitan pada hari ke-3 dalam hubungannya dengan bilangan
super 3, 6, 9 adalah sebagai berikut: 3 x 3 = 9; 6 x 3 = 18 (1+8)
= 9; 9 x 3 = 27 (2+7) = 9. Penampakan ke-3 kali
ini dalam hubungannya dengan bilangan super 3, 6, 9 adalah
sebagai berikut: 3 x 3 = 9; 3 x 6 = 18 (1+8)
= 9; 3 x 9 = 27 (2+7)
= 9. Analisis ini memberi petunjuk bahwa “karya penyelamatan yang
dilakukan oleh Allah melalui kematian dan kebangkitan Yesus adalah benar-benar karya
penyelamatan sempurna, yang memberikan kepastian pengharapan bagi
setiap orang yang percaya kepada Yesus Kristus. Itulah sebabnya, Paulus
berkata: “Dan jikalau Kristus tidak
dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam
dosamu”; “Tetapi yang benar ialah, bahwa Kristus telah dibangkitkan dari antara
orang mati, sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal” (1Korintus
15:17; 20). Dan sebagai jaminannya ialah “…
supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh
hidup yang kekal” (Yohanes 3:16).
Berdasarkan
analisis di atas ini saya mau mengatakan bahwa tafsiran Nuban Timo atas Yohanes
21:1-4 khususnya tentang 153 ekor ikan itu sangat lemah dan
mengada-ada. Sebab, jikalau Nuban Timo
katakan bahwa “dasar dari bilangan 153
adalah 17. Tujuh belas terdiri dari 10 dan 7.
Angka 10 menunjuk pada Hukum Taurat dan ucapan bahagia. Allah sendiri
yang menetapkannya. Angka 7 menunjuk pada pengudusan di dalam
Roh Kudus”, maka saya ingin mengatakan begini:
mangapa angka 10 harus merujuk kepada Hukum
Taurat?
Bukankah
Yesus berkata: “Kasihilah Tuhan, Allahmu,
dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.
Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama
dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh
hukum Taurat dan kitab para nabi”
(Matius 22:37-40, par.)? Dan tentang angka 7 mengapa harus merujuk pada pengudusan
di dalam Roh Kudus? Bukankah angka 7
juga dapat merujuk pada hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, di mana orang
harus berhenti bekerja…, dan menguduskan hari itu (Keluaran 20:8-11)? ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar