Catatan Pengantar:
Tentang fantasi: Sebuah pertengkaran
yang menyembuhkan
Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti
Catatan pendahuluan
Setelah
membaca artikel Marsel Robot (selanjutnya saya sapa, Robot) “Tentang fantasi:
Sebuah pertengkaran yang menyembuhkan” (Pos
Kupang, 26 Februari 2008), saya ingin memberikan beberapa catatan
pendahuluan sebelum masuk ke dalam percakapan tentang fantasi menurut versi
Robot.
Pertama, artikel saya berjudul
“Marginalia atas opini Maria Matildis Banda seputar imajinasi, fantasi dan
khayalan” (Pos Kupang, 16 Januari
2008) merupakan sebuah masukan yang saya serahkan kepada editor buku 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara
Timur. Masukan tersebut bukan untuk dipublikasikan di media Pos Kupang, melainkan untuk dibaca dan
dipertimbangkan secara khusus oleh editor buku 15 tahun Pos Kupang, yaitu Tony Kleden, Dion D.B. Putra, dan yang terutama
ialah sebagai masukan bagi Maria Matildis Banda sendiri yang opininya saya
tanggapi.
Mengenai judul,
saya heran mengapa judul artikel “Marginalia atas opini Maria Matildis Banda:
Seputar Imajinasi, Fantasi dan Khayalan” itu dikatakan oleh Robot sebagai
sebuah judul yang agak arogan. Arogan artinya congkak, sombong, mempunyai
perasaan tinggi hati. Pernyataan Robot membuat saya bertanya-tanya: kata, atau
ungkapan yang manakah dalam judul artikel saya itu yang menyarankan arti
arogan? Tidak ada. Rupanya kata “marginalia” telah disalahartikan oleh Robot.
Kalau benar demikian, sungguh memalukan sekali. Perkataan “marginalia” dalam
bahasa Inggris, menurut Chambers
Twentieth Century Dictionary (London 1972:802) artinya “notes written on
the margin” (catatan-catatan yang ditulis pada bagian tepi halaman buku). Kalau kita membaca sebuah buku lalu kita
membuat beberapa catatan pada bagian tepi halaman buku berkenaan dengan isi
buku tersebut, apakah itu merupakan perbuatan yang arogan? Ah, alangkah ibanya hati saya atas
ketidakpahaman Robot.
Kedua, perlu pula Robot ketahui bahwa
masukan yang saya serahkan kepada editor buku 15 tahun Pos Kupang dengan surat pengantar tertanggal 2 Januari
2008 itu bukan hanya berupa tanggapan atas opini Maria Matildis Banda,
melainkan juga koreksi terhadap beberapa kesalahan yang terdapat dalam empat
tulisan lain, dan sekelumit pertimbangan saya tentang gambar sampul buku 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara
Timur, yang boleh disetujui atau tidak disetujui oleh editor.
Ketiga, atas permintaan editor buku 15 tahun Pos Kupang (Tony Kleden) yang
ingin mempublikasikan tanggapan saya atas opini Maria Matildis Banda di media Pos Kupang dengan tujuan agar dapat
ditanggapi oleh siapa saja dalam rangka “pencarian kebenaran” seputar perbedaan
pandangan antara saya dan Maria Matildis Banda tentang imajinasi, fantasi, dan
khayalan, maka saya memberikan persetujuan
sehingga tanggapan saya tersebut dimuat di Pos Kupang edisi 16 Januari 2008. Tujuan editor buku 15 tahun Pos Kupang pun terpenuhi. Pada
19 Januari 2008 Silvester Ule menanggapi opini saya; pada 31 Januari 2008
Isidorus Lilijawa menanggapi lagi opini saya; dan pada 26 Februari 2008 Marsel
Robot terdorong ikut membedah opini saya dengan
pisau bedahnya yang tumpul. Saya tidak tahu, apakah masih ada lagi yang
ingin ikut membedah opini saya atau tidak.
Sebenarnya, yang
sangat saya nanti-nantikan ialah tanggapan balik dari Maria Matildis Banda atas
sanggahan yang saya tujukan kepadanya. Saya baru akan mengerahkan seluruh
perhatian saya untuk berdiskusi tentang imajinasi, fantasi dan khayalan,
seandainya saya sudah membaca dan mempertimbangkan tanggapan baliknya. Namun
sampai sekarang Maria Matildis Banda belum menanggapi opini saya. Dengan
demikian, antara saya dan Maria Matildis Banda belum terjadi perdebatan atau
adu argumentasi apa-apa. Namun anehnya, menurut Robot, antara saya dan Maria
Matildis Banda telah terjadi pertengkaran, sehingga Robot merasa terpanggil
untuk campur tangan dalam menyelesaikan pertengkaran, untuk memulihkannya
menjadi “sebuah pertengkaran yang menyembuhkan”. Inilah ketidakcermatan Robot. Dan
lantaran ketidakcermatan, Robot salah mendiagnosa, salah memberikan resep pengobatan
demi menyembuhkan penyakit pertengkaran. Akibatnya, penyakit pertengkaran tidak
tersembuhkan, malahan Robot melimbulkan penyakit pertengkaran baru yang lebih parah.
Ini akan saya buktikan nanti.
Keempat, tujuan saya memberi enam
masukan kepada editor buku 15 tahun Pos
Kupang adalah demi pembetulan kesalahan/kekeliruan tertentu dari isi buku 15
tahun Pos Kupang bila dicetak-ulang pada waktu yang akan datang, dan
bukannya debat untuk menyuburkan kreativitas dalam bersastra, atau membangun
debat demi debat dan hasil debat didebatkan lagi seperti anggapan Robot yang ngawur. Mengapa saya
katakan anggapan Robot ngawur? Karena debat dan hasil debat yang didebatkan
lagi oleh orang-orang dalam “ranah
pencarian kebenaran” adalah lebih terpuji dari pada orang-orang yang memupuk kebiasaan “take for granted” atas sesuatu yang sesungguhnya salah/tidak
benar lalu ditularkan lagi kepada orang lain, sehingga kesalahan dan
ketidakbenaran semakin berkembang luas. Mereka yang disebutkan terdahulu memang
tidak banyak yang gemuk dan terkadang ‘kemomos’, namun punya harga diri dan
prinsip hidup yang sejati, tidak bermental “yes-man”, dan tidak memupuk
kebiasaan “take for granted”. Sedangkan
mereka yang disebutkan kemudian, sekalipun terdapat banyak yang gemuk, kelihatan ’necis’ dan
tergolong elite, namun argumen-argumen mereka banyak yang kurus, terkadang
lebih ‘kemomos’ dari mereka yang dicap tidak banyak gemuk dan
terkadang ‘kemomos’ itu. Kenyataan semacam inilah yang ditunjukkan oleh Marsel
Robot dalam tulisannya berjudul “Tentang fantasi: Sebuah pertengkaran yang
menyembuhkan”.
Kelima, kelihatannya Robot sangat
prihatin melihat saya bertahan hidup dalam daerah sastra yang gersang di NTT.
Tentang ini Robot berkata, “Dia memang penggarap setia di ladang yang disebut sastra, sebuah bidang kajian yang
gersang, tetapi dia kerasan menikmati dunia yang sepi itu. Saya sangat sulit
menemukan sosok seperti Netti yang bertahan hidup dalam daerah gersang seperti
itu, sementara karya sastra bukan merupakan kebutuhan dalam masyarakat NTT yang
masih sibuk mempertahankan taraf hidup dan belum bergerak untuk meningkatkan
taraf hidup.”
Pernyataan
Robot sebagaimana saya kutip di atas ini mencerminkan kedangkalan memahaman dan
penghayatannya terhadap hidup dan kehidupan. Dengan pernyataannya itu, dia
hanya berpikir sebatas perut ke telapak kaki. Pernyataannya itu mencerminkan
penghayatannya tentang denyut kehidupan yang berdetak dari lubuk dada ke ubun-ubun kepala bersifat
rudimentir. Perlu kiranya Robot tahu bahwa sastra bukan lahan garapan saya,
melainkan “bilik kontemplasi” saya. Saya bukan sastrawan, bukan novelis, bukan
cerpenis, dan bukan penyair. Saya hanyalah apresiator sastra. Sebagai
apresiator, sastra bagi saya merupakan “bilik kontemplasi”, tempat saya melakukan renungan dengan seluruh
kebulatan pikiran, perasaan, dan roh, dalam upaya pencarian nilai-nilai human
dan nilai-nilai spiritual. Dalam bilik kontemplasi itu saya melakukan
perjumpaan/pertemuan dengan hasil karya (puisi) para penyair yang menggeluti
hidup dan kehidupan. Di dalam bilik itulah saya berkontemplasi dan berdoa, sebab bahasa yang menjembatani cara emosional
dan rasional itu adalah puisi. Ia (puisi) adalah karya seni yang otentik dapat
membawa manusia untuk berdoa (Keselamatan
Masa Kini. BPK GM. Jakarta 1973:31). Dan hasil kontemplasi yang telah
menyatu dengan doa itu saya tuangkan dalam bentuk artikel, kemudian saya serahkan
ke media cetak untuk diterbitkan dengan harapan: semoga bermanfaat bagi mereka
yang menaruh minat pada sastra dapat membaca dan merenungkannya.
Bukankah Robot
sendiri pernah secara langsung menyatakan pujian dan kekaguman kepada saya di
salah satu ruang dosen FKIP Undana Lama Kupang dalam suatu pertemuan pada tahun
1990-an, berkenaan dengan kajian saya atas sajaknya yang berjudul “Remang Senja Di Kampung”, yang
dimuat di SKM Dian Ende edisi 25
September 1992? Robot pasti sudah lupa peristiwa pertemuan antara dia dan saya
pada tahun 1990-an itu, sekaligus pasti sudah lupa apa yang dia katakan kepada
saya, yang dia akhiri dengan suatu pengharapan yang mendalam agar saya terus
melakukan kajian atas sajak-sajaknya yang dimuat di SKM Dian. Dia juga tidak tahu, bahwa antara tahun 1991 dan tahun 2000, ketika
dua kali saya diundang untuk menyajikan makalah dalam seminar sastra (29 April
1991 dan 6 Mei 2000); satu kali menjadi anggota dewan juri lomba karya tulis
cerpen dan puisi bersama-sama Drs. Hayon
G. Nico dan Drs. H. Jehane pada seleksi daerah Badan Seni Mahasiswa Indonesia
Daerah Provinsi NTT yang akan
diikutsertakan pada Pekan Seni Mahsiswa Indonesia Tingkat Nasional Tahun 1991
di Surakarta; satu kali menjadi ketua dewan juri puisi pada Festival Seni
Kampus Tahun 1992 FKIP Undana Kupang; dan satu kali menjadi narasumber dalam
diskusi panel sastra dalam rangka memperingati hari Chairil Anwar pada 29 April
1998, banyak mahasiswa FKIP Undana Kupang Program Studi Bahasa dan Sastra
Indonesia telah memungut manfaat dari saya yang setia berkontemplasi dalam
bilik kontemplasi sastra. Sangat disayangkan bahwa selama beberapa kali saya dilibatkan
dalam kegiatan seni sastra di kampus Undana sebagaimana telah dikemukakan di
atas, panitia tidak pernah melibatkan Marsel Robot untuk bersanding dengan
saya, kecuali hanya Drs. Hayon G. Nico dan Drs. H. Jehane. Ah, baiklah catatan
pendahuluan ini saya akhiri untuk beralih ke pokok “pertengkaran” tentang
fantasi menurut versi Robot.
Bagian
pertama: Tentang fantasi
Tanggapan dan
uraian Robot di bawah judul kecil “tentang fantasi” secara keseluruhan sebenarnya
mendukung dan/atau membenarkan pandangan saya, sekalipun beberapa distorsi ia
lakukan. Apabila pandangan saya dibenarkan, maka dengan sendirinya pandangan
Maria Matildis Banda tidak benar. Namun
ternyata tidak demikian. Pada satu sisi Robot membenarkan pandangan saya dan
menyalahkan pandangan Maria Matildis Banda; namun pada sisi lain Robot
membenarkan pandangan Maria Matildis Banda dan menyalahkan pandangan saya, dan
Robot menganggap pandangannya yang paling benar. Apabila kita memperhatikan pendapat
Maria Matildis Banda tentang imajinasi, fantasi dan khayalan (15 tahun Pos Kupang 2007:174,175), maka
kita dapat melihat secara gamblang pendapatnya yang menafikan potensi dan
peranan fantasi, bukan saja dalam sastra dan jurnalisme sastra, melainkan juga
dalam kehidupan manusia pada umumnya. Pada pandangan Maria Matildis Banda,
potensi dan peranan fantasi itu negatif: tidak masuk akal, dibuat-buat, mimpi
yang tak mungkin menjadi kenyataan, gambaran semu tentang sesuatu yang tidak
bisa diubah menjadi kenyataan, mengandai-andai yang hanya menimbulkan rasa
lelah atau membawa si pengandai tenggelam dalam khayalan-khayalan hampa yang
indah berbunga-bunga. Singkatnya, fantasi pada pandangan Maria Matildis Banda bukan proses mental yang kreatif dan
bermakna. Pada titik ini, pandangan Maria Matildis Banda ditentang atau tidak
dibenarkan oleh Robot. Sebab menurut Robot, “berfantasi adalah proses mental
yang sangat mendasar dan berpusat pada otak kanan manusia..…; dan berfantasi adalah proses mental yang
sengaja, kreatif, bertujuan dan bermakna.”
Namun
pada pihak lain Robot mengatakan, “Maria Matildis Banda juga benar ketika ia
mengkaji fantasi berangkat dari hasil karya…” Dengan pernyataan ini Robot
menjerumuskan dirinya ke dalam kepalsuan argumen, sebagai upaya untuk
melindungi Maria Matildis Banda. Mengapa? Sebab sesungguhnya Maria Matildis
Banda tidak mengkaji fantasi berangkat dari hasil karya, melainkan ia hanya
menjelaskan tentang ketidakmasukakalan,
kehampaan dan kesemuan fantasi berdasarkan anggapannya yang keliru atas
terminologi imajinasi dan fantasi. Dan untuk mendukung pandangannya, ia membandingkannya
dengan kisah tentang fantasi si tukang
madu yang malas yang ingin menjadi kaya, serta fantasi seorang wartawan yang bermimpi menjadi
presiden. Di sinilah letak kekeliruan Maria Matildis Banda yang secara tegas
membedakan imajinasi dari fantasi, dan tidak melihat adanya hubungan kodrati
antara imajinasi dan fantasi. Ia tidak menyadari bahwa contoh tentang fantasi
si tukang madu yang malas yang ingin menjadi kaya, dan contoh fantasi seorang
wartawan yang bermimpi menjadi presiden itupun adalah kreasi imajinasi. Tidak
mungkin ada fantasi tanpa imajinasi, sebab fantasi adalah imajinasi yang
diteruskan di dalam pikiran, atau fantasi adalah imajinasi yang dikembangkan di
dalam pikiran. Jadi, pandangan Maria Matildis Banda yang membedakan fantasi
dari imajinasi serta menganggap bahwa fantasi tidak bermakna adalah pandangan
yang keliru. Begitu pula pandangan Robot
yang hanya menyebutkan peranan fantasi tanpa mengaitkannya dengan imajinasi
adalah pandangan yang pincang. Harvey Cox, dalam bukunya The Feast of Fools, A Theological Essay on Festivity and Fantasy
(Harvard 1969:62) mengatakan: “Imajinasi
dan fantasi, keduanya adalah sumber kreativitas yang menyerupai gambar Allah
dalam manusia. Melalui fantasi, manusia membuat sesuatu ex nihilo.”
Bagian
kedua: Tentang fantasia
Saya dapat
memaklumi kiat yang tersirat dalam
pernyataan Robot yang mengatakan bahwa
“Maria Matildis Banda juga benar ketika ia mengkaji fantasi berangkat dari
hasil karya”. Dengan pernyataan ini, sebenarnya Robot mau mengalihkan perhatian
serta menuntun opini pembaca kepada pengertian “fantasia” menurut Ensiklopedi Wikipedia yang memberi pengertian, fantasi is genre that uses magic and other
supernatural forms as a primary element plot, theme, and/or setting. Pernyataan
Robot di atas ini salah. Mengapa? Sebab, sebagaimana telah dikatakan di atas,
Maria Matildis Banda samasekali tidak mengkaji fantasi berangkat dari hasil
karya, melainkan menafikan fantasi dalam karya jurnalisme sastra dan hanya
mengakui peranan imajinasi. Selain itu, Robot pun salah, jika mengutip
Ensiklopedi Wikipedia yang memberi pengertian fantasi is genre that uses magic and other supernatural forms as a
primary element plot, theme, and/or setting sebagai kiat untuk menggugurkan
pandangan saya tentang imajinasi dan fantasi di dalam menafikan pandangan Maria
Matildis Banda. Mengapa saya katakan Robot salah? Karena “fantasia”
sebagaimana dirumuskan dalam Ensiklopedi Wikipedia itu bukan “fantasi dalam
pengertian sebagai suatu proses mental”
atau “fantasi sebagai metabolisme pikiran” (pinjam konsepsi Robot sendiri), melainkan
“fantasia” sebagai suatu terminologi
untuk menyebutkan “suatu genre” (aliran/gaya sastra) “yang mempergunakan bentu-bentuk
kekuatan supernatural dan bentuk-bentuk kekuatan magis sebagai unsur utama
plot, tema, dan/atau setting”.
Selain
itu, saya minta permisi untuk bertanya kepada Robot: apakah benar penulisan
kata “fantasi” yang Robot kutip dari Ensiklopedi Wikipedia itu? Di dalam kamus
bahasa Inggris, kata “fantasi” ditulis “fantasy” dan “phantasy”—bukan “fantasi”
sebagaimana dikutip oleh Robot. Dengan demikian, jikalau Robot tidak salah
kutip atau salah ketik, maka kesalahan ada pada Ensiklopedi Wikipedia.
Kesalahan ketik itu lumrah. Tetapi dengan ini saya ingin memberitahukan kepada
Robot bahwa sumber (referensi) yang paling tepat untuk menjelaskan “genre”
(aliran/gaya sastra) yang Robot kutip dari Ensiklopedi Wikipedia itu ada di
dalam Chambers Twentieth Century
Dictionary.
Dalam Chambers Twentieth Century Dictionary (London
1972:473) disebutkan bahwa fantasia: a strory, film, etc., not based on
realistic characters or setting (fantasia: suatu ceritera, film, dan
lain-lain yang tidak didasarkan pada karakter-karakter atau setting yang realistis atau menurut
keadaan yang sesungguhnya). Dalam konteks ini, “fantasia” dipergunakan
sebagai sebuah terminologi untuk menjelaskan suatu genre (aliran/gaya sastra) sebagaimana telah dikemukakan di atas,
termasuk pula ke dalamnya “aliran/gaya musik, atau karangan-karangan lain yang
tidak dipengaruhi oleh bentuk dan ketentuan-ketentuan yang biasa”. Dan dalam The Lexicon Webster (1971:355) dihisabkan pula a
play or poem in which the outhor creates the illusion of a fantasy (sandiwara,
lakon, pertunjukan, atau syair, sajak yang didalamnya pengarang menciptakan ilusi
dari suatu fantasi).
Berdasarkan
penjelasan singkat di atas ini sekali lagi saya tegaskan bahwa istilah fantasia sebagai suatu genre
(aliran/gaya sastra) tidak sama dengan istilah fantasi yang menyatakan proses
imajinasi (daya pikir untuk membayangkan atau menciptakan gambar angan-angan)
yang dikembangkan atau yang diteruskan
di dalam pikiran. Dengan demikian, kiat Robot untuk membenarkan Maria Matildis
Banda menjadi sia-sia, termasuk pula ceritera
(folk-tale atau folk-lore) ‘Makhluk Poti Wolo’ di
Manggarai; legenda ‘Batu Ba Daon’ di Larantuka; dan ilustrasi tentang seorang
gadis telanjang, berambut pirang dan panjang, dua payudara menjulur menggulung
awan, gadis itu mengendarai kuda berekor naga, kuda itu berlari di udara seolah
turun gunung-gunung awan dan menuju bulan setengah bulat dibalut korona, yang
disobek oleh Robot dari sebuah situs internet itu samasekali tidak ada
sangkut-pautnya dengan konsepsi Maria Matildis Banda tentang fantasi
yang saya sanggah.
Selain itu,
ketiga ilustrasi itu pun tidak dapat digolongkan ke dalam genre (aliran/gaya sastra) yang disebut fantasia versi
Ensiklopedi Wikipedia yang dirujuk oleh Robot sendiri. Karena genre ini menekankan “penggunaan unsur-unsur
kekuatan ilmu sihir, daya kekuatan rahasia atau kekuatan gaib (magis) dan bentuk-bentuk
kekuatan supernatural sebagai elemen utama plot, tema dan/atau setting. Jadi, bukan unsur
ketidakmasukakalan dan ketiba-tibaan sebagaimana anggapan Robot. Dalam tulisan
ini saya tidak perlu menguraikan lebih jauh tentang fantasia sebagai genre
(aliran/gaya sastra) karena ia berada di luar konteks pembahasan yang
dipolemikkan, yaitu fantasi yang menyatakan proses imajinasi yang dikembangkan atau
diteruskan di dalam pikiran.
Menurut
pertimbangan saya, emosi Robot kurang terkendali ketika dia menulis artikelnya
yang berjudul, “Tentang fantasi: Sebuah pertengkaran yang menyembuhkan”.
Lantaran emosi yang kurang terkendali, maka daya pikir Robot pun tidak berperan
dengan baik di dalam membangun argumen-argumen. Robot menilai uraian saya
tentang fantasi sebagai hanya suatu sobekan yang tidak lengkap, begitu pula
konsepsi tentang fantasi yang dianut oleh Maria Matildis Banda pun dikatakannya
sebagai suatu sobekan. Namun pada kenyataannya, konsepsi Robot tentang fantasi yang
sepantasnya disebut sebagai suatu sobekan yang bukan saja tidak lengkap
melainkan juga konyol. Karena fantasi
tidak dibicarakan dalam kaitannya dengan imajinasi;
karena fantasi dikira sama dengan fantasia; dan jenis ceritera yang
disebut “folk-tale” atau “folk-lore”
dihisabkannya ke dalam fantasia.
Sobek-menyobek
pandangan yang dilakukan oleh Robot dalam artikelnya terlihat pula dalam contoh
yang dikemukakannya untuk membedakan manusia yang mampu berfantasi, dan binatang
yang tidak mampu berfantasi. Beginilah contoh yang Robot kemukakan: “Herder,
anjing kesayangan Anda diajari cara tertentu untuk merespon. Katakan, setiap
kali hendak memberi makan kepadanya, Anda akan mengeluarkan bunyi ‘ooo…’ lalu
disusul dengan menyodorkan piring yang berisikan makanan. Herder pun datang
mendekati Anda. Kemudian ia melahap makanan yang Anda berikan. Setiap kali
bunyi ‘ooo…’ maka Herder selalu memberikan respon yang sama. Perilaku anjing
itu adalah bentuk respon dari stimulus kata ‘ooo…’ yang selalu disertai dengan
tindakan memberikan makanan kepadanya. Dalam konteks ini, perilaku Herder bukan
berdasarkan fantasi…”
Tahukah Robot
bahwa contoh hasil penelitian seperti itu
telah dilakukan sebelum tahun 1927? Ahli fisiologi Pavlov adalah orang
pertama yang melakukan percobaan seperti itu untuk menentukan hubungan antara
perangsang dan respons. Waktu seekor anjing melihat sepotong daging, air liur
mulai keluar dari mulut anjing itu. Kemudian Pavlov memperlihatkan daging itu
persis pada waktu yang sama, dengan disertai bunyi bel. Akhirnya, bunyi bel itu
saja yang dipakainya, tetapi air liur anjing itu mengalir seperti halnya ketika
daging itu diperlihatkan. Dalam percobaan klasik ini bel berfungsi sebagai
tanda bahwa daging akan diberikan sebentar lagi. Tetapi tidak ada hubungan yang
wajar antara bunyi bel dan daging itu, sebab bunyi bel itu tidak mengenyangkan
perut anjing. Hasil penyelidikan Pavlov itu diterbitkan pada tahun 1927, dan
sesudah itu, banyak sekali dikembangkan percobaan yang setaraf dengan
mempergunakan perangsang lain dari pada bel, namun semuanya berfungsi sebagai
tanda (Dr. Robert R. Boehlke. Sekitar
Theologia Simbolisme Sebagai Dasar Komunikasi Kristen. Jakarta 1972:13-14).
Tujuan saya
mengutip percobaan Pavlov sebagaimana diuraikan di atas ini hanyalah sebagai
suatu pemberitahuan kepada Robot agar Robot jangan teledor bangga bahwa contoh
“Herder, anjing kesayangannya yang diajari cara tertentu untuk merespon” itu
seolah-olah suatu hasil penyelidikan baru di awal abad ke-21 ini. Robot mungkin
baru mengetahui hasil penyelidikan seperti itu dalam tahun 2007/2008. Akan
tetapi saya sudah mengetahuinya sejak lama sekali. Begitu pula dengan fantasia sebagai genre (aliran/gaya sastra) mungkin Robot baru mengetahuinya dari
Ensiklopedi Wikipedia, sehingga Robot menganggapnya sebagai informasi dari
pustaka moderen, padahal yang sesungguhnya fantasia
sebagai genre (aliran/gaya sastra) bukan sesuatu yang baru atau moderen. Dengan
ini saya ingin membungkamkan mulut Robot yang secara arogan mengatakan “…ketika
Netti terlalu arogan dengan sejengkal argumentasinya dan memamerkan pustaka
lamanya…”
Dalam
artikelnya, Robot menyebut sejumlah nama penulis-penulis tenar termasuk J.R.R.
Tolkien. Tahukah Robot, apakah pendapat J.R.R. Tolkien tentang fantasi? Dalam
bukunya berjudul Tree and leaf (London 1964), ia mengatakan
bahwa “fantasi tidak merusak akal budi dan tidak mengeruhkan
ketajaman pengamatan ilmiah. Makin baik fantasi seseorang, makin terang dan
hidup kegiatan inteleknya; dan semakin terang dan hidup kegiatan intelek
seseorang, makin baik pula fantasinya”. Pandangan Tolkien ini telah saya
singgung dalam artikel saya yang ditanggapi oleh Robot, namun Robot
melangkauinya, lantaran praktik sobek-menyobek konsepsi yang diterapkan oleh
Robot.
Fantasi
yang dimaksudkan oleh Tolkien dalam pernyataannya itu bukan
fantasia sebagai genre (aliran/gaya sastra) yang Robot sobek dari Ensiklopedi
Wikipedia itu, melainkan fantasi
sebagai proses imajinasi yang dikembangkan dan diteruskan di dalam pikiran.
Catatan
akhir
Mengakhiri
tulisan ini saya ingin mengingatkan Robot tiga hal. Pertama, bahwa setiap artikel yang disertai biodata/curriculum vitae penulis, seperti: A. G.
Hadzarmawit Netti, penulis buku Kristen
Dalam Sastra Indonesia; atau Marsel Robot, Dosen Undana Kupang, mahasiswa
Program Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung, mengandung risiko yang tinggi. Ia
merupakan sebuah pertanggungjawaban kepada publik pembaca, bahwa artikel itu bukan ditulis oleh sembarang
orang. Apabila opini yang kita tuangkan di dalam artikel itu ngawur, lalu ada
orang yang mengritik kita sambil menyebut predikat kita sesuai dengan biodata/curriculum vitae yang kita tonjolkan
atau sertakan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari artikel kita, apakah
pantas kita tersinggung, marah, dan menilainya sebagai suatu pelecehan terhadap
profesi dan gelar yang melekat pada diri kita?
Kedua, hal lain yang patut Robot maklumi ialah:
tujuan berpolemik bukan mencari kemenangan, melainkan kebenaran. Karena itu
alangkah naifnya jika Robot bertujuan mencari kemenangan di dalam berpolemik
dengan mempergunakan pemeo (pepatah kuno): “dalam ilmu silat tidak ada yang
juara dua, dan dalam silat ilmu tidak ada yang juara satu.” Ketiga, apabila Robot masih ingin melanjutkan debat, saya sarankan agar
“berpikir hermeneutis yang memandang persoalan dalam dialektika yang utuh di
mana setiap unsur yang berbeda memberi kontribusi terhadap keutuhan makna…,”
seperti kata Robot sendiri, tidak usah diterapkan. Terapkanlah metode itu dalam
menganalisis problematika masyarakat, atau di dalam menganalisis sebuah karya
sastra. Kalau tentang imajinasi dan fantasi
yang kita diskusikan atau polemikkan, “stick to the point” sajalah. Tidak
usah berpikir hermeneutis yang salah kaprah, sebagaimana tersirat dalam artikel
Robot. Sebenarnya yang Robot coba terapkan dalam artikel itu adalah berargumen
dengan metode berpikir secara dialektis a
la Hegel (Sindhunata. Dilema
Usaha Manusia Rasional. Jakarta
1982:33-38), bukan berpikir hermeneutis. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar