Catatan Pengantar:
(Catatan untuk Silvester Ule
seputar “Perlukah ‘trenyuh’ itu?”)
Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti
Catatan pendahuluan
Saya memperoleh kesan bahwa Silvester Ule (selanjutnya akan
saya sapa, SU) belum membaca tulisan Maria Matildis Banda yang terdapat di
dalam buku 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa
Tenggara Timur. Kesan ini muncul ketika saya membaca pernyataan SU yang
berbunyi, “Rupanya, inti keberatan AG
bukan terletak pada definisi positif imajinasi (kalau memang ada dalam
keseluruhan tulisan asli MM), melainkan pada distingsi yang dibuat oleh MM.” Kalau tulisan Maria Matildis Banda saja belum
dibaca oleh SU, apatah lagi dengan buku-buku referensi yang saya sebutkan dalam
tulisan saya.
Berdasarkan kesan dan pertimbangan di atas ini, maka saya
merasa sebenarnya tidak ada faedahnya untuk berdiskusi dengan SU.
Sebab, tulisan SU in esse (bukan in se seperti yang digunakan SU
dalam tulisannya) menyiratkan luapan emosi seorang anak terhadap orang yang
mengritik bundanya, sehingga sang anak terdorong bangkit untuk membela bundanya
dengan sekuat keterbatasan kemampuan yang ada, dan dengan segala cara, walaupun
falsus. Namun sebagai tanda
penghargaan saya terhadap SU yang telah meluangkan waktunya untuk
“mempertimbangkan ‘marginalia’ yang saya buat terhadap tulisan Maria Matildis
Banda” (Pos Kupang, 16-1-2008), maka saya
persembahkan tulisan ini kepada SU, walaupun hanya berupa catatan..
Catatan pertama
SU berkata, “Sebenarnya tidak ada keistimewaan pada
tulisan AG in se yang perlu
ditanggapi. Jika pendapat AG berbeda dari pendapat MM, maka hal itu sangatlah
wajar sebagai ekspresi kemerdekaan berpikir, dan sebagai gambaran mengenai
dalamnya realitas. Perbedaan adalah hal yang wajar sesuai dengan prinsip dasar
penemuan kebenaran, bahwa kebenaran itu tidak pernah tunggal. Ia dapat dicapai
dengan berbagai jalan dan dari berbagai sudut pandang.” SU rupanya mau berfilsafat tentang kemerdekaan
berpikir dan berekspresi, serta berfilsafat tentang kedalaman realitas yang
kompleks. Namun sayang, apa yang dikemukakan SU
tidak relevan dengan pembicaraan seputar kebenaran deskriptif tentang
“imajinasi, fantasi atau khayalan” dalam ranah teori sastra. Sebelumnya, SU mengatakan, “Dengan pelbagai kutipan, AG sepertinya
menegaskan bahwa imajinasi, khayalan dan fantasi sama saja.” Pernyataan SU ini pun mencerminkan pemahamannya yang pincang atas opini saya!
Rupanya pikiran dan perasaan SU tidak
tenang ketika membaca tulisan saya. Jikalau benar demikian, dan memang sangat
terasa demikian, saya cukup maklum.
Dalam menanggapi
pendapat MM yang mengatakan bahwa “Imajinasi
bukan khayal. Imajinasi berbeda dari fantasi...”, saya mengutip hasil penelitian dua orang
sarjana Prancis, Roger Fretigny dan Andre Viler (pakar psikologi), yang
mengatakan bahwa “ada empat macam kesadaran manusia yaitu kesadaran imajinatif,
kesadaran refleksif, kesadaran aktif, dan kesadaran kontemplatif. Dan fantasi
memainkan peranan sentral dan menentukan dalam perkembangan psikis manusia, di
mana fantasi adalah contoh pertama dari kesadaran imajinatif. Tanpa fantasi,
maka daya pemikiran kita yang kerja secara diskursif akan menjadi pincang dan
terkurung dalam sebuah sistem yang tertutup dan beku. Tetapi dengan fantasi,
hidup manusia seutuhnya akan bergerak menurut suatu ritme tertentu antara
kenyataan dan harapan.” Apa yang dapat dilihat dari kutipan ini? Ini: fantasi memainkan peranan sentral dan
menentukan dalam perkembangan psikis manusia, dan fantasi adalah contoh pertama
dari kesadaran imajinatif. Apabila
dikatakan bahwa fantasi adalah contoh pertama dari kesadaran imajinatif, maka
itu berarti bahwa “fantasi adalah bagian yang tak terpisahkan dari kesadaran
imajinatif; ia (fantasi itu) adalah daya roh yang tak terpisahkan dari
kesadaran imajinatif”. Perhatikan pula pernyataan Mary Harrington yang
mengutip hasil penelitian Bradbury yang mengatakan bahwa “Bakat berfantasi merupakan bakat untuk hidup. Penemuan-penemuan baru
sering diakibatkan karena fantasi, inspirasi, atau ilham”. Inilah “permata pengetahuan” dalam ranah teori psikologi yang belaku dalam
bidang sastra dan bidang-bidang kehidupan lainnya yang ingin saya berikan
kepada MM, sebab MM dengan tegas/gamblang mengatakan, “imajinasi berbeda dari
fantasi...!”
Lalu, apa itu “khayal” atau “khayalan”? Dalam tulisan saya,
saya katakan bahwa “khayal” atau “khayalan” adalah sebutan lain dari “fantasi”. Dan mengenai ini, MM hampir-hampir
benar ketika ia mengatakan “fantasi sama
dengan khayalan...”; tetapi ternyata
menjadi salah, ketika dikatakan bahwa “fantasi
sama dengan khayalan yang tidak nyata, tidak masuk akal, dibuat-buat, mimpi
yang tak mugkin menjadi kenyataan”, dan seterusnya sampai dengan kalimat yang
berbunyi, “Fantasi adalah daya yang
menghasilkan khayalan, berkaitan dengan gambaran objek yang tidak mungkin dan memang
tidak ada dalam kenyataan…” Inilah
kelemahan teori sastra MM berkenaan dengan fungsi dan peranan fantasi, yang
dengan kata lain disebut khayal atau khayalan, yang didukung dan dibela oleh
SU. Padahal, apa yang disebut fantasi itu, seperti kata Cox, tidak lain adalah
“imajinasi yang diteruskan (dikembangkan), yang mengatasi struktur kenyataan
sehari-hari”. Dan ia merupakan bakat hidup, di mana penemuan-penemuan baru
sering diakibatkan karena fantasi, seperti kata Mary Harrington.
Kata “fantasi” dalam bahasa Indonesia, dipungut dari kata
“fantasy”, “phantasy” dalam bahasa Inggris, yang diambil dari bahasa Latin
melalui bahasa Gerika, phantasiā –
phantazein, artinya “to make visible” (membuat jadi nyata, kelihatan, dapat
dilihat). Dalam bahasa Inggris terdapat pula kata “fancy” yang artinya sama
dengan “fantasy”, karena kata “fancy” adalah kata yang disusutkan/disingkatkan
(contracted) dari kata “fantasy”. Kata fantasi (fantasy) bersinonim dengan kata
imajinasi (imagination) yang berasal dari kata Latin, imāgināri – imāgō yang artinya “an image” atau “a picture or
representation (not necessarily visual) in the imagination or memory”. (Baca, Cambers Twentieth Century Dictionary). Memperhatikan
latar belakang arti kata “fantasy” (fantasi) dan “imagination” (imajinasi)
inilah maka para peneliti (pakar) seperti Harvey Cox dalam buku Feast of fools (1969) mengatakan, “fantasi adalah imajinasi yang dikembangkan
dan diteruskan mengatasi struktur kenyataan sehari-hari”.
Berdasarkan
tinjauan singkat di atas ini, maka orang yang mempertentangkan fantasi dengan
imajinasi, orang itu sesungguhnya berteori di atas landasan falsus. Serentak dengan itu, orang yang
menyamakan fantasi (fantasy) dengan ilusi (illusion), orang itu pun berteori di
atas landasan falsus. Mengapa? Karena
orang itu tidak tahu bahwa ilusi (illusion) pada hakikatnya bertolak belakang
dengan fantasi (fantasy). Kata “ilusi” (illusion) berasal dari kata Latin, illumināre, berarti “penampakan yang
bersifat penipuan atau penyesatan; pikiran atau anggapan yang keliru”. Arti
kata ilusi seperti ini bertentangan sama sekali dengan arti kata fantasi
sebagaimana diuraikan di atas. Dengan demikian, pandangan H. Tedjoworo, sebagaimana
dikutip oleh SU, yang menyamakan fantasi atau khayalan dengan ilusi, adalah
pandangan yang salah pula, karena fantasi pada hakikatnya tidak sama dengan
ilusi (Chambers Twentieth Century
Dictionary, 1972:473,651).
Catatan kedua
Selanjutnya,
sebagai upaya dukungan dan pembelaan, SU nekat mereduksi hasil penelitian Roger
Fretigny dan Andre Viler yang saya kutip, lalu menambal-sulamkannya dengan pendapat
SU yang rancu demi pemuasan ego. Saya sampai tidak habis pikir, apakah praktik
seperti yang dilakukan oleh SU ini di dalam ranah (bidang disiplin) keilmuan
dapat dipuji, atau harus dikatakan ‘tipu diri’ sekaligus ‘tipu publik
pembaca’? Itulah salah satu ciri
kenekatan: tidak ragu-ragu melakukan apa saja (menghalalkan cara) demi tujuan. Pertanyaannya:
apakah SU adalah pakar dan peneliti pasca Roger Fretigny dan Andre Viler, yang
berhasil menemukan temuan baru dalam ranah psikologi untuk menyempurnakan atau
menggugurkan hasil penelitian Roger Fretigny-Andre Viler?
SU mengatakan bahwa kesadaran imajinatif adalah konsep umum
atau konsep luas tentang kemampuan manusia yang bisa dibagi lagi dalam lamunan,
angan-angan, imaji, imajinasi, khayalan, dll. Pernyataan ini menunjukkan bahwa SU tidak tahu tentang apa itu “kesadaran imajinatif”. Yang dimaksudkan dengan
“kesadaran imajinatif” adalah “kesadaran yang penuh dengan imajinasi” atau
“kesadaran yang diliputi/dilingkupi oleh imajinasi”. “Kesadaran refleksif”
adalah “kesadaran yang memiliki kemampuan untuk melakukan refleksi”. “Kesadaran
aktif” adalah “kesadaran untuk mewujudkan/melakukan aksi, tindakan, perbuatan,
kerja, aktivitas, dll”. Dan
“kesadaran kontemplatif” adalah “kesadaran untuk melakukan kontemplasi,
perenungan, permenungan”. Inilah empat macam kesadaran manusia yang
dimaksudkan oleh Roger Fretigny-Andre Viler. Keempat macam kesadaran ini—menurut
Jacques Maritain—adalah daya-daya roh yang saling jalin-menjalin, saling
meliputi/melingkupi dan merangkul bagaikan kerucuk-kerucuk yang bertumpukan di
dalam diri manusia (Creative Intuition in
Art and Poetry. London
1954). Pada saat kesadaran imajinatif giat dan aktif, maka kesadaran refleksif,
kesadaran aktif, dan kesadaran kontemplatif pun giat dan aktif sesuai dengan
kebutuhan/tuntutan imajinasi kreatif.
Kembali ke “kesadaran imajinatif”, apa kata
SU? Dengan penuh rasa percaya diri, SU
membagi-bagi kesadaran imajinatif menjadi beberapa bagian kesadaran yaitu
lamunan, angan-angan, imaji, imajinasi, khayalan, dll. Imajinasi berbeda (dalam
kata dan arti) dengan khayal, berbeda dengan imaji (gambaran konkret tentang
suatu benda), dengan khayalan, dll. Lantaran ketidaktahuan, SU mencampuradukkan
“kesadaran” (awareness, consciousness) dengan “daya/kemampuan” (power/faculty).
Imajinasi (imagination) adalah “daya atau kemampuan untuk membentuk imaji di
dalam pikiran” (the power or the faculty of forming images in the mind). Sedangkan kesadaran imajinatif (imaginative
awareness, imaginative consciousness) adalah “kesadaran yang penuh dengan
imajinasi (the awarenes which full of imagination), atau “kesadaran yang
diliputi/dilingkupi oleh imajinasi (the awareness which suffused with
imagination).
Dan, sementara berbicara tentang imajinasi, saya
persilakan SU membuka buku 15 tahun Pos
Kupang, dan bacalah pandangan MM tentang apa itu imajinasi pada halaman
180. Di situ MM dengan penuh kepastian berkata, “…di tangan seorang penulis, imajinasi
adalah makhluk merdeka yang memiliki kekuatan dahsyat yang tak seorang pun mampu membelenggunya
kecuali kalau pemiliknya dengan sadar membikinnya diam.” Perhatikan frasa yang diketik dengan huruf
tebal. Itulah definisi MM tentang imajinasi. Sedangkan di bagian lain dari tulisannya, MM katakan
bahwa “imajinasi berkaitan dengan daya”; “daya itu adalah imajinasi”;
“imajinasi adalah daya pikir untuk membayangkan dan menciptakan”. Dengan ini,
saya ingin tanya kepada SU: kalau imajinasi adalah makhluk merdeka yang
memiliki kekuatan dahsyat yang tak seorang pun mampu membelenggunya kecuali
kalau pemiliknya dengan sadar membikinnya diam, tolong beritahukan kepada saya apakah
imajinasi itu makhluk berkaki dua atau berkaki empat atau jenis makhluk melata,
atau makhluk gaib? Apakah makhluk imajinasi itu berbulu, bersayap, atau
bertanduk; dan apakah makhluk imajinasi
itu jantan, betina, atau banci? Apakah makhluk imajinasi itu adalah belua multorum capitum (monster with
many heads), yaitu “makhuk aneh dengan banyak kepala yang berukuran luar biasa
dan menakutkan”, sehingga MM mengatakan bahwa imajinasi adalah makhluk merdeka yang memiliki kekuatan dahsyat? Bagaimanakah
makhluk imajinasi yang memiliki kekuatan dahsyat itu bisa berada di dalam diri
(benak) manusia sebagai daya pikir untuk membayangkan dan menciptakan imaji
dalam pikiran, lantas pada momen tertentu ia menjadi alat di tangan penulis,
dan sifatnya hanya sementara di dalam diri seorang penulis? Pandangan
MM tentang imajinasi dalam ranah teori sastra sebagaimana diuraikan pada alinea
terakhir halaman 180 itulah yang membuat saya sangat trenyuh, tetapi saya
sengaja tidak membahasnya dalam opini saya yang dimuat di Pos Kupang edisi 16 Januari 2008.
Saya tidak habis pikir: sejak kapan, dan siapakah pakar yang pertama kali
melakukan penelitian dan menemukan makhluk
imajinasi yang memiliki kekuatan dahsyat itu, yang pada saat tertentu dapat
berubah menjadi daya, daya pikir, dan
alat di tangan penulis. Sebab, saya
belum temukan satu buku teori sastra maupun psikologi yang menguraikan
eksistensi makhluk imajinasi yang
aneh dan menyeramkan itu.
Catatan ketiga
SU berkata, “tidak ada
keistimewaan pada tulisan AG in se...
Namun, yang menjadi hal yang luar biasa pada tulisan
ini adalah upaya “marginalia” (seperti istilah AG sendiri) terhadap tulisan MM,
bahkan terdapat kecenderungan kuat ke arah “marginalia” pribadi MM sendiri”.
Dari pernyataan
SU sebagaimana dikutip di atas ini, saya memperoleh kesan bahwa SU sama sekali
tidak dan/atau belum tahu arti kata “marginalia”. Untuk itu, saya
persilakan SU melihat arti kata “marginalia” dalam kamus bahasa Inggris Chambers Twentieth Century Dictionary. London 1972:802.Di situ,
kata “marginalia” berarti, “notes written on the margin”, artinya “catatan-catatan
yang ditulis di pinggir halaman buku”. Ketika saya membaca tulisan MM dalam
buku 15 tahun Pos Kupang (halaman 167
– 181), saya membuat sejumlah catatan di pinggir halaman buku tersebut berkenaan
dengan opini MM seputar imajinasi, fantasi atau khayal. Catatan-catatan di
pinggir halaman buku itulah yang kemudian saya perluas menjadi sebuah tulisan,
sebagaimana dimuat di Pos Kupang edisi
16 Januari 2008. Berkenaan dengan arti kata “marginalia” ini, ternyata sekali
lagi ketidaktahuan SU, sehingga di bagian lain tulisannya SU berkata: “Apalagi
merasa pasti dengan kebenaran sendiri sambil me-‘marginalia’-kan orang lain, tanpa alasan yang cukup.” Apa gerangan maksud SU dengan pernyataan yang
berbunyi “me-‘marginalia’-kan
orang lain”? Membuat orang lain menjadi
catatan-catatan yang ditulis di pinggir halaman buku? Dalam
konteks ini, membuat MM menjadi catatan-catatan yang ditulis di pinggir halaman
buku? Alangkah rancunya!
Dengan
penjelasan di atas ini, ternyata SU telah telanjur membuat pernyataan bahwa
tulisan saya berupa marginalia itu “luar biasa”, padahal sebelumnya SU
mengatakan “tidak ada keistimewaan pada tulisan AG”. Dalam kamus sinonim Bahasa
Indonesia, kata “istimewa” bersinonim dengan kata “luar biasa, khas, spesifik,
terutama”; dan kata “luar biasa” bersinonim pula dengan kata “istimewa, khas,
hebat, spesifik”.
Tulisan saya yang dimuat di Pos Kupang edisi 16 Januari 2008 itu, hanyalah sebuah tulisan yang
biasa-biasa saja. Tetapi rupanya SU punya maksud lain dengan mengutip
pernyataan saya: “Teori sastra Maria MB
tentang imajinasi, khayalan dan fantasi dengan sendirinya menciderai citra
Maria Matildis Banda sendiri sebagai dosen sastra, sekaligus mempengaruhi bobot
buku 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur, lantaran posisi Redaktur
Khusus Pos Kupang dan editor buku di atas”. . Lebih lanjut, SU
berkata, “Beberapa kali AG menulis bahwa
ia trenyuh karena MM tidak memiliki pengetahuan yang benar, belum tahu banyak,
atau tidak tahu apa-apa’ tentang imajinasi, fantasi dan khayalan.” “Kata-kata yang cukup pedas. Meminjam kata-kata dalam Injil: ‘Sabda ini keras!’” Agaknya, bagian inilah yang dimaksudkan oleh
SU sebagai “hal yang luar biasa”, sehingga SU berkata dalam nada interogasi, “Persoalannya adalah: apakah kata yang
sekeras ini pantas dialamatkan pada MM?” Dan inilah yang mendorong SU untuk
“masuk dalam diskusi, dalam semangat pencarian kebenaran dan pemahaman yang
utuh...”
Pertanggungjawaban:
Pertama, Ya, itulah suara ketrenyuhan saya secara
jujur (tidak munafik). Saya trenyuh karena saya benar-benar merasa
heran, mengapa pandangan Roger Fretigny, Andre Viler, Marry Harrington yang
mengutip penelitian Bradbury, Harvey Cox, Tolkien seputar imajinasi, fantasi
atau khayal yang saya sebutkan di dalam tulisan saya itu ‘belum dan/atau sama
sekali tidak diketahui (!?) dan/atau tidak diketahui secara baik oleh Maria MB.
Sudah tentu faktor buku-buku referensi yang menjadi persoalan yang menentukan
perbedaan perbendaharaan pengetahuan seputar imajinasi, fantasi atau khayal, di
antara saya dan Maria MB.
Kedua, saya sangat trenyuh karena “bobot opini Maria MB seputar imajinasi, fantasi
atau khayalan berada jauh di bawah bobot novel Surat-Surat dari Dili, apalagi
dalam buku 15 tahun Pos Kupang,
halaman 167, di bawah foto tertulis: “Dra.
Maria Matildis Banda, MS adalah Redaktur Khusus Pos Kupang. Saat ini bekerja
sebagai dosen tetap Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar Bali, dosen
luar biasa pada STFK Ledalero, Maumere. Pernah bekerja sebagai Dosen FKIP
Undana Kupang, dan Dosen FKIP Universitas Flores, Ende. Beberapa novel telah
ditulisnya.” Realitas inilah yang
membuat saya trenyuh. Sekiranya Maria MB adalah seorang tamatan SMA, sudah tentu saya tidak akan
trenyuh. Dan sekiranya biodata/curriculum
vitae Maria MB (sebagai dosen sastra) tidak disertakan sebagai promosi di
bawah foto pribadi yang terpampang di bagian awal tulisan Maria MB, sebagai
bagian yang tak terpisahkan dari artikel Maria MB dalam buku 15 tahun Pos Kupang (halaman 167),
niscaya saya tidak akan menyinggungnya di dalam tulisan saya. Dengan demikian,
saya tidak melakukan argumentum ad
hominem.
Di dalam buku 15
tahun Pos Kupang, setiap artikel dilengkapi foto dan biodata/curriculum vitae penulis, agar setiap
pembaca mengenal setiap penulis dan jati dirinya. Foto dan biodata/curriculum vitae setiap penulis yang
dipajang pada halaman pertama setiap artikel yang dihimpun di dalam buku 15 tahun Pos Kupang itu adalah merupakan
‘jaminan pertanggungjawaban’ bobot atau kualitas setiap artikel. Oleh karena
itu, “sah”, jika orang menyinggung penulis dan jati dirinya sehubungan dengan
pandangan atau opininya yang dituangkan di dalam tulisan. Apakah dengan
demikian telah terjadi argumentum ad
hominem? Tidak.
Oleh karena itu,
pertanyaan SU, “Perlukah ‘trenyuh’ itu?” saya kembalikan kepada SU untuk
dipertimbangkan. Dan mengenai keinginan SU masuk dalam diskusi, yang
katanya mau mencari kebenaran dan pemahaman yang utuh (!) bukannya membuat saya
gembira, malah membuat saya semakin trenyuh lagi. Mengapa? Karena dari tulisan
SU yang dimuat di Pos Kupang edisi 19
Januari 2008, terlihat bahwa SU hanya terdorong oleh gelora emosi dan ‘kenekatan’
seorang anak untuk membela sang ibu semata-mata! Dengan mengandalkan metode penulisan reductio ad absurdum yang sepenuhnya
belum dikuasai, dan tanpa dukungan data pustaka yang bermutu, kecuali
berupaya mereduksi dan mendistorsi opini dan data pustaka yang saya kemukakan
dalam tulisan saya yang dimuat di Pos
Kupang edisi 16 Januari 2008, SU menyatakan siap berdiskusi dalam pencarian
kebenaran dan pemahaman utuh! Ah, mana mungkin?
Catatan keempat
Menurut SU, ada
beberapa kelemahan pada tulisan saya. Pertama,
kata SU, tulisan saya terlalu banyak kutipan. Seandainya MM sebagai pihak yang
mengritik, maka pasti diberinya label “sesak”, seperti puisi yang terlalu
banyak kata, dikatakannya sebagai “sesak”. Pernyataan ini sangat naif dan
rudimentir. Bukankah kutipan sekian banyak pandangan pakar kaliber dunia di
dalam argumen saya itu adalah untuk membuktikan kebenaran deskriptif tentang
apa yang disebut imajinasi, fantasi atau khayal, yang ternyata tidak tercermin
dalam tulisan MM? Apakah pengutipan dengan tujuan seperti itu patut diberi
label “sesak”, seperti puisi yang terlalu banyak kata, dikatakannya “sesak”?
Pernyataan ini
sekali lagi membuktikan keterbatasan pengetahuan SU yang mengandaikan diri
sebagai MM di dalam memberikan penilaian atas tulisan saya. Untuk itu, saya
persilakan SU membuka buku Manifes Puisi
Indonesia – Belanda, yang disunting oleh Toeti Heraty dan A. Teeuw (Jakarta
1986). Lihatlah di situ antara lain, puisi Abdul Hadi W.M berjudul “Laut” yang
jumlah kata-katanya sebanyak 208 kata; puisi Darmanto Yatman berjudul “Istri”,
jumlah kata-katanya 258 kata; puisi Hamid Jabbar berjudul “Homo Homini Lupus”,
jumlah kata-katanya 249 kata, di dalamnya terdapat kata-kata yang berbunyi
“plakplakplakplak” yang memekikkan telinga bila dibacakan dengan suara lantang sebanyak
19 larik, jadi di dalam puisi itu terdapat perulangan kata “plak” sebanyak 76
kali; puisi Rendra berjudul “Sajak kenalan lamamu”, jumlah kata-katanya
sebanyak 716 kata. Setelah itu, lihat lagi Majalah BASIS (Majalah Kebudayaan Umum. Edisi XV – 4 Januari 1965, dan
lihat di situ puisi Sapardi Djoko Damono berjudul “Pada suatu malam”, jumlah
kata-katanya sebanyak 709 kata; dan lihat lagi puisi Taufiq Ismail berjudul
“Kota2, pelabuhan2, ladang2, angin dan langit”, jumlah kata-katanya 1207 kata! Lihat
pula sajak Rendra yang berjudul “Nyanyian Angsa”, jumlah kata-katanya sebanyak
1315 kata! Lihat pula buku kumpulan puisi penyair kontemporer Amerika,
John Updike, berjudul Midpoint and other
poems (Yew York 1969), dan lihat
puisi pertama di bagian pendahuluan yang diawali dengan larik Of nothing but me, me. Kata-kata dalam
puisi ini sebanyak 1119 kata, bahkan ada lagi puisi dalam buku tersebut yang
terdiri lebih dari 1500 kata sampai 2000 kata dan beraneka simbol-simbol!
Penyair-penyair
yang namanya telah tersohor dan karya-karya puisinya yang tak dapat disangkali
bobotnya, yang telah saya sebutkan di atas ini, dapatkah SU mereduksi bobotnya
dan memberikan label “sesak”? Ah! Kalau yang SU ketahui tentang seluk-beluk
puisi cuma “sehalaman buku”
janganlah “show off” seolah-olah sudah “sederet
buku” yang SU ketahui!
Kedua, menurut SU, terdapat kesalahan pemakaian
bahasa dalam pemaparan saya, misalnya tentang imajinasi negatif. Menurut SU,
dalam pemaparan tentang persoalan manusia, negatif dan positif mengungkapkan
kualitas nilai dalam arti baik dan buruk. Beralaskan arti ini, SU berinterogasi:
apakah setiap bayangan dan hasrat yang tidak sesuai dengan kenyataan, buruk
sifatnya? Dari aspek yang mana? Aspek moral, atau efektivitas kerja,
psikologis, atau aspek yang mana?
Jawaban terhadap pertanyaan SU ini sebenarnya sudah dijelaskan oleh MM di
dalam tulisannya melalui ilustrasi pertama dan kedua, yaitu tentang si tukang
madu yang malas yang ingin menjadi kaya; dan seorang wartawan yang bermimpi
menjadi presiden, lantas mengalpakan tugasnya sehingga terperangkap dead line,
yang sudah saja jelaskan pula dalam tulisan saya. Namun satu jawaban lagi dapat saya berikan dalam
ilustrasi sebagai berikut: apabila seorang pria melihat seorang gadis yang
sedang mandi di sungai lalu berkembanglah dalam imajinasinya bayangan-bayangan
yang ‘aduhai’ dan ‘menggairahkan’ sehingga berkobarlah ke-birahian-nya, apakah
itu tidak bersifat buruk? Terhisab ke dalam aspek yang mana keburukan itu SU
pasti tahu, sebab Yesus berkata, “Setiap
orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia
di dalam hatinya.”
Namun, yang perlu SU ketahui, yang saya maksudkan
dengan “imajinasi negatif” dalam tulisan
saya itu ialah “imajinasi” dalam pengertian “conception or mental creation
baseless one” yang telah saya kemukakan dalam tulisan saya, tetapi mungkin
lantaran silau atau kegerahan, SU tidak
memperhatikannya secara jelas. Dengan sendirinya yang dimaksudkan pula dengan
“imajinasi positif” adalah “imajinasi” dalam pengertian yang sebaliknya dari
pengertian imajinasi negatif yang disebutkan di atas. Dalam buku Heteronomia (1992:37,39) Fuad Hassan
mempergunakan kata negatif dan positif
tentang persoalan manusia, yaitu kualitas
emosi yang negatif, dan perasaan yang berkualitas positif tetapi bukan
untuk mengungkapkan kualitas nilai dalam arti baik dan buruk. Dengan demikian,
pendapat SU tentang nilai baik-buruk yang terkait dengan pemakaian kata
positif-negatif yang berhubungan dengan persoalan manusia, tidak mutlak,
mengada-ada, dan mubazir.
Ketiga, SU
katakan, berkaitan dengan persoalan sumber, sayang sekali bahwa saya mengambil
literatur yang membahas tentang imajinasi, khayalan, fantasi dalam sastra murni
dan bukan dalam jurnalisme sastra, padahal konteks pembicaraan MM adalah
jurnalisme sastra. Pernyataan SU ini pun menunjukkan lagi keterbatasan dan
ketidaktahuannya. Saya persilakan SU melihat catatan kaki dalam buku 15 tahun Pos Kupang pada halaman
175,176,178. Bukankah MM merujuk pada literatur sastra murni di samping satu
buku H. Tedjoworo, Imaji dan Imajinasi
Suatu Telaah Filsafat Postmodern? Selain itu, bukankah dalam tulisan saya
sudah saya kutip pandangan Nesfield, “Imagination
or the power to realize a situation not one’s own, is quite as necessary to an
historian as to a novelist or even to a poet?” Apa yang dikatakan
Nesfield ini berlaku pula bagi seorang jurnalis, seorang arsitek, seorang
teknokrat, teknikus, pengacara, hakim, jaksa dan lain-lain.
Catatan penutup
Terlalu mubazir apabila saya melanjutkan catatan ini buat SU. Sebab sembilan puluh sembilan persen
argumentasi yang dibangun oleh SU dalam tulisan yang ditujukan kepada saya
“hanyalah rabaan-rabaan dalam kegelapan belantara ‘fallacy’ yang melingkupi SU.
Empat catatan yang telah saya kemukakan di atas sudah memberikan petunjuk yang
jelas mengenai ‘nilai apa’ yang tersirat
di dalam tulisan SU yang dibangun
dengan metode penulisan reductio ad
absurdum yang belum dikuasai dengan baik. Dan ‘nilai’ yang saya maksudkan itu ialah nilai falsus
in uno, falsus in omnibus. Itulah sebabnya, ucapan Nietzsche yang SU
alamatkan kepada saya, “Keyakinan yang
serba pasti akan kebenaran dapat menjadi musuh kebenaran yang lebih
berbahaya daripada penipuan”, saya alamatkan kembali kepada SU untuk dijadikan
sebagai cermin buat berkaca diri, dan untuk direnungkan dalam hubungannya dengan tulisan SU sendiri. Karena
bukankah dari empat catatan di atas telah saya buktikan falsus yang
SU praktikkan di dalam berargumentasi, konon, untuk pencarian kebenaran dan
pemahaman utuh! Padahal ‘tipu diri’?
Menurut pandangan
dan prinsip hidup Nietzsche, siapa pun yang hendak menjadi kreator,
sungguh-sungguh, ia lebih dahulu harus menjadi pendobrak nilai-nilai. Seorang
pencipta yang demikian itu harus berani menyatakan apa yang benar menurut
anggapannya. Adakalanya kebenaran sungguh pahit untuk dinyatakan; akan tetapi
kebenaran harus diungkapkan. Sebab kebenaran tidak bisa dipendam dan
disembunyikan tanpa berbalik menjadi racun yang membinasakan. Orang yang
bijaksana niscaya tidak akan ingkar terhadap kebenaran serta sanggup
mengungkapkannya. Sebab, diam adalah lebih buruk, semua kebenaran yang
disembunyikan akan menjadi racun. Karena itu pula maka Nietzsche mengganas
dalam mengungkapkan apa yang baginya dianggap benar (Fuad Hassan. Berkenalan dengan Eksistensialisme. 1976:54,55).
Semangat Nietzsche di dalam mengungkapkan kebenaran, yang
saya kutip di atas ini ternyata tidak senafas dengan pernyataan SU, yang
dikatakannya sebagai ucapan Nietzsche. Saya cenderung untuk meragukan kutipan
SU dan menganggapnya suatu kepalsuan dan
kebohongan! Sebab, Nietzsche (15 Oktober 1844), sang rajawali kaum filsuf yang
kehilangan kepercayaannya terhadap Tuhan pada usianya yang kedelapan belas
tahun, dan kemudian menemukan dirinya sendiri dalam imago Zarathustra, sampai
matinya pada 25 Agustus 1900, tetap teguh keyakinannya akan kebenaran menurut
anggapannya, dan tetap mengganas mengungkapkan apa yang baginya di anggap
benar.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar