Catatan Pengantar:
(Catatan untuk Isidorus Lilijawa)
Oleh: A. G. Hadzarmawit Nettu
SETELAH membaca “Seputar jurnalisme sastrawi” (Ruang
diskusi untuk A.G. H. Netti) yang ditulis oleh Isidorus Lilijawa—selanjutnya
akan saya sapa, IL—(Pos Kupang edisi Kamis, 31 Januari 2008), saya
ingin mengemukakan beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, Opini
saya yang dimuat di Pos Kupang edisi
Rabu, 16 Januari 2008, bukan opini yang menafikan “jurnalisme sastrawi”,
melainkan opini yang menafikan pendapat Maria MB tentang ‘imajinasi, fantasi,
dan khayalan’, yang saya uraikan di bawah judul “Marginalia atas opini Maria
Matildis Banda seputar ‘imajinasi, fantasi, dan khayalan’”.
Kedua, konsepsi
yang saya anut tentang ‘imajinasi, fantasi, dan khalayan’ adalah konsepsi yang bukan
saja berlaku bagi penulis dalam ranah
sastra imajinatif melainkan juga berlaku
bagi penulis dalam ranah sastra
non-imajinatif di mana jurnalisme
terhisab ke dalamnya.
Ketiga, dalam
ranah teori sastra maupun psikologi, tidak pernah ada konsepsi yang mengatakan
bahwa “imajinasi adalah makhluk merdeka
yang memiliki kekuatan dahsyat...” (menurut opini Maria MB dalam 15 tahun Pos Kupang 2007:180); atau
“imajinasi adalah energy drink dan supplement food...” (menurut anggapan IL dalam “Seputar jurnalisme sastrawi”, Pos Kupang edisi 31 Januari 2008).
Konsepsi seperti ini hanya ada dalam
dunia illusion (deceptive appearance;
false conception). Dengan demikian, terjebak dalam false conception berarti tidak akan sampai pada pengenalan serta
pemahaman yang baik dan benar.
Keempat, penyebutan
atau penulisan ungkapan bahasa Latin, argumentatum
ad hominem dan argumentatum ad rem yang
dilakukan oleh IL itu salah. Yang benar ialah argumentum ad hominem dan
argumentum
ad rem. Yang dimaksudkan dengan argumentum
ad rem yaitu “argument to the purpose” (= argumen yang bersangkut-paut
dengan pokok persoalan). Apabila ada orang yang mengatakan argumentum ad factum, barulah dapat diartikan sebagai “argumen yang
bersangkut-paut dengan fakta”. Yang menjadi pokok persoalan ialah adanya perbedaan pendapat dan pemahaman
antara saya (AGHN) dan Maria MB seputar ‘imajinasi, fantasi, dan
khayalan’—bukannya perbedaan pendapat dan pemahaman tentang ‘jurnalisme
sastrawi’. Dengan demikian, diskusikanlah tentang ‘imajinasi, fantasi, dan
khayalan’ yang menjadi pokok persoalan; dan jangan mengambang ke ranah
“jurnalisme sastrawi” yang bukan pokok persoalan. Namun patut saya tandaskan
bahwa saya tidak akan berdiskusi tentang “imajinasi
sebagai makhluk merdeka yang memiliki
kekuatan dahsyat yang tak seorang pun mampu membelenggunya….” (menurut
Maria MB) dan tak /atau “imajinasi adalah
energy drink dan supplement food…”
(menurut IL), Sebab bagi saya, imajinasi
adalah “power of the mind to imagine; power or the faculty of forming images in
the mind”, di samping imajinasi sebagai “the artist’s creative power” yang
menurut Coleridge, sebagaimana dikutip oleh Rachmat Djoko Pradopo, adalah “kekuatan membentuk gambaran angan (imaji)
atau perasaan untuk mengubah imaji-imaji lain, dan dengan semacam penyempurnaan
memaksa yang banyak menjadi satu…” (baca, Prinsip-Prinsip Kritik Sastra 1994:60). Lalu, apakah yang
dimaksudkan dengan argumentum ad hominem?
Argumentum ad hominem
yaitu “an argument to the individual man; i.e., to his interests and
prejudices” (= argumen terhadap manusia perseorangan yang berhubungan dengan
soal-soal pribadi; yaitu terhadap interes dan prejudisnya [yang berada diluar
konteks tulisan] sehingga merugikan kepentingan orang itu). Contoh mengenai argumentum ad hominem, saya persilakan
IL perhatikan nada polemik antara Arief Budiman dengan Umar Kayam, dan polemik
antara Arief Budiman dengan Sutardji Chalzoum Bachri seputar perdebatan sastra
kontekstual (Ariel Heryanto. Perdebatan
Sastra Kontekstual. Jakarta
1985: 227-236; 347-351).
Antara Arief Budiman dengan Umar Kayam yang sama-sama
bergelar Doktor, Arif Budiman tidak segan mengatakan Umar Kayam memiliki
pandangan yang “kurang benar”; “belum menangkap dengan benar tesis utama dari
konsep sastra kontekstual”; “dengan demikian Umar Kayam telah salah menebak
sasarannya”; dan secara agak sinis Arief Budiman berkata kepada Umar Kayam,
“dan tampaknya, tidak percuma Kayam memperoleh gelar Doktor dalam sosiologi
dari Universitas Cornel yang terkenal itu”. Nada polemik antara Arief Budiman
dengan Umar Kayam masih wajar. Tetapi bagaimanakah nada polemik antara Arief
Budiman dengan Sutardji Chalzoum Bachri? Perhatikan kutipan argumen Arief
berikut ini.
“Saya harap Sutardji
dapat berhati-hati kalau dia mau menulis tentang fakta, karena meskipun ini kesalahan
kecil, tapi dia mencerminkan suatu pribadi yang ceroboh. Saya tahu Sutardji
seorang yang jadi bertambah kreatif dalam membacakan puisinya kalau dia sedang
teller minum bir. Tapi kalau menulis esei, saya kira sebaiknya dia tidak dalam
keadaan mabuk bir. Saya harap sesudah pengalaman ini, Sutardji akan lebih
bersikap kontekstual sedikit, yakni dengan melihat dalam situasi apa dia boleh teller, dan kapan dia sebaiknya sadar kembali.” Argumen Arief Budiman terhadap Sutardji
seperti inilah yang dapat kita sebut argumentum
ad hominem, yaitu “argumen terhadap manusia perseorangan yang berhubungan
dengan soal-soal pribadi; yaitu terhadap interes dan prejudisnya [yang berada
di luar konteks tulisan] sehingga merugikan kepentingan orang itu”. Argumen
seperti inilah yang tidak pantas dilakukan, namun ternyata dilakukan juga oleh
Arief Budiman. Semoga dengan contoh ini IL dapat memahami secara lebih baik dan
benar apa yang dimaksudkan dengan argumentum
ad hominem itu, sehingga jangan membuat pernyataan secara apriori dan
‘asbun’ (=asal bunyi).
Kelima,
penyebutan atau penulisan ungkapan/idiom “taken for granted” yang dilakukan
oleh IL dalam opininya yang berjudul “Seputar jurnalisme sastrawi” itu pun
salah. Penyebutan atau penulisan yang benar ialah “take for granted”; “take something for granted” (baca, The Advanced Learner’s Dictionary Of Current
English; dan Chamber Twentieth
Century Dictionary; atau boleh juga baca Kamus Inggris-Indonesia yang
disusun oleh A.S. Hornby-E.C. Parnwell-Siswojo-Siswojo; maupun Kamus Inggris-Indonesia yang disusun oleh John M. Echols-Hassan
Shadily; dan Kamus Idiom Lengkap susunan Herpinus Simanjuntak).
Demikianlah lima catatan ringan yang saya kembalikan kepada
IL untuk direnungkan sebagai ganti diskusi tentang “jurnalisme sastrawi” yang
bukan menjadi pokok persoalan bagi saya.
Namun seandainya saya ingin berdiskusi
tentang jurnalisme sastra, maka saya akan berbicara mulai dari peranan Ernest
Miller Hemingway (1898 – 1961) yang pernah bekerja sebagai seorang wartawan
kawakan Amerika yang kemudian terkenal pula sebagai novelis dan cerpenis
terkemuka. Dialah yang memelopori suatu cara penulisan dalam kesusastraan, di
mana teknik penulisan jurnalistik diterapkan dalam novel-novel dan cerpen yang
ditulisnya. Setelah itu, banyak pengarang lain dari berbagai negara mengikuti
teknik penulisannya, tidak terkecuali di Indonesia yang diikuti oleh Idrus,
Pramudya Ananta Toer, Mochtar Lubis. Dan dalam perkembangan selanjutnya,
pengaruh saling ambil dan memberi antara sastra dan jurnalistik berkembang dengan
pesat di Indonesia
yang dipelopori oleh Majalah Berita Mingguan TEMPO. Apa yang saya katakan ini ternyata tidak
disinggung sama sekali di dalam tulisan Maria Matildis Banda! Dan masih banyak
lagi yang dapat saya bicarakan. Namun sekali lagi saya tegaskan, bahwa dalam
ranah ‘jurnalisme sastrawi’ saya masih dapat memahami opini Maria Matildis Banda (walaupun opininya tidak lengkap). Yang saya tolak dari artikel
Maria Matildis Banda yaitu pandangan/pemahamannya
tentang ‘imajinasi, fantasi, dan khayalan’.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar