Oleh: A. G.
Hadzarmawit Netti
Catatan
pengantar
Memperingati
dan merayakan Hari Ulang Tahun Ke-70 GMIT pada 31 Oktober 2017 yang lalu, Prof.
Dr. Samuel Benyamin Hakh mempersembahan kepada GMIT sebuah tulisan berjudul, “KORUPSI
MENURUT PERJANJIAN BARU” (Baca, 70 Tahun: GMIT Berhikmat & Berbagi –
ALLAH YANG HIDUP PERBAHARUI DAN PULIHKANLAH GMIT. Penerbit Kandil Semesta
[tanpa tahun dan alamat], hlm.374-394). Tulisan tersebut—sudah mengalami beberapa perubahan—sebenarnya telah
dimuat dalam buku, AKAL BUDI & HATI
NURANI (Pdt. Samuel Hakh. Penerbit Bina Media Informasi Bandung.
2014:125-145).
Prof.
Dr. Samuel Benyamin Hakh (selanjutnya, dalam tulisan ini saya sapa: Samuel
Hakh) telah memberikan suatu sumbangsih yang bermanfaat bagi GMIT berkenaan
dengan korupsi menurut Perjanjian Baru. Para Pendeta GMIT, dan mahasiswa
sekolah tinggi teologi di wilayah pelayanan GMIT dengan sendirinya berterima
kasih kepada Samuel Hakh atas sumbangsihnya yang bermanfaat itu. Kendatipun
demikian, dalam pengamatan saya terdapat beberapa ketimpangan pembahasan
seputar istilah korupsi dalam Perjanjian Baru yang perlu dibereskan, demi
pemahaman yang lebih baik dan terarah. Inilah yang akan saya wedarkan dalam
artikel ini.
1. Istilah
korupsi
Istilah ialah kata atau
gabungan kata (sebutan atau ungkapan khusus) yang dengan cermat mengungkapkan
makna konsep, proses atau sifat yang khas dalam bidang tertentu. Dengan
demikian, kata korupsi adalah ungkapan khusus yang dipergunakan dengan cermat
untuk mengungkapkan makna konsep, proses atau sifat yang khas dalam bidang
tertentu di mana terjadi penyelewengan atau penyalahgunaan milik pihak lain untuk
keuntungan pribadi dan/atau orang lain. Atas dasar pertimbangan ini maka dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata korupsi diartikan: penyelewengan atau penyalahgunaan uang
negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dsb) untuk keuntungan pribadi atau
orang lain; mengorupsi, artinya menyelewengkan atau menggelapkan (uang,
dsb); korup, artinya: 1 buruk; rusak (merusak); busuk; merendahkan
martabat; kehinaan; 2 suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya;
dapat disogok (memakai kekuasaannya untuk kepentingan pribadi); dan kata mengorup
artinya menyelewengkan
(menggelapkan) barang (uang) milik
perusahan (negara) tempat kerjanya.
Dalam
kamus Perjanjian Baru bahasa Yunani-Indonesia, tidak terdapat entri
pokok yang bermakna denotasi, korupsi sebagaimana didefinisikan dalam istilah di
atas. Kata korupsi, hanya
merupakan salah satu arti dari kata (bahasa) Yunani yang dalam tulisan
ini saya transkripsikan, phthora, yang oleh Samuel Hakh ditranskripsikan, fthora. Kata Yunani phthora adalah entri pokok yang menyarankan
arti: rottenness; perishableness; corruption; decay; decomposition. Dalam tulisan ini saya tidak merujuk Kamus Yunani-Indonesia (Barclay M.
Newman Jr), melainkan A POCKET LEXICON To
The GREEK NEW TESTAMENT (Alexander Souter, M.A. Oxford University Press).
Berdasarkan catatan di atas maka kata korupsi bukan diterjemahkan dari kata
Yunani phthora sebagaimana dijelaskan oleh Samuel Hakh, melainkan kata
korupsi
merupakan salah satu arti dari kata Yunani phthora sebagai entri pokok, yang memiliki lima arti sebagaimana
dijelaskan di atas.
Kata
Yunani phthora yang
diartikan sebagai rottenness menyarankan
arti: busuk (misalnya telur busuk), kebusukan; jahat; kejahatan; tidak menyenangkan (bahasa percakapan dalam arti umum). Kata
Yunani phthora yang diartikan sebagai perishableness
menyarankan arti: hal atau sifat mudah rusak, lekas busuk (terutama
tentang makanan); membusuk; hancur (terutama tentang bangkai binatang; jenazah, dsb); mati; binasa; musnah; rusak (dalam arti umum).
Kata Yunani phthora yang diartikan
sebagai corruption menyarankan arti: kebusukan, kejahatan, kejelekan (tentang orang, kelakuannya dalam
arti umum). Dalam arti spesifik tentang orang dan kelakuannya dalam bidang
kehidupan tertentu, corruption dalam konteks bahasa Inggris dan bahasa Indonesia menyarankan
arti: ketidakjujuran; penyogokan;
penyuapan; penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan,
organisasi, yayasan, dsb) untuk keuntungan pribadi dan/atau orang lain.
Kata Yunani phthora yang diartikan
sebagai decay menyarankan arti
status kehilangan kemuliaan (misalnya
seorang pejabat tinggi negara dipecat dari jabatannya lantaran melakukan
kejahatan); status kehilangan nasib baik (misalnya
seorang kaya kehilangan hartanya lantaran mengalami musibah); status kejatuhan ke dalam
kekurangsempurnaan (misalnya orang yang merdeka menjadi orang yang kehilangan
kemerdekaan; orang yang memiliki kaki yang normal, tiba-tiba salah satu kakinya
diamputasi karena kecelakaan). Dan
kata Yunani phthora yang diartikan sebagai decomposition menyarankan
arti: membusuk, menjadi busuk,
pembusukan (seperti pembusukan yang terjadi dalam pembuatan kompos).
Dalam
Roma 8:21 Perjanjian Baru bahasa Yunani-Indonesia (selanjutnya akan
disingkatkan menjadi PBYI), transkripsi kata Yunani phthora diterjemahkan
oleh LAI dengan kata kebinasaan; dalam Perjanjian Baru bahasa
Inggris RSV dan GNB, phthora tidak diterjemahkan dengan
kata corruption
melainkan decay. Dalam 1 Korintus 15:42, PBYI, phthora diterjemahkan
dengan kata binasa; dalam RSV diterjemahkan dengan kata perishable; dan
dalam GNB diterjemahkan dengan kata mortal.
Dalam
Galatia 6:8; 2 Petrus 1:4; 2:19, PBYI, phthora diterjemahkan dengan kebinasaan;
membinasakan; dan kebinasaan; dalam RSV diterjemahkan
dengan corruption; dalam GNB diterjemahkan dengan death; dan destructive.
Dalam 2 Petrus 2:12 PBYI, phthora diterjemahkan dengan dimusnahkan;
dalam RSV dan GNB, diterjemahkan dengan killed.
Selain
kata Yunani phthora, ada pula kata
lain yang juga merupakan entri pokok yaitu phtheirō, arti harfiahnya: destroy (merusak, menghancurkan, membinasakan,
memusnahkan); waste (sia-sia, menyia-nyiakan); damage (merusakkan,
merugikan); deprave (berakhlak buruk, jahat, berbudi rendah); dan injure
(melukai, merusak, merugikan). Jika dipergunakan sebagai metafora, phtheirō
menyarankan arti (tentang orang dan kelakuannya): jahat, tidak jujur; suka menyogok, menerima sogok, menyuap dan menerima
suap. Dengan demikian arti kata phtheirō yang dipergunakan sebagai
metafora bersinonim dengan korupsi.
Dalam
1 Korintus 3:17 PBYI, deklensi kata Yunani phtheirō yaitu phtheirei dan phtherei
diterjemahkan dengan membinasakan; dalam RSV dan GNB
diterjemahkan dengan destroy. Dalam 1 Korintus 15:33
PBYI, deklensi kata Yunani phtheirō yaitu phtheirousin diterjemahkan
dengan merusakkan; dalam RSV dan GNB diterjemahkan dengan ruins dan ruin. Dalam Yudas 1:10
PBYI, deklensi kata Yunani phtheirō yaitu phtheirontai diterjemahkan
dengan kebinasaan; dalam RSV dan GNB diterjemahkan dengan destroyed
dan destroy.
Dalam
1 Korintus 5:5 PBYI, kata Yunani phthora dan phtheirō tidak digunakan
melainkan kata olethron yang digunakan dan diterjemahkan dengan binasa;
dalam RSV dan GNB diterjemahkan dengan destruction dan destroyed. Dalam 1
Tesalonika 5:3; 2 Tesalonika 1:9 dan 1 Timotius 6:9 PBYI, kata Yunani olethron
digunakan dengan arti keruntuhan, serta kata Yunani apōleian
digunakan dan diterjemahkan dengan kebinasaan; dalam RSV dan GNB
diterjemahkan dengan kata destruction.
Dalam
Yohanes 3:16 PBYI, kata Yunani apolētai yang digunakan dan
diterjemahkan dengan binasa; dalam RSV diterjemahkan
dengan perish, dan dalam GNB diterjemahkan dengan die. Dalam Yohanes 10:10
PBYI, kata Yunani apolesē(i) yang digunakan dan diterjemahkan dengan membinasakan;
dalam RSV dan GNB diterjemahkan dengan destroy.
Dalam
Ibrani 1:11 PBYI, kata Yunani apolountai digunakan dan
diterjemahkan dengan binasa; dalam RSV diterjemahkan
dengan perish, dan dalam GNB diterjemahkan dengan disappear. Kata Yunani apolētai,
apolesē(i) dan apolountai adalah deklensi dari kata
leksikal (entri pokok) apollumi.
Dalam
PBYI, deklensi-deklensi kata Yunani apollumi, yakni: apolētai,
apolesē(i), apolountai, apollumenois, apolomenou, apollumetha, apoleisthe, digunakan
untuk menggambarkan tentang: binasa, hancur, hilang, dibunuh, mati. Perhatikan antara
lain: Matius 5:29,30; 9:17; 8:25; 18:4; 26:52; Markus 4:38; Lukas 5:37; 8:24;
11:51; 13:3,5; 14:33; 15:17; 21:18; Yohanes 3:16; 10:28; 11:50; Roma 2:12; 1 Korintus 1:18; 8:11; 2 Korintus
2:15; 2 Tesalonika 2:10; 2 Petrus 3:9 dan banyak perikop yang tak dapat
disebutkan dalam tulisan ini.
Pada
halaman 377 (70 Tahun GMIT Berhikmat
& Berbagi), Samuel Hakh membuat kesimpulan begini: “….. nyata bahwa para penulis PB memakai beberapa istilah untuk
menggambarkan kata “korupsi” (phthora,
phtheirō, olethros) itu dalam beberapa pengertian.” Kesimpulan Samuel
Hakh sebagaimana dikutip di atas sesungguhnya tidak benar. Tiga kata Yunani (phthora,
phtheirō, dan olethros, sama sekali bukan istilah
yang menggambarkan kata korupsi. Contoh-contoh ayat yang
dikutip dari PBYI, RSV, dan GNB di atas memberi petunjuk yang jelas mengenai
arti kata Yunani phthora, phtheirō, dan olethros, tidak mutlak menyarankan
arti korupsi
(corruption) yang dipergunakan secara konsisten. Dengan
demikian, kata korupsi hanya merupakan
salah satu arti kata dari entri pokok kata Yunani phthora yang memiliki lima
arti sebagaimana telah diuraikan di
atas.
Ketiga kata Yunani itu memiliki makna denotatif sendiri-sendiri, dan
dalam konteks tertentu memiliki makna
konotatif
atau metafora yang harus dicermati agar tidak terjadi salah tampa.
Selain
kesimpulan yang salah sebagaimana dijelaskan di atas, Samuel Hakh juga salah
melakukan terjemahan karena tidak cermat. Dalam Injil Yohanes 12:6, secara
jelas Yudas Iskariot disebut: all’ hoti kleptēs.., artinya: karena
ia seorang pencuri. Akan
tetapi Samuel Hakh katakan: Kata “pencuri” diterjemahkan dari kata Yunani yang
transkripsinya berbunyi, ebastazein (LAI: “selalu mencuri”) (70 Tahun GMIT. do.ib. hlm.379).
Kata
Yunani ebastazein yang dipergunakan dalam Yohanes 12:6 itu adalah deklensi
dari entri bastazō, yang memiliki arti: (a) I carry, bear; (b) I carry [take] away; dan “I pilfer”. Dalam Matius 3:11, kata
Yunani bastasai dalam frasa: hou
ouk eimi hikanos ta hupodēmata bastasai
diterjemahkan dengan membawa (arti butir a); dalam Yohanes 20:15, kata
Yunani ebabtasas dalam frasa: Kurie, ei su ebastasas auton, diterjemahkan
dengan mengambil (arti butir b);
dan arti berikut dari kata Yunani bastazō yakni “I
pilfer” artinya, “mencuri [barang atau uang] dalam jumlah sedikit-sedikit
atau kecil-kecilan” dipergunakan dalam Yohanes 12:6 (POCKET LEXICON, do.ib., hlm.48).
Yudas
Iskariot diketahui sebagai pemegang kas atau pundi-pundi uang. Murid-murid
Yesus mengetahui bahwa ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas atau
pundi-pundi yang dipegangnya (dibawanya). Karena praktik seperti itulah maka
Yudas Iskariot disebut sebagai seorang pencuri (kleptēs). Perhatikan secara
saksama Yohanes 12:6 (PBYI). Berdasarkan arti atau makna kata pilfer yang tersirat dalam kata
Yunani bastazō itulah maka LAI menerjemahkan “sering mengambil uang
yang disimpan dalam kas yang dipegangnya” (kai to glōssokomon echōn ta ballomena
ebastazen).
Dengan
demikian, LAI sama sekali tidak menerjemahkan kata Yunani ebastazen dalam Yohanes
12:6 itu dengan kata “selalu mencuri”; dan ebastazen
juga bukan berarti pencuri, sebagaimana dicatat oleh
Samuel Hakh. Kata Yunani kleptēs artinya pencuri, maling; kleptō artinya mencuri; dan hō kleptōn artinya orang
yang mencuri (Efesus 4:28). Sesungguhnya
praktik yang dilakukan oleh Yudas Iskariot, yaitu mengambil [mencuri] uang sedikit-sedikit
atau kecil-kecilan dari pundi-pundi atau kas yang dipegangnya itu terhisab
praktik korupsi!
Berkenaan
dengan kata Yunani ephtheiren dalam kitab Wahyu 19:2, ternyata pula Samuel Hakh
tidak membaca perikop tersebut secara cermat. Saya kutip lagi pernyataan Samuel
Hakh sebagai berikut: “Penulis kitab
Wahyu memakai kata yang sama untuk menghibur jemaat yang ia sapa, bahwa Allah
telah membinasakan (ephtheiren) (LAI: menghakimi) musuh mereka yaitu pelacur
besar (Babel) itu…” (70 Tahun
GMIT, do.ib. hlm.376, tiga baris kalimat terakhir).
Ketidakcermatan
Samuel Hakh terbukti di sini: dalam kitab Wahyu 19:2 (PBYI terjemahan LAI),
kata Yunani ephtheiren, tidak diterjemahkan oleh LAI dengan kata menghakimi,
melainkan merusak. Sedangkan kata Yunani ekrinen dalam ayat itu
yang diterjemahkan dengan kata menghakimi. Perhatikan secara
saksama dua frasa kalimat dari Wahyu 19:2 yang saya kutip berikut ini: hoti ekrinen tēn pornēn tēn
megalēn hētis ephtheiren tēn gēn en tē(i) porneia autēs”. Terjemahan
LAI: “karena Dialah yang telah menghakimi pelacur besar itu, yang merusak bumi
dengan percabulannya.” Kedua frasa kalimat dari Wahyu 19:2 itu
diterjemahkan dalam RSV sebagai berikut: “he
has judged the great harlot who corrupted the
earth with her fornication.” Dan terjemahan GNB: “He has condemned the prostitute who was corrupting the earth with her immorality.” Catatan sisipan: kata Yunani ekrinen (= judged; condemned;
menghakimi); dan
kata Yunani ephtheiren (= corrupted; corrupting; merusak);
Kata
Yunani ephtheiren adalah deklensi dari entri phtheirō yang salah satu arti
denotasinya adalah merusak. Kata corrupted; corrupting yang dipergunakan dalam terjemahan RSV dan GNB juga berarti merusak. Dengan demikian, terjemahan LAI benar 100%;
karena itu, tidak dapat disangkal dengan dalih apa pun, Samuel Hakh telah
melakukan salah tampa atas Wahyu 19:2.
2. Kata Yunani, nous
Tentang
nous,
Samuel Hakh berkata begini: “Kata
nous dalam dunia Helenis adalah ‘mata batin’ yang sanggup menerobos kenyataan yang tidak tampak dan
mengolah serta mengatur kesan-kesan dari yang tampak, yang masuk melalui indera
manusia. Dengan demikian maka manusia, melalui nous-nya, dapat melihat dan membedakan mana yang salah dan mana
yang benar, sehingga ia secara tepat mengambil keputusan. Persoalannya adalah
apabila nous-nya sudah dibutakan
maka yang jahat bisa dianggap baik dan yang baik bisa dianggap jahat. Demikian
juga yang salah bisa jadi benar dan yang benar bisa menjadi salah. Maka Yudas,
walaupun secara fisik, bersama Yesus dan menjadi murid-nya, tetapi secara
batiniah nous-nya, yang telah
dibutakan dan dikuasai oleh cinta akan uang, harta dan kekayaan itu, belum
dibaharui sehingga dapat menjadi “alat” yang dipakai iblis untuk melakukan
kejahatan (bnd. Luk.22:3). ‘Mata batin’ (nous) dari Yudas telah dibutakan sehingga ia tidak lagi mampu
membedakan mana tindakan yang salah dan mana tindakan yang benar. Karena nous-nya telah ditaklukkan oleh iblis
sehingga ia berani mengkhianati dan menjual gurunya itu. Mestinya Yudas berani
menolak karena Yesus adalah gurunya, tetapi yang terjadi, ia malah pergi
meminta imbalan, jika ia menyerahkan Yesus. Menurut Injil Lukas, iblis masuk ke
dalam Yudas dan memperalat dia sehingga ia pergi kepada para pemimpin agama
untuk menyerahkan Yesus kepada mereka (bnd. Luk. 22:3-4). Yohanes lebih tegas
lagi, dengan menyebut Yudas sebagai iblis (Yoh. 6:70). Sikap Yudas ini
mengingatkan setiap pengikut Yesus bahwa kedekatan seseorang dengan Yesus belum
tentu menjamin bahwa dirinya tidak dikuasai oleh iblis, jika ia tidak
membaharui nous-nya. Sebab jika nous-nya masih dikuasai oleh kecintaan
akan uang atau harta dan meghambakan diri padanya atau menjadi hamba mamon maka
ia dapat menjadi alat iblis untuk melakukan kejahatan korupsi” (70 Tahun GMIT…, in.loc.cit. hlm. 381-382).
Sebenarnya
Samuel Hakh pernah membahas kata Yunani, nous dalam buku, AKAL BUDI & HATI NURANI (Penerbit:
Bina Media Informasi Bandung, 2014:18-19). Kata Yunani nous yang Samuel Hakh
jelaskan dalam buku terbitan tahun 2014 tersebut, berbeda atau tidak sama
dengan nous yang diuraikan dalam artikel “Korupsi Menurut Perjanjian
Baru” (tahun 2017). Jadi, dalam benak saya timbul pertanyaan: mana yang benar!?
Saya
coba mencermati rujukan yang dipakai oleh Samuel Hakh yang mengatakan bahwa “Kata nous
dalam dunia Helenis adalah mata batin”. Namun saya tidak memperoleh
petunjuk yang jelas. Apakah uraian tentang nous (= mata batin) dalam dunia
Helenis itu terdapat dalam buku karya Norval Galdenhuys yang disebut pada
catatan kaki nomor 135 pada halaman 382?
Entahlah; namun saya yakin, tidak! Sebab, tidak mungkin Norval
Galdenhuys menjerumuskan dirinya dalam jurang kesalahan yang menghancurkan
reputasinya. Menurut pertimbangan saya, Samuel Hakh merumuskan arti nous
yakni mata batin berdasarkan asumsinya sendiri. Rupanya Samuel Hakh
mengasosiasikan mata batin dengan mata hati.
Dalam
Efesus 1:18 (PBYI) terdapat ungkapan bahasa Yunani ophthalmous tes kardias yang
diterjemahkan oleh LAI dengan mata hati. Rupanya dari ungkapan
inilah Samuel Hakh menganalogikan nous artinya mata batin. Apabila ini yang terjadi, tetap salah juga,
karena dalam PBYI tidak terdapat ungkapan ophthalmous tes nous yang boleh diartikan
sebagai “mata akal budi” atau “mata pikiran”.
Berdasarkan
sumber yang saya miliki, nous sebagai
suatu istilah bahasa Yunani non-semitis dalam filsafat Plato berarti: 1 reason (bersinonim dengan mind yang
menyarankan arti: akal budi, pikiran, daya pikir, akal sehat); 2 intuition
(daya
batin
untuk mengetahui atau mengerti sesuatu tanpa berpikir atau belajar; 3 intellectual
faculty (berkenaan dengan daya
pikiran berdasarkan intuisi (penjelasan selengkapnya, baca: A POCKET LEXICON To The GREEK NEW TESTAMENT.
Alexander Souter, M.A., Oxford University Press 1943:168).
Berdasarkan
catatan di atas, sesungguhnya tidak benar apabila Samuel Hakh katakan bahwa
dalam dunia Helenis, nous adalah mata batin… Nous, pada hakikatnya hanya
menyarankan arti: reason (mind); intuisi (intuition);
dan daya
pikiran berdasarkan intuisi. Perlu dicatat bahwa kata intuition,
dalam bahasa Inggris artinya:
the
power of the mind by which it
immediately perceives the truth of things without reasoning or analysis (Chambers Twentieth Century Dictionary. W & R Chambers. London 1972:689). Kata intuition
telah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi intuisi, dan diartikan
sebagai: daya batin (daya atau kemampuan mengetahui atau memahami
sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari; bisikan hati; gerak hati).
Intuisi atau daya batin (menurut terjemahan dalam bahasa Indonesia) dan/atau daya pikiran [power of the mind]
berdasarkan intuisi (intellectual faculty) tidak sama dengan mata batin; sebab mata
batin hanya menyarankan arti sebatas bagian batin yang paling dalam;
perasaan dalam hati, untuk menghayati dan memahami sesuatu.
Sumber
kedua tentang nous yang saya miliki, dapat dibaca dalam A THEOLOGICAL WORD BOOK OF THE BIBLE (Alan Richardson, D.D. SCM
PRESS LTD. Bloomsbury Street London, 1962:144-146; 257). Sedikit cuplikan saya berikan disini: Dalam Perjanjian Baru bahasa Yunani kata dianoia
dan nous dipergunakan terutama untuk menyarankan arti mind atau
reason
(secara umum) dalam bahasa
Inggris, yang dalam bahasa Indonesia menyarankan arti (secara umum): akal
budi, pikiran, daya pikir, akal sehat, kecerdasan, cara berpikir, bakat,
pembawaan, perasaan.
Nous
(akal budi; pikiran),
dipergunakan secara umum, antara lain dalam Roma 7:23, 26; 1Korintus 14:14,15; Efesus
4:17,23; Filipi 4:7; Kolose 2:18; 1 Timotius 6:5; 2 Timotius 3:8; Titus 1:15;
Wahyu 17:9. Sedangkan nous yang Paulus pergunakan dalam
Roma 11:34 dan 1 Korintus 2:16 secara khusus menyarankan arti daya
pikiran berdasarkan intuisi (daya batin) Yesus. Dengan daya
pikiran berdasarkan intuisi (daya batin) inilah, Yesus
mengetahui dan memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari. Sebagai contoh, saya ambil dari Lukas 22:3-4: “Lalu masuklah Iblis ke dalam Yudas, yang
bernama Iskariot, seorang dari kedua belas murid itu. Yudas pun pergi kepada
imam-imam kepala dan kepala-kepala pengawal Bait Allah dan berunding dengan
mereka, bagaimana ia dapat menyerahkan Yesus kepada mereka. Kemudian
perhatikan lagi Lukas 22:21, kata Yesus: “Tetapi,
lihat, tangan orang yang menyerahkan Aku, ada bersama dengan Aku di meja ini.” Dari mana Yesus tahu bahwa Yudas sudah
merencanakan penyerahan diri-Nya kepada imam-imam kepala dan kepala-kepala
pengawal Bait Allah? Yesus tahu, karena nous yang
menyarankan arti daya pikiran berdasarkan intuisi (daya batin) yang bergelut aktif dalam batin-Nya!
Contoh
berikutnya, juga dari Lukas 22:33-34: “Jawab
Petrus kepada-Nya, ‘Tuhan, aku bersedia masuk penjara dan mati bersama-sama
dengan Engkau!’ Tetapi Yesus berkata, ‘Aku berkata kepadamu, Petrus, hari ini
ayam tidak akan berkokok, sebelum engkau tiga kali menyangkal bahwa engkau
mengenal Aku.’” Kemudian, perhatikan hubungannya dalam Lukas 22:54-62.
Setelah Yesus ditangkap dan digiring ke rumah Iman Besar, Petrus mengikuti dari
jauh sampai ke tengah-tengah halaman rumah itu. Seorang hamba perempuan melihat
Petrus duduk dekat api. Perempuan itu mengamati Petrus, lalu berkata,
‘orang ini juga bersama-sama dengan
Dia.’ Tetapi Petrus menyangkal, katanya, ‘Aku tidak kenal Dia…!’
Penyangkalan
Petrus terjadi tiga kali. Dan pada penyangkalan yang ketiga, berkokoklah ayam,
lalu Yesus berpaling dan memandang Petrus. Maka teringatlah Petrus bahwa Yesus
telah berkata kepadanya, ‘Sebelum ayam berkokok pada hari ini, engkau telah
tiga kali menyangkal Aku’. Lalu Petrus pergi ke luar dan menangis dengan sedih.
Dari
manakah Yesus, sebelum ditangkap dan digiring ke rumah Imam Besar, mengetahui
bahwa Petrus akan menyangkali-Nya tiga kali sebelum ayam berkokok? Yesus
tahu, karena nous yang menyarankan arti daya pikiran berdasarkan intuisi (daya
batin) yang bergelut aktif dalam batin-Nya! Perhatikan pula Yohanes
13:21,26,27, dan 36-38. Saya yakin pembaca tulisan ini dapat
menyebutkan contoh-contoh lain.
Itulah
keistimewaan nous yang menyarankan arti daya pikiran berdasarkan intuisi (daya
batin).
Manusia memiliki nous dalam arti seperti yang disebutkan di sini, namun lantaran
kejatuhan manusia ke dalam dosa, maka nous yang menyarankan arti daya
pikiran berdasarkan intuisi (daya batin) telah mengalami kelumpuhan
(lemah, tidak berdaya). Dan karena dosa maka nous yang
menyarankan arti akal budi dan pikiran pun menjadi lemah
dan tidak tahan uji; serta akal budi dan pikiran yang ditolak
oleh Allah. Dalam Roma 1:28, nous manusia yang telah jatuh ke
dalam dosa dilukiskan sebagai adokimon noun. LAI menerjemahkan
ungkapan bahasa Yunani ini dengan pikiran-pikiran yang terkutuk. Tetapi
saya memahami dan menghayati makna adokimon noun sebagai pikiran-pikiran
yang tidak tahan uji; atau pikiran-pikiran yang ditolak; sebab
kata Yunani adokimon artinya tidak tahan uji; ditolak.
Namun
Allah—dengan perantaraan Yesus Kristus dan Roh Kudus—dapat memulihkan daya
pikiran berdasarkan intuisi (daya batin) maupun nous dalam
arti umum (akal budi; pikiran), serta dianoia,
dan kardia manusia yang hendak dipakai-Nya sebagai “pengikut Yesus”
dan “saksi Yesus” yang tangguh, untuk mewartakan dan bersaksi tentang kebenaran
Injil keselamatan. Paulus merupakan contoh nyata orang yang nous dan
dianoia,
serta kardia-nya dipulihkan oleh Allah. Paulus—dari seorang penganiaya
pengikut-pengikut Yesus—dipilih oleh Allah menjadi seorang rasul Yesus yang
militan!
Di
samping nous yang dibahas di atas, dianoia yang menyarankan arti akal
budi, pikiran, pemikiran, maksud, tujuan, niat, rencana, dipergunakan
antara lain dalam hukum yang terutama, yang Yesus katakan: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu (tē kardia[i] sou)… dengan segenap jiwamu (tē psuchē[i] sou)… dengan segenap akal budimu (tē dianoia
sou) (Matius 22:37; Markus 12:28; Lukas 10:27); dan Ibrani 8:10; 10:16; 1 Petrus 1:13; 2
Petrus 3:1; 1 Yohanes 5:20.
Mengapa
dalam hukum terutama dalam tiga perikop Injil yang disebutkan di atas ini
Yesus, menurut ketiga penulis Injil itu, tidak mempergunakan nous,
melainkan dianoia untuk menyarankan
arti akal
budi?
Inilah
penjelasannya: nous meant in class. Gk.
intellect or reason (esp. in philosophers), and also mind in a more general sense, including feeling; dianoia was not extended to include feeling, but could mean intention
or purpose; and also was used
for a specific thought, as nous was not (Alan Richardson,
in.loc.cit.).
Berdasarkan
penjelasan di atas ini maka tujuan, niat, rencana Yudas menyerahkan
Yesus kepada imam-imam kepala dan kepala-kepala pengawal Bait Allah (Lukas 22:3,4, dyb), tidak ada
kaitannya dengan aktivitas nous melainkan aktivitas dianoia Yudas Iskariot.
Lukas
22:3, khususnya frasa yang berbunyi, “Lalu
masuklah Iblis ke dalam Yudas…,” (transkripsi teks bahasa Yunani, Eisēlthen
de Satanas eis Youdav…”) dapat dibaca dan/atau dipahami, “Lalu jatuhlah Yudas ke dalam pencobaan
Iblis”. Sebab transkripsi kata Yunani dalam frasa ayat itu, eisēlthen,
adalah bentuk deklensi dari kata eiserchomai, yang tidak saja berarti
masuk,
melainkan jatuh ke dalam (pencobaan).
Patut
dicatat pula bahwa kata Yunani kardia (hati) merupakan tempat atau kedudukan akal
budi, pikiran, perasaan, dan kehendak (Matius 15:19; Markus 7:21). Kardias anthrōpos adalah manusia
batiniah (1 Petrus 3:4) di mana pengalaman keagamaan berakar di
dalamnya, serta menentukan tabiat serta tingkah laku (1 Petrus 3:4-7; Kisah
16:14; Roma 5:5; Efesus 3:17). Kardia (hati) merupakan pusat kehidupan yang diperebutkan
oleh “penguasa kegelapan, yakni Iblis” versus “penguasa terang kehidupan, yakni
Allah dengan perantaraan Yesus Kristus dan Roh Kudus”. Apabila “penguasa terang
kehidupan” menguasai kardia, maka dari dalam hati manusia
akan mengalir aliran-aliran air hidup (Yohanes 7:38) Dan dianoia (akal budi; pikiran; pemikiran; maksud; tujuan; niat; rencana)
manusia dalam arti umum, akan dijuruskan oleh penguasa terang kehidupan, yaitu
Allah dengan perantaraan Yesus Kristus dan bimbingan Roh Kudus untuk hidup
di dalam Roh menuju kemuliaan dan keselamatan (Roma 7:21-25; 8:1-17).
Akan
tetapi apabila “penguasa kegelapan, yakni Iblis” menguasai kardia, maka dianoia (akal budi; pikiran; pemikiran; maksud; tujuan; niat; rencana) manusia
akan dijuruskan oleh “penguasa kegelapan, yakni Iblis” untuk hidup di dalam daging (kejahatan, kefasikan, kebusukan) menuju kebinasaan.
Contoh
dan bukti yang mengukuhkan penjelasan di atas ini secara lugas dapat dilihat
pada Yudas Iskariot. Dalam Yohanes 13:2, dikatakan begini: “Ketika mereka sedang makan
bersama, Iblis telah membisikkan
rencana dalam hati Yudas Iskariot,..”
Samuel Hakh ternyata tidak teliti, sehingga perikop Yohanes 13:2 ini
terlangkaui. Samuel Hakh hanya fokus pada nous Yudas Iskariot yang diberi arti
[sekehendak hati] sebagai mata batin yang telah dibutakan
oleh Iblis! Samuel Hakh tidak melihat
kardia (hati) sebagai benteng utama yang
harus ditaklukkan, agar dianoia dapat dijuruskan sesuai dengan bisikan hati dan/atau dorongan
hati.
Perhatikanlah
apa yang dilakukan Yudas Iskariot setelah Iblis membisikkan rencana dalam
hatinya. Perhatikan pula apa kata Petrus kepada Ananias dalam Kisah Para Rasul
5:3: “Ananias, mengapa hatimu dikuasai Iblis, …” Dari hati yang dikuasai Iblis akan timbul segala pikiran jahat… (Matius 15:19;
Markus 7:21,22). Dalam Matius 15:19 dan Markus 7:21 (PBYI), kata Yunani yang
pergunakan untuk menyarankan arti pikiran, yakni dialogismoi.
Dialogismoi
merupakan
“pikiran atau pemikiran spesifik” dari dianoia. Dengan demikian, ketika
Yudas Iskariot bertemu dengan imam-imam kepala dan kepala-kepala pengawal untuk
berunding dan mengatur siasat, bukan nous yang berperan aktif dalam benak Yudas Iskariot, melainkan dianoia
dan dialogismoi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar