Oleh:
A. G. Hadzarmawit Netti
PADA awal bulan Juni 2012 lalu, ada seorang pemuda
bertamu ke rumah saya. Pemuda itu memperkenalkan diri sebagai mahasiswa salah
satu perguruan tinggi di kota Kupang, yang berminat terhadap sastra. Ketika
berbincang-bincang tentang sastra, pemuda tersebut mengemukakan beberapa
pernyataan sastrawi seraya memintakan komentar atau pendapat saya. Pemuda itu
berkata begini, “Bapa, ada orang mengatakan, ‘bila sastra terlalu teori,
maka sastra
hanyalah sebuah barang rongsokan. Bila tak ada naluri dalam sastra,
maka hanya artifisial. Kalau dogma ditimpakan atasnya, maka sastra
seperti jenazah yang tak mau dikuburkan. Sastra adalah bukan untuk
dimengerti, tetapi untuk dinikmati.’ Bisakah Bapa jelaskan kepada saya
pernyataan ini?” Sang pemuda mengakhiri pembicaraannya seraya menatap saya.
Dari tatapannya, saya memperoleh kesan bahwa sang pemuda itu sungguh-sungguh
mengharapkan komentar atau jawaban saya.