Catatan Pengantar:
Catatan pengantar
Pada mulanya
saya bermaksud memperluas marginalia
(catatan pinggir) ini menjadi sebuah artikel untuk dimuat di media cetak
(koran). Namun, setelah mempertimbangkan alinea terakhir Dari Editor yang menyatakan, “Akhirnya, kepada pembaca kami
mempersembahkan buku ini. Segala kritik, koreksi dan saran akan diterima dengan
tangan terbuka...” (15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur. Kupang: PT Timor Media Grafika 2007 hlm.vi), maka
langkah pertama saya memutuskan untuk menyederhanakan marginalia ini untuk menyerahkannya secara
langsung kepada Tim Editor buku 15 tahun
Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur. Langkah berikutnya, bila ada
perkembangan baru, saya akan memuat tulisan ini di media cetak (koran),
mengingat buku 15 tahun Pos Kupang Suara
Nusa Tenggara Timur telah beredar luas di masyarakat (golongan menengah ke
atas) di Nusa Tenggara Timur, bahkan (tentu saja) di Jakarta dan kota-kota di luar daerah Nusa
Tenggara Timur.
Setelah
memperhatikan desaian & sampul serta membaca buku 15
tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur (1 + 354 halaman), maka saya terdorong
untuk mengemukakan beberapa marginalia (catatan
pinggir) yang dapat dipandang sebagai kritik, koreksi, atau tanggapan sebagai
berikut:
Marginalia pertama
Gambar sampul:
tiga orang anak kecil (seorang anak yang mengacungkan jari telunjuknya ke atas [berusia
kira-kira 4 atau 5 tahun] serta seorang anak perempuan dan seorang anak
laki-laki [berusia kira-kira 8 dan 7 tahun] yang memegang, mengamati serta membaca
koran Pos Kupang), pada hakikatnya
tidak mencerminkan “core” (=inti) dan/atau isi
buku 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur mulai dari halaman 1
sampai halaman 333, maupun pemikiran yang dituangkan oleh editor pada halaman v-vi, dan pandangan pengantar yang
dituangkan pada halaman vii-ix. Gambar
sampul itu pun tidak mencerminkan apa yang disajikan dalam halaman 337-354,
kecuali sebagai ilustrasi yang terkait erat dengan ilustrasi halaman dalam,
yakni halaman 133, namun berdasarkan riset yang disajikan oleh Prof. Dr. Alo
Liliweri, M.S., (baca halaman 45-46), tidak ditunjukkan adanya kelompok pembaca
Pos Kupang yang berasal dari kalangan
anak-anak berusia antara 6 sampai 10 tahun.
Menurut pertimbangan
saya, sangat serasi, apabila gambar sampul buku 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur dibuat seperti desain sampul buku Indonesia Abad XXI Di Tengah Kepungan Perubahan Global (PT Kompas Media Nusantara), Jakarta 2000,
yang diterbitkan dalam rangka memperingati hari jadi ke-35 Harian KOMPAS 28 Juni 2000. Sudah tentu
desain sampul buku Indonesia Abad XXI tidak boleh dijiplak, tetapi dapat dijadikan
perbandingan di dalam merancang desain sampul buku 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur, mengingat Pos Kupang merupakan bagian dari Kelompok KOMPAS Gramedia (KKG).
Desain sampul
buku Indonesia Abad XXI Di Tengah
Kepungan Perubahan Global sangat serasi dan sangat jitu mencerminkan “core”
(= inti) 77 opini yang dihimpun di dalam buku tersebut. Sedangkan gambar sampul
buku 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa
Tenggara Timur sama sekali tidak mencerminkan “core” opini-opini yang terhimpun dalam buku 15 Tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara
Timur, kecuali sebagai ilustrasi yang tidak realistik. Memang, dalam opini
John Dami Mukese, “Mendongkrak Budaya Membaca di NTT” (hlm. 249-265, khususnya
halaman 260-264), ada dijelaskan tentang pengembangan budaya membaca. Namun
apabila sebagian kecil dari opini John Dami Mukese itu yang hendak ditonjolkan
sebagai “core” yang diilustrasikan pada sampul buku 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur, maka gambar sampul
buku itu pun belum dan/atau tidak representatif, apalagi Harian Umum Pos Kupang bukan koran yang dikhususkan menjadi
koran bacaan anak-anak.
Marginalia kedua
Mengenai
“Perjalanan Pers di NTT” (hlm.1-11) yang ditulis oleh Agus Sape, terdapat satu
bagian kalimat yang perlu saya koreksi, yaitu bagian kalimat yang berbunyi,
“... Kupang Post berhenti terbit
sekitar tahun 1983/1984” (hlm.6, alinea kedua di bawah sub judul Mingguan Kupang Post). Keterangan/pernyataan ini tidak benar.
Mingguan Kupang Pos berhenti terbit pada pertengahan tahun 1988. Alasan
yang dapat saya ajukan yakni, pada tahun
1988 tulisan-tulisan saya masih dimuat di Mingguan Kupang Pos, antara lain: (1) Mingguan Kupang Pos edisi tanggal 11-17 Januari 1988 memuat opini saya
berjudul, “Beberapa Catatan Sekitar Puisi Lugu”; (2) Mingguan Kupang Pos edisi tanggal 11-17 Februari
1988 memuat puisi-puisi saya secara eksklusif tentang kota Kupang sebanyak 7
buah di bawah judul kolektif, “Parade Puisi-Puisi Prismatis Kota Kupang”; (3)
Mingguan Kupang Pos edisi 1-10 Maret
1988 memuat opini saya berjudul, “Sekitar: Asosiasi, Interpretasi dan Sajak”. Kliping
Mingguan Kupang Pos ada pada saya sebagai
bukti. Pada waktu itu saya bekerja sebagai guru di pulau Rote, Kecamatan Rote
Timur. Dan opini saya secara tetap saya salurkan melalui Mingguan Kupang Pos dan Majalah BUSOS Surabaya. Ketika menjelang akhir tahun 1988
saya datang ke Kupang, Mingguan Kupang
Pos telah berhenti terbit.
Marginalia ketiga
Berkenaan dengan “Pos Kupang-ku, Suara Nusa Tenggara Timur”
yang ditulis oleh Damyan Godho (hlm.13-23), ada “proverbs” yang disebutkan pada
halaman 23 yang salah diucapkan dan/atau
salah dituliskan . “Proverbs” yang dimaksudkan ialah: “He who knows of he knows not, he is wise!” dan “He who knows not of he knows not, (because)
he is fool!” Dari sumber manakah
“proverbs” ini dikutip? Jikalau ada orang yang mengatakan “proverbs” ini benar,
buktikan kepada saya sumber aslinya. Bunyi “proverbs” yang sebenarnya ialah: “He that knows, and knows that he knows, is
wise. Follow him.!” Dan “He that
knows not, and knows not that he knows not, is stupid. Shun him.” “Proverbs” ini terdapat dalam buku berjudul Salt Cellars. A Collection Of Proverbs,
together with Homely Notes Thereon, halaman 93, yang disusun oleh Charles
H. Spurgeon, dicetak/diterbitkan oleh
Moody Press – Chicago
pada tahun 1947. Dengan demikian, “proverbs” yang tertulis dalam buku 15 tahun Pos Kupang …, halaman 23 itu,
merupakan “salah kaprah”. Dua “proverbs” lainnya yang merupakan suatu kesatuan
dengan dua “proverbs” yang telah saya kutip di atas, yaitu: “He that knows not, and knows that he knows
not, is good. Teach him.” Dan “He
that knows, and knows not that he knows, is asleep. Arouse him.”
Dalam buku berjudul, Kata-Kata
Mutiara yang disusun oleh Kartono, S.H., dan diterbitkan oleh Pradnja
Paramita, Jakarta, tahun 1971, halaman 64, keempat “proverbs” yang saya kutip dari buku Salt Cellars itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sesuai
dengan urut-urutan aslinya dalam buku Salt
Cellars, sebagai berikut: (1) “He
that knows not, and knows not that he knows not, is stupid. Shun him” ,
diterjemahkan: “Orang yang tidak tahu, dan tidak tahu, bahwa ia tidak tahu: ia
adalah orang tolol – jauhilah dia”; (2) “He that knows not, and knows that he knows
not, is good. Teach him.” , diterjemahkan: “Orang yang tidak tahu, dan
tahu, bahwa dia tidak tahu: ia adalah orang yang bersahaja – ajarilah dia”; (3)
“He that knows, and knows not that he knows, is asleep. Arouse him.” ,
diterjemahkan: “Orang yang tahu, dan tidak tahu, bahwa dia tahu: orang itu
tidur – bangunkan dia”; dan (4) “He that
knows, and knows that he knows, is wise. Follow him”, diterjemahkan: “Orang
yang tahu, dan tahu, bahwa dia tahu: orang itu adalah bijaksana – tirulah dia”.
“Proverbs” yang dikutip dari buku Salt Cellars yang disusun oleh Charles H. Spurgeon di atas ini, ada
yang menyangkanya sebagai ‘filsafat tahu-tidak tahu’. Sangkaan ini pun
merupakan salah kaprah. Pada tahun 2005 yang lalu, seorang penulis bernama Esra
Alfred Soru pernah memuat sebuah tulisannya berjudul, “Jujur Pada Kebenaran” di
Harian Pagi Timor Express edisi
Sabtu, 29 Oktober 2005. Ia mengutip keempat “proverbs” tersebut di atas dalam
versi bahasa Indonesia,
namun juga salah kaprah, dan ia menyebutnya “filsafat tahu-tidak tahu”. Pada
waktu itu saya tanyakan kepadanya, “Esra, coba tunjukkan kepada saya buku
‘filsafat tahu-tidak tahu’ itu dan siapa nama filsuf yang mengarang buku
‘filsafat tahu-tidak tahu’ tersebut?” Ia tersipu-sipu, ketika saya tunjukkan
kepadanya buku Salt Cellars karya
Charles H. Spurgeon dan buku Kata-Kata
Mutiara susunan Kartono, S.H., yang berisi keempat “proverbs” tersebut di
atas.
Marginalia keempat
Dalam tulisan berjudul, “Mendongkrak Budaya Membaca di NTT”
(hlm.249-265) yang ditulis oleh John Dami Mukese, terdapat satu kesalahan
kecil, namun patut mendapatkan perhatian, berkenaan dengan pengutipan data
tahun kehadiran sekolah pertama berbahasa Melayu di pulau Rote. Pada halaman 250, tertulis: “…kehadiran sekolah
pertama berbahasa Melayu di Pulau Rote pada tahun 1775, atau 170 tahun sebelum
Indonesia merdeka.” Berdasarkan catatan kaki, John Dami Mukese mengutip data
ini dari sumber: Bangun, Rikhard. 2006. JJ
Fox dan Pendidikan di NTT, KOMPAS Online, Edisi Selasa, 04 Juli 2006. Website:
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0607/04/Sosok/2778351.htm
Tanggal download: 14 Juli 2007.
Ketika saya membaca kutipan di atas ini, saya berpikir
bahwa angka tahun 1775 itu merupakan suatu kesalahan ketik dari angka tahun
yang sebenarnya yakni 1735. Tetapi ketika saya memperhatikan frasa penjelasan
yang berbunyi, “atau 170 tahun sebelum Indonesia merdeka”, maka saya
berkesimpulan bahwa angka tahun 1775 itu bukan merupakan suatu kesalahan ketik,
karena memang angka tahun 1945 dikurangi dengan angka tahun 1775, hasilnya
adalah 170. Dengan demikian, rupanya sumber rujukan yang dipergunakan oleh John
Dami Mukese sebagaimana dikutip di atas ini, sekali pun dari sumber yang
sebenarnya tidak dapat dianggap remeh
lantaran memiliki kredibilitas yang tinggi, terbukti tidak dapat dipercaya juga. Dan ini
sebagai bukti yang memberi peringatan kepada kita, bahwa data yang tersaji di internet tidak selamanya 100% benar, dan karena
itu tidak boleh dipercayai begitu saja, tetapi harus dibandingkan dengan data
pustaka.
Data yang benar, yang tertulis dalam buku James J. Fox,
ialah: Sekolah Kristen pertama didirikan di Rote pada tahun 1735 (James J. Fox.
Harvest Of The Palm – Ecological Change
in Eastern Indonesia. Harvard University
Press. Cambridge, Massachusetts
and London, England 1977:106; banding pula
dengan: james j. fox. bahasa, sastra dan
sejarah – kumpulan karangan mengenai masyarakat pulau roti. Penerbit
Djambatan, Jakarta
1986:10). Dan setahun kemudian, yakni pada tahun 1736, Rote telah memiliki 12
sekolah dalam 12 nusak yang ada di pulau Rote pada waktu itu (James
J. Fox. Bahasa, sastra dan sejarah…, Ibid.
hlm.10). Tetapi apabila sumber rujukan yang dipakai oleh John Dami Mukese itu
pun tidak salah mengutip data dari buku James J. Fox yang berjudul lain dari
kedua buku sumber yang saya sebutkan di atas ini, maka kenyataan ini memberi
petunjuk bagi kita bahwa data/informasi yang disajikan oleh peneliti/penulis
ahli dari luar negeri pun tidak boleh dipercayai begitu saja.
Marginalia kelima
Dalam tulisan Deno Kamilus berjudul, “Pers, Jembatan
Pemerintah dan Rakyat” (hlm.267-272), terdapat kesalahan kecil pada halaman 272
dalam kalimat yang berbunyi: “Oleh karena itu, bagi pers, kebebasan harus
menjadi titik tolak (terminus ad quo) dan sekaligus, menjadi titik tuju (terminus ad quem).” Kesalahan terdapat pada penulisan kata Latin, terminus ad quo. Yang benar ialah
terminus a quo. Mengenai penulisan kata Latin, terminus
a quo dan terminus ad quem, baca kamus The Lexicon Webster Dictionary Vol. Two., 1978 Printed by The
English-Language Institute of America, Inc. halaman 1014; Chambers Twentieth Century Dictionary. W & R Chambers Ltd.
London 1972 hlm.1392; dan Roget’s Pocket Thesaurus. New York 1946 hlm.455.
Marginalia keenam
Yang membuat saya trenyuh, ialah ketika saya membaca tulisan
Maria Matildis Banda (selanjutnya dalam tulisan ini akan saya sapa, Maria MB) yang
diberi judul, “Imajinasi dan Hasrat Seorang Jurnalis” (Catatan tentang
Jurnalisme Sastra) (hlm.167-181), khususnya paparan di bawah sub judul “Aspek
Imajinasi dalam Jurnalisme Sastra” (hlm.174-177). Tulisan Maria MB ini
benar-benar membuat saya trenyuh, karena Maria MB tidak memiliki pemahaman yang
baik dan benar tentang “imajinasi” ,
“khayalan”, dan “fantasi”, sehingga untuk beberapa saat lamanya saya tepekur seraya
bergumam, “koq, bisa begitu…, ya…?!”
Maria MB katakan: “Imajinasi
bukan khayalan. Imajinasi berbeda dari fantasi. Fantasi sama
dengan khayalan yang tidak nyata, tidak masuk akal, dibuat-buat, mimpi yang tak
mungkin menjadi kenyataan. Fantasi adalah gambaran semu tentang sesuatu yang
tidak bisa diubah menjadi kenyataan. Berfantasi sama dengan mengandai-andai
yang hanya menimbulkan rasa lelah atau membawa si pengandai tenggelam dalam
khayalan-khayalan hampa yang indah berbunga-bunga...; Fantasi adalah daya yang
menghasilkan khayalan, berkaitan dengan gambaran objek yang tidak mungkin dan
memang tidak ada dalam kenyataan...” (hlm.174, 175, 176)..
Untuk
menjelaskan secara singkat mengenai apa itu imajinasi,
fantasi, khayal, saya ingin mengutip hasil penelitian dua orang sarjana
Prancis, Roger Fretigny dan Andre Viler yang mengatakan begini: “Ada empat macam kesadaran manusia yaitu
kesadaran imajinatif, kesadaran refleksif, kesadaran aktif, dan kesadaran kontemplatif. Fantasi memainkan peranan
sentral dan menentukan dalam perkembangan psikis manusia. Dan fantasi adalah
contoh pertama dari kesadaran imajinatif. TANPA FANTASI, MAKA DAYA PEMIKIRAN
KITA YANG KERJA SECARA DISKURSIF AKAN MENJADI PINCANG DAN TERKURUNG DALAM
SEBUAH SISTEM YANG TERTUTUP DAN BEKU. Tetapi dengan fantasi, hidup manusia
seutuhnya akan bergerak menurut suatu ritme tertentu antara kenyataan dan
harapan” (L’imagerie Mentale,
1968:21).
Berpegang pada
hasil penelitian kedua sarjana Prancis sebagaimana dikutip di atas inilah, maka
saya sangat terperanjat (!) ketika
membaca pandangan Maria MB yang mengatakan bahwa “Fantasi sama dengan khayalan yang tidak nyata, tidak masuk akal,
dibuat-buat, mimpi yang tak mungkin menjadi kenyataan. Fantasi adalah gambaran
semu tentang sesuatu yang tidak bisa diubah menjadi kenyataan. Berfantasi sama
dengan mengandai-andai yang hanya menimbulkan rasa lelah atau membawa si
pengandai tenggelam dalam khayalan-khayalan hampa yang indah berbunga-bunga.” Maaf, kalau saya berkata, “Rupanya Maria MB
belum tahu banyak, atau sama sekali tidak tahu, bahwa fantasi (sebutan lain, khayal), adalah “kegiatan daya roh” yang
terhisab kepada “kesadaran imajinatif”.
Mary Harrington yang mengutip hasil penelitian Bradbury
mengatakan bahwa, “Bakat berfantasi
merupakan bakat untuk hidup. Penemuan-penemuan baru sering diakibatkan karena
fantasi, insprirasi, atau ilham” (Psychology
today. Vol.I. No.1, 1968:28,37). Catatan tambahan: “inspirasi, ilham, angan-angan, impian” juga terhisab kepada “kegiatan daya roh
seperti fantasi” yang tak terpisahkan dari “kesadaran imajinatif”. J.R.R.
Tolkien dalam Tree and Leaf 1964
mengatakan, “Fantasi tidak merusak akal
budi dan tidak mengeruhkan ketajaman pengamatan ilmiah. Makin baik fantasi
seseorang, makin terang dan hidup kegiatan inteleknya. Dan semakin terang dan
hidup kegiatan intelek seseorang, semakin baik pula fantasinya.”
Harvey Cox dalam bukunya Feast of Fools (judul lengkap: The
Feast of Fools, A Theological Essay on Festivity and Fantasy. Cambridge: Harverd 1969), sebagaimana dikutip dan
dijelaskan pula oleh Dick Hartoko dalam tulisan berjudul “Kesenian Dalam Hubungannya Dengan Peranan Kaum Muda” antara lain
mengatakan: “Oleh fantasi dibuka
pandangan-pandangan baru yang tertutup bagi pengalaman empiris belaka, ia
dibebaskan dari gaya
hidup yang ‘borjuis, established, arrive’. Fantasi membuka kemungkinan untuk
mengadakan pembaruan. Dengan fantasi, manusia mampu menyadari masa kini
dengan lebih kaya, intensif, dan
kreatif. Penemuan-penemuan baru sering diakibatkan karena fantasi, karena
inspirasi dan ilham. Direksi-direksi perusahaan sering mengadakan rapat-rapat
‘brainstorming’ yang merangsang daya fantasi.... Masyarakat membutuhkan
pembaruan, dan pembaruan dapat dirintis oleh pemimpi (bukan pemimpin),
yaitu oleh mereka yang menggunakan fantasinya” (TIFA BUDAYA. Sebuah Bunga Rampai. Penyunting: Kasijanto dan Sapardi
Djoko Damono. Diterbitkan oleh Leppenas Jakarta 1981. Hlm.18,19).
Berkenaan dengan pandangan di atas ini, saya ingin mengutip
‘kesaksian’ Damyan Godho dalam bagian awal tulisannya “Pos Kupang-ku, Suara Nusa Tenggara Timur (Kilas-balik Singkat Perjalanan
15 tahun, 1 Desember 1992 – 1 Desember 2007), yang berbunyi sebagai
berikut: “DALAM perjalanan ke Restoran
Pantai Timor – Kupang, Senin sore 30 Nopember 1992 – tempat akan berlangsungnya
Acara Peresmian POS KUPANG, Surat Kabar Harian pertama di Nusa Tenggara Timur, benak saya penuh khayalan.
Namanya berkhayal. Macam-macam,
meloncat sana
meloncat sini, dengan hati yang berbunga-bunga, membayangkan koran yang akan
terbit perdana esok hari Selasa 1 Desember 1992. ‘Suatu hari nanti, POS KUPANG
seperti KOMPAS… beredar luas… dibaca banyak orang… dipercaya dan disayangi… di
halte-halte, di bawah tiang listrik, di pasar dan di mana-mana terlihat orang
asyik membaca … setidaknya membawa koran di tangan.’ koran itu adalah POS
KUPANG yang telah menjadi kebutuhan…” Lebih lanjut, Damyan Godho bersaksi: “Memang, khayalan tadi lalu menjadi impian dan cita-cita yang menjadi
pemberi semangat dan inspirator dalam menapak perjalanan sejak 1 Desember 1992.
Perjalanan, yang lebih tepatnya ‘perjuangan’ panjang 15 tahun, sungguh penuh
kenangan…” (baca, 15 tahun Pos
Kupang..., hlm.13-14).
“Khayalan” yang disaksikan oleh Damyan Godho
sebagaimana dikutip di atas ini adalah sebutan lain dari fantasi yang dijelaskan oleh Harvey Cox yang dikutip pula oleh Dick
Hartoko, sebagaimana telah dipaparkan di atas, yang telah menjadikan Damyan
Godho menoreh prestasi di dalam mengembangkan POS KUPANG memasuki usia ke-15 tahun pada 1 Desember 2007 yang
lalu. Khayalan atau fantasi
yang dijelaskan di sini, menurut Cox, tidak lain adalah imajinasi yang diteruskan (dikembangkan), yang mengatasi struktur
kenyataan sehari-hari. Khayalan atau
fantasi yang tak lain adalah imajinasi yang diteruskan itu, adalah khayalan
atau fantasi kreatif, yang juga tidak lain adalah imajinasi kreatif yang
diteruskan/dikembangkan berpangkal pada kenyataan dan pulang kepada kenyataan.
Khayalan atau fantasi kreatif, yang tak lain adalah imajinasi kreatif yang
diteruskan (dikembangkan) itu, lebih lanjut dijelaskan pula oleh Dick Hartoko,
mengutip pandangan J. Bronowksi, “memampukan manusia dapat melihat ke depan,
mempunyai ‘foresight’ (tinjauan ke masa depan), antisipasi (pikiran atau
perhitungan yang dapat membayangkan apa yang nanti akan terjadi, atau yang
diharapkan akan terjadi). Dan di sinilah kita berjumpa dengan peranan imajinasi dalam kehidupan manusia,
syarat mutlak bagi terjadinya karya seni dan kemajuan ilmu pengetahuan, serta
kemajuan di bidang apa saja Bronowksi mengumpamakan imajinasi dengan sebuah
teleskop dalam arus waktu. Manusia dapat memandang ke depan, dan dapat
menggambarkan apa yang akan terjadi” (Dick Hartoko. Manusia Dan Seni 1983:26-27). Imajinasi yang disebutkan oleh
Bronowksi itu bukan meniadakan, tetapi mengukuhkan fantasi kreatif atau
khayalan kreatif yang membuat Damyan
Godho berkata, “Suatu hari nanti, POS
KUPANG seperti KOMPAS…”
Sangat disayangkan sekali bahwa konsepsi tentang “imajinasi, fantasi, khayalan” sebagaimana
dipaparkan di atas ini belum dan/atau sama sekali tidak diketahui (!?) dan/atau
tidak dipahami secara baik oleh Maria MB, sehingga Maria MB hanya memahami
fantasi dan khayalan sebagai daya-daya roh yang semata-mata negatif, hampa,
tidak masuk akal. Ilustrasi pertama
tentang “si tukang madu yang malas yang ingin mejadi kaya raya” dan ilustrasi
kedua tentang “seorang wartawan yang bermimpi menjadi presiden, lantas
mengalpakan tugasnya sehingga terperangkap dead line” (hlm.175) itu
sesungguhnya adalah “lamunan kosong”. Kalau mau dikatakan “impian”, maka harus
disebut “impian kosong”; kalau mau dikatakan “fantasi” atau “khayalan”, maka
harus disebut “fantasi semu” atau “khayalan semu”. Kedua ilustrasi itu
menjelaskan tentang arti “lamunan” dan “melamun”. “Lamunan” adalah “angan-angan
yang menerawang dan bukan-bukan”; “melamun” adalah “termenung memikirkan
sesuatu yang tidak tentu”. Kedua ilustrasi itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan “khayalan”, atau
“fantasi”; apalagi “khayalan kreatif”, atau “fantasi kreatif”. Dan apabila kita
pergunakan sebutan “imajinasi”, maka kedua buah ilustrasi itu dapat disebut
sebagai “imajinasi negatif”, yaitu “imajinasi dalam pengertian “conception or
mental creation baseless one” (bayangan/gambaran atau kreasi mental [pikiran,
batin, rohaniah] yang tidak beralasan atau tidak berdasar sama sekali). Dengan
demikian, lamunan kosong, atau impian kosong adalah imajinasi negatif yang
diteruskan (dikembangkan) secara tidak menentu. Sedangkan ilustrasi ketiga (juga pada halaman
175) yang dikemukakan oleh Maria MB, itu adalah ilustrasi yang benar untuk penjelasan tentang “khayalan” (“khayalan kreatif”), atau
“fantasi” (“fantasi kreatif”); dan apabila kita pergunakan sebutan “imajinasi”,
maka ia disebut “imajinasi kreatif” atau “imajinasi positif” yang selaras
dengan pandangan Harvey Cox dan Mary Harrington sebagaimana telah saya
kemukakan di atas. Dan terhisab kepada “imajinasi kreatif” atau “imajinasi
positif” ini adalah “the artist’s creative power” (daya kreatif seniman) yang
ada atau dimiliki oleh seniman—seperti yang telah dibuktikan sendiri oleh Maria
MB melalui kehadiran novelnya yang berjudul Surat-Surat
dari Dili; dan “the faculty of the
producing ideal creations consistent with reality” (kemampuan menciptakan kreasi-kreasi ideal yang selaras dengan
kenyataan) yang ada atau dimiliki oleh para ilmuwan dalam berbagai disiplin
ilmu, arsitek, teknikus—bahkan ada atau dimiliki setiap insan (kecuali orang
gila dan orang-orang yang mengalami cacat total)..
Lebih lanjut, Maria MB mengutip Subagio Sastrowardoyo yang
“membedakan imajinasi dari fantasi, angan dari khayal”, seraya mengatakan bahwa
“Sastra dibangun menurut daya angan (imajinasi) yaitu daya tangkap batin yang
secara intuitif memperoleh tanggapan atau visi yang benar dari pengalaman dan
kenyataan konkret. Anggapan ini sanggup menangkap kebenaran sampai pada
esensinya”. Pandangan ini sungguh rancu. Imajinasi dibedakan dari fantasi, dan
angan dibedakan dari khayal tanpa disertai penjelasan sama sekali, tetapi
serentak dengan itu, “angan” diartikan sebagai “imajinasi”; padahal “fantasi,
khayal, angan (angan-angan), impian,
merupakan daya-daya roh yang terjalin-teranyam dengan kesadaran imajinatif, di mana fantasi itu sendiri pada gilirannya adalah
imajinasi yang diteruskan (dikembangkan), yang mengatasi struktur kenyataan sehari-hari
seperti yang dikatakan oleh Harvey Cox, dan/atau fantasi adalah contoh pertama
dari kesadaran imajinatif seperti kata Roger Fretigny dan Andre Virel,
sebagaimana telah saya kemukakan di atas.
Memperhatikan penjelasan di atas ini, maka menurut
pertimbangan saya pandangan Rene Wellek yang mengatakan “Kesusastraan dibatasi pada seni sastra yang bersifat imajinatif. Jadi di sini sifat imajinasi menunjukkan
dunia angan dan khayalan, sehingga kesusastraan berpusat pada epik, lirik,
dan drama karena ketiganya itu yang ditunjuk adalah dunia angan (fiction,
imagination), merupakan pandangan yang lebih benar dari pandangan Subagio
Sastrowardoyo (sic!), sebagaimana
kutipan Maria MB. Baca selengkapnya, dalam buku Prinsip-Prinsip Kritik Sastra (Rachmat Djoko Pradopo. 1994:35).
Atau, pandangan Ignas Kleden yang mengatakan, “Sastra pada taraf terakhir merupakan hasil imajinasi seorang
pengarang. Maka kenyataan yang dilahirkan sastra—dalam hubungan ini—adalah
suatu karya imajiner. Dia merupakan kenyataan yang diolah dalam khayal sang pengarang sendiri… Umar
Junus dengan meminjam istilah Harry Levin menyebut kenyataan imajiner sebagai
‘a reflected reality’ (realitas yang direfleksikan—pen.)” (Ignas Kleden.
“Kesusastraan Tidak Harus Menjadi Cermin Keadaan Masyarakat”, dalam: Tifa Budaya, do.ib. hlm.47). Catatan: “imajiner” artinya hanya terdapat dalam angan-angan, atau khayalan,
sebutan lain untuk “fantasi”. Begitu pula pandangan Friedrich
Dürrenmatt—yang dikutip oleh Paul Budi Kleden—“Keseluruhan karya sastraku
adalah usaha tanpa henti untuk bergumul dengan impian-impian yang mendatangi
diriku”; dan berdasarkan kutipan ini Paul Budi Kleden lebih lanjut berkata,
“Bersama Dürrenmatt, kita dapat mengatakan bahwa pada awal sastra ada impian. Sastra lahir dari rahim impian dan
bernafaskan impian itu. Demikian pun akhir dari sastra adalah impian” (Surat-Surat dari Dili, 2005:12,13),
adalah pandangan yang benar dan selaras
dengan Harvey Cox.
Memperhatikan uraian di atas ini, saya melihat dengan
sangat jelas keterbatasan pemahaman Maria MB tentang konsepsi “imajinasi
positif”—dalam hal ini tentang “the artist’s creative power” (daya cipta
seniman). Mengapa saya berani katakan demikian? Karena pengertian tentang
imajinasi yang Maria MB kemukakan selanjutnya pada alinea terakhir halaman 175
dan halaman 176 yang dikutip dari pandangan Tedjoworo, Ignas Kleden, H.B.
Jassin, dan Ignatius Krishna Dharma yang mengutip C. Wright Mills, sebenarnya
hanyalah merupakan “pengertian imajinasi secara umum” (perhatikan arti kata
imajinasi dalam The Lexicon Webster
Dictionary) yang dijabarkan sesuai dengan konteks-konteks tertentu, atau sama
seperti kata J.C. Nesfield: “Imagination
or the power to realize a situation not one’s own, is quite as necessary to an
historian as to a novelist or even to a poet” (Prose and Poetry. Dalam, Manual
English Grammar and Composition, hlm.271). “Imajinasi atau daya untuk
menyadari, menginsafi serta mewujudkan suatu keadaan itu bukan milik sendiri,
melainkan sama diperlukan bagi seorang sejarawan seperti diperlukan juga oleh
seorang novelis atau bahkan bagi seorang penyair”.
Pengertian imajinasi dalam arti umum sebagaimana dijelaskan
di atas ini sama sekali tidak meniadakan peranan segenap daya roh (fantasi,
khayal, angan, impian, ilham, inspirasi) yang terjalin-teranyam di dalam kesadaran
imajinatif. Sebab, bagi seorang penyair, Maritain berkata: “Puisi, lahir pada akar-akar kemanusiaan, di mana semua daya roh
bersama-sama aktif dan giat. Syarat mutlak bagi terjadinya puisi yang baik,
yaitu totalisme dan integritas, jiwa yang bulat dan utuh. Puisi bukan hanya
hasil dari akal-budi maupun imajinasi, melainkan bertumbuh pada keseluruhan
kemanusiaan, baik pancaindera, imajinasi, intelek, cinta, nafsu, naluri, darah
dan roh…” (Dick Hartoko. “Kesenian Dalam Hubungannya Dengan Peranan Kaum
Muda”, dalam: Tifa Penyair, do.ib. hlm.17).
Catatan akhir
Mengakhiri marginalia atas 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur, teristimewa
marginalia atas opini Maria Matildis Banda seputar “imajinasi, fantasi, khayalan” , sekali lagi saya tecara tulus
menyatakan ketrenyuhan saya. Sebab, dalam
teori sastra, ternyata Maria
Matildis Banda telah menyajikan suatu kajian yang bobotnya berada jauh di bawah
bobot novel Surat-Surat dari Dili karya
Maria Matildis Banda sendiri. Sehingga dengan demikian, teori sastra Maria Matildis Banda tentang imajinasi, fantasi, khayalan, pada gilirannya menciderai citra
Maria Matildis Banda sendiri sebagai seorang dosen Fakultas Sastra dan novelis—sekaligus
mempengaruhi bobot buku 15 tahun Pos
Kupang Suara Nusa Tenggara Timur, lantaran posisi Redaktur Khusus Pos Kupang yang melekat pada diri Maria
Matildis Banda. Dan inilah yang membuat saya trenyuh: “Mengapa sampai harus
terjadi demikian?” ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar