(berpangkal pada
doa Musa, abdi Allah—Mazmur 90)
adonai ma`on 'atta
hayita lanu bedor wador.
« Tuhan,
Engkaulah tempat
perteduhan kami
turun temurun. »
Ayat ini pun
dapat diparafrasa:
« Tuhan,
Engkau adalah
tempat
pengungsian bagi kami
dari generasi ke
generasi. »
Kata kunci
adalah ma`on:
tempat
pengungsian,
tempat pelarian,
tempat
perteduhan; perlindungan.
Namun idealnya,
sebagai tempat tinggal
atau tempat
kediaman,
sebagai rumah
keramahan
yang tentu pada instansi pertama ideal
bagi umat Israel,
ketika sedang
dalam pengembaraan:
Tuhan adalah
tempat perteduhan,
yang bersuasana
aman
dan nyaman dalam
perlindungan,
bagi masa depan
umat panggilan
dan pilihan-Nya!
Mengapa
mengungsikan diri,
Mengapa
melarikan diri.
Mengapa mencari
tempat perteduhan bagi diri.
Yakinkah si
pengungsi (umat Israel)
akan hidupnya di
tempat
kediaman yang
baru selaku rumah
yang disediakan
Tuhan?
Sebegitu
parahkah kehidupan umat Israel
di tempat
kediaman sebelumnya?
Mazmur ini
adalah satu-satunya yang
ditulis nabi Musa
di penghujung
masa tugasnya
menuntun
pengungsian Israel
dari tempat
kediaman yang tertekan di Mesir.
Di kekinian-pada-tempo itulah umat Israel diberi
pemahaman baru,
penuh kekuatan
tapi bukan tanpa
keharuan.
Penuh arahan
tapi bukan tanpa
keluhan.
Penuh
bayang-bayang kegelapan
tapi bukan tanpa
pengharapan
Kekuatan tersebut
tersaring dalam
sebuah pengakuan
iman pada
ayat 1 dan
dipertegas dengan ayat
yang berikut. .... 'atta 'el. « Engkaulah Allah!
»
Keyakinan harus
dipegang!
Tapi tak boleh
lupa
kesulitan bukan
tak datang!
Kematian adalah
fakta
tapi kehidupan
bukan lepas makna!
Karena Mazmur ini adalah doa
atau nyanyian
doa Musa
sang lelaki
pengabdi Allah,
maka berarti
dalam doa,
Musa bernyanyi.
Dalam nyanyi,
Musa berdoa.
Tefilla le
mosheh 'ish ha 'Elohim.
Suatu nyanyian
doa penyerahan diri Musa
secara total
kepada Allah,
Suatu nyanyian
doa penyerahan diri yang total
bersama umat
kepada Allah,
yang diimani
tempat perteduhan yang kekal!
.........
'adonai ma`on 'atta
hayita lanu
bedor wador.
Engkau adalah, hayita,
Engkau bukan
hanya ada
tetapi terlebih
a d a yang
hidup!
Sang Ada yang hidup untuk menaungi
serta melindungi
demi sebuah masa
depan!
Kekuatan iman
nabi Musa
tampak deras
mengalir
meski bukan
tanpa pergulatan
lewat panasnya
tempaan padang pasir
serta kesulitan
air dan makanan.
Kematian demi
kematian anggota
keluaran seakan
mempertanyakan
tujuan exodus.
Itulah sebabnya
doa ini terasa
begitu mencekam
ketika ia renungkan,
Engkau
mengembalikan manusia
kepada debu, /tasheb
'enosh ad-dakka/.
Bayangkan: dalam
doa Musa, terlintas
bayangan
kematian. Bayangan kesedihan,
aneka bayangan
pahit
dan d e b u
sebagai ujung terpahit,
ia pahami
sebagai keniscayaan hidup:
Tak 'kan bisa
dihindari, harus dihadapi!
Hidup pada
akhirnya, hanya kembali
kepada debu dan
itu ditandaskan
lewat
kehendak-Nya: dan berkata,
kembalilah hai
anak-anak manusia.
/watomer shubu
benei 'adam./
Bagaimana
hebatnya h i d u p,
akhirnya harus
berakhir! Apalagi
kalau secara
tragis dan Israel harus
menangis. Terasa
hidup hanya untuk
menunggu
perintah waktu, di situ,
tanpa harus
bertanya, mengapa begitu!
Ya, betapa
gelisahnya hidup
ketika datang
perintah, k e m b a l i l a h
/shubu/
hai anak-anak
manusia
/benei-'adam./
Sampai dengan
ayat 10, Mazmur 90,
sangat menyiratkan
paparan keterbatasan
dan ketidakberdayaan
anak-anak manusia;
sementara dalam
ayat 9 tekanan pada
waktu yang
menyandera manusia:
Sungguh,
hari-hari kami /ki kol-yomenu/
seakan menuntun
sang nabi dan
umat yang ia
pimpin mau tak mau harus
menyerah,
pada saat Tuhan
berkehendak lain,
lantaran kemurkaan
bercampur kasih!
Inikah nasib
karena aib?
Kelihatannya
begitu!
Tetapi tak
seluruhnya seperti itu!
Masih ada celah
agar sinar kesadaran
menembus masuk
ke dalam perspektif iman.
Masih ada
peluang!
Ketika sang nabi
bertanya
tentang ujung keterbatasan
manusia.
Siapakah yang mengetahui: /mi-yodea`/who knows?/
Kelihatannya
sebuah pertanyaan yang
sulit untuk
dijawab! Sebab situasi
begitu mencekam.
Sudah sejauh itu
sang nabi dan
umat berjalan tetapi
Tanah Perjanjian
belum kelihatan
dan Musa belajar
mengajar bagaimana
dengan iman,
melampaui keterbatasan
melihat manusia,
walaupun tak semudah
seperti yang
dipikirkan:
siapakah yang mengetahui murka-Mu?
Kepada siapakah
Murka-Mu tertuju,
dan karena
apakah murka-Mu bangkit?
Suasana hati
berupa pergumulan batin dan emosi
begitu kian
memuncak dalam bentangan
nyanyian doa yang
hebat ini.
Sesaat ia
terdiam dalam sunyi malam
padang pasir,
malam pergumulan doa
yang ia
sampaikan kepada Tuhan,
ya, malam
dari malamnya
malam, dan ia teruskan
nyanyian doanya.
Kecapi masih di
tangannya.
Pertanyaan telah ia sudahi
dan ia tak ingin
menjawabnya sendiri
tetapi bersama
umat ia dengan tulus
meneruskan
doanya
...... … …
'adonai ma`on
'atta
hayita lanu
bedor wador
Pengakuan iman
pemazmur 90
lahir dari aneka
cobaan yang ditempuh
dengan taruhan
hati
yang bertahan
karena maut yang
menanti
silih berganti
sejak perjalanan
keluaran.
Setelah
pengakuan tersebut
paparan sebab
pergulatan terjawab
dengan begitu
mengemuka
meski hidup
cukup terluka
bahkan seakan
membebani
apa yang telah
diyakini
di sini
dalam nyanyian
doa sang nabi.
Ayat 12 terkesan
tak menyangkal
apa yang dikawal
alasan
perjalanan derita Israel
bahkan bisa
belajar sejarah
yang sarat
pengalaman pahit
tapi tak
terbantah berkat pun terkait:
« ajarlah kami menghitung-hitung
hari-hari kami sedemikian,
hingga kami beroleh hati
yang bijaksana. »
limenot yomenu
ken hoda`
wenabi' lebab
khokma
Kata kunci di
sini adalah
yomenu « hari-hari kami »
yomenu yang bagaimana?
yomenu ken « hari-hari kami sedemikian! »
Sedemikian pahit hari-hari kami
yang puncaknya
apalagi
kalau bukan
kegelisahan
terhadap
hari-hari kematian
yang sedemikian
tragis.
Ya, hari-hari
kami, yang secara tegas
dalam ayat 9
dikatakan, /sungguh
segala hari-hari
kami/ki-kol
yomenu/,
berlalu karena
gemas-Mu.
Itulah hari-hari
kematian
yang tak terhindarkan
yang dilukiskan dengan tajam
seperti dalam
ayat 3a,
«Engkau mengembalikan manusia
kepada debu.» tasheb 'enosh 'ad-dakka/
Mengapa? Sebab karena
dosa,
hari-hari kami dinilai
Tuhan
dalam kajian
sang Nabi sebatas hari kemarin
dan sebatas
giliran jaga di waktu
malam (ayat 4),
hari-hari tersebut seperti
mimpi, begitu
cepat, seperti rumput,
begitu segera
lisut
dan layu di
petang (ayat 5 dan 6).
Masa hidup kami 70 tahun, jika kuat 80 tahun,
kebanggaannya
adalah kesukaran
dan penderitaan,
lalu lenyap (ayat10).
Kemudian yang
menegangkan
pada ayat 11,
siapa yang mengenal gemas-Mu?
Berdasarkan
bentangan kesaksian
pergumulan
nyanyian doa nabi Musa
yang mencekam
ini, maka ayat 12 dari
Mazmur 90 dapat secara interpretatif
diterjemahkan,
"Ajarlah
kami merenungkan hari-hari
kematian kami,
agar kami beroleh
hati yang
berhikmat".
Dengan demikian,
maka kematian
yang setiap saat
mengintip
hari-hari
kehidupan manusia
haruslah tidak
sia-sia,
meski mencekam,
namun tetap
menjadi
hari-hari pembelajaran
yang sarat
kesadaran berhikmat
dalam keragaman
demi masa depan
kemanusiaan:
memohon
pengajaran yang sarat hikmat
melalui tuntunan Tuhan
agar kehidupan bertahan
bersama seluruh ciptaan.
… … … …
Kebutuhan
kemanusiaan global
Dalam dunia
kontemporer (pada masa kini; dewasa ini)
perlu
terus-menerus dikawal
yakni ma`on,
bukan saja sebagai
tempat
pengungsian atau tempat tinggal yang bernilai
tapi juga penuh
pesona mulia,
saling hormat
harkat sesama
meski berbeda
suku, warna kulit, serta agama!
Salah satu
kesulitan dunia saat ini
adalah masalah
jutaan pengungsi
di mana-mana,
bukan saja di Afrika
dan Timur Tengah
yang membanjir
ke Eropa dan
lain-lain tempat pengungsian di Asia,
tapi juga wabah covid-19
yang menjepit nadi
kehidupan umat
manusia hampir sedunia,
tak terkecuali nadi
kemanusiaan manusia di Indonesia,
yang tak kunjung
henti ditebari roh penistaan,
dendam, dan iri
hati yang disebarkan
oleh kelompok
radikalisme dan ekstremis
di tengah
bencana wabah virus corona
yang sedang
diupayakan penanggulangannya
yang entah kapan
mengalami stagnasi!
… … …
Oleh karena itu
renungan
nyanyian doa Mazmur
ini boleh
menjadi daya
kesadaran iman kita.
Puncak
pergumulan nyanyian doa
Mazmur ini
bagi kita di Indonesia
boleh ditandai dengan pengharapan
menyeluruh
merawat kehidupan,
dalam era new
normal—tatanan normal baru;
merasakan kemurahan
Tuhan,
sambil saling
bergandengan tangan
dalam kedamaian
dan saling pengertian
kita bangun,
rawat, dan jaga negeri tercinta ini, Indonesia,
… … …
selaku wujud
angan
yang teguh
tertuntun di padang gurun perjuangan membangun bangsa,
menuju tanah
perjanjian kejayaan bangsa:
meski bukan
tanpa tantangan baru!
Karena kanji-panji radikalisme dan ekstremisme
terus dikibarkan di mana-mana!
"Kiranya
kemurahan Tuhan, Allah kami,
atas kami, dan
teguhkanlah perbuatan
tangan kami, ya,
perbuatan tangan kami,
teguhkanlah
itu"
Itulah juga
makna nyanyian doa
pengakuan iman
nabi Musa:
'adonai ma`on
'atta
hayita lanu
bedor wador
« Tuhan, Engkaulah
tempat
pengungsian kami,
turun-temurun. »
Intinya, bagi
Israel di bawah tuntunan Musa keluar dari Mesir
pada zaman
baheula membutuhkan ma`on,
Dalam konteks
bangsa Indonesia,
yang bineka
warganya, tak bisa hidup tanpa ma`on.
maka menghargai
hidup serta kehidupan,
menghargai
manusia serta kemanusiaan,
adalah landasan
iman dan ibadah sejati bagi semesta
kemanusiaan
yang memuliakan
keagungan Allah.
Kapan lagi, kita
bisa menjadi
tempat
pengungsian yang aman
bagi tetangga
dan sesama kita?
Atau kita
sendiri menjadi penyebab
tetangga dan
sesama kita yang
terstigma
minoritas
hanya karena
berbeda warna kulit,
landasan iman, dan
lain-lain,
terpinggirkan
dan terusir
tanpa kehidupan
masa depan
yang jelas,
turun temurun? Amin!
Kupang – Bogor;
Bogor-Kupang, 31
Mei 2020
Renungan bersama
antara
A. G.
Hadzarmawit Netti
dan Pdt
(Emeritus) ABE Poli, M.Th.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar