Shakespeare
berkata, “All the world’s a stage, and all the men and women merely players:
They have their exits and entrances, and one man in his time plays many parts,
…” (Garth Boomer, 1970:139). Berdasarkan pernyataan Shakespeare ini saya ingin
menguraikan tentang vibrasi kepeloporan Joko Widodo (selanjutnya akan
disingkatkan dengan sapaan, Jokowi). Pintu masuk Jokowi ke dunia
sebagai sebuah pentas kehidupan yaitu
melalui pintu kelahirannya di Surakarta, Jawa Tengah, pada 21 Juni 1961. Niscaya
pada mulanya Jokowi hanyalah seorang bayi yang diasuh dan dibesarkan oleh orang
tuanya, yaitu Noto Mihardjo (ayah) dan Sujiatmi Notomiharjo (ibu).
Ketika
Jokowi mencapai usia sekolah, ia mulai memainkan peranan sebagai seorang anak
sekolah yang diawali dengan masuk SD Negeri 111 Tirtoyoso. Setelah menamatkan
pendidikan sekolah dasar, Jokowi memainkan peranan sebagai siswa SMP Negeri 1
Surakarta. Setelah menamatkan pendidikan sekolah menengah pertama, Jokowi
memainkan peranan sebagai siswa SMA Negeri 6 Surakarta. Setelah menamatkan
pendidikan sekolah menengah atas, Jokowi memainkan peranan sebagai seorang
mahasiswa pada Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Dan pada tahun
1985 Jokowi berhasil meraih gelar insinyur.
Jokowi
kemudian bekerja di BUMN PT Kertas Kraft Aceh dan ditempatkan di area Hutan
Pinus Merkusii di Dataran Tinggi Gayo, Aceh Tengah. Namun ia merasa tidak betah
dan pulang ke Solo lantaran istrinya yang sedang hamil tujuh bulan. Jokowi kemudian
bertekad untuk berbisnis di bidang kayu dan bekerja di usaha milik Pakdenya,
Miyono, di bawah bendera CV Roda Jati. Pada tahun 1988 Jokowi memberanikan diri
membuka usaha sendiri dengan nama CV Rakabu, yang diambil dari nama anak
pertamanya. Usahanya sempat berjaya, namun kemudian mengalami kemunduran
lantaran tertipu pesanan yang ahirnya tidak dibayar. Akan tetapi pada tahun
1990 usaha Jokowi bangkit kembali dengan pinjaman modal tiga puluh juta rupiah
dari ibunya. Berkat kebangkitan usahanya inilah yang menghentar Jokowi bertemu
dengan Micl Romaknan, yang akhirnya memberinya panggilan yang populer hingga
saat ini, ”Jokowi”. Dengan kejujuran dan kerja keras, Jokowi mendapat
kepercayaan dan bisa berkeliling Eropa. Jokowi berkesempatan menimba pengalaman
dan belajar dari pengamatan selama menyinggahi kota-kota di Eropa ketika
berbisnis. Penataan kota yang baik di Eropa menginspirasi dan memotivasinya
untuk memasuki dunia politik, agar kelak, jika berhasil, ia dapat berperan
sebagai pemimpin, untuk membangun masyarakat, serta menata kota dan lingkungan
hidup yang baik demi kesejahteraan masyarakat.
Demikianlah
adegan-adegan yang diperankan oleh Jokowi di atas pentas kehidupannya antara tahun 1961 sampai dengan
tahun 1985—1988; kemudian tahun 1988—1990 dan seterusnya. Berdasarkan teori
vibrasi yang terkait erat antara vibrasi tahun kelahiran dan vibrasi
kepeloporan, maka keberhasilan Jokowi meraih gelar insinyur pada tahun 1985 itu
selaras dengan vibrasi kelahiran Jokowi pada tahun 1961. Pembuktian sederhana
berdasarkan teori vibrasi kepeloporan yang saya kembangkan, sebagai
berikut: Angka tahun 1961, yaitu tahun
kelahiran Jokowi, kita jumlahkan angka-angkanya begini: 1+9+6+1 = 17; setelah
itu kita jumlahkan lagi angka 17 begini: 1+7 = 8. Kemudian, perhitungan kita
lakukan begini: 1961+8 = 1969; 1969+8 = 1977; 1977+8 = 1985. Dari perhitungan
ini kita melihat bahwa angka tahun 1961 (tahun kelahiran Jokowi) memiliki
vibrasi yang terkait erat dengan angka tahun 1985 (tahun Jokowi berhasil
menyelesaikan studi dan meraih gelar insinyur di Universitas Gajah Mada Jurusan
Fakultas Kehutanan). Berdasarkan
perhitungan teori vibrasi di atas ini, kita melihat bahwa tahun 1988 dan tahun 1990 tidak memiliki
vibrasi yang terkait langsung secara erat dengan tahun 1961 sebagai tahun yang di dalamnya tersirat
vibrasi kepeloporan seorang anak manusia bernama Jokowi yang lahir pada tahun
1961.
Dalam
perkembangan selanjutnya, vibrasi kepeloporan Jokowi tidak lagi berpangkal pada
angka 1961 (tahun kelahiran Jokowi), melainkan berpangkal pada angka 1985
(tahun Jokowi berhasil meraih gelar insinyur di Universitas Gajah Mada Jurusan
Fakultas Kehutanan). Perhitungan luas siklus vibrasi kepeloporan Jokowi yang
tersirat dalam angka tahun 1985 kita lakukan sebagai berikut: Angka 1985 (tahun
keberhasilan Jokowi meraih gelar insinyur di Universitas Gajah Mada Jurusan
Fakultas Kehutanan) kita jumlahkan sebagai berikut: 1+9+8+5= 23. Angka 23 kita
jumlahkan lagi begini: 2+3 = 5. Setelah itu perhitungan kita lanjutkan sebagai
berikut: 1985+5 = 1990; 1990+5 = 1995; 1995+5 = 2000; 2000+5 = 2005; 2005+5 =
2010; 2010+5 = 2015.
Perhatikanlah hasil perhitungan di atas ini,
khususnya hasil perhitungan yang menunjuk kepada angka tahun 1990; 2000; 2005;
2010; 2015. Pada tahun 1990 (tahun yang
terkait erat dengan vibrasi kepeloporan Jokowi yang tersirat dalam tahun 1985) usaha
Jokowi bangkit kembali, setelah mengalami kemunduran pada tahun-tahun
sebelumnya. Vibrasi kepeloporan Jokowi yang mulai muncul kembali pada tahun
1990 terus berkembang memasuki tahun 1995
– 2000 – 2005 – 2010 menuju ke tahun 2015. Pada tahun 1990 vibrasi kepeloporan
Jokowi muncul sebagai Pendiri Koperasi Pengembangan Industri Kecil Solo. Pada
tahun 1992 sampai tahun 1996 (kurun waktu yang berada dalam periode 1990 –
2010), vibrasi kepeloporan Jokowi muncul sebagai Ketua Bidang Pertambangan
& Energi Kamar Dagang dan Industri Surakarta. Pada tahun 2002 sampai dengan
tahun 2007 (kurun waktu yang berada dalam periode 2000 – 2010), vibrasi kepeloporan
Jokowi muncul sebagai Ketua Asosiasi Permebelan dan Industri Kerajinan
Indonesia Surakarta.
Perkembangan
vibrasi kepeloporan Jokowi muncul secara luar biasa pada tahun 2005 sampai
tahun 2012 di Solo dan berlanjut/berkembang ke Jakarta pada pertengahan tahun
2012 sampai tahun 2014. Pada pemilihan kepala daerah kota Solo tahun 2005, Jokowi diusung oleh
Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) dan Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB) untuk maju sebagai calon Wali Kota Solo. Jokowi berhasil memenangkan
pemilihan dengan persentase suara sebesar 36,62%. Dengan demikian, Jokowi
menjadi Wali Kota Solo periode 2005 – 2010. Dalam periode ini Jokowi berhasil
membangun dan menata kota Solo dan masyarakatnya. Berkat
keberhasilan-keberhasilan yang dicapai selama memimpin Kota Solo, Jokowi
terpilih kembali sebagai Wali Kota Solo pada tahun 2010 untuk masa jabatan
periode kedua tahun 2010 – 2015 dengan persentase perolehan suara sebesar
90,09%.
Pada
pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012, Jokowi yang baru saja dua tahun
menjalani masa jabatannya yang kedua
(periode 2010 – 2015) sebagai Wali Kota
Solo, atas dukungan PDI-P, ikut menjadi calon Gubernur DKI Jakarta, berpasangan
dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), atas dukungan Partai Gerindra, sebagai
calon Wakil Gubernur. Dengan demikian, Jokowi meninggalkan jabatannya sebagai
Wali Kota Solo. Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada tanggal 11 Juli 2012
diikuti enam pasang calon gubernur dan
wakil gubernur yaitu: (1) Fauzi Bowo – Nachrowi Ramli; (2) Hidayat Nur Wahid –
Didik Junaedi Rachbini; (3) Joko Widodo (Jokowi) – Basuki Tjahaja Purnama
(Ahok); (4) Faisal Basri – Biem Benyamin; (5) Hendardji Soepandji – Ahmad Riza
Satria; (6) Alex Noerdin – Nono Sampono. Pada pemilihan tanggal 11 Juli 2012, yang
diwarnai persaingan yang sangat ketat, pasangan Joko Widodo (Jokowi) – Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok) muncul sebagai
pemenang dengan meraih persentase suara pemilih 42,6%, disusul pasangan Fauzi Bowo – Nachrowi Ramli
di urutan kedua yang meraih persentase suara pemilih 34,05%. Dengan demikian,
pemilihan putaran kedua dilakukan pada tanggal 20 September 2012 bagi kedua
pasangan ini, yang juga diwarnai persaingan yang sangat ketat. Dan hasilnya,
pasangan Joko Widodo (Jokowi) – Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memenangkan
pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada putaran kedua dengan meraih persentase suara pemilih
hampir 54%. Kenyataan ini membuktikan vibrasi kepeloporan Jokowi yang
benar-benar luar biasa.
Perkembangan
vibrasi kepeloporan Jokowi memang unik dan fenomenal. Ketika menjadi Wali Kota
Solo periode kedua (2010 – 2015) Jokowi, pada tahun kedua masa jabatannya, maju
dari Solo ke Jakarta untuk menjadi calon Gubernur DKI Jakarta yang “pintunya
terbuka pada tahun 2012”. Perhatikan keunikan luas siklus vibrasi kepeloporan
Jokowi berkenaan dengan masa jabatannya yang kedua (2010 – 2015) sebagai Wali
Kota Solo yang dapat dibuktikan berdasarkan perhitungan teori vibrasi berikut
ini: Angka tahun 2010 (tahun pertama masa jabatan kedua Jokowi sebagai Wali
Kota Solo) kita jumlahkan dengan angka 2+0+1+2 (angka tahun 2012, tahun kedua
masa jabatan kedua, ketika Jokowi maju ke Jakarta untuk menjadi calon Gubernur
DKI Jakarta dan berhasil terpilih menjadi gubernur). Hasil penjumlahannya =
2015 (tahun akhir masa jabatan kedua Jokowi sebagai Wali Kota Solo yang seyogianya,
seandainya Jokowi terus melaksanakan tugasnya sebagai Wali Kota Solo periode
kedua). Dengan demikian, sesungguhnya dalam vibrasi tahun 2012 tersirat vibrasi
akhir masa jabatan Jokowi sebagai Wali Kota Solo periode kedua (2010 – 2015).
Perhatikan
lagi keunikan vibrasi kepeloporan Jokowi, setelah terpilih dan menjadi Gubernur
DKI Jakarta untuk masa bakti tahun 2012 – 2017. Pada tahun 2014, tahun kedua
masa jabatan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi maju menjadi calon
Presiden RI masa jabatan tahun 2014 – 2019, karena dicalonkan oleh Partai
Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) yang memperoleh suara terbanyak pada
pemilihan umum legislatif tahun 2014. Bagaimanakah vibrasi yang tersirat dalam
tahun 2014 dalam kaitannya dengan vibrasi kepeloporan Jokowi yang seyogianya
melaksanakan tugasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2012 – 2017?
Perhatikan perhitungan teori vibrasi berikut ini: Angka tahun 2012 (tahun pertama
masa jabatan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta) kita jumlahkan dengan angka
2+0+1+4 (angka tahun 2014, tahun kedua
masa jabatan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta dan tahun Jokowi maju
sebagai calon Presiden RI masa bakti 2014 – 2019). Hasil penjumlahannya = 2019.
Hasil perhitungan ini menunjuk ke tahun terakhir masa jabatan Presiden RI hasil
pemilihan presiden tahun 2014. Dengan demikian, vibrasi kepeloporan Jokowi yang maju sebagai calon Presiden RI pada
tahun 2014 ternyata selaras dengan
vibrasi masa jabatan Presiden RI masa bakti tahun 2014 – 2019.
Dan
apabila vibrasi kepeloporan Jokowi berhasil mengorbitkannya menjadi Presiden RI
masa bakti tahun 2014 – 2019 pada pemilihan presiden yang diselenggarakan pada
tanggal 9 Juli 2014, maka vibrasi kepeloporan Jokowi akan bersiklus selaras dengan
vibrasi masa bakti presiden periode kedua (tahun 2019 – 2024). Vibrasi ini pun sesuai dengan vibrasi kepeloporan Jokowi yang tersirat dalam vibrasi
tahun 2012 dalam kaitannya dengan
vibrasi tahun 2019, maupun vibrasi tahun 2019 dalam kaitannya dengan vibrasi
tahun 2012. Perhatikan perhitungan teori vibrasi berikut ini:
Angka
tahun 2012 (tahun terpilihnya Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta) kita
jumlahkan dengan angka 2+0+1+9, tahun terakhir masa jabatan Presiden RI periode
2014 – 2019). Hasil penjumlahannya = 2024 (tahun terakhir masa jabatan Presiden
RI periode 2019 – 2024). Atau, angka tahun 2019 (tahun terakhir masa jabatan
Presiden RI periode 2014 – 2019) kita
jumlahkan dengan angka 2+0+1+2 (angka tahun 2012, tahun terpilihnya Jokowi
menjadi Gubernur DKI Jakarta). Hasil penjumlahannya = 2024 (tahun terakhir masa
jabatan Presiden RI periode 2019 – 2024).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar