Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti
Catatan pengantar
Artikel tentang Adventus Natal telah saya muat di blog www.bianglalahayyom.blogspot.co.id., edisi Selasa, 02 Desember 2014. Oleh karena bermacam-macam perkembangan yang terjadi antara tahun 2015 hingga tahun 2019, maka Adventus Natal saya bahas lagi dalam artikel ini. Itulah sebabnya artikel ini saya beri judul, “Sekali lagi tentang: Adventus Natal”.
Pembahasan topik
Adventus (kata Latin), artinya “kedatangan”. Kata adventus merupakan terjemahan alternatif dari kata Yunani, parousia, artinya “kedatangan”. Dalam bahasa Inggris, “advent”, artinya “coming” (= kedatangan), atau “arrival” (= kedatangan).
Adventus (Latin), atau parousia (Yunani), atau “advent” (Inggris), yang diindonesiakan menjadi adven artinya “kedatangan”, dalam teologia agama kristen menunjuk pada pengharapan eschatologis, yaitu menyangkut pengharapan berdasarkan doktrin mengenai zaman akhir (Yunani: eschatos) berkenaan dengan “kedatangan Kristus sebagai hakim dunia pada akhir zaman”.
Kemudian, Gereja menganggap kehidupan Yesus dalam inkarnasi (penjelmaan, atau pengambilan wujud menjadi manusia) sebagai “kedatangan yang pertama”, dan “kedatangan yang kedua akan terjadi pada masa depan (akhir zaman)”.
Kalender gerejawi mengenai masa adven, atau adventus, pada mulanya enam minggu, kemudian ditetapkan menjadi empat minggu, sebagai masa persiapan menyongsong Hari Natal. Di kalangan orang-orang Kristen tertentu adventus diingat sebagai masa puasa dan doa, sekaligus sebagai masa persiapan menyongsong Hari Natal dalam rangka memperingati kedatangan Yesus sebagai manusia melalui kelahiran-Nya di Betlehem.
Selain itu, adventus juga dihayati sebagai penyadaran iman menyongsong hari kedatangan Yesus (kedua kali) pada akhir zaman. Berdasarkan pemahaman seperti ini maka keterangan singkat yang dimuat dalam Warta Pelayanan Jemaat Gunung Sinai Naikolan edisi Minggu, 21 Desember 2014 yang menyatakan bahwa “masa adventus adalah masa penyadaran diri dan pertobatan” dapat dibenarkan sebagian, yaitu “masa penyadaran diri”, sedangkan (masa) “pertobatan” patut dihapus, karena “pertobatan” dalam iman Kristen harus berlangsung setiap saat seperti “bernapas untuk hidup”. Iman Kristen tidak mengenal masa pertobatan empat kali pada masa adventus selama empat minggu menyongsong Natal. Iman Kristen tidak mengenal masa pertobatan tujuh kali pada masa prapaskah selama tujuh minggu prapaskah. Iman Kristen tidak mengenal masa pertobatan yang ditonjolkan secara sangat khusyuk pada masa Jumat Agung dan masa Paskah. Iman Kristen bahkan tidak mengenal masa pertobatan yang luar biasa pada saat menghadiri Ibadah Perjamuan Kudus tiga atau empat kali setahun dengan membawa amplop tebal berisi rupiah untuk ditaruh di kotak syukur dan/atau kotak nazar. Sekali lagi: pertobatan dalam iman Kristen berlangsung setiap saat, seperti bernapas untuk hidup.
Adventus (kedatangan) yang pertama sudah terjadi lebih dari “dua ribu dua puluh tahun” yang lampau, yaitu kedatangan Yesus melalui kelahiran-Nya di Betlehem. Mengenai tahun kelahiran Yesus, tidak ada keseragaman pendapat di antara para ahli.
F. R. Montgomery Hitchcock dalam Hastings’ D.C.G. hlm. 408 dyb mengatakan, Yesus lahir pada tahun 5 sebelum Masehi. Dr. A. C. Bouquet, dalam Comparative Religion, 1945:179 dan Good News Bible, TEV 1978:358 mengatakan, Yesus lahir pada tahun 6 sebelum Masehi. Robert Ernest Hume, Ph.D., dalam The World Living Religion, 1933:236 mengatakan, Yesus lahir pada tahun 4 sebelum Masehi. Dan dalam buku Saksi Yehuwa, Babylon The Great Has Fallen! God’s Kingdom Rules! Watch Tower Bible & Tract Society of Pennsylvania, 1963:686, dikatakan bahwa Yesus lahir pada tahun 2 sebelum Masehi.
Berdasarkan hasil penelitian saya—setelah menyelisik dan membandingkan berbagai sumber data dengan teori vibrasi berkenaan dengan “jejak-jejak Israel paling awal yang baru muncul pada sekitar tahun 1300 sebelum Masehi”—saya memperoleh petunjuk bahwa Yesus lahir pada tahun 6 sebelum Masehi. Karena itu, saya memberikan afirmasi atas penetapan kelahiran Yesus pada tahun 6 sebelum Masehi sebagaimana diperkirakan oleh Dr. Bouquet dan/atau catatan dalam Good News Bible TEV sebagaimana telah disebutkan di atas. Dengan demikian, tahun Masehi 2020 semestinya tahun 2026.
Kembali ke pokok pembicaraan tentang adventus, maka empat minggu adventus sebelum perayaan Natal pada tanggal 25 Desember setiap tahun itu, hanya sebagai masa-masa persiapan menyongsong dan/atau menyambut perayaan Natal. Sekaligus sebagai “lonceng peringatan” bagi kita bahwa sesungguhnya setiap waktu kita sedang berada dalam masa penantian akan “kedatangan Yesus (yang kedua), yang akan terjadi pada masa depan (akhir zaman)”.
Kapan akan terjadi “kedatangan (adventus) yang kedua”? Kata Yesus: “Tetapi tentang hari atau saat itu tidak seorang pun yang tahu, malaikat-malaikat di sorga tidak, dan Anak pun tidak, hanya Bapa saja” (Markus 13:32; Matius 24:36). Dengan demikian, setiap waktu atau setiap hari, kita senantiasa berada dalam masa penantian akan “kedatangan Yesus” (yang kedua).
Catatan sisipan
1. Pada tahun 2001, ketika saya genap berusia 61 tahun pada 9 Oktober, saya memperoleh petunjuk melalui suatu pengalaman spiritual bahwa adventus bagi saya pribadi menuju ke batas usia harapan hidup 70 tahun dan/atau 80 tahun (Mazmur 90:10), jika dikehendaki Tuhan, menunjuk kepada “hari kedatangan kematian” atau “hari menyambut kematian”. Karena itu, saya disadarkan untuk senantiasa berjaga-jaga (waspada) melalui petunjuk Injil Markus 13:33-37 dan Lukas 12:35-48. Kedua perikop Injil itu hendaknya ditafsirkan dan dipahami secara kiasan (alegori). Alasan untuk ini saya temukan berdasarkan bimbingan Roh Kudus sebagai berikut:
Doktrin mengenai akhir zaman (eschatos) berkenaan dengan kedatangan Kristus sebagai hakim dunia pada akhir zaman hendaknya disadari pula secara kiasan sebagai tanda tunjuk, yang menunjuk pada akhir jalan hidup manusia, yaitu menjelang mati (eschatōs echō) yang tidak seorangpun tahu tentang hari, tanggal, bulan, dan tahunnya. Meskipun demikian, berdasarkan petunjuk yang tersirat di dalam Perjanjian Baru, tahun kematian dapat terjadi tepat pada siklus vibrasi tahun kelahiran (ulang tahun) atau dalam 4, 3, 2, atau 1 tahun sebelum luas siklus vibrasi tahun kelahiran (ulang tahun) dan /atau dalam 1, 2, 3, atau 4 tahun sesudah luas siklus vibrasi tahun kelahiran (ulang tahun). Baca artikel saya berjudul “Vibrasi Tahun Kelahiran dan Tahun Kematian” (www.bianglalahayyom.blogspot.co.id., edisi Sabtu, 03 Maret 2018)”.
Salah satu contoh yang sangat mengharukan, tetapi mengesankan dan “indah” terjadi pada istri saya, Maria Magdalena Netti-Nge, dan dengan sendirinya dialami pula oleh saya [Almodat Godlief Hadzarmawit Netti] sebagai suami:
· Pada hari Minggu, 1 Februari 1942, Maria Magdalena Nge lahir di Bilba, Pulau Rote.
· Pada hari Sabtu, 1 Februari 1969, bertepatan dengan hari ulang tahun yang ke-27, Maria Magdalena Nge menikah dengan A. G. Hadzarmawit Netti di Papela Kecamatan Rote Timur. Fam suami serta-merta disandangkan pada namanya sehingga ia disapa, Maria Magdalena Netti-Nge.
· Pada hari Sabtu, 1 Februari 2020 Maria Magdalena Netti-Nge meninggal dunia, ketika genap berusia 78 tahun dan ketika pernikahan dengan suaminya, A. G. Hadzarmawit Netti genap 51 tahun.
Kematian seperti yang terjadi atas Maria Magdalena Netti-Nge tergolong kematian yang sesuai dan selaras benar (100%) dengan siklus vibrasi tahun kelahiran; siklus vibrasi tahun pernikahan; dan siklus vibrasi tahun kematian sebagai mana diuraikan dalam hasil penelitian saya tentang “Vibrasi Tahun Kelahiran dan Tahun Kematian”. Sebagai orang yang sungguh percaya kepada TUHAN yang menyatakan presensi-Nya dalam Yesus Kristus dan Roh Kudus, saya mau bersaksi dengan penuh keyakinan bahwa : “TUHAN menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya;”(Mazmur 37:23a); dan “Langkah kaki orang-orang yang dikasihi-Nya dilindungi-Nya,” (1 Samuel 2:9a).
Oleh karena adventus dalam jejak langkah kehidupan manusia merupakan “tanda tunjuk” yang menunjuk pada “akhir jalan hidup manusia” yaitu “menjelang mati” (eschatōs echō), maka setiap orang percaya terpanggil untuk senantiasa hidup di dalam Tuhan, agar apabila kematian datang menjemput, ia terhisab ke dalam orang yang berbahagia: “… Berbahagialah orang-orang mati yang mati dalam Tuhan, sejak sekarang ini .” “Sungguh,” kata Roh, “supaya mereka boleh beristirahat dari jerih lelah mereka, karena segala perbuatan mereka menyertai mereka.” (Wahyu 14:13).
2. Ada tiga ungkapan berkenaan dengan kata adventus, yang sebaiknya diketahui pula karena sering dikatakan oleh beberapa Pendeta, yaitu: adventus in carnal, adventus in spiritus, dan adventus in gloria.
Ungkapan adventus in carnal, atau adventus in carnis, berasal dari bahasa Latin, artinya: kedatangan dalam tubuh. Kedatangan Yesus ke dalam dunia melalui inkarnasi (dikandungkan dan dilahirkan oleh Maria), adalah adventus in carnal, atau adventus in carnis. Kata inkarnasi (bahasa Indonesia) yang dipungut dari bahasa Inggris, incarnation, berasal dari kata Low Latin, incarnāre, incarnātum—Latin, in; Inggris, in; Indonesia, dalam; Latin, carō, carnis; Inggris, flash; Indonesia, daging; tubuh.
Ungkapan adventus in spiritus, berasal dari bahasa Latin, artinya: kedatangan dalam roh. Adventus in spiritus menunjuk kepada “kedatangan Roh Kudus pada hari Pentakosta”, yaitu hari pencurahan Roh Kudus ke atas para rasul.
Ungkapan adventus in gloria, berasal dari bahasa Latin, artinya: kedatangan dalam kebesaran; atau kedatangan dalam keagungan; atau kedatangan dalam kemuliaan. Adventus in gloria menunjuk kepada kedatangan Yesus pada akhir zaman: “Pada waktu itu orang akan melihat Anak Manusia datang dalam awan dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya.” (Lukas 21:27, dyb); atau sebagaimana dikatakan oleh penulis surat Titus pasal 2:13: “dengan menantikan penggenapan pengharapan kita yang penuh bahagia dan penyataan kemuliaan Allah yang Mahabesar dan Juruselamat kita Yesus Kristus”.
3. Dalam Tata Ibadah Minggu Adven I Rayon Klasis Kota Kupang, 30 November 2014, dengan tema, “Sang Raja Akan Datang”, pada unsur liturgi Panggilan Beribadah, khususnya pada Jawaban Jemaat, terdapat suatu frasa (bagian dari kalimat) yang perlu dikoreksi. Frasa tersebut berbunyi sebagai berikut: “… kami menantikan kedatangan Yesus kedua kalinya, yang dikenal dengan hari Maranatha…”
Dalam Kamus Teologi Inggris-Indonesia (Henk Ten Napel. BPK GM Jakarta, 2012:203), kata Maranatha, asal kata bahasa Aram, artinya, “Datanglah, ya Tuhan”. Kata ini adalah doa umat Kristen. Sedikit tambahan dapat saya berikan sebagai berikut: Maranatha berasal dari bahasa Aram, ada dua bentuk kata: pertama, bentuk kata, marana tha, artinya “Tuhan kami, datanglah!” atau “Datanglah, Tuhan kami!”; kedua, maranatha dapat dipahami pula menurut bentuk kata bahasa Aram, maran atha, artinya “Tuhan kami telah datang”, atau “Tuhan kami [segera akan] datang !” Ungkapan bahasa Aram, marana tha, yang diindonesiakan menjadi maranatha, artinya “Tuhan kami, datanglah!” atau “Datanglah, Tuhan kami!” pada hakikatnya merupakan “doa umat Kristen (jemaat induk berbahasa Aram) di Jerusalem”.
Doa seperti itu dipraktikkan juga di kalangan umat Kristen berbahasa Yunani, tetapi ungkapannya bukan dalam bahasa Aram, marana tha, melainkan dalam ungkapan bahasa Yunani, erchou kurie, yang artinya “datanglah, Tuhan!” atau “Tuhan, datanglah!” Ungkapan doa pengharapan akan kedatangan Tuhan dalam bahasa Yunani ini terdapat dalam Wahyu 22:20 bagian akhir yang berbunyi: Amēn, erchou kurie Iēsou (Amin, datanglah, Tuhan Yesus). Sedangkan ungkapan doa pengharapan akan kedatangan Tuhan dalam bahasa Aram, marana tha, satu kali dipergunakan oleh rasul Paulus dalam 1 Korintus 16:22 : ei tis ou philei ton kurion, ētō anathema. Marana tha. (Siapa yang tidak mengasihi Tuhan, terkutuklah ia. Maranatha!). Dalam ayat ini Paulus mempergunakan ungkapan Marana tha (“Datanglah, Tuhan kami!” Atau “Tuhan kami, datanglah!”) sebagai suatu ekspresi pengharapan yang kuat dan tegas berkenaan dengan kutukan yang Paulus kemukakan: “Siapa yang tidak mengasihi Tuhan, terkutuklah ia.” Sebab, pada kedatangan Tuhan, maka Tuhan akan menghakimi setiap orang sesuai dengan perbuatannya masing-masing, termasuk setiap orang yang tidak mengasihi Tuhan yang Paulus kutuk itu.
Berdasarkan tinjauan di atas ini maka frasa “… kami menantikan kedatangan Yesus kedua kali, yang dikenal dengan hari Maranatha”, sesungguhnya rancu, sebab ungkapan Marana tha dalam bahasa Aram adalah ungkapan “doa dan/atau pengharapan akan kedatangan Yesus: “Tuhan kami, datanglah!” atau “Datanglah, Tuhan kami!” yang tertuju dan/atau terarah kepada kedatangan Yesus pada akhir zaman yang dinanti-nantikan, yang dikenal dengan sebutan parousia. Dengan demikian, rumusan kalimat sebagai jawaban jemaat atas panggilan beribadah dalam Tata Ibadah Minggu Adven I, Rayon IV Klasis Kota Kupang, 30 November 2014 itu, lebih pas jika dirumuskan sebagai berikut: “Ya, kami siap menyongsong peringatan Natal Yesus dengan penuh suka cita. Dan kami pun siap menyongsong kedatangan Yesus (yang kedua kalinya) dengan penuh kepastian iman dan harap: Maranatha! (Datanglah, Tuhan kami!).”
4. Ungkapan “kedatangan Yesus (kedua kali)”, atau “kedatangan Yesus pada akhir zaman” dalam Perjanjian Baru disebutkan dengan beberapa variasi ungkapan, misalnya: “kedatangan Anak Manusia” [hē parousia tou huiou tou anthrōpou] (Matius 24:27,37,39); “kedatangan Yesus, Tuhan kita” [hē parousia tou kuriou hēmōn Iēsou] (1 Tesalonika 3:13); “kedatangan Tuhan” [tēn parousian tou kuriou] (1 Tesalonika 4:15); “kedatangan Tuhan kita, Yesus Kristus” [tē parousia tou kuriou hēmōn Iēsou Christou] (1 Tesalonika 5:23). Selain ungkapan-ungkapan ini terdapat pula ungkapan: “hari Tuhan” [hēmeran kuriou] (Kisah 2:20; 1 Tesalonika 5:2; 2 Petrus 3:10); “kedatangan hari Allah” [tēn parousian tēs tou theou hēmeras] (2 Petrus 3:12); “hari Tuhan kita Yesus Kristus” [tē hēmera tou kuriou hēmōn Iēsou (Christou)] (1 Korintus 1:8; 2 Korintus 1:14). Semua ungkapan-ungkapan ini menunjuk kepada kedatangan Yesus; kehadiran Yesus pada akhir zaman, yang dikenal dengan istilah teknis eskatologis, parousia.
5. Dalam Tata Ibadah Adven I edisi Minggu, 1 Desember 2019 dikatakan begini: “Lilin yang berwarna ungu melambangkan pertobatan dinyalakan pada hari Minggu Adven I dan II. Warna ungu mengingatkan kita, bahwa Adven adalah masa di mana kita mempersiapkan jiwa kita untuk menerima Kristus pada hari Natal.” Pada Tata Ibadah Adven II edisi Minggu, 8 Desember 2019 dikatakan begini: “Dua lilin yang berwarna ungu yang dinyalakan pada hari Minggu Adven II, melambangkan pertobatan. Warna ungu mengingatkan kita, bahwa Adven adalah masa di mana kita mempersiapkan jiwa kita untuk menerima Kristus pada hari Natal.” Dalam Tata Ibadah Adven III edisi Minggu 15 Desember 2019 dikatakan begini: “Pada Minggu ini, dua batang lilin ungu dan satu lilin merah muda dinyalakan. Lilin merah muda dinyalakan pada Minggu Adven III yang disebut Minggu ‘Gaudete’ yang berarti ‘sukacita’. Lilin merah muda ini melambangkan adanya sukacita di tengah masa pertobatan karena Natal hampir tiba.”
Catatan sela: “Minggu Adven III disebut Minggu Gaudete. Dari mana sebutan ini dipungut? Ada empat minggu Adven menyongsong Natal: Minggu Adven I, II, III, IV. Dengan demikian, Minggu Adven III tetap disebut Minggu Adven. Bukan Minggu Gaudete. Dari bahasa mana, kata Gaudete dipungut? Tidak ada kata atau istilah Gaudete. Yang ada, ialah kata Gaudere—berasal dari bahasa Latin, gaudēre; bahasa Prancis kuno, gaudir. Kata Latin, gaudēre, artinya “to be glad” = senang, gembira, riang; dan kata Latin gaudium, artinya “joy; gladness” = kegembiraan, kegirangan, kesenangan hati. (Chambers Twentieth Century Dictionary. Edinburgh. 1972:539).
Rupanya, penyusun Tata Ibadah Minggu Adven III memungut kata atau istilah Gaudete dari Kamus Teologi Inggris-Indonesia yang disusun oleh Henk Ten Napel, BPK GM Jakarta, 2012, hlm.147. Dalam kamus yang disebutkan ini, tercatat: Gaudete [L. bersukacitalah] Minggu Gaudete: hari Minggu ketiga dalam masa Adven.” Ternyata, Henk Ten Napel selaku penyusun kamus ini pun salah, sebab sesungguhnya tidak ada kata Latin, gaudete yang artinya bersukacitalah. Yang ada dan yang benar adalah kata Latin, gaudeāmus, yang artinya “let us be glad” (= marilah kita bersuka cita; marilah kita bergembira); gaudeāmus igitur yang artinya “So let us be joyful” (= oleh sebab itu marilah kita bersuka cita; oleh sebab itu marilah kita bergembira); dan kata Latin, gaudēre artinya “to be glad” (= senang, gembira, riang); sedangkan kata Latin, gaudium artinya “joy; gladness” (= kegembiraan, kegirangan, kesenangan hati).
Penyusun Tata Ibadah Minggu Adven III menyangka kata gaudete dalam Kamus Teologi Inggris-Indonesia yang disusun oleh Henk Ten Napel itu benar sehingga kata itu dikutip, padahal salah. Inilah yang disebut, “take for granted” (menganggap benar, mengira benar, menyangka banar) lalu mengutip, padahal salah!
Tetapi ada sumber lain (dari Gereja Roma Katolik) yang menjelaskan tentang Adventus Natal (“Straight Answers”: The Celebration of Advent” by FR. William P. Saunders, yang diterjemahkan oleh Yesaya). Dalam sumber ini dijelaskan pula tentang “tiga batang lilin berwarna ungu melambangkan tobat, persiapan dan kurban, sebatang lilin berwarna merah muda melambangkan hal yang sama, tetapi dengan menekankan Minggu Adven Ketiga, Minggu Gaudate, saat kita bersukacita karena persiapan kita sekarang sudah mendekati akhir…” Saya tidak bermaksud mempersoalkan landasan teologis-alkitabiah dari penjelasan tentang Adventus dalam kutipan ini, karena penjelasan di atas ini berada dalam domain Gereja Roma Katolik.
Yang hendak saya singgung ialah: rupanya
penyusun Tata Ibadah Minggu Adven III dari Sinode GMIT merujuk penjelasan
tentang lilin berwarna ungu dan lilin berwarna merah muda dari sumber yang saya
sebutkan di atas, dengan sedikit mengubah kata-kata dan/atau kalimat. Jikalau
dugaan ini benar, maka GMIT telah menjadi imitaror (peniru) tanpa
mempertimbangkan landasan teologis-alkitabiah dari apa yang ditiru. Selain itu,
Dalam sumber Roma Katolik yang saya kutip di atas, Minggu Adven Ketiga adalah Minggu
Gaudate; sedangkan dalam Tata Ibadah Minggu Adven III
GMIT disebut Minggu Gaudete.
Mana yang benar? Gaudate, atau
Gaudete! Sebab, di
atas telah saya berikan bukti bahwa dalam kamus Chambers Twentieth Century Dictionary, tidak terdapat kata Latin gaudate dan/atau gaudete! Kata Latin
yang ada hanyalah gaudēre, gaudium, gaudeāmus; dalam bahasa Prancis Kuno, gaudir,
dan
bahasa Prancis Modern, gauder.
Kemudian, dalam Tata Ibadah Malam Menyongsong Natal edisi Selasa, 24 Desember 2019 dikatakan begini: “Jemaat kekasih TUHAN, kini kita telah tiba pada malam Natal, menjelang kelahiran Yesus di Betlehem.” Catatan koreksi: Kalimat ini sangat rancu! Mengapa saya katakan kalimat ini rancu? Ini jawabannya: hari Selasa, 24 Desember 2019 itu bukan malam Natal menjelang kelahiran Yesus di Betlehem; melainkan malam-ibadah-menyongsong Perayaan Natal Yesus Kristus yang akan diperingati dan/atau dirayakan oleh Gereja pada 25 Desember 2019! Kalimat selanjutnya dalam Tata Ibadah tersebut berbunyi begini: “Pada Malam Natal ini, tiga batang lilin ungu dan satu lilin merah muda, ditambah satu lilin putih di tengah rangkaian lilin Adven dinyalakan. Lilin putih ini adalah Lilin Kristus (Lilin Natal), yang melambangkan kelahiran Kristus.”
Yang dipertanyakan di sini ialah: Benarkah lilin warna ungu melambangkan pertobatan; lilin warna merah muda melambangkan sukacita; dan lilin putih adalah Lilin Kristus (Lilin Natal) yang melambangkan kelahiran Kristus? Dari sumber manakah konsep ini dipungut?
Dalam buku Melihat Aura Dalam Waktu 60 Detik (Mark Smith. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, 1999), khususnya pada bab 9 tentang “Aura-aura Rohani, halaman 85, 86, dijelaskan begini: “… merah dikhususkan bagi pesta-pesta para martir dan hari raya kedatangannya Roh Kudus, ketika Kristus naik ke sorga dan lidah-lidah api nampak di atas kepala-kepala para Rasul. Putih dikhususkan bagi peristiwa-peristiwa paling penting dalam kalender liturgi Paskah dan Natal. Ungu digunakan selama masa Adven (menjelang Natal) dan masa puasa (saat penyangkalan diri sebelum kebangkitan Kristus)…”
Warna-warna ini telah digunakan dalam ibadah Kristiani selama hampir (bahkan, lebih dari) 1000 tahun, dan ini tidak secara kebetulan. Menurut riwayatnya, warna ungu itu dikhususkan bagi pakaian-pakaian pejabat-pejabat tinggi dalam Gereja Katolik dan raja-raja di Eropa…” Selanjutnya, Mark Smith mencatat pada halaman 91 tentang warna merah muda tersirat di dalamnya unsur “malu-malu” yang melambangkan “kasih tanpa pamrih, kelembutan hati, sopan santun” (hlm. 173). Dan dari sumber lain dalam catatan saya, warna merah muda menunjukkan “citra romantis penuh kasih, perhatian dan peduli yang sangat tinggi”. Perlu dicatat bahwa warna merah muda bukan warna aura-aura rohani melainkan warna asmaraloka.
Berdasarkan tinjauan di atas ini maka keterangan dalam Tata Ibadah Minggu Adven menyongsong Natal pada Desember 2019 yang menyatakan bahwa lilin warna ungu melambangkan pertobatan adalah keterangan yang salah dan mengada-ada! Lilin warna merah muda melambangkan suka cita di tengah masa pertobatan karena Natal hampir tiba” adalah suatu keterangan yang sangat salah dan mengada-ada pula! Karena warna merah muda adalah warna aura romantis menyiratkan unsur malu-malu, dan simbol kasih tanpa pamrih, kelembutan hati, dan sopan santun, serta warna merah muda bukan warna aura rohani”. Dan lilin putih adalah “Lilin Kristus” (Lilin Natal), yang melambangkan kelahiran Kristus adalah keterangan yang mengada-ada. Mengapa? Sebab “warna putih” adalah warna unsur liturgi yang paling penting, bukan saja dikhususkan bagi “Natal”, melainkan juga “Paskah”. Karena itu, jubah dan stola pendeta yang memimpin kebaktian Natal berwarna putih; begitu pula para presbiter yang bertugas pada ibadah Natal mengenakan baju atau kemeja putih dan stola warna putih.
Mengenai Lilin: Dalam Perjanjian Baru, bahan baku lilin dipergunakan untuk membuat batu tulis kecil; dan alat tulis yang dipakai untuk menulis pada permukaan batu tulis kecil yang terbuat dari bahan baku lilin itu adalah pena yang terbuat dari besi. Ini dapat diketahui dari terjemahan harfiah atas Injil Lukas 1:63 (Perjanjian Baru Bahasa Yunani), yang transkripsi bahasa Yunaninya dapat dibaca sebagai berikut: kai aitēsas pinakidion egrapsen legōn, Iōannēs estin onoma autou.
LAI menerjemahkan ayat ini ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut: Ia meminta batu tulis, lalu menuliskan kata-kata ini, “namanya adalah Yohanes”. Terjemahan harfiah dari saya, “Dan ia meminta batu tulis kecil [yang terbuat dari lilin, dengan pena besi] lalu menulis, ‘Yohanes adalah namanya’. …” Terjemahan harfiah yang saya lakukan ini bertujuan agar pembaca Perjanjian Baru masa kini mengetahui latar belakang ayat tersebut terkait dengan bahan baku lilin yang dipakai untuk membuat batu tulis kecil pada masa hidup Zakharia. Perlu dicatat bahwa lilin tidak pernah digunakan sebagai lambang kelahiran Yesus dalam Perjanjian Baru!
Transkripsi kata Yunani, pinakidion artinya batu tulis kecil terbuat dari lilin yang padanya ditulis dengan pena yang terbuat dari besi (A Pocket Lexicon To The Greek New Testament by Alexander Souter, M.A. Oxford 1943:203). Namun, transkripsi kata Yunani, pinakidion ini diterjemahkan secara fungsional ke dalam bahasa Indonesia oleh LAI dengan kata batu tulis saja. Dalam Kamus Yunani-Indonesia yang disusun oleh Barclay M. Newman Jr., BPK GM Jakarta 2002:133, pinakidion diterjemahkan, batu tulis kecil. Dan dalam Kunci Bahasa Yunani Perjanjian Baru (BPK GM 2008:186), pinakidion diterjemahkan secara fungsional dengan kata batu tulis.
Lalu, apakah makna simbolis dari lilin warna ungu yang dinyalakan pada Minggu I, II, III dan IV menjelang Natal? Simbolismenya adalah imbauan berjaga-jaga dalam iman menyambut Natal Yesus (“Raja orang Yahudi”) yang disaksikan oleh orang-orang majus (Matius 2:2). Oleh karena Yesus yang lahir di Betlehem itu berkebesaran [sebagai raja], maka warna ungu adalah warna kebesaran, digunakan dalam Liturgi Natal, baik lilin yang dinyalakan saat ibadah, maupun stola dan baju yang dikenakan oleh para presbiter yang bertugas saat ibadah Adven Natal dilakukan, karena Yesus yang kelahirannya diperingati itu adalah Yesus Yang Berkebesaran sebagai Raja. Dan Yesus yang berkebesaran sebagai Raja itu juga yang sedang dinanti-nantikan kedatangannya pada akhir zaman, yang dikenal dengan istilah teknis eskalologis, parousia, yang simbolismenya menunjuk kepada makna berjaga-jaga yang tersirat dalam kisah “Gadis-gadis yang bijaksana dan gadis-gadis yang bodoh” dalam Injil Matius 25:1-13.
Kemudian, apakah makna lilin warna putih? Benarkah lilin warna putih adalah Lilin Kristus (Lilin Natal), yang melambangkan kelahiran Yesus? Tidak usah mengada-ada! Lilin putih setara dengan lilin ungu yang dinyalakan dalam ibadah khusus. Lilin warna putih dinyalakan pada saat ibadah khusus, misalnya Ibadah Natal dan Ibadah Paskah, seperti lilin warna ungu dinyalakan dalam Ibadah Adven. Warna-warna itu telah diterima dan dipraktikkan dalam Ibadah Kristen berabad-abad lamanya. Tetapi untuk mengapresiasi lilin putih dengan sebutan Lilin Kristus, atau lambang kelahiran Yesus, sesungguhnya sangat mengada-ada dan tidak sesuai dengan amanat Injil. Sebab simbol kelahiran Yesus adalah bintang, sebagaimana kata orang-orang majus: “Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia” (Matius 2:2); dan kata Yesus sendiri sebagaimana ditulis dan/atau disaksikan oleh penulis kitab Wahyu: “Aku, Yesus, telah mengutus malaikat-Ku untuk bersaksi tentang semuanya ini kepadamu bagi jemaat-jemaat. Akulah tunas, yaitu keturunan Daud, bintang timur yang gilang-gemilang.”
Dengan demikian, ornamen bintang atau lampion bintang yang dipajang di puncak pohon natal sesungguhnya sangat tepat menyimbolkan kelahiran Yesus yang diperingati pada Ibadah tanggal 24 Desember malam menyongsong Ibadah Perayaan Natal Yesus Kristus pada tanggal 25 Desember.
Berkenaan dengan warna-warna dalam Alkitab, dapat dicatat beberapa petunjuk sebagai berikut: warna ungu muda, ungu tua, merah menyala (scarlet), merah tua (crimson [kirmizi]), warna campuran merah dan biru adalah warna-warna yang melambangkan kemuliaan, kekudusan, kebesaran, keagungan. Warna-warna itu secara khusus dipakai sebagai ornamen dalam Kemah Suci, dan pakaian kudus bagi imam. Perhatikanlah Perjanjian Lama, antara lain Keluaran 25:4; 26:1,36; 27:16; 28:4,5,6,8; 35:6, 23,25; 38:18,23; 39:1-5; Imamat 14:4,6,49,51,52; Bilangan 4:13; Hakim-hakim 8:26; 2 Samuel 1:24; 2 Tawarikh 2:7,14; 3:14; Ester 1:6; 8:15; Amsal 31:22; Kidung Agung 3;10; 7:5; Yeremia 4:3; 10:9; Yehezkiel 27:7,16; Daniel 5:7,16,29.
Perhatikan pula Perjanjian Baru, antara lain Matius 27:28; Markus 15:17, 20a; Yohanes 19:2,5. Yesus dipakaikan jubah berwarna ungu, kemudian diolok-olok dan disesah. Apakah jubah berwarna ungu yang dipakaikan kepada Yesus itu adalah simbol pertobatan bagi Yesus? Tidak! Sekali lagi: Tidak! Jubah berwarna ungu adalah jubah kebesaran!
Catatan akhir
Inilah artikel bagian kedua yang saya persembahkan kepada Sinode Gereja Masehi Injili di Timor, sebagai respons atas tema khotbah “Gereja di Zaman Modern Mau Dibawa ke Mana?” yang diwedarkan di mimbar Gedung Kebaktian Jemaat Gunung Sinai Naikolan dan Jemaat Kefas, pada Ibadah Hari Minggu, 19 Januari 2020. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar