MEMPELAJARI
sejarah sesungguhnya memberikan kesenangan tersendiri. Kesenangan itu dapat
berupa kesenangan estetis seperti halnya kita mempelajari karya-karya sastra naratif.
Kesenangan lainnya adalah kesenangan pesona perlawatan, karena dari kisah
sejarah yang kita pelajari itu kita seolah-olah sedang melakukan suatu
perlawatan sambil menyaksikan berbagai perkembangan, kejadian, peristiwa, dan
perjuangan dari sekelompok manusia yang hidup di suatu ruang dan waktu yang
jauh dari ruang dan waktu kehidupan kita sekarang ini.
Tetapi sejarah
tidak saja memberikan kepada kita kesenangan sebagaimana disebutkan di atas.
Sejarah juga dapat memberikan kepada kita manfaat. Ada beberapa manfaat yang dapat kita pungut
dari sejarah: manfaat rekreatif, manfaat inspiratif, manfaat instruktif, dan
manfaat kebijaksanaan atau hikmat.
Manfaat
rekreatif dapat membebaskan kita dari monotonitas kehidupan yang cenderung
menenggelamkan kita ke dalam lembah kebosanan hidup sehari-hari. Manfaat
inspiratif dapat menggugah kita dan pikiran kita untuk membuat karya-karya
historis/monumental. Manfaat instruktif dapat memperkaya pengetahuan dan
wawasan kita. Dan manfaat kebijaksanaan atau hikmat dapat menjadi suluh yang
menerangi langkah-langkah perjalanan maupun perjuangan kita yang sementara
hidup kini dan di sini…, menuju ke masa depan yang didambakan.
Memperhatikan
apa yang dikatakan di atas ini, kiranya sungguh tepat pernyataan Dr. A.L.
Netti, M.Th., yang antara lain mengatakan: “Semboyan
lama, ‘historia vitae magistra’ (sejarah menjadi guru bagi hidup kita), adalah
sesuatu yang sangat penting. Ia penting, sebab ia dapat menolong dan meladeni
kita. Dan apabila ia (sejarah) dipahami secara kritis, ia sungguh berfaedah.
Memahami dan mengenal secara baik sejarah masa lampau membuat kita masa kini
menahan diri untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan masa lalu, atau tidak
untuk memperbaiki keburukan-keburukan dengan menciptakan sesuatu yang baru
sebagai keburukan baru, karena teoritis dianggap terbaik menurut selera sendiri,
tetapi yang sebenarnya tidak mampu menjawab masalah dan lalu menjadi lebih
buruk lagi” (Kata Sambutan dalam naskah “Pengabaran Injil Di Pulau Timor”.
Rev. Gordon Dicker, B.A., B.D. 1960:2).
Jikalau apa
yang dikemukakan oleh Dr. A.L. Netti, M.Th., di atas ini dapat kita terima,
maka dalam mempelajari sejarah seharusnyalah kita melakukan pendekatan historis-refleksif
dan pendekatan historis-komparatif, sebab sejarah masa lampau yang kita
pelajari kini dan di sini bukan lagi demi masa lampau, melainkan demi masa kini
yang sedang bergerak mengarah ke masa depan. Dengan pendekatan historis-refleksif
kita berusaha untuk melihat pengalaman, hal-ihwal atau situasi kita sekarang
ini sebagai suatu titik dalam kontinuitas sejarah yang membentang dari masa
lampau, melalui masa kini, dan terus bergerak mengarah ke masa depan.
Dengan
mengetahui rangkaian peristiwa yang mendahului situasi kita sekarang ini, maka
kita akan mengerti mengapa situasi kita adalah seperti adanya sekarang. Dan dengan pendekatan historis-komparatif kita
berusaha untuk melakukan perbandingan, sehingga kita bisa melihat dan/atau menemukan
hal-hal atau masalah-masalah yang memiliki persamaan maupun perbedaan, yang
dari padanya barangkali kita bisa memungut manfaat demi masa kini dan masa
depan.
Untuk tujuan
sebagaimana dikemukakan di atas inilah saya
mengembangkan sebuah ‘teori’, yang saya namakan ‘teori vibrasi sejarah’ , sehingga pendekatan historis-refleksif
dan pendekatan historis-komparatif di dalam mempelajari sejarah menjadi
‘pendekatan historis-refleksif berdasarkan teori
vibrasi’ dan ‘pendekatan historis-komparatif berdasarkan teori vibrasi’. Dengan mengandalkan
‘teori’ ini, saya ingin menyingkapkan melalui buku kecil ini: (a) bagaimana
vibrasi pergerakan kemerdekaan dan eksistensi bangsa Indonesia dari tahun 1908—2008
menuju ke tahun 2028—2048; (b) bagaimana
vibrasi kepeloporan Soekarno dan vibrasi pemberontakan/pengkhianatan PKI yang merongrong
vibrasi kepeloporan Soekarno; (c) bagaimana vibrasi kepeloporan Mohammad Hatta
sehingga mengundurkan diri pada tahun 1956; (d) bagaimana vibrasi kepeloporan
Soeharto, sehingga Soeharto menduduki takhta kepresidenan Republik Indonesia
selama enam periode lima tahunan, mulai
dari tahun 1968 sampai dengan tahun 1998; (e) bagaimana vibrasi kepeloporan
B.J. Habibie; (f) bagaimana vibrasi kepeloporan Abdurrahman Wahid; (g)
bagaimana vibrasi kepeloporan Megawati Soekarnoputri di pentas politik
nasional; dan (h) bagaimana vibrasi kepeloporan Susilo Bambang Yudhoyono
sehingga muncul sebagai presiden di pentas
politik nasional Indonesia pada tahun 2004; dan bagaimana vibrasi kepeloporan
Susilo Bambang Yudhoyono dalam kaitannya dengan pemilihan umum/pemilihan
presiden secara langsung oleh rakyat pada tahun 2009.
Apabila
Shakespeare berkata, “All the world’s a
stage, and all the men and women merely players: They have their exits and
entrances, and one man in his time plays many parts,…” (Garth Boomer,
1970:139), maka sesuai hasil penelitian saya
Kupang, 28 Oktober 2004 menuju 28 Oktober 2009
A. G. Hadzarmawit Netti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar