Oleh: A. G.
Hadzarmawit Netti
Catatan
pengantar
Artikel
ini telah saya kirim kepada Presiden Republik Indonesia—c.o., Dr. Moeldoko, Kepala
Staf Kepresidenan RI pada tanggal 18 Juli 2019. Maksud dan tujuan saya ialah:
semoga artikel ini dapat menjadi ‘CERMIN” refleksi berkenaan dengan perjalanan
bangsa dan negara ke depan. Yang diwedarkan dalam artikel ini yakni: vibrasi
sejarah; luas siklus vibrasi sejarah; vibrasi kepeloporan dan luas siklus
vibrasi kepeloporan tokoh sejarah dalam eksistensi bangsa Indonesia antara tahun
1908 sampai tahun 2024, di mana secara khusus vibrasi kepeloporan Presiden Joko
Widodo masa bakti 2014 – 2019 dan 2019 – 2024 telah saya ketahui dan umumkan
melalui media cetak dan media internet: www.bianglalahayyom.blogspot.co.id [baca di sini] edisi 03 Juli
2014 (enam hari sebelum pemilihan presiden diselenggarakan pada 09 Juli 2014). Setelah mencermati susunan personalia Menteri
Kabinet Indonesia Maju masa bakti 2019 – 2024 di bawah kepemimpinan Presiden
Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, yang visi dan misinya selaras
dengan vibrasi yang tersirat dalam “Kesimpulan” di bagian akhir artikel
ini, maka artikel yang telah saya kirim kepada Presiden Republik
Indonesia tertanggal 18 Juli 2019 itu saya unggah di blog www.bianglalahayyom.blogspot.co.id agar dapat
dimaklumi oleh siapa saja dari belahan bumi mana pun yang menyinggahi blog ini.
Wedaran dalam artikel
ini sangat berkaitan erat bahkan tidak terpisahkan dari hasil penelitian yang telah
saya uraikan dalam buku, Vibrasi Sejarah Pergerakan Kemerdekaan dan Vibrasi
Eksistensi Bangsa Indonesia (B. You Publishing Surabaya 2010). Karena
itu, buku yang disebutkan ini sebaiknya dibaca terlebih dahulu agar vibrasi
sejarah dan vibrasi kepeloporan tokoh sejarah dalam eksistensi bangsa Indonesia
yang diwedarkan secara garis besar dalam artikel ini dapat dipahami secara
lebih baik.
Bagian pertama: Vibrasi
sejarah (siklus vibrasi dan luas siklus vibrasi tonggak
sejarah)
antara tahun
1908 sampai tahun 1998/1999
(1)
Tahun 1908 tercatat sebagai tonggak sejarah Kebangkitan
Nasional. Luas siklus vibrasi Kebangkitan Nasional tahun 1908 adalah 1+9+0+8 = 18 (1+8) = 9. Apabila angka
tahun 1908 dijumlahkan dengan angka 9 secara terus-menerus maka luas siklus
vibrasi tahun 1908 akan mencapai kulminasinya pada tahun 1998. Kalau pada tahun
1908 tercetus vibrasi Kebangkitan Nasional sebagai tonggak awal sejarah
pergerakan kemerdekaan bagi eksistensi bangsa Indonesia pada awal abad ke-20,
maka pada tahun 1998 tercetus vibrasi reformasi terhadap eksistensi bangsa Indonesia
pada akhir abad ke-20 sebelum bangsa Indonesia memasuki abad ke-21.
(2)
Tahun 1928 tercatat sebagai tonggak sejarah Sumpah
Pemuda yang mengikrarkan semangat satu bangsa, satu bahasa, satu tanah air
yaitu Indonesia. Luas siklus vibrasi Sumpah Pemuda tahun 1928 adalah 1+9+2+8 =
20 (2+0) = 2. Apabila angka tahun 1928 dijumlahkan dengan angka 2 secara
terus-menerus maka siklus vibrasi tahun 1928 mencapai tahun 1948 yang di
dalamnya tersirat vibrasi disintegrasi bangsa. Pada tahun 1948 vibrasi
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia mengalami ujian dan tantangan yang
berat, akan tetapi ternyata eksistensi bangsa Indonesia tetap mempertahankan vibrasi
persatuan dan kesatuan bangsa. Apabila perhitungan terus dilanjutkan yaitu 1948
+ 2 dan seterusnya, maka siklus vibrasi Sumpah Pemuda tahun 1928 akan mencapai
tahun 1968 yang di dalamnya tersirat vibrasi eksistensi bangsa Indonesia yang
bersatu di awal tonggak sejarah Orde Baru ketika MPRS menetapkan dan melantik
Jenderal Soeharto menjadi Presiden RI, setelah vibrasi G-30-S/PKI mengalami
stagnasi di bawah vibrasi kepeloporan Soeharto, kemudian menjadi pemegang SP 11
Maret 1966. Dan apabila perhitungan dilanjutkan terus yaitu 1968 + 2 dan
seterusnya, maka luas siklus vibrasi Sumpah Pemuda tahun 1928 akan mencapai
kulminasinya pada tahun 1998, yaitu tahun munculnya vibrasi reformasi
eksistensi bangsa Indonesia pada akhir abad ke-20 yang sudah jenuh terhadap
vibrasi kepeloporan Soeharto yang telah menjadi presiden RI selama 30 tahun
antara tahun 1968 sampai tahun 1998. Pada tahun 1998, ketika vibrasi reformasi
terjadi begitu dahsyat, ternyata vibrasi Sumpah Pemuda tahun 1928 tidak
mengalami stagnasi. Vibrasi Semangat Sumpah Pemuda tahun 1928 tetap
mempertahankan eksistensi bangsa Indonesia
yang bersatu pada tahun 1998 (akhir abad ke-20) sekalipun pada waktu itu timbul vibrasi
disintegrasi bangsa yang merembes ke tahun-tahun awal abad ke-21.
(3)
Tahun 1945 tercatat sebagai tahun kemerdekaan
bangsa Indonesia yang
diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Luas siklus vibrasi eksistensi
kemerdekaan bangsa Indonesia tahun 1945 adalah 1+9+4+5 = 19 (1+9) = 10 (1+0) =
1. Luas siklus vibrasi eksistensi kemerdekaan bangsa Indonesia berdasarkan
analisis ini menyiratkan dua makna. Pertama,
makna vibrasi eksistensi kemerdekaan bangsa Indonesia dapat muncul dan
dirasakan atau dialami dalam luas siklus vibrasi sepuluh tahunan. Kedua, makna
vibrasi eksistensi kemerdekaan bangsa Indonesia berlangsung secara alamiah dari
tahun ke tahun berdasarkan segala dinamika vibrasi dan romantika vibrasi politik
yang berkembang dari tahun ke tahun. Analisis bagian pertama sangat menarik
untuk diperhatikan. Apabila vibrasi eksistensi kemerdekaan bangsa Indonesia
tahun 1945 dijumlahkan dengan angka 10 yaitu skor luas siklus vibrasi
eksistensi kemerdekaan bangsa Indonesia, maka hasil penjumlahannya adalah 1955. Peristiwa yang muncul pada tahun 1955
adalah Pemilihan Umum yang menggunakan sistem demokrasi liberal, dimana
pemilihan anggota DPR diikuti oleh 118 partai politik atau gabungan atau
perseorangan. Apabila luas siklus vibrasi eksistensi kemerdekaan tahun 1945
dilanjutkan terus dengan menambahkan angka 10 sesudah tahun 1955 maka hasilnya
adalah 1965. Peristiwa apa yang terjadi pada tahun 1965? Pada tahun 1965
terjadi G-30-S/PKI yang merongrong eksistensi kemerdekaan bangsa Indonesia.
Apabila perhitungan dilanjutkan lagi maka siklus vibrasi eksistensi kemerdekaan
akan muncul pada tahun 1975, yaitu Timor Timur direbut oleh Pemerintah
Indonesia dan dihisabkan ke dalam wilayah kedaulatan RI. Jika perhitungan
dilanjutkan maka siklus vibrasi kemerdekaan RI bermuara pada tahun 1995, yaitu
tahun eksistensi kemerdekaan RI yang genap berusia 50 tahun. Apabila perhitungan
terus dilanjutkan, yaitu 1995+10 maka hasilnya akan bermuara pada tahun 2005,
tahun penandatanganan perdamaian Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah
Indonesia, sehingga Aceh tidak lagi menjadi Daerah Operasi Militer karena ingin
memisahkan diri dari NKRI.
Catatan
sisipan: Ketika
bangsa Indonesia akan merayakan “Tahun Emas Kemerdekaan” pada 17 Agustus 1995,
Buletin Akademi Leimena Jakarta
Vol.1/Th. I, Edisi Juli 1995 bertema
“Nasionalisme Memasuki Milenium Ketiga” memuat artikel saya berjudul “Presensi
dan Doa bagi Negeri Berwajah Cerah”.
Artikel itu diterbitkan bersama-sama dengan artikel-artikel yang ditulis oleh
Siswono Yudohusodo, Laksamana Madya TNI A. Hartono, Prof. Dr. Midian Sirait,
John Pieris, SH., MS., dan Dr. Phil. J. Garang.
Enam orang Indonesia inilah yang pertama kali merenungkan “Nasionalisme
Indonesia memasuki milenium ketiga”, masing-masing menurut kepakarannya. Melalui artikel berjudul “Presensi dan Doa
bagi Negeri Berwajah Cerah” , pada tahun 1995 saya sudah memperoleh petunjuk
berdasarkan teori vibrasi sejarah yang saya tekuni bahwa “menjelang akhir abad
ke-20 bangsa Indonesia akan mengalami kerusuhan besar. Dalam membayangkan
kerusuhan besar yang bakal terjadi itu saya berdoa: “Ya, TUHAN! Berikanlah
kepada bangsa Indonesia keberanian setajam pedang untuk mempertahankan republik
ini!” Dan ternyata, tiga tahun setelah
bangsa Indonesia merayakan tahun
emas kemerdekaannya pada 17 Agustus 1995, mulai tahun 1996, 1997 terjadi
berbagai kerusuhan di berbagai daerah yang akhirnya memuncak dalam kerusuhan besar yang terjadi di Jakarta,
bertepatan dengan gerakan reformasi yang berhasil menumbangkan kekuasaan
Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998!
(4)
Vibrasi tahun 1955, tahun dilaksanakannya Pemilihan Umum pertama setelah
kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, memiliki skor
luas siklus vibrasi 2 yang diperoleh dari penjumlahan angka tahun 1955 (1+9+5+5
= 20; 2+0 = 2). Jika angka tahun 1955
dijumlahkan secara terus-menerus dengan angka 2 maka hasilnya adalah 1965,
tahun terjadinya G-30-S/PKI; angka tahun 1965 dijumlahkan lagi dengan angka 2
secara terus-menerus maka hasilnya adalah 1975, yaitu Timor Timur direbut oleh
pemerintah Indonesia; dan jika dijumlahkan lagi dengan angka 2 secara
terus-menerus maka hasilnya adalah 1999, tahun terjadinya Pemilihan Umum menjelang akhir abad ke-20 yang diikuti oleh
48 Partai Politik, setelah reformasi tahun 1998 yang berhasil menumbangkan kekuasaan
Presiden Soeharto. Tahun 1999 juga merupakan tahun terlepasnya Timor Timur dari
NKRI.
(5)
Vibrasi tahun 1965, tahun terjadinya G-30-S/PKI sekaligus vibrasi kepeloporan
Soeharto berhasil meredam vibrasi G-30-S/PKI, memiliki luas siklus vibrasi 3
yang diperoleh dari penjumlahan angka tahun 1965 (1+9+6+5 = 21; 2+1= 3). Jika
angka tahun 1965 dijumlahkan secara terus-menerus dengan angka 3 maka hasilnya
adalah 1968, tahun pelantikan Soeharto menjadi Presiden RI oleh MPRS. Jika
angka tahun 1968 dijumlahkan lagi dengan angka 3 secara terus-menerus maka
hasilnya adalah 1974, tahun terjadinya kerusuhan besar di Jakarta pada bulan
Januari yang terkenal dengan sebutan Peristiwa Malari. Kemudian jika angka
tahun 1974 dijumlahkan lagi secara terus-menerus dengan angka 3 maka hasilnya
adalah 1998, tahun terjadinya gerakan reformasi—dan juga kerusuhan besar di Jakarta—yang
menumbangkan kekuasaan Soeharto.
(6)
Vibrasi tahun 1966, Suharto sebagai pemegang SP 11 Maret 1966, memiliki luas
siklus vibrasi 4 yang diperoleh dari penjumlahan angka tahun 1966 (1+9+6+6 =
22; 2+2 = 4). Jika angka tahun 1966 dijumlahkan terus dengan angka 4 maka hasilnya
adalah tahun 1974 (terjadinya Peristiwa
Malari); kemudian jika penjumlahan dilakukan terus-menerus dengan angka 4
hasil akhirnya adalah 1998, tahun terjadinya gerakan reformasi—dan juga
kerusuhan besar di Jakarta—yang menumbangkan kekuasaan Soeharto.
(7)
Vibrasi tahun 1968, Soeharto ditetapkan dan dilantik oleh MPRS menjadi Presiden
lima tahun-an, memiliki luas siklus vibrasi 6 yang diperoleh dari penjumlahan
angka tahun 1968 (1+9+6+8 = 24; 2+4 = 6). Jika angka tahun 1968 dijumlahkan dengan
angka 6 maka hasil adalah 1974 (terjadinya Peristiwa
Malari); jika penjumlahan dilakukan terus-menerus dengan angka 6 maka hasil
akhirnya adalah 1998, tahun terjadinya gerakan reformasi—dan juga kerusuhan
besar di Jakarta—yang menumbangkan kekuasaan Soeharto.
(8)
Vibrasi tahun 1974, tahun terjadinya kerusuhan besar di Jakarta yang terkenal
dengan sebutan Peristiwa Malari, memiliki luas siklus vibrasi adalah 3 yang
diperoleh dari penjumlahan angka tahun 1974 (1+9+7+4 = 21; 2+1 = 3). Jika angka
tahun 1974 dijumlahkan secara terus-menerus dengan angka 3 maka hasil adalah
1995 (tahun kemerdekaan Indonesia genap 50 tahun); dan jika penjumlahan dengan
angka 3 dilanjutkan lagi maka hasilnya adalah 1998, tahun terjadinya gerakan
reformasi—dan juga kerusuhan besar di Jakarta—yang menumbangkan kekuasaan
Soeharto.
(9)
Vibrasi tahun 1975, tahun terjadinya perang Timor Timur dan pemerintah RI
merebut Timor Timur ke dalam wilayah kedaulatan RI. Tahun 1975 memiliki luas
siklus vibrasi 4 yang diperoleh dari penjumlahan angka tahun 1975 (1+9+7+5 = 22; 2+2 = 4). Jika angka
tahun 1975 dijumlahkan secara terus-menerus dengan angka 4 maka hasilnya adalah
1995 (tahun kemerdekaan Indonesia genap 50 tahun); dan jika penjumlahan dengan
angka 4 dilanjutkan lagi maka hasilnya adalah 1999 (tahun Timor Timur terlepas
dari kekuasaan Pemerintah RI). Catatan
sisipan: Mengenai Timor Timur
terlepas dari NKRI menjelang akhir tahun 1999, pada 8 Februari 1999 Koran POS KUPANG, NTT memuat artikel saya
berjudul “Pergolakan Timor Timur menurut teori vibrasi”. Berkenaan dengan dua
opsi tentang Timor Timur yang dikeluarkan oleh Presiden B. J. Habibie pada
waktu itu, saya katakan bahwa menurut teori vibrasi Timor Timur akan terlepas dari
NKRI. Dan terbukti menjadi kenyataan menjelang akhir tahun 1999.
Berdasarkan sembilan butir catatan mengenai
siklus vibrasi dan luas siklus vibrasi tonggak sejarah dan vibrasi peristiwa
penting antara tahun 1908 sampai tahun 1999 sebagaimana dipaparkan di atas kita
dapat melihat kekuatan vibrasi sejarah yang
tersirat dalam tahun-tahun peristiwa yang tercatat sebagai peristiwa sejarah
yang penting.
Bagian kedua: Vibrasi
kepeloporan tokoh sejarah dalam eksistensi bangsa Indonesia antara tahun 1908
-- 2024
Di
dalam tahun-tahun peristiwa sejarah pada hakikatnya tersirat vibrasi kepeloporan setiap tokoh yang
terkait langsung dengan peristiwa-peristiwa sejarah. Vibrasi kepeloporan tokoh
sejarah dapat dideteksi. Sebagaimana dokter dapat mendeteksi dan mendengarkan
bunyi kerja alat tubuh dalam rongga dada (terutama bunyi paru-paru dan jantung)
dengan sebuah alat yang disebut stetoskop; atau sebagaimana kekuatan getaran
gempa bumi dapat diukur dan direkam dengan sebuah alat yang disebut
seismometer; atau sebagaimana kebohongan dapat dideteksi dengan alat yang
disebut lie-detector, demikian pula vibrasi kepeloporan seseorang dalam
kaitannya dengan sesuatu aktivitas dapat dideteksi oleh seorang pionir teori
vibrasi kepeloporan. Di bawah ini saya wedarkan hasil deteksi vibrasi kepeloporan beberapa tokoh sejarah terkemuka dalam
eksistensi bangsa Indonesia.
Pertama, Aktivitas
perjuangan Soekarno di pentas politik pada masa pergerakan kemerdekaan mulai tahun 1925, 1926, 1927, 1928 sampai
kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 memiliki skor
vibrasi kepeloporan 120. Ini merupakan skor vibrasi kepeloporan batas atas yang
normal; sedangkan skor vibrasi kepeloporan batas bawah yang normal adalah 80. Vibrasi kepeloporan Soekarno sebagai Presiden
RI antara tahun 1945 – 1955 memiliki skor 90/100. Vibrasi kepeloporan Soekarno
sebagai Presiden RI antara tahun 1955 – 1965 memiliki skor 80/90 ketika terjadi
peristiwa G-30-S/PKI. Dan mulai tahun 1966/1967 vibrasi kepeloporan Soekarno mengalami stagnasi sampai wafat pada tahun
1970.
Kedua, Aktivitas
perjuangan Mohammad Hatta pada zaman pergerakan kemerdekaan mulai tahun
1926/1927 sampai kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus
1945 memiliki skor vibrasi kepeloporan sebesar 90/100. Vibrasi
kepeloporan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden RI antara tahun 1945 - 1950 memiliki
skor 80.
Vibrasi kepeloporan Mohammad Hatta mengalami stagnasi karena faktor
ketidakharmonisan dengan vibrasi kepeloporan Soekarno sehingga akhirnya Mohammad
Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden pada tahun 1956.
Ketiga, Vibrasi
kepeloporan Soeharto muncul secara kuat pada tahun 1949. Skor vibrasi
kepeloporannya pada waktu itu 90. Skor vibrasi kepeloporan
Soeharto muncul lagi pada tahun 1962 dan meningkat menjadi 90/100 pada tahun 1962 sampai 1965.
Pada tahun 1966 sampai 1968 skor vibrasi kepeloporan Soeharto mencapai 100/110. Pada tahun 1968 sampai 1978 vibrasi
kepeloporan Soeharto mulai mengalami degradasi sehingga skornya menjadi 90/100.
Kemudian pada tahun 1978 – 1988
skor vibrasi kepeloporan menurun menjadi 80/90; dan pada tahun 1988 – 1998
(bulan Maret), skor vibrasi kepeloporan
Soeharto sebesar 70/80 ; setelah itu mengalami stagnasi pada 21 Mei 1998
lantaran dahsyatnya guncangan vibrasi reformasi.
Keempat, Vibrasi
kepeloporan yang sangat menentukan Soeharto tumbang dari kekuasaannya sebagai
presiden yang terpilih pada Sidang Umum MPRS bulan Maret 1998 adalah vibrasi
kepeloporan massa (aktivis) yang melakukan demonstrasi, menuntut Soeharto
meletakkan jabatan. Aktivis Forum Kota—yang dikoordinasi oleh Adian Napitupulu
(skor vibrasi kepeloporannya 100/110) yang beranggotakan aktivis mahasiswa dari 56
kampus di Jakarta dan sekitarnya termasuk mahasiswa dari FKSMJ, UI, HMI dan MPO
(seluruhnya memiliki skor vibrasi kepeloporan 120) yang sesungguhnya
punya andil menumbangkan Soeharto pada
tahun 1998. Gerakan massa (aktivis) ini dimanfaatkan dan/atau disusupi oleh
kelompok-kelompok lain yang menimbulkan vibrasi kaos yang mencemaskan. Tokoh-tokoh nasional yang menonjol
pada saat reformasi tahun 1998 antara lain: Megawati Soekarnoputri (tokoh
terkemuka PDI)—yang terkenal sebagai oposan PDI pimpinan Soerjadi yang didukung
Soeharto—memiliki skor vibrasi kepeloporan 120. Abdurrahman Wahid sebagai salah
satu Ulama terkemuka (Ketua Umum PBNU) memiliki skor vibrasi kepeloporan 80/90
akan tetapi skor vibrasi kepeloporannya dalam bidang politik kepartaian
sebesar 60; Nurcholis Madjid sebagai seorang tokoh cendekiawan
Muslim Indonesia memiliki skor vibrasi kepeloporan 80/90; Amien Rais (mantan
Ketua Umum Muhammadiyah) dan tokoh cendekiawan Muslim Indonesia memiliki skor
vibrasi kepeloporan 80/90 akan tetapi skor vibrasi kepeloporannya dalam kancah
politik sebesar 60. Yusril Ihza Mahendra memiliki skor vibrasi kepeloporan 80/90
dalam bidang hukum ketatanegaraan, akan tetapi dalam bidang politik kepartaian
hanya memiliki skor vibrasi kepeloporan 50. Hamzah Haz memiliki skor vibrasi
kepeloporan politik kepartaian 60/70. Vibrasi kepeloporan Harmoko,
Akbar Tanjung dan tokoh-tokoh Golkar mengalami stagnasi ketika terjadi
reformasi yang menumbangkan Soeharto. Jenderal Wiranto ketika terjadi reformasi
tahun 1998 memiliki skor vibrasi kepeloporan 90/100; Susilo Bambang
Yudhoyono memiliki skor vibrasi kepeloporan 60/70 dan Prabowo
Subianto memiliki skor vibrasi kepeloporan 30/40. Dan selain itu, ada
vibrasi-vibrasi politis terselubung yang hakikatnya ingin memecah-belah bangsa
serta menjuruskan dan/atau memberi corak baru dalam politik pemerintahan negara
Republik Indonesia pascareformasi.
Kelima, Vibrasi
kepeloporan B. J. Habibie, ketika Soeharto lengser dari jabatannya sebagai
presiden pada 21 Mei 1998 malam, memiliki skor vibrasi kepeloporan 60/70.
Meskipun demikian, vibrasi pemerintahan transisi di bawah kepemimpinan
B. J. Habibie sebagai pengganti Soeharto berhasil menggenapi tuntutan kekuatan vibrasi
reformasi yang menghendaki Pemilihan Umum yang demokratis dilakukan pada tahun
1999. Setelah itu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil Pemilihan Umum
tahun 1999 melakukan pemilihan presiden dan wakil presiden.
Keenam, Pemilihan Umum
1999 melahirkan vibrasi kepeloporan partai politik > jumlah suara >
persentase > jumlah kursi > persentase) sebagai berikut: (1) Vibrasi
kepeloporan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan > 35.689.073 > 33,74
> 153 > 33,12%. (2) Vibrasi kepeloporan Partai Golongan Karya >
23.741.749 > 22,44% > 120 > 25.97%. (3) Vibrasi kepeloporan Partai
Persatuan Pembangunan > 11.329.905 > 10.71% > 58 > 12.55%. (4)
Vibrasi kepeloporan Partai Kebangkitan
Bangsa > 13.336.982 > 12,61% > 51 > 11,03%. (5) Vibrasi kepeloporan
Partai Amanat Nasional > 7.528.956 > 7,12% > 34 > 7,36%. (6) Vibrasi kepeloporan Partai Bulan Bintang
> 2.049.708 > 1,94% > 13 >
2,81%. Vibrasi kepeloporan partai
politik yang perolehan persentase jumlah
kursi berada di bawah 2% tidak disebutkan di sini. Demikianlah realitas objektif dan realitas
faktual vibrasi kepeloporan partai politik dalam Lembaga MPR hasil Pemilihan
Umum tahun 1999 setelah terjadi reformasi pada tahun 1998. Akan tetapi realitas
objektif dan realitas faktual vibrasi kepeloporan partai politik yang tercermin
dalam Lembaga MPR itu distagnasikan oleh suatu kekuatan vibrasi lain yang pada
hakikatnya membendung kekuatan vibrasi
demokrasi yang dilahirkan oleh vibrasi reformasi. Kekuatan vibrasi lain yang membendung
vibrasi demokrasi hasil reformasi sebagaimana tercermin dalam Lembaga MPR pada
tahun 1999 itu adalah vibrasi poros tengah yang dimotori dan/atau dikendalikan
oleh Amin Rais (tokoh terkemuka Partai Amanat Nasional). Vibrasi poros tengah
inilah yang mengempang vibrasi kepeloporan Megawati Soekarnoputri dengan tanggul
gender agar tidak terpilih sebagai Presiden pada Sidang Umum MPR tahun
1999. Dan untuk merealisasikan vibrasi
tersebut—melalui vibrasi poros tengah yang
dikendalikan oleh Amin Rais—Abdurrahman Wahid (Ulama terkemuka PBNU dan Partai
Kebangkitan Bangsa) dilobikan dan dicalonkan menjadi Presiden RI setelah berbagai
persyaratan terkait kesehatan fisik diubah untuk disesuaikan dengan kondisi
fisik Abdurrahman Wahid. Akhirnya, Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri
diajukan sebagai calon presiden untuk dipilih oleh Anggota MPR melalui
mekanisme pemungutan suara pada Sidang Umum MPR pada tanggal 20 Oktober 1999.
Abdurrahman Wahid memperoleh dukungan 373 suara dari seluruh anggota MPR yang
berjumlah 691 orang (5 suara abstain), menyisihkan Megawati Soekarnoputri yang
memperoleh dukungan 313 suara. Pada
waktu itu semua pihak tidak menyadari bahwa sesungguhnya suatu vibrasi perongrongan
terhadap demokrasi dan keluhuran aspirasi rakyat telah terjadi dalam
Lembaga MPR hasil Pemilihan Umum tahun
1999 yang jujur, bersih dan adil! Dan ini merupakan benih krisis yang
ditanamkan dan/atau ditaburkan di bendang MPR pada Sidang Umum MPR RI Tahun
1999.
Selanjutnya apa yang terjadi kemudian
ialah benih krisis yang ditaburkan dan/atau ditanam dibendang MPR
pada Sidang Umum MPR RI Tahun 1999 itu menghasilkan buah dalam demokrasi dan politik di Indonesia setelah
memasuki abad ke-21 pada tahun 2001. Sesuai
ketentuan UUD 1945, Abdurrahman Wahid yang dipilih oleh MPR pada tahun
1999 seyogianya melaksanakan tugas kepresidenan sampai akhir masa jabatan pada
tahun 2004. Akan tetapi ternyata MPR RI melengserkan Presiden Abdurrahman Wahid
pada tahun 2001. Pada tahun 1999 Amien
Rais sebagai Ketua MPR RI bermanuver politik di MPR melalui vibrasi
poros tengah untuk memuluskan Abdurrahman Wahid terpilih sebagai
Presiden RI. Demi penataan dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan
memuaskan, MPR RI di bawah kepemimpinan Amien Rais selaku Ketua MPR RI menetapkan Sidang MPR
setiap tahun untuk mengevaluasi kinerja Presiden
dan kabinet. Ternyata pada tahun 2001 Presiden Abdurrahman Wahid terjaring
politisasi! Lalu Amien Rais sebagai Ketua MPR RI melalui sidang MPR yang
dipimpinnya, terbuka hati dan tangan untuk melengserkan Presiden Abdurrahman
Wahid! Vibrasi kepeloporan Megawati Soekarnoputri yang berada pada posisi Wakil
Presiden ditingkatkan pada posisi atau kedudukan Presiden sampai habis masa
jabatan pada tahun 2004 sesuai ketentuan UUD RI 1945, dan Hamzah Haz terpilih
untuk menjadi Wakil Presiden. Pada era kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
sebagai presiden mulai tahun 2001 sampai 2004, Amin Rais sebagai Ketua MPR
memutuskan: MPR tidak perlu lagi melakukan sidang tahunan untuk mengevaluasi
kinerja presiden dan kabinet!
Catatan
antara: Menjelang akhir
abad ke-20 yaitu pada tahun 1998,
terjadi demonstrasi besar-besaran untuk melengserkan Presiden Soeharto yang
ditetapkan oleh MPR RI hasil Pemilihan Umum tahun 1997 yang dinilai tidak
demokratis. Akibatnya, Presiden Soeharto lengser. Dan pada awal abad ke-21
yaitu pada tahun 2001, terjadi politisasi dan demonstrasi besar-besaran untuk
melengserkan Presiden Abdurrahman Wahid yang dipilih oleh MPR RI hasil
Pemilihan Umum tahun 1999 secara demokratis. Akibatnya, Presiden Abdurrahman
Wahid lengser. Perhatikan skor luas siklus vibrasi politik tahun 2001 yaitu angka 3, yang diperoleh dari hasil
penjumlahan angka 2+0+0+1 = 3, dalam hubungannya dengan angka tahun 1998 yaitu 1998 +3 = 2001. Inilah
hasil yang
dituai dari benih krisis yang
ditabur dan ditumbuhkan di bendang MPR RI dalam Sidang Umum MPR RI tahun 1999. Berdasarkan
teori vibrasi sejarah yang saya kembangkan, vibrasi krisis yang terjadi pada
tahun 1998 yang merupakan kulminasi vibrasi multikrisis yang terjadi antara
tahun 1908 sampai tahun 1998 muncul kembali pada tahun 2001.
Perlu
diperhatikan bahwa krisis yang terjadi pada tahun 1998 itu bukan saja terbatas
pada krisis demokrasi dan politik, melainkan terhisab pula krisis ekonomi dan moneter, krisis sosial dan budaya,
krisis keamanan dan hukum, krisis akhlak dan moral, krisis bencana alam dan
krisis kemanusiaan. Vibrasi multikrisis
ini menembus abad: tidak hanya mencapai
kulminasinya pada tahun 1998 dan stagnan pada akhir abad ke-20, melainkan
merembes gerbang abad ke-21 dan merebak pada tahun 2001 dan seterusnya. Skor
luas siklus vibrasi tahun 2001, yaitu 3, jika dijumlahkan dengan angka tahun
2001 maka hasilnya adalah 2004, yaitu tahun berakhirnya masa jabatan Megawati
Soekarnoputri sebagai Presiden RI yang menggantikan Abdurrahman Wahid sesuai
dengan ketentuan UUD 1945. Dengan terjadinya krisis demokrasi dan politik pada
tahun 2001 maka luas siklus vibrasi krisis selalu berpeluang eksis di sela-sela
kurun waktu 3 tahunan.
Dengan
demikian, luas siklus vibrasi krisisnya dapat dipetakan sebagai berikut: tahun 1998/1999 – 2001// 2001 – 2004 // 2004 -- 2007 // 2007 -- 2010 // 2010 – 2013 // 2013 – 2016 // 2016–
2019 // 2019 – 2022 // 2022 – 2025 // 2025 – 2028 // 2028 – 2031 // 2031 – 2034 // 2034 – 2037// 2037 – 2040 // 2040 – 2043 // 2043 – 2046 // 2046 – 2049
…, dan seterusnya. Di dalam luas siklus vibrasi ini pun telah tersirat pula
luas siklus vibrasi tahun 1995 yang di dalamnya tersirat vibrasi 50 tahun
kemerdekaan bangsa dan negara republik Indonesia, yaitu: 1995 + 6 yang
diperoleh dari penjumlahan angka tahun 1995 (1+9+9+5 = 24; 2+4 = 6) yang
hasilnya adalah 2001; dan apabila angka
tahun 2001 dijumlahkan secara terus-menerus dengan angka 6 hasilnya adalah
2007; 2007+6 = 2013: 2013+6 + 2019; 2019+6 = 2025, dan seterusnya. Di sela-sela luas siklus vibrasi
krisis yang dipetakan ini timbul pula krisis-krisis yang berkaitan erat dengan
dinamika vibrasi pemilihan umum lima tahunan mulai tahun 2004 – 2009// 2009 –
2014// 2014 – 2019// 2019 – 2024// 2024 – 2029// 2029 – 2034// 2034 – 2039//
2039 – 2044// 2044 – 2049 … dan seterusnya.
Pada
tanggal 8 Januari 1999, Mingguan DIAN yang
terbit di Ende, Flores, memuat artikel saya berjudul “Menghadapi Gelombang
Depresi, Bagaimana Sikap Kita?” Dalam artikel itu saya menguraikan tentang
gelombang depresi yang muncul pada tahun 1930-an – 1940-an; 1950-an – 1960-an;
1970-an – 1980-an sampai tahun 1990-an. Saya sebutkan pada waktu itu bahwa
letupan-letupan depresi masih akan muncul pada tahun 2001 – 2006 dan tahun 2010
– 2015. Dan vibrasi yang tersirat dalam tahun 2007 – 2009 memiliki kepekaan dan
kerawanan yang patut dicermati! Skor luas siklus vibrasi tahun 2001 yaitu 3 turut
menentukan kepekaan dan kerawanan yang tersirat dalam vibrasi tahun 2007 –
2009. Ternyata apa yang saya katakan berdasarkan teori vibrasi pada tahun 1999 itu
tidak meleset, sebab kronologi dan latar belakang krisis finansial yang diberitakan
melalui detikfinance edisi Rabu 15 April 2009 pukul 12.06 WIB, sesuai
dengan hasil deteksi dan analisis saya. Vibrasi krisis yang tersirat dalam
tahun 2007 akan bersiklus dengan vibrasi tahun 2010, 2013, 2016, 2019 dan
seterusnya. Dan vibrasi krisis yang tersirat dalam tahun 2009 akan bersiklus
dengan vibrasi tahun 2012, 2015, 2018, 2021, dan seterusnya. Demikianlah
dinamika vibrasi krisis dan dinamika vibrasi romantika kehidupan berbangsa dan
bernegara Indonesia dalam abad ke-21.
Krisis
ekonomi dan krisis nilai tukar rupiah,
telah saya wedarkan dalam artikel berjudul “Menghadapi gelombang depresi,
bagaimana sikap kita” (Mingguan DIAN Ende,
Flores, 8 Januari 1999); serta artikel berjudul “Menelusuri gelombang krisis
dari masa ke masa” (www.bianglalahayyom.blogspot.co.id, edisi Kamis,
04 Agustus 2011); dan artikel berjudul “Vibrasi krisis belum berakhir” (www.bianglalahayyom.blogspot.co.id edisi Selasa,
01 September 2015). Letupan luas siklus vibrasi krisis ekonomi dan nilai tukar
rupiah akan muncul dalam luas siklus krisis yang kurun waktunya telah dipetakan
dan diwedarkan di atas ini, termasuk krisis yang ditimbulkan oleh bencana alam;
krisis politik, krisis moral dan akhlak yang
merongrong nama baik/reputasi, serta aksi teror dan makar. Di sini
saya tidak menyebut semua krisis yang telah terjadi dan yang muncul kembali
sesuai luas siklus vibrasinya. Semua pengamat yang cerdas dan rajin
mendokumentasikan setiap peristiwa yang berhubungan erat dengan krisis dari
masa ke masa niscaya akan tahu dan mengakui kebenaran yang telah ditunjukkan
oleh analisis teori vibrasi yang dipetakan dan diwedarkan di atas ini.
Bagian keempat:
Vibrasi politik (siklus vibrasi dan luas siklus vibrasi
politik) dalam eksistensi bangsa dan negara republik Indonesia antara tahun
2001 sampai tahun 2045)
Di atas telah saya kemukakan bahwa luas siklus
vibrasi krisisnya dapat dipetakan sebagai berikut: tahun 1998/1999 – 2001// 2001 – 2004 // 2004 -- 2007 // 2007 -- 2010 // 2010 – 2013 // 2013 – 2016
// 2016– 2019 // 2019 – 2022 //
2022 – 2025 // 2025 – 2028 // 2028 –
2031 // 2031 – 2034 // 2034 – 2037//
2037 – 2040 // 2040 – 2043 // 2043 – 2046 // 2046 – 2049
…, dan seterusnya. Di dalam luas siklus vibrasi yang dipetakan ini telah
tersirat pula luas siklus vibrasi krisis tahun 1965, 1974, 1975 sampai tahun
1995 yang di dalamnya tersirat vibrasi 50 tahun kemerdekaan bangsa dan negara
republik Indonesia. Dan semua luas siklus vibrasi yang tersirat dalam vibrasi tahun 1995 itu selanjutnya bermuara pada
vibrasi krisis besar tahun 1998. Kemudian, setelah memasuki abad ke-21, vibrasi
krisis 1998 di akhir abad ke-20 itu meletup pada tahun 2001 sebagaimana telah
saya wedarkan di atas. Perlu diperhatikan pula bahwa vibrasi 50 tahun Indonesia
merdeka yang tersirat dalam vibrasi tahun 1995 itu memiliki skor luas siklus
vibrasi 6 yang diperoleh dari penjumlahan angka tahun 1995 (1+9+9+5 = 24 [2+4]
= 6). Apabila angka tahun 1995 dijumlahkan secara terus-menerus dengan angka 6
hasilnya = 2001; selanjutnya 2001+6 = 2007; 2007+6 = 2013: 2013+6 + 2019;
2019+6 = 2025, dan seterusnya. Di sela-sela luas siklus vibrasi yang dipetakan
ini dan/atau bertepatan dengan luas siklus vibrasi yang dipetakan di atas ini
timbul letupan-letupan krisis yang berkaitan erat dengan dinamika vibrasi
pemilihan umum lima tahunan mulai tahun 2004 – 2009// 2009 – 2014// 2014 –
2019// 2019 – 2024// 2024 – 2029// 2029 – 2034// 2034 – 2039// 2039 – 2044//
2044 – 2049 … dan seterusnya. Di bawah
ini saya hanya akan mencatat letupan-letupan krisis yang erat kaitannya dengan
vibrasi kepeloporan presiden sebagai kepala negara saja yang muncul antara
tahun 2001 sampai tahun 2019.
Pertama, Pada tahun 2001
Presiden Abdurrahman Wahid dimakzulkan oleh MPR (sebagaimana telah diuraikan di
atas), padahal masa jabatan Presiden Abdurrahman Wahid sebagai presiden hasil
pemilihan umum pertama di era reformasi yang dipilih secara demokratis dan
dilantik oleh MPR pada tahun 1999 seyogianya sampai dengan tahun 2004. Inilah
krisis pertama (yang terkait erat dengan pribadi dan kedudukan presiden) di era
reformasi awal abad ke-21.
Kedua, Pada tahun 2004
Pemilihan Umum yang kedua di era reformasi dilaksanakan untuk memilih anggota
legislatif serta presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat
Indonesia. Di era ini muncul dan berkembang ketidakharmonisan politis antara
Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono. Ini merupakan krisis antar
pribadi yang terkait dengan politik dan kedudukan presiden yang ingin diraih. Di
samping itu, muncul vibrasi gender seperti yang terjadi pada tahun 1999 menjelang
pemilihan presiden: perempuan tidak pantas dipilih menjadi pemimpin atau kepala
negara. Vibrasi gender inilah yang menyebabkan
vibrasi kepeloporan Megawati Soekarnoputri mengalami stagnasi, sehingga Susilo
Bambang Yudhoyono mengungguli Megawati Soekarnoputri pada pemilihan presiden
tahun 2004.
Ketiga Dalam periode
2004 – 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengalami serangan fitnah atau
pencemaran nama baik dari salah satu mantan Wakil Ketua DPR RI pada bulan Juni
2007. Setelah Presiden Yudhoyono menempuh jalur hukum, pemfitnah divonis delapan
bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun oleh Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta yang menyidangkan kasus tersebut.
Keempat, Tahun 2009 adalah
tahun terakhir masa jabatan presiden dan anggota legislatif hasil pemilihan
umum tahun 2004 sekaligus tahun penyelenggaraan pemilihan umum untuk memilih
presiden dan anggota legislatif masa bakti 2009 – 2014. Pada pemilihan presiden
tahun 2009 Susilo Bambang Yudhoyono kembali terpilih—mengungguli Megawati Soekarnoputri—menjadi
presiden untuk masa jabatan kedua (2009 – 2014). Dalam periode ini muncul isu
kudeta terhadap kepemimpinan Presiden Yudhoyono pada bulan Desember 2009. Kemudian
pada bulan Oktober 2010 Petisi 28 menggulirkan isu kudeta terhadap pemerintahan
Yudhoyono. Isu kudeta muncul lagi pada
23 Maret 2011 melalui siaran stasiun televisi Al-Jazeera yang melaporkan pertemuan sejumlah purnawirawan jenderal
tentara yang berencana mengkudeta Presiden Yudhoyono melalui Dewan Revolusi
Islam yang dipimpin Abu Bakar Ba’asyir. Kemudian pada 19 Maret 2012, dalam
silaturahmi dan konsolidasi Partai Demokrat di Cikeas, Presiden Yudhoyono
menyatakan ada gerakan aneh yang hendak menggulingkannya. Dan pada 15 Maret
2013, Presiden Yudhoyono mengumumkan bakal ada demonstrasi besar-besaran pada
25 Maret, yang akan diikuti gerakan mengkudeta kepemimpinannya. Mengenai
gerakan kudeta atau makar terhadap kepemimpinan Presiden Yudhoyono, baca: TEMPO,
Edisi 18-24 Maret 2013, hlm. 36,37,38 dan hlm. 40,41; Victory News
edisi Sabtu, 19 Januari 2013; Timor Express edisi Rabu, 25 Maret 2013; POS
KUPANG edisi 26 Maret 2013; Victory News edisi Minggu, 12 Mei 2013.
Kelima, Tahun 2014 adalah
tahun terakhir masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode kedua (2009
– 2014). Tahun 2014 juga merupakan tahun penyelenggaraan Pemilihan Umum untuk
memilih Anggota DPR RI; Anggota DPD RI; Anggota DPRD Kabupaten/Kota serta pemilihan
Presiden-Wakil Presiden RI masa bakti 2014 – 2019. Ada dua pasangan calon
Presiden-Wakil Presiden RI yang bersaing yaitu: Pasangan calon Presiden-Wakil Presiden
RI Nomor Urut 01 (Prabowo Subianto & Hatta Radjasa) dan calon Presiden-Wakil
Presiden RI Nomor Urut 02 (Joko Widodo & Jusuf Kalla). Vibrasi kepeloporan
kedua pasangan calon presiden ini saya analisis dan deteksi untuk menentukan
pasangan mana yang vibrasi kepeloporannya lebih tinggi, yang akan muncul
sebagai pemenang untuk mengemban jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI masa
bakti 2014 – 2019. Berdasarkan hasil analisis dan deteksi, saya memperoleh
petunjuk yang kuat bahwa Joko Widodo & Jusuf Kalla akan muncul sebagai
pemenang pada pemilihan Presiden-Wakil Presiden tahun 2014. Hasil analisis dan
deteksi vibrasi kepeloporan ini telah saya publikasikan di blog www.bianglalahayyom.blogspot.co.id edisi Kamis, 03
Juli 2014 (enam hari sebelum pemilihan umum diselenggarakan pada 09 Juli
2014).
Keenam, Dalam periode
2014 – 2019, muncul vibrasi intoleransi dan teror marak pada tahun 2015, 2016,
2017. Pada tahun 2016 muncul vibrasi makar pada bulan November dan Desember. Beberapa
tokoh yang diduga terkait dengan vibrasi makar ditangkap oleh Polda DKI Metro
Jaya. Tokoh-tokoh yang ditangkap itu kemudian dibebaskan, namun vibrasi makar
terus diwaspadai pada tahun 2017 dan seterusnya.
Ketujuh, Tahun 2019
merupakan tahun terakhir masa jabatan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf
Kalla, sekaligus merupakan tahun pemilihan Presiden dan Wakil Presiden;
pemilihan Anggota DPR RI; Anggota DPD RI; DPRD Kabupaten/Kota masa bakti 2019 –
2024 yang diselenggarakan secara serempak pada 17 April 2019. Berkenaan dengan
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI masa bakti 2019 – 2024 ada dua
pasangan calon yang bersaing, yaitu Joko Widodo berpasangan dengan Ma’ruf Amin;
dan Prabowo Subianto berpasangan dengan Sandiaga Uno. Vibrasi kepeloporan kedua
pasangan calon ini saya selisik dan deteksi. Ternyata vibrasi kepeloporan Joko
Widodo dan Ma’ruf Amin lebih unggul dari vibrasi kepeloporan Prabowo Subianto
dan Sandiaga Uno. Dengan demikian, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Joko
Widodo dan Ma’ruf Amin yang akan terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden
RI masa bakti 2019 – 2024. Vibrasi kepeloporan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin
serta vibrasi kepeloporan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno yang saya selisik
dan deteksi itu telah saya publikasikan beberapa kali di blog www.bianglalahayyom.blogspot.co.id edisi 1
September 2017; Rabu, 14 Maret 2018; Jumat 16 Maret 2018 dan Minggu, 12 Agustus
2018. Bahkan pada tahun 2014, dalam artikel tentang vibrasi kepeloporan Joko
Widodo (www.binglalahayyom.blogspot.co.id edisi Kamis, 03
Juli 2014), telah saya tunjukkan bahwa vibrasi
kepeloporan Joko Widodo sebagai Presiden NKRI masa bakti 2014 – 2019 akan
berlanjut pada periode kedua (2019 – 2024).
Kedelapan, Setelah selesai
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden; pemilihan Anggota DPR RI, Anggota DPD
RI, DPRD Kabupaten/Kota pada 17 April 2019, ternyata Joko Widodo dan Ma’ruf
Amin mengungguli Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno dalam perolehan suara rakyat
pemilih. Kubu Prabowo Subianto dan
Sandiaga Uno menuduh bahwa telah terjadi kecurangan secara terstruktur,
sistematis dan masif dalam pelaksanaan pemilihan presiden dan proses
penghitungan suara sehingga Joko Widodo dan Ma’ruf Amin dimenangkan. Kubu
Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno pada mulanya tidak ingin menempuh jalur
konstitusi untuk mengajukan gugatan sengketa pemilihan presiden ke Mahkamah
Konstitusi. Mereka ingin mengandalkan “people power”. “People power” kemudian
berubah nama menjadi “Gerakan Kedaulatan Rakyat” untuk
mengukuhkan posisi Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno sebagai pemenang pada
Pemilihan Presiden 17 April 2017. Mereka mengklaim, Prabowo Subianto dan
Sandiaga Uno telah meraih 62% suara pemilih, kemudian diralat menjadi 54%, dan
terakhir diklaim 52%.
Kesembilan, Ketika KPU
selesai melakukan penghitungan suara serta mengumumkan hasil rekapitulasi suara
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada
hari Selasa malam tanggal 21 Mei 2019, massa pendukung Prabowo Subianto dan
Sandiaga Uno memadati area depan gedung KPU/BAWASLU seraya melakukan unjuk
rasa. Aksi unjuk rasa damai kemudian berubah menjadi kerusuhan pada malam
tanggal 21 – 22 Mei 2019 di beberapa lokasi di Jakarta. Massa perusuh melakukan
tindakan kekerasan dan perusakan sehingga Polri yang didukung TNI melakukan tindakan
tegas. Vibrasi makar yang muncul pada tahun 2013 yang bersiklus dengan tahun
2016 meletup lagi pada tahun 2019. Beberapa oknum yang diduga terkait dengan
vibrasi makar dan rencana pembunuhan beberapa tokoh nasional, ditangkap dan
ditahan oleh Polri. Sejumlah besar perusuh juga ditangkap dan ditahan; ada yang
meninggal; ada yang mengalami luka-luka; bahkan
beberapa anggota Polri pun mengalami luka-luka.Vibrasi kerusuhan dan
makar yang terjadi mendorong kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menempuh jalur
konstitusi, yakni mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi RI terkait dengan
pelaksanaan pemilihan presiden dan proses penghitungan suara hasil pemilihan presiden yang dinilai penuh dengan
kecurangan secara terstruktur, sistematis dan masif yang menyebabkan kekalahan
yang dialami oleh Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Setelah Mahkamah Konstitusi RI
menyelenggarakan sidang sengketa hasil pemilihan presiden yang digugat oleh
kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, maka pada tanggal 27 Juni 2019 Mahkamah
Konstitusi RI memutuskan dan/atau menetapkan: Gugatan Prabowo Subianto-Sandiaga
Uno
ditolak. KPU kemudian melakukan rapat pleno terbuka pada tanggal 30
Juni 2019 untuk menetapkan “Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil
Presiden terpilih yang sah pada pemilihan umum 17 April 2019 untuk mengemban tugas masa jabatan 2019 –
2024, yang pelantikannya akan dilaksanakan pada tanggal 20 Oktober 2019”.
Catatan akhir
Mengakhiri
wedaran tentang vibrasi sejarah dan vibrasi kepeloporan tokoh sejarah dalam
eksistensi bangsa Indonesia dari masa ke masa yang dirangkum dalam artikel ini,
saya ingin mencatat beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, Vibrasi krisis
dan kemelut bangsa tetap ada dalam jalur perkembangan sejarah eksistensi bangsa
dan negara Indonesia. Karena itu, letupan-letupan krisis dan depresi akan
muncul sesuai dengan siklus dan luas siklus vibrasinya.
Kedua, Di dalam
menghadapi gelombang krisis dan depresi, kita tidak boleh terlalu mengharapkan
yang terbaik (hope for the best), melainkan harus bersedia menghadapi dan
menerima kenyataan yang terburuk (be prepared for the worst). Ini tidak berarti
menyerah, melainkan sabar dan tabah menghadapi kenyataan di tengah-tengah perjuangan
membangun kesejahteraan bangsa.
Ketiga, Vibrasi
gelombang krisis dan depresi dapat dikendalikan, dikurangi dan/atau diperkecil
dengan jalan memperbaiki vibrasi kepemimpinan, serta memperbaiki dan
memantapkan vibrasi sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Keempat, Konsistensi
penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan sangat diutamakan bagi
keajekan vibrasi eksistensi bangsa Indonesia. Sebab kelompok-kelompok ekstremis
dan teroris tetap merupakan musuh laten di Indonesia.
Selama
lima tahun periode pertama (2014 – 2019) Presiden Joko Widodo yang berpasangan
dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla telah
membuktikan kepemimpinan dan kemampuan penyelenggaraan pemerintahan negara yang
baik dan memuaskan. Skor keberhasilan vibrasi kepeloporan Presiden Joko Widodo
dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam kurun waktu 2014 – 2019 sebesar 80/90; dan
skor vibrasi kepeloporan Kabinet Kerja di bawah koordinasi Presiden Joko Widodo
dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebesar 70/80.
Karena
itu, dalam periode kedua (2019 – 2024) diharapkan Presiden Joko Widodo bersama
Wakil Presiden Ma’ruf Amin dapat menyelaraskan dinamika vibrasi kepeloporan sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI dalam kepemimpinan
dan penyelenggaraan pemerintahan negara yang lebih mantap. Selanjutnya
diharapkan pula agar vibrasi dan dinamika vibrasi eksistensi bangsa dan negara
Republik Indonesia periode 2024 – 2029 dan seterusnya tetap mapan
(tidak goyah; stabil) berasaskan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar RI 1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar