(Bagian
ketiga)
Oleh:
A. G. Hadzarmawit Netti
Catatan
pengantar
Dalam tulisan bagian ketiga ini, saya
ingin meninjau idealisme Nuban Timo tentang menggereja secara baru di
Indonesia. Yang saya maksudkan dengan idealisme Nuban Timo di sini ialah cita-cita,
harapan dan pelayanan Nuban Timo dalam
meng-hari-ini-kan Injil di bumi Pancasila serta meng-hari-ini-kan Gereja di
Indonesia, sebagaimana diwedarkan dalam kesimpulan akhir: “Menggereja Secara
Baru di Indonesia” (hlm. 463). Namun sebelum masuk ke dalam percakapan tentang
menggereja secara baru di Indonesia versi Nuban, saya ingin mengutip alinea
terakhir bab 16 (“Gereja sebagai Tanda Kerajaan Allah”) sebagai pintu masuk
pembahasan.
Marginalia
pertama
Pada alinea terakhir bab 16 (hlm.462)
Nuban Timo berkata begini: “Sekarang kita tinggal melakukan evaluasi model
pelayanan macam apa yang sedang dilakoni Gereja-gereja di Indonesia: apakah
pelayanan yang antipati, pelayanan yang setengah hati, ataukah pelayanan yang
sepenuh hati? Menjauhkan diri dari sikap pelayanan antipati dan setengah hati
adalah kebajikan. Menjalankan pelayanan sepenuh hati adalah pilihan yang tepat
bagi Gereja dalam upaya untuk meng-hari-ini-kan Injil sekaligus menghadirkan
diri secara baru sebagai agen perubahan. Untuk itu perlu ada keberanian dari
warga Gereja dan para pemimpinnya untuk menggunakan semua sumber daya yang ada
padanya. Pesan orang Samaria yang Murah Hati kepada pemilik penginapan setelah
memberikan dua dinar: “Rawatlah dia, dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku
akan menggantinya, waktu aku kembali” (Luk.10:33) patut menjadi pegangan Gereja-gereja di Indonesia untuk terus bekerja
menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah
di Timor Tengah Utara (huruf kursif tebal, AGHN).
Frasa kalimat, “patut menjadi pegangan
Gereja-gereja di Indonesia untuk terus bekerja menghadirkan tanda-tanda
Kerajaan Allah di Timor Tengah Utara”, membuat saya sebagai seorang warga GMIT
dan juga warga Gereja di Indonesia terperanjat dan bertanya: mengapa Nuban Timo
tidak bergumul dan berupaya untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah di
Indonesia antara Sabang sampai Merauke, tetapi hanya mau bekerja keras, serta mengajak
semua warga Gereja dan para pemimpin Gereja di Indonesia untuk terus bekerja menghadirkan
tanda-tanda Kerajaan Allah di sepotong wilayah di pulau Timor yang bernama Timor
Tengah Utara? Mengapa daerah Timor
Tengah Utara yang tidak ada sangkut pautnya dengan pokok bahasan eksistensi
Gereja-gereja di Indonesia, bahkan tidak memiliki suatu “keistimewaan” apa pun dalam
pelayanan dan pemberitaan Injil dalam lembaran
sejarah Gereja-gereja di Indonesia, tiba-tiba
muncul dalam buku Nuban Timo, alinea terakhir bab 16, frasa kalimat terakhir
pada halaman 462, sebagai suatu wilayah pelayanan superprioritas Gereja-gereja
di Indonesia dalam rangka menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah? Sungguh sangat
rancu! Apakah ini tidak memberi petunjuk bahwa Nuban Timo meracau ? Apakah ini tidak memberi petunjuk bahwa cara berpikir
genetik Nuban Timo mengalami distorsi pada lobus temporalis otak kanan yang
melahirkan wedaran ilmu-ilmu demi kearifan termasuk filsafat, agama, teologi
yang terkait erat dengan peranan intuisi, inspirasi, dan wahyu ketika alinea
terakhir bab 16 bukunya itu disusun? Saya sangat harapkan kesabaran dan
ketenangan Nuban Timo untuk mempertimbangan apa yang saya kemukakan di atas ini.
Sekiranya Nuban Timo telah melakukan suatu kesalahan sebagaimana saya kemukakan
di atas, maka bagaimanakah kesalahan wedaran itu dapat buatkan ralatnya agar
dapat diedarkan kepada setiap orang baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang
telah membeli dan membaca buku tersebut?
Marginalia kedua
Kerancuan selanjutnya yang akan saya
tanggapi terdapat dalam wedaran “Kesimpulan Akhir: Menggereja secara baru di
Indonesia”. Nuban Timo berkata: “Semua yang sudah kita katakan tentang upaya
Gereja di Indonesia meng-hari-ini-kan Injil membawa kita pada kesimpulan
berikut. Indonesia dengan segala kekurangan dan keterbatasan, tragedi serta
harapan adalah Gereja (eklesia)” (do. ib. hlm. 463). Berkenaan dengan kata eklesia
untuk menyebut Gereja, dalam tulisan ini saya pergunakan kata ekklēsia, yaitu
transkripsi dari kata Yunani έκκλησία.
Pada catatan kaki, Nuban Timo
menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan Indonesia adalah “Negara Pancasila
dengan cita-cita dan tujuan, ideal, serta impian yang sangat mendasar, yakni
kesetaraan semua komponen bangsa dan tekad untuk menegakkan keadilan sosial,
kesejahteraan rakyat, dan ketertiban dunia”.
Tidak terpikirkan mengapa dan/atau apa
alasan Nuban Timo menyebut “Indonesia (Negara Pancasila) adalah Gereja (ekklēsia)”!
Pada artikel bagian pertama telah saya jelaskan bahwa kata “adalah” memiliki
tiga arti secara harfiah: 1 identik dengan; 2 sama maknanya dengan; 3 termasuk
dalam kelompok atau golongan. Dengan demikian, apabila Nuban Timo menegaskan
bahwa “Indonesia (Negara Pancasila) adalah Gereja (ekklēsia)” , maka penegasan
itu sama artinya dengan: 1 Indonesia (Negara Pancasila) identik dengan Gereja (ekklēsia);
2 Indonesia (Negara Pancasila) sama maknanya dengan Gereja (ekklēsia); 3
Indonesia (Negara Pancasila) termasuk dalam kelompok atau golongan Gereja (ekklēsia)!
Pertanyaan yang muncul ialah: Indonesia (Negara Pancasila) terhisab ke dalam
Gereja (ekklēsia) aliran apa dan/atau denominasi apa?
Nuban Timo telah membaptiskan bangsa dan
negara Republik Indonesia dengan sebutan ekklēsia, sebuah sebutan yang (sangat)
inheren dengan kamus Gereja dan agama Kristen. Karena itu, sebutan ekklēsia
perlu dibicarakan di sini.
Berdasarkan latar belakang asal kata, ekklēsia
adalah nama atau sebutan bagi pertemuan, rapat, musyawarah rakyat dalam sistem
pemerintahan demokratis di Yunani purba (kota Athena) yang berkembang sekitar
abad ke-5 Sebelum Masehi. Pertemuan, rapat, atau musyawarah rakyat pada waktu
itu terbuka bagi setiap penduduk laki-laki berusia di atas 20 tahun yang
digolongkan sebagai penduduk yang mempunyai hak memilih, tanpa membeda-bedakan
golongan kelas masyarakat, termasuk pula narapidana yang terancam hukuman mati
sekalipun. Mereka dipanggil dengan sepatutnya dan memiliki kewenangan politis
dan fungsi yuridis untuk berpartisipasi dalam pertemuan, rapat, atau musyawarah
rakyat yang diselenggarakan tersebut, serta
bertanggung jawab atas pernyataan perang, strategi militer, pemilihan
penyelenggara pemerintahan, pemilihan pejabat-pejabat kota yang bertindak
sebagai hakim pada pengadilan rendah.
Memperhatikan uraian di atas, maka dapat
disimpulkan secara tegas bahwa bangsa dan/atau negara Yunani purba (kota
Athena) bukan ekklēsίa, melainkan yang disebut ekklēsίa ialah “suatu perkumpulan
rakyat, pertemuan rakyat, rapat rakyat, dalam sistem pemerintahan demokratis yang
diberlakukan di Yunani purba (kota Athena)”. Jika diaplikasikan dalam konteks bangsa
dan negara Republik Indonesia, maka bangsa dan negara Republik Indonesia bukan ekklēsia sebagaimana dianggap
oleh Nuban Timo; melainkan lembaga, badan, atau dewan perwakilan rakyat,
majelis permusyawaratan rakyat yang merepresentasikan kedaulatan rakyat yang dapat
dianggap sebagai ekklēsia..
Dalam perkembangan kemudian, ketika
Perjanjian Lama bahasa Ibrani diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani yang dikenal
dengan sebutan Septuaginta pada zaman Ptolomais II Filadelphus (246-245 SM) dan
revisi-revisi terjemahan Septuaginta sampai dengan abad ke-2 SM; para
komentator Septuaginta mempergunakan kata ekklēsίa untuk menyebut komunitas
umat Yahudi. Dari situlah kata ekklēsίa kemudian diadopsi dan dipergunakan
untuk menyebut persekutuan (umat) Kristen dan/atau Gereja sebagai umat Allah
dalam hubungannya dengan Yesus (Mesias) (Chambers Twentieth Century Dictionary
New Edition 1972:409; Alan Richardson. A Theological Word Book Of The Bible,
1962:47-48).
Dalam Perjanjian Baru Indonesia–Yunani
(Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta 2002) saya temukan 101 kata ekklēsia; 97 kata diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia dengan kata jemaat;
1 kata ekklēsia dalam Kisah Para
Rasul 19:32 diterjemahkan dengan kata kumpulan
(orang); 1 kata dalam Kisah Para
Rasul 19:39 diterjemahkan dengan sidang
rakyat; 1 kata lagi dalam Kisah Para Rasul 19:40 diterjemahkan dengan kumpulan rakyat; dan 1 kata ekklēsia dalam Kisah Para Rasul 7:38
diterjemahkan dengan kata sidang jemaah yang merujuk kepada kumpulan
atau rombongan orang Yahudi yang dipimpin oleh Musa yang menjadi pengantara di padang gurun… Patut
dicatat bahwa 97 kata ekklēsia yang diterjemahkan
dengan kata jemaat itu merujuk
kepada persekutuan orang-orang percaya (umat Allah) yang berimankan Yesus sebagai
Tuhan dan Juruselamat atau Jemaat Allah dalam hubungannya dengan Yesus Kristus.
Ada ekklēsia
(jemaat) rumah; jemaat lokal; jemaat wilayah; jemaat sedunia. Catatan: Dalam
tulisan ini saya tidak membahas asal kata Gereja
sebagai badan atau lembaga agama Kristen!
Berkenaan dengan tinjauan di atas ini
maka Nuban Timo sangat keliru, jika menganggap bahwa bangsa dan/atau negara
Republik Indonesia adalah Gereja
atau ekklēsia. Mengapa? Sebab Gereja, jika merujuk kepada ekklēsia
menurut Perjanjian Baru, sesungguhnya adalah persekutuan orang-orang
percaya (umat Allah) yang berimankan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat atau Jemaat Allah dalam hubungannya dengan
Yesus Kristus. Dengan demikian, sangat jelas: “Indonesia, yaitu Negara
Pancasila bukan Gereja; negara Republik
Indonesia bukan badan atau lembaga agama Kristen yang disebut “Gereja”. Negara
dan bangsa Indonesia juga bukan ekklēsia
(bukan jemaat atau persekutuan umat Allah dalam hubungannya
dengan Yesus Kristus)”. Bahkan sangat irasional (tidak masuk akal) jika Nuban
Timo menyatakan secara tandas: “Itu sebabnya kami menegaskan bahwa Indonesia
sebagai satu bangsa, dengan Pancasila dan UUD 1945-nya, adalah juga Gereja…” (Nuban
Timo, 2017:30). Menurut pertimbangan saya, yang dapat dibandingkan atau disebut
sebagai ekklēsia adalah majelis permusyawaratan rakyat, dewan (perwakilan)
rakyat baik di tingkat pusat maupun di
daerah-daerah, jika kita merujuk dan/atau melakukan perbandingan dengan ekklēsia yang disebut dalam Kisah Para Rasul 19:32, 39, 40.
Marginalia
ketiga
Berkenaan dengan ekklēsia dalam arti persekutuan orang-orang percaya (umat Allah) yang
berimankan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat atau Jemaat Allah dalam
hubungannya dengan Yesus Kristus, Nuban Timo mengutip pendapat Gerrit Singgih: “…
Dua kali kata ekklesia (Gereja atau Perhimpunan jemaat) muncul dalam Kitab
Matius, yakni 16:18 dan 18:17. Yang dimaksudkan dengan ekklesia dalam kedua
teks itu adalah sebuah kelompok khusus, kumpulan orang-orang pilihan atau ekklektos
(Mat 22:14 dan 24:22, 24, 31)…” (Nuban Timo, 2017:247). Menurut pertimbangan
saya, ekklēsia yang disebut dalam Matius
16:18 dan 18:17 tidak mengacu kepada eklektos
yang disebut dalam Matius 22:14 dan 24:22, 24, 31. Apabila diperhatikan
secara saksama, ekklēsia yang
dimaksudkan dalam Matius 16:18 dan 18:17 adalah Jemaat Allah dalam hubungannya
dengan Yesus Kristus atau persekutuan orang-orang percaya (umat Allah) yang
berimankan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Jemaat (Umat Allah) ini,
menurut rumusan penulis surat 1 Petrus 2:9 adalah bangsa yang terpilih (eklekton)… ; yang dipanggil keluar dari
kegelapan kepada terang… (baca selengkapnya ayat 9, 10) . Akan tetapi eklektos yang dimaksudkan dalam Matius
24:22, 24, 31 itu bukan merujuk kepada Jemaat
atau Umat Allah, melainkan
merujuk kepada orang-orang pilihan
Allah, yang dipilih oleh Allah dari kalangan umat Allah, maupun dari luar
kalangan umat Allah berdasarkan rancangan dan kemurahan kasih Allah. Orang-orang
pilihan Allah, menurut hemat saya, diberi atau memperoleh privilese (Roma 8:33; Lukas 18:7; 2 Timotius 2:10; Markus
13:20; Matius 24:22).
Sedangkan orang-orang yang dipilih oleh Allah guna melaksanakan tugas khusus,
dalam Perjanjian Baru bahasa Yunani disebut έĸλοƴή
(eklogē), suatu bentuk “Hebraistic
genitive” yang sama dengan eklektos. Paulus,
misalnya, adalah orang pilihan (eklogē) yang Tuhan pakai untuk
memberitakan nama-Nya di hadapan bangsa-bangsa lain… (Kisah Para Rasul 9:15).
Mengenai orang-orang pilihan atau orang-orang yang terpilih oleh Allah ini
dalam konteks tertentu disebut sebagai suatu
(kelompok) sisa (yaitu the Messianic remainder atau the Messianic remnant) (Roma 11:5). Catatan sisipan: berkenaan dengan eklektos dalam Matius 22:14 sesungghnya
tidak merujuk kepada orang-orang yang
dipilih, melainkan merujuk kepada proses
pemilihan oleh Allah berdasarkan respons orang-orang yang dipanggil-Nya. Camkan
sebaik-baiknya makna ayat 14 itu dalam hubungannya dengan perumpamaan tentang
perjamuan kawin yang dikemukakan dalam Matius 22:1 – 13.
Marginalia
keempat
Pada kesimpulan akhir halaman 463, Nuban
Timo berkata begini: “Indonesia dengan segala
kekurangan dan keterbatasan, tragedi serta harapan adalah Gereja (eklesia). Allah memanggil manusia Indonesia keluar
dari kesatuan suku-suku yang terbelenggu dalam ketidak-setaraan, terpisah dan
tertutup bahkan bermusuhan untuk menjadi satu bangsa (umat atau kaum) yang
sederajat dalam keberagamaan, hidup berdamai, membangun kemanusiaan utuh dan
transformatif…” (kursif, dari AGHN).
Berkenaan dengan pernyataan Nuban Timo
yang dikutip di atas ini, dalam uraian sebelumnya saya telah menegaskan bahwa
tidaklah benar jika bangsa dan negara Republik Indonesia disebut Gereja (ekklēsia).
Karena itu, terkait dengan pernyataan Nuban Timo dalam kalimat kedua yang saya
tandai dengan huruf kursif tebal, saya mau mengatakan begini: “Indonesia dengan
segala dinamika sosial politiknya adalah suatu bangsa yang bernegara. Para
pemimpin politik dan pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia sejak zaman
pergerakan kemerdekaan antara tahun 1908 sampai kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 mengafirmasi bahwa teritorial dan manusia Indonesia
yang diperjuangkan eksistensinya sebagai bangsa yang menegara adalah manusia
Indonesia yang menghuni teritorial yang disebut Hindia Belanda atau Nederlands
Oost Indiё. Dengan
demikian, teritorial dan manusia di bagian pulau Kalimantan yang diduduki
Inggris serta teritorial dan manusia di bagian Timur pulau Timor yang diduduki
Portugal serta enklave OEkusi yang termasuk pula dalam teritorial yang diduduki
Portugal tidak termasuk dalam teritorial Indonesia yang menegara, atau
Indonesia sebagai bangsa yang menegara.
Perjuangan para pejuang kemerdekaan dan para
pemimpin pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia untuk menegara, sama sekali “tidak memanggil manusia Indonesia keluar
dari kesatuan suku-suku yang terbelenggu dalam ketidak-setaraan,… untuk menjadi satu bangsa (umat atau kaum)…” sebagaimana dikatakan oleh Nuban Timo;
bahkan “Allah sama sekali tidak
memanggil manusia Indonesia keluar dari suku-suku yang terbelenggu dalam ketidak-setaraan….,” seperti yang
diafirmasi oleh Nuban Timo! Yang sebenarnya harus dikatakan, begini: Manusia Indonesia yang bineka suku yang
terbelenggu lebih dari tiga ratus tahun di bawah kekuasaan kolonialis Belanda
di teritorial yang bernama Hindia Belanda atau Nederlands Oost Indiё, kemudian
terjajah selama lebih kurang tiga setengah tahun di bawah kekuasaan Jepang tidak
dipanggil keluar dari kesatuan suku-sukunya, melainkan dimerdekakan oleh para
pejuang kemerdekaan dan para pemimpin pergerakan kemerdekaan dari kekuasaan
penjajah untuk membangsa dan menegara yang disebut bangsa dan negara Indonesia.
Manusia Indonesia yang bercita-cita dan berjuang untuk memerdekakan diri
dari penindasan kaum penjajah—karena penjajahan tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan—demi
membangsa dan menegara adalah manusia
Indonesia yang bertuhan. Itulah sebabnya pada Pembukaan UUD RI Tahun 1945,
alinea ketiga, para perumus Pembukaan
UUD Tahun 1945 mengafirmasi: Atas berkat
rakhmat Allah Yang Maha Kuasa… (dst.); dan untuk menata eksistensi bangsa
Indonesia yang menegara, para perumus Pembukaan UUD Tahun 1945 mengafirmasi
Pancasila, yang Sila pertamanya berbunyi: Ketuhanan
Yang Maha Esa…
Sebenarnya masih banyak pokok pikiran
yang dapat saya kemukakan, tetapi rasanya perlu dibiarkan ada ruang terbuka demi
terciptanya refreshment (penyegaran)
yang memungkinkan proses bercermin diri, bagi pengembangan nosi dan emosi
imajinatif yang kreatif dalam bidang intelektualisme (ketaatan/kesetiaan
terhadap latihan daya pikir dan pencarian sesuatu berdasarkan ilmu). Dan untuk
mengakhiri artikel yang bersifat marginalia ini saya patut menyatakan pujian
terhadap Nuban Timo yang ikhlas menggugurkan pandangan teologis-alkitabiah-nya
tentang unsur roti dan anggur dalam Perjamuan Kudus. Semula, Nuban Timo
bersikukuh bahwa unsur roti dan anggur dalam Perjamuan Kudus dapat diganti
dengan bahan makanan lokal dan minuman lokal, ketika ia membenarkan penggunaan
“sayur marungga (daun kelor) rebus” dan “nira (air manis sadapan dari mayang
pohon lontar)” sebagai pengganti “roti dan anggur” yang dilakukan oleh salah
satu Pendeta Jemaat GMIT di Kabupaten Rote Ndao, Provinsi NTT. Baca artikel
saya: “Roti dan Anggur dalam Perjamuan Kudus – Tanggapan terhadap Opini Dr.
Eben Nuban Timo” (www.bianglalahayyom.blogspot.co.id
edisi Senin, 5 Maret 2017, yang dipublikasikan kembali pada Senin. 05 Maret
2018); serta “Roti dan Anggur diganti dengan Marungga rebus dan Nira Lontar
dalam Ibadah Perjamuan Kudus” (www.bianglalahayyom.blogspot.co.id
edisi Sabtu, 18 Maret 2017, yang dipublikasikan kembali pada Minggu, 04 Maret
2018).
Best Casino Online for 2021 - Dr.MCD
BalasHapusFind the best casino online for real 순천 출장마사지 money 2021. We give you the 통영 출장안마 best casino 광명 출장샵 bonuses, 광주 출장샵 games and services 동해 출장샵 to play for free.Payment Methods · Mobile Payment Options