Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti
MANUSIA dan waktu tak terpisahkan. Manusia berada dalam
waktu, terkurung dalam waktu, namun serentak mengatasi waktu dan sadar akan
waktu, sehingga manusia dapat bermenung tentang waktu. Itulah kelebihan manusia
jika dibandingkan dengan binatang.
Pada umumnya manusia melakukan pembabakan waktu atas dua
fase, yaitu waktu yang lalu dan waktu yang akan datang. Waktu yang lalu
benar-benar telah berlalu, sedangkan waktu yang akan datang masih terbentang di
muka. Karena itu sadar akan waktu berarti sadar akan waktu yang sudah lalu dan
sadar akan waktu yang akan datang. Kedua fase waktu ini masuk ke dalam
kesadaran manusia, karena manusia mempunyai prinsip yang mempersatukan waktu
yang sudah lalu dan waktu yang akan datang dalam suatu perpaduan dalam momen yang disebut saat sekarang.
Demikianlah manusia, baik individu maupun komune (kelompok
orang yang hidup bersama) mengalami waktu dan merasakan apa itu waktu. Di
tengah-tengah waktu yang terus berganti itulah, manusia sebagai ada yang meng-ada mengalami kesejatiannya sebagai kehausan akan bahagia,
serentak kekhawatiran akan kehilangan bahagia. Itulah sebabnya dalam momen saat sekarang yang spesifik—misalnya pada
saat peringatan hari ulang tahun kelahiran, perkawinan dan sebagainya, atau pada
saat pergantian tahun—manusia sering mengalami kesayuan ketika melakukan
refleksi, sekalipun kelihatannya ceria dan bahagia.
Penyair Fridolin Ukur sebagai seorang anak bangsa, juga
sebagai seorang teolog Kristen Protestan yang peka terhadap pergumulan
bangsanya, ketika terhanyut dalam refleksi pergantian tahun 1968/1969 pada 50/51
tahun yang lalu, menggubah sebuah sajak berjudul “Tahun berpacu lewat” yang
larik-lariknya berbunyi sebagai berikut:
“Beberapa tahun berpacu lewat/ memenuhi
perhitungan waktu/ dan kami berlomba berbuat sesuatu/ di tengah kemanusiaan
sedang bergulat;/ lalu terasa kerdilnya diri/ dihadang persoalan sejuta rupa/
dalam jeram-jeram rumusan:/ kemiskinan/ pengangguran/ kebodohan/ krisis energi/
korupsi dan inflasi!// Betapa sering kebingungan tanpa ujung/ menutup pandang
ke masa depan/ Tanya, hanya gema berjawab gaung/ hatipun risau mengaburi
harapan.// Bergandengan tangan kami datang/ ingin menata kembali semangat yang
baru/ dengan jiwa polos telanjang/ kami bawa hati kelabu penuh haru/ Bapa!/
Hanya pada-Mu/ kami bertanya, meminta dan berseru!” (“Belas Tercurah”,
1980:22).
Nosi dan emosi yang tersirat dalam sajak “Tahun berpacu
lewat” sebagaimana dikutip di atas ini, sekalipun telah diekspresikan puluhan
tahun yang lalu, tetap dinamis, kontekstual, dan tetap me-masa kini. Tanpa interpretasi berdasarkan paham apapun juga, nosi dan emosi dalam sajak ini sudah dapat dipahami secara eksplisit,
dan ternyata relevan dengan persoalan yang menjadi pergumulan bangsa Indonesia
sekarang ini, bahkan pada waktu-waktu yang akan datang sekalipun.
Bukankah tahun-tahun kehidupan terus berpacu lewat sesuai
rotasi waktu, dan kita senantiasa
bergerak dan berlomba memasuki hari-hari kehidupan yang terbentang di depan? Bukankah
setiap anak bangsa Indonesia telah berlomba berbuat sesuatu di tengah-tengah kemanusiaan
yang terus bergulat di republik ini, semenjak terjadi gerakan reformasi pada
tahun 1998 hingga kini? Bukankah
jeram-jeram rumusan kemiskinan, pengangguran, dan kebodohan, yang penyair
sentil pada tahun 1968 tetap menjadi realitas yang belum juga dapat diatasi hingga saat ini, bahkan akan tetap menjadi
pergumulan bangsa pada tahun-tahun mendatang sekalipun? Bukankah jeram-jeram rumusan
krisis energi, korupsi, dan inflasi yang penyair kesahkan pada tahun 1968 tetap
saja menjadi kesah anak bangsa ini yang sementara menggumuli kehidupan kini dan
di sini, bahkan akan tetap menjadi kesah
kita sebagai anak bangsa pada waktu-waktu yang akan datang sekalipun? Bukankah kebingungan tanpa ujung
yang menutup pandangan ke masa depan yang dikeluhkan oleh penyair pada tahun
1968 tetap saja mencengkam jutaan anak bangsa pada hari ini, bahkan sangat
mungkin tetap mencengkam generasi bangsa pada tahun-tahun yang akan datang
sekalipun, akibat krisis ekonomi dan moneter global; krisis energi/bahan bakar
minyak; ketersediaan lapangan pekerjaan yang sempit; krisis akibat terus
bertambah besarnya pengangguran dari tahun ke tahun; krisis akibat dampak bencana
alam [gempa, tsunami, dan tanah longsor]; dan akibat kehancuran serta kepunahan
lingkungan hidup lantaran ulah manusia sendiri?
Rezim (sistem pemerintahan) yang dinilai korup di republik
ini, yang dituding sebagai biang kerok krisis bangsa, telah ditumbangkan pada
tahun 1998 melalui suatu gerakan reformasi yang dahsyat. Perbaikan sistem
penyelenggaraan pemerintahan negara mulai ditata dan dilaksanakan secara
bertahap sejak tahun 1999 hingga kini. Namun, kemelut-kemelut yang melilit bangsa
ini belum juga dapat diorak-lepaskan tali-temalinya. Berbagai krisis/kemelut yang melilit bangsa
ini ternyata tidak berpacu lewat bersama rotasi waktu, melainkan tetap eksis dan
terus berlanjut, menumpuk dan menggelembung. Dalam situasi seperti ini, apakah
jawaban yang diberikan oleh para penguasa dan wakil rakyat atas setiap
pertanyaan anak bangsa, yang mendambakan
kelapangan jalan hidup dan kelegaan hati? Terhadap pertanyaan ini penyair
Fridolin Ukur berkata: “tanya, hanya gema
berjawab gaung/ hatipun risau mengaburi harapan” (larik ketiga dan keempat,
bait kedua). Ya, tidak ada kepastian jawaban! Yang terdengar hanyalah “gema berjawab gaung”, yang
mengakibatkan “hatipun risau mengaburi
harapan”.
Dalam situasi seperti ini, saya teringat akan sebuah sajak
karya penyair Hamid Jabbar berjudul “INDONESIAKU” yang digubah pada tahun 1978,
yang beberapa larik-lariknya berbunyi sebagai berikut: “jalan berliku-liku/ tanah airku/ penuh rambu-rambu/ indonesiaku/
Sekujur tubuh di perjalanan, malam yang/ berdentang-dentang dan kau lihat aku
puntang-panting memburumu dari tikungan ke tikungan./ (Barangkali berjuta pohon
telah tumbang dalam/ pacuanmu. Barangkali berjuta mulut telah mengeringkan/
tanahmu o indonesiaku. Barangkali berjuta kemelut telah menguap-udarakan segala
airmu pengap o indonesiaku. O siapakah yang telah tercerabut, sayangku: engkau
tanah airku atau aku anak negerimu?)/ Tetapi aku sungguh merasa malu ketika
kudengar/ engkau menyanyikan rasa tak berdaya anak negerimu/ diancam
ledakan-ledakan berang akan purnama/ sepanjang malam. Dan engkau pun menangis
ketika/ malu kita jadi malu semua: tertera dalam peta kita,/ luka-luka dan
nyeri terbata-bata.// jalan berliku-liku/ tanah airku/ penuh rambu-rambu/
indonesiaku” (Manifestasi Puisi Indonesia-Belanda. Jakarta 1986:50,51; khusus
larik ke-40—62).
Ya, “jalan berliku-liku/ tanah airku/ penuh rambu-rambu/
indonesiaku”. Inilah realitas faktual
dan realitas objektif jalan hidup bangsa Indonesia, semenjak kemerdekaan bangsa
diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 hingga kini. Inilah realitas faktual dan
realitas objektif jalan hidup bangsa
Indonesia dalam berbagai segi kehidupan: ideologi, politik, ekonomi, sosial,
budaya, agama, pertahanan, dan keamanan nasional.
Marilah kita camkan sejenak makna yang tersirat di balik
ungkapan “jalan berliku-liku/ tanah airku”. “Jalan” dalam larik sajak ini bukan
berarti “way” dalam bahasa Inggris yang berarti “tempat untuk lalu lintas orang
atau kendaraan darat” melainkan “manner” yang berarti “cara” atau “sikap”.
“Berliku-liku”, bukan berarti “tortuous” dalam bahasa Inggris untuk menyatakan “jalan
yang berliku-liku”, melainkan ditujukan kepada arti “far from straightforward”, yang artinya
“jauh dari kesetiaan; jauh dari kejujuran”. Jadi, “jalan berliku-liku” artinya
“cara, atau sikap yang jauh dari kesetiaan”; “cara, atau sikap yang jauh dari
kejujuran”. Inilah realitas yang bersemi
dan bertumbuh di tanah airku, Indonesia.
Lalu, makna apakah yang tersirat dalam ungkapan “penuh rambu-rambu/ indonesiaku”? “Penuh”, dalam konteks ini tidak menunjuk
kepada arti “full” atau “abundantly” dalam bahasa Inggris yang berarti
“berlimpah-ruah” atau “berlimpah-limpah”, melainkan menunjuk kepada arti
“copious” dalam bahasa Inggris yang berarti “berlebih-lebihan” atau “banyak
sekali”. Dan ungkapan “rambu-rambu” bukan menunjuk kepada “traffic-lights”
dalam bahasa Inggris yang berarti “rambu-rambu lalu lintas”, melainkan menunjuk
kepada “sign” atau “ensign” yang bersinonim dengan “banner” dalam bahasa
Inggris yang berarti: “a number of persons bound together for any common
purpose” (= sejumlah orang yang bergabung
bersama-sama demi tujuan/cita-cita
bersama); atau “a troop of conspirators confederates” (= kelompok atau golongan
orang-orang yang bersekongkol karena adanya kesamaan aspirasi). Inilah fakta
yang inheren di tubuh bangsaku, Indonesia. Inilah fakta yang mencederai keluhuran
aspirasi bangsa. Ya, ”jalan berliku-liku penuh rambu-rambu”! Inilah jalan berliku-liku
yang mengerdilkan pertumbuhan dan perkembangan kesejahteraan tanah airku
Indonesia, sehingga penyair Hamid Jabbar menulis “indonesia” dengan huruf
kecil.
“Jalan berliku-liku/
tanah airku/ penuh rambu-rambu/ indonesiaku”. Larik-larik sajak ini diaksentuasi oleh
penyair Hamid Jabbar sebanyak tiga puluh enam larik dalam majas repetisi dalam
keutuhan struktur sajaknya, “INDONESIA”, yang terdiri atas seratus empat belas
larik, sebagai cara untuk mengintensifkan pengungkapan nosi dan emosi penyair. Ini memberi petunjuk, betapa
prihatinnya penyair terhadap nasib bangsa
Indonesia, yang ditulis dengan huruf kapital, “INDONESIA”, pada judul sajak,
namun dalam larik-larik sajak ditulis dengan huruf kecil, “indonesia”, sebanyak
dua belas kali.
Sesungguhnya Indonesia bisa cepat jaya dan
makmur! Sesungguhnya Indonesia berpotensi kuat untuk menjadi sebuah bangsa yang
besar dan jaya! Namun sayangnya, “jalan
berliku-liku, penuh rambu-rambu”. Inilah yang menyebabkan bangsa Indonesia tertatih-tatih
dan terbata-bata: “terpampang dalam
head-line & tajuk-rencana koran-koran ibu kota; tersenyum dan sakit gigi;
malu-malu bagai kucing (entah mengeong entah mengerang entah marah entah
sayang) yang terpendam dalam deretan kata-kata nusantara; tegak dan tumbang
sepanjang hari” (dalam larik-larik
ke-5 sampai ke-19).
Terkuras dan tergerusnya sumber daya alam negeri tercinta
ini akibat keserakahan orang-orang yang ingin
memperkaya diri sendiri dan/atau konco-konco sendiri, dikeluhkan oleh penyair dalam nada bergaya
interogasi: “Barangkali berjuta pohon
telah tumbang dalam pacuanmu. Barangkali berjuta mulut telah mengeringkan tanahmu
o indonesiaku. Barangkali berjuta kemelut telah menguap-udarakan segala airmu
pengap o indonesiaku. O siapakah yang telah tercerabut, sayangku: engkau tanah
airku atau aku anak negerimu?” (larik 47-52). Dan aksi/ancaman terror serta
tindakan-tindakan brutal yang menimbulkan petaka serta mencoreng keharuman nama bangsa, dirintihkan oleh penyair: “…aku sungguh merasa malu ketika kudengar
engkau menyanyikan rasa tak berdaya anak negerimu diancam ledakan-ledakan
berangan akan purnama sepanjang malam. Dan engkau pun menangis ketika malu kita
jadi malu semua: tertera dalam peta kita, luka-luka dan nyeri terbata-bata” (larik
53-58).
“Jalan berliku-liku;
jalan berliku-liku; tanah airku; tanah airku; penuh rambu-rambu; penuh rambu-rambu; indonesiaku; indonesiaku” Begitulah penyair mengimpresifkan nosi dan
emosi imajinatifnya dalam majas repetisi, kemudian penyair mengaksentuasikan
dengan larik-larik selanjutnya yang berbunyi: “Sepanjang jalanan sepanjang tikungan/ sepanjang tanjakan sepanjang
turunan rambu-rambu/ bermunculan” (larik ke-96-98). Larik-larik ini secara
simbolik memberi petunjuk bahwa tidak ada ruang di tanah air ini yang netral
atau bebas dari kehadiran oknum-oknum, kelompok/golongan orang-orang yang
bersekongkol karena adanya kesamaan aspirasi, atau fungsi kepentingan, yang
pada gilirannya dapat merongrong aspirasi nasional dan menimbulkan bencana bagi
tanah air tercinta ini.
Penyair berkata:
“Seribu tanda seru memendam berjuta tanda
tanya. Seribu tanda panah mencucuk luka indonesiaku. Seribu tanda sekolah
memperbodoh kearifan nenek-moyangku. Seribu tanda jembatan menganga ngarai
wawasan si Badai si Badu. Seribu tanda sendok-garpu adalah lapar dan lapar yang
senyum-senyum di luar menu. Seribu tanda gelombang melambung-hempaskan juang
anak negerimu. Seribu tanda-tanda, seribu jalanan, seribu tikungan, seribu
tanjakan, seribu turunan, liku-liku, luka tanah airku, dalam wajahmu,
indonesiaku. Jalan berliku-liku, jalan berliku-liku; tanah airku, tanah airku;
penuh rambu-rambu, penuh rambu-rambu; indonesiaku, indonesiaku. STOP (larik
ke-99-114). Larik-larik sajak ini melukiskan tentang
ketidakpastian-ketidakpastian yang tersirat di dalam peraturan
perundang-undangan maupun pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Setiap
janji penegakan keadilan tetap tinggal janji yang mengecewakan. Setiap anjuran
dan seruan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme tetap memendam berjuta
tanda tanya, bukan saja karena dalam tindakan ternyata maih ada praktik
tebang-pilih, melainkan menebalnya kemerosotan spiritual dan moral yang
tercermin dalam banyaknya pejabat pemerintah dan pemimpin lembaga yang
melakukan korupsi. Setiap petunjuk dan arahan tidak membawa perbaikan yang
signifikan, bahkan timbul distorsi yang memperburuk keadaan: sistem demokrasi
dirasuki roh demonokrasi; liberalisme diwarnai libertinisme; sistem
pemerintahan presidensial diwarnai parlemensial; dan bentuk negara kesatuan
diwarnai federalisme. Setiap slogan peningkatan pendidikan bangsa, malah
mereduksi kearifan-kearifan lokal yang diwariskan para leluhur. Setiap
program peningkatan produksi pangan, malah diwarnai berita bencana kelaparan,
penyakit busung lapar, kekurangan gizi dan keterpaksaan mengonsumsi sisa-sisa
makanan dari warung-warung dan restoran. Program peningkatan mutu pelayanan kesehatan
masyarakat tetap tidak meyakinkan dibandingkan dengan air batu Ponari (yang
pernah terjadi di Jawa) dan air Tesbatan di Kupang yang sesungguhnya ilusif. Setiap
keberhasilan membangun sepuluh rumah mewah yang diresmikan dengan pesta pora,
malah dibarengi dengan ratap tangis ratusan kaum jelata yang rumahnya ludes
dilalap api, roboh diguncang gempa dan diterjang tanah longsor, serta rata
terkena terpaan banjir, badai dan tsunami. Bahkan setiap peringatan untuk mewaspadai
lingkungan, malah balik menghempaskan semangat juang anak bangsa ke jurang
apatisme.
Tahun berpacu
lewat, namun berbagai krisis belum juga berlalu, sebab jalan masih berliku-liku.
Sebab sepanjang jalanan, sepanjang tikungan, sepanjang tanjakan, sepanjang
turunan, rambu-rambu tetap bermunculan! Pergulatan kemanusiaan tak kunjung usai
di tengah-tengah ketidakpastian dan kemenduaan, sebab jalan tetap berliku-liku.
Karena itu, di tengah-tengah arus pergulatan hidup yang sedang kita arungi kini
dan di sini (memasuki kurun waktu 2019 – 2024), baiklah kita pasrahkan diri dalam
doa bersama Fridolin Ukur: Ya, Allah—Bapa yang Mahakasih dalam Yesus, Tuhan dan
Juruselamat dunia—‘Bergandengan tangan
kami datang/ ingin menata kembali semangat yang baru/ dengan jiwa polos
telanjang/ kami bawa hati kelabu penuh haru/ Bapa!/ Hanya pada-Mu/ kami
bertanya, meminta dan berseru!’ (“Tahun berpacu lewat”, bait ke-3). Ya, Allah,
sertailah dan tuntunlah kami dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara, yang berlanjut di sepanjang jalan berliku-liku penuh rambu-rambu
yang sedang kami jalani ini. Ya, Allah, berikanlah kepada kami kearifan dan
ketabahan dalam menghadapi tahun-tahun kehidupan yang penuh tantangan yang
berderet di depan kami: teristimewa demi keberhasilan penyelenggaraan pemilihan
umum anggota legislatif dan anggota dewan perwakilan daerah; serta demi
kelancaran, kedamaian, dan suksesnya pemilihan presiden dan wakil presiden yang
akan diselenggarakan pada bulan April 2019.
Dalam kurun
waktu lima tahun (2014 – 2019) yang hampir berlalu, penataan kehidupan berbangsa dan bernegara
serta penyelenggaraan pembangunan nasional, telah terlihat banyak nilai positif
bagi bangsa dan republik ini. Karena itu,
ke depan, untuk memasuki gerbang kurun waktu tahun 2019 – 2024, hanya
satu saja harapan kami: Ya, hanya satu yang semoga menjadi kenyataan pada
pemilihan presiden tahun 2019 demi kesinambungan, keajekan dan keberhasilan pelaksanaan
program pembangunan bangsa Indonesia. Sehingga semoga pada kurun waktu tahun
2024 – 2029 dan periode-periode selanjutnya, kebangkitan dan kejayaan bangsa
Indonesia terus dibangun dan dimantapkan oleh kepemimpinan nasional baru yang
ideal. Amin.” ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar