A. G.
Hadzarmawit Netti
HARIAN
PAGI KUPANG Timor Express edisi Sabtu, 6 April 2019 memuat dua berita utama
pada halaman pertama di bawah judul, “Lagi,
Pelantikan di Hari Minggu” dan “Ketua
Sinode Keberatan”. Judul berita pertama menguraikan tentang aktivitas Gubernur
Provinsi Nusa Tenggara Timur di bawah kepemimpinan Viktor Bungtilu Laiskodat
telah tiga kali melakukan pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Kepala Daerah pada
hari Minggu. Pertama, pelantikan
Bupati dan Wakil Bupati Nagekeo pada hari
Minggu, 23 Desember 2018; kedua,
pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Alor pada hari Minggu, 17 Maret 2019; ketiga, pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Kupang dan Ende, serta
pelantikan Bupati Ngada pada hari Minggu, 7 April 2019. Kemudian, judul berita kedua menguraikan
tentang Ketua Sinode GMIT, Dr. Mery Kolimon keberatan atas aktivitas
pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Kepala Daerah yang dilakukan oleh Gubernur
pada hari Minggu.
Saya
kutip beberapa statemen berikut ini: “Ketua Sinode GMIT, Pdt. Dr. Mery Kolimon
kukuh pada pendiriannya menolak pelantikan kepala daerah atau acara
pemerintahan lainnya pada hari Minggu. Kendati demikian tidak ada surat resmi
yang dikeluarkan Sinode GMIT. Pdt. Mery mengatakan, surat tidak setuju akan
rencana pemerintah untuk melantik kepala daerah yang dilaksanakan pada hari
Minggu tidak ada. Namun, kata Pdt. Mery, Sinode GMIT tetap pada sikap yang
telah disampaikan, yakni menolak pelantikan kepala daerah yang dilakukan pada
hari Minggu. Sebaiknya semua kegiatan seremonial pemerintahan lainnya tidak
dilakukan pada hari Minggu yang telah ditetapkan sebagai hari libur resmi di
Indonesia. …Hari Minggu juga merupakan hari beribadah umat kristen, karena itu
acara pemerintahan sebaiknya dilakukan di salah satu hari kerja resmi
pemerintah. Mari kita saling menjaga dan menghargai apa yang telah ditetapkan,
dimana hari Minggu merupakan hari libur resmi di Republik Indonesia dan hari
beribadah umat Kristen.” Demikianlah pernyataan Pdt. Mery Kolimon selaku Ketua
Sinode GMIT yang saya kutip secara bebas.
Berkenaan
dengan keberatan Ketua Sinode GMIT sebagaimana dikutip di atas, Gubernur NTT
Viktor Bungtilu Laiskodat menegaskan—sebagaimana tertulis di koran Timor
Express: “tidak masalah pelantikan dilaksanakan pada hari Minggu.
Agenda pemerintahan ini dilaksanakan dengan tanpa mengganggu ibadat umat
kristen. Apalagi seremoni pelantikan di bawah kepemimpinan Viktor berbeda
dengan kepemimpinan sebelumnya. Viktor tidak membutuhkan waktu lama untuk
melantik para kepala daerah. Karena tanpa sambutan yang bisa memakan waktu
paling lama. Karena itu, semua yang hadir hanya berdiri. Tidak ada kursi yang
disiapkan” (in.loc.cit.). Mengenai
aktivitas Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat dan statemen Ketua Sinode GMIT,
Dr. Mery Kolimon sebagaimana dikutip di atas, telah timbul pendapat pro-kontra di kalangan sejumlah warga GMIT.
Sebelum
mempertimbangkan aktivitas Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat melakukan
pelantikan pejabat pada hari Minggu dan keberatan Ketua Sinode GMIT, Dr. Mery
Kolimon atas aktivitas Gubernur pada hari Minggu, saya ingin mengajak pembaca
yang beragama kristen umumnya, teristimewa warga GMIT untuk memperhatikan Injil
Lukas 14:1-6. Judulnya, Lagi penyembuhan pada hari Sabat, serupa
dengan judul berita utama [petama] di koran Timor Expres: Lagi, Pelantikan di Hari Minggu. Berita
yang tertulis dalam Lukas 14:1-6 intinya: “Yesus berkata kepada ahli-ahli
Taurat dan orang-orang Farisi: ‘Diperbolehkankah menyembuhkan orang pada hari
Sabat atau tidak?’” Tidak ada seorang pun yang menyahut. Lalu Yesus memegang
tangan orang yang sakit itu dan menyembuhkannya… Kemudian Yesus berkata kepada
ahli Taurat dan orang Farisi: ‘Siapakah di antara kamu yang tidak segera
menarik ke luar anaknya atau lembunya kala terperosok ke dalam sebuah sumur,
meskipun pada hari Sabat?’”
Teks
kedua yang perlu diperhatikan juga ialah Injil Lukas 13:10-17. Inti beritanya:
“Di salah satu rumah ibadah pada hari Sabat, Yesus menyembuhkan orang sakit. Kepala
rumah ibadah gusar karena Yesus menyembuhkan
orang pada hari Sabat, lalu kepala rumah ibadah itu berkata kepada orang
banyak: ‘Ada enam hari untuk bekerja. Karena itu datanglah pada salah satu hari
itu untuk disembuhkan dan jangan pada hari Sabat.’ Tetapi Yesus menjawab: ‘Hai
orang-orang munafik, bukankah setiap orang di antaramu melepaskan lembunya atau
keledainya pada hari Sabat dari kandangnya dan membawanya ke tempat minuman?’
…. Semua lawan Yesus merasa malu”. Cukup saya kutip dua teks dari Injil Lukas
itu sebagai bahan refleksi berkenaan dengan aktivitas Gubernur Viktor Bungtilu
Laiskodat melantik pejabat pada hari Minggu untuk dicermati dalam hubungannya
dengan keberatan Ketua Sinode GMIT atas aktivitas pelantikan pejabat pada hari
Minggu yang dilakukan oleh Gubernur.
Ditinjau
dari sudut pandang pengambilan keputusan
etis-teologis-injili dan faktor-faktor yang mendasarinya, sesungguhnya
pengambilan keputusan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat melantik Bupati dan
Wakil Bupati pada hari Minggu tidak bertentangan dengan iman kristen;
bahkan aktivitas pelantikan Bupati yang dilakukan oleh Gubernur pada hari
Minggu itu memperoleh pembenaran dalam
sikap dan pengambilan keputusan Yesus melakukan penyembuhan orang sakit pada
hari Sabat. Pengambilan keputusan Gubernur melantik Bupati-Wakil Bupati pada
hari Minggu, 7 April 2019 itu tergolong pada etika tanggung jawab, demi efisiensi pemanfaatan waktu dan biaya,
serta kelancaran pelaksanaan tugas dan
kewajiban, bukan saja bagi Gubernur, melainkan juga bagi pejabat yang dilantik.
Jadi, ada manfaat dalam pengambilan
keputusan Gubernur yang harus dicamkan oleh semua orang. Mengenai etika
tanggung jawab, baca saja buku Pengambilan
Keputusan Etis Dan Faktor-Faktor Di Dalamnya (Malcolm Brownlee. BK Gunung
Mulia. Kwitang 22 – Jakarta Pusat 1981).
Lalu,
bagaimana pula dengan pendapat: hari
Minggu adalah hari libur dan hari ibadah umat kristen, karena itu aktivitas
pelantikan pejabat tidak boleh dilakukan pada hari Minggu, sebagaimana
dikemukakan oleh Dr. Mery Kolimon? Jawaban bernada penolakan atas pendapat ini
tersirat dalam pernyataan Yesus: “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang,
maka Aku pun bekerja juga” (Yohanes 5:17). Pernyataan ini Yesus tujukan
kepada orang-orang Yahudi, ketika Yesus menyembuhkan orang sakit pada hari
Sabat di kolam Betesda. Dengan demikian, hari Minggu bagi umat kristen yang
menyembah Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, tidak melulu hari ibadah secara
konvensional, tetapi juga hari ibadah budi, atau hari ibadah kerja secara
bertanggung jawab. Hal-hal apa saja yang sangat urgen dan penting, serta
bermanfaat, dapat dilakukan oleh pemerintah, bahkan setiap orang, pada hari
Minggu; sebab Allah yang menyatakan presensi-Nya di dalam Yesus Kristus, dengan
perantaraan Roh Kudus senatiasa bekerja sepanjang
waktu, sepanjang hari, dan setiap hari Minggu: bukan saja terbatas pada jam
ibadah konvensional di gedung kebaktian, melainkan pada jam-jam ibadah budi
atau ibadah kerja pada jam-jam sebelum maupun sesudah jam ibadah konvensional
di luar gedung kebaktian, misalnya di rumah tempat tinggal, di jalan raya, di
pasar, di pelabuhan, di kantor.dinas/jawatan, di lokasi bencana dan sebagainya
Selanjutnya,
pandangan dan sikap Ketua Sinode GMIT, Dr. Mery Kolimon yang keberatan
atas aktivitas pelantikan pejabat pada hari Minggu dengan alasan hari Minggu adalah hari libur resmi di
Indonesia dan merupakan hari ibadah umat kristen, pada hakikatnya juga senapas dan senada dengan para ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang tidak
setuju dengan aktivitas Yesus menyembuhkan orang sakit pada hari Sabat. Keberatan Ketua Sinode GMIT, Dr. Mery Kolimon senapas dan senada juga dengan kegusaran kepala rumah ibadah; serta alasan Dr. Mery Kolimon yang
disampaikan kepada Gubernur agar pelantikan pejabat tidak boleh dilakukan
pada hari Minggu, sesungguhnya identik
dengan pernyataan kepala rumah ibadah dalam Lukas 13:14b: “Ada enam hari untuk bekerja. Karena itu
datanglah pada salah satu hari itu untuk disembuhkan dan jangan pada hari
Sabat”.
Ditinjau
dari sudut pandang pengambilan keputusan-etis-teologis-alkitabiah dan
faktor-faktor di dalamnya, keberatan Ketua Sinode GMIT, Dr. Mery Kolimin atas
aktivitas pelantikan pejabat yang dilakukan oleh Gubernur pada hari Minggu mencerminkan
dan/atau merefleksikan pemahaman dan
sikap para ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang secara fanatik menjunjung etika kewajiban berlandaskan hukum Taurat. Etika
kewajiban senantiasa bernada: jangan
begitu; harus begini, dan wajib ditaati dan dilakukan tanpa reserve. Terkait
dengan etika kewajiban berlandaskan hukum
Taurat ini, pernyataan rasul
Paulus yang tertulis dalam 2 Korintus 3:6c patut dicamkan: “sebab
hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan.” Mengenai etika kewajiban, baca juga buku Malcolm Brownlee yang telah
disebutkan di atas.
Dan
Roh yang menghidupkan itu tersirat di dalam kabar suka cita yang dibawa oleh
Yesus ke dalam dunia. Roh yang menghidupkan itu telah diproklamasikan pada hari pertama (hari kerja)—sesudah hari Sabat umat Yahudi—yaitu hari Minggu, hari kebangkitan Yesus yang memerdekakan kita.
Di dalam kemerdekaan yang Yesus hadirkan bagi kita yang berimankan Dia, kita
dipanggil untuk hidup secara bertanggung jawab di dalam setiap segi kehidupan.
Di dalam kebebasan dan tanggung jawab yang dihadirkan oleh Roh Kristus,
aktivitas yang bermanfaat bagi banyak orang atau bagi siapa saja tidak hanya melulu dilakukan pada hari Senin sampai Sabtu, melainkan dapat juga dilakukan pada hari Minggu, yang disebut
hari libur dan hari ibadah umat
kristen. Sadarkah kita bahwa Pawai Paskah yang kita rayakan pada hari Senin—sesudah
perayaan Paskah pada hari Minggu itu—pada hakikatnya adalah hari
kerja? Meskipun demikian tidak ada siapapun yang mengkritik dan
mengemukakan keberatan secara terbuka terhadap umat kristen yang melakukan
pawai Paskah pada hari Senin.
Mempertimbangan
wedaran di atas ini, Ketua Sinode GMIT seharusnya dapat mengendalikan diri agar
tidak berkomentar tanpa landasan etis-teologis-injili
yang bernas dan mendalam atas aktivitas Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat
yang melantik Bupati dan Wakil Bupati pada hari Minggu. Berdasarkan tinjauan di
atas ini maka saya dapat berkata begini: aktivitas pelantikan Bupati dan wakil
Bupati yang dilakukan oleh Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat pada hari
Minggu memiliki landasan pengambilan keputusan etis-teologis-injili yang dapat dipertanggungjawabkan dan
dibenarkan.
Mengakhiri
tulisan ini saya ingin menggugah Ketua Sinode GMIT dan para pendeta untuk
mencermati pandangan brilian seorang teolog protestantisme terkemuka abad
ke-20, yakni Karl Barth yang mengatakan begini: “God reigns not only in the
ministerial house but also in this more worldly street; not only in the Church
but also among all these people who are picking grapes and will drink on Sunday
and will dance. God is also among our soldiers, among our national councilors
and among all this nation. They all certainly in the hands of God and God is ever the same. These people
are different, and we too are different. But one thing is true: whatever
happens in the world, it is God who reigns in Jesus Christ. Often one believes
it. Often also one is at pain to believe it. The essential thing is that this
is true.
It
is important that we take the Church seriously. But we must not take
ourselves too seriously as ministers. Do not fancy that in your parish you are God’s angel with the flaming
sword! You are just a simple
minister permitted to preach the good news. Be sure that there are other “angels” (that is, messengers)
than you! They may be very odd angels,
but they are angels! Tell yourself: I will do my best but at the same time I know that the coming of the
Kingdom does not depend on me. It is not I who ought to accomplish
everything. All is accomplished. My mense is not a little island of peace and
justice in a sea of injustice…”
(The Faith Of The Church—Karl Barth—A
Commentary on the Apostles’ Creed. Collins, Fontana Books. September 1964,
hlm. 121).
Pandangan
Karl Barth yang dikutip di atas ini saya tujukan kepada para pendeta GMIT yang
telah menyelesaikan pendidikan tinggi strata
satu, dua, dan tiga, yang niscaya—di era pedagogi modern ini—sudah sangat
fasih dan menguasai bahasa Inggris. Karena itu, saya tidak perlu menerjemahkan kutipan di atas ini ke dalam bahasa
Indonesia. Berdasarkan pandangan Karl Barth sebagaimana dikutip di atas ini,
saya berharap semoga Gereja dan Pendeta (dalam konteks ini, GMIT dan Ketua
Sinode GMIT) sebagai “malaikat” (utusan
Allah) yang mewartakan Injil keselamatan di dalam Yesus Kristus dapat
melihat, memaklumi, dan mengapresiasi Pemerintah Daerah Provinsi NTT (dalam
konteks ini, Gubernur Kepala Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur) sebagai “malaikat”
(utusan Allah) yang mengemban tugas-tugas pembangunan dalam arti luas, demi
kemaslahatan masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar