BAGIAN PERTAMA
Tao
Beberapa ratus tahun sebelum Masehi
orang-orang Tionghoa telah menganut suatu sistem kepercayaan yang disebut, yang
diajarkan oleh Lao-tze (lahir pada tahun 604 sebelum Masehi). Tao tidak diungkapkan, disebutkan, dan
dilukiskan dengan kata-kata (Sacret Book
of the East [SBE], 14:1-3; 32:1:
37:3. Dalam: The World’s Living Religions).
Namun demikian, demi pemahaman, orang mengartikan dan menjelaskan Tao secara etimologis dan secara teknis.
Berdasarkan
etimologi, Tao diartikan secara
sederhana untuk menyatakan “jalan/peredaran alam, tata aturan fisik dunia, atau
hukum alam”. “Tao adalah keadaan alam
semesta yang teratur baik” (SBE, 2:3). “Tao
adalah kesederhanaan keadaan alam yang menyenangkan, memuaskan, tanpa
perang..., tanpa takut terhadap kematian/maut” (SBE, 80:1-5). Berdasarkan
sistem kepercayaan ini, orang-orang Tionghoa sadar benar akan adanya “hukum
alam” dalam universum (alam dunia) ini. Segala sesuatu dalam alam semesta ini
dikuasai dan dikendalikan oleh “hukum alam”. Peredaran planet, gerakan
bintang-bintang di langit, pasang surut air laut, peredaran musim dan
lain-lain, bahkan manusia pun terikat benar oleh hukum alam. Itulah sebabnya
manusia harus menyelidiki dan menghormati hukum alam. Orang yang tidak
menyelidiki dan menghormati hukum alam adalah orang yang tidak menghormati
dirinya sendiri, sesama manusia, dan universum. Akibatnya, orang itu akan hidup
dalam ketidakselarasan dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dan
dengan universum.
Secara teknis, Tao
berarti “pandangan hidup dan/atau filsafat agama yang bersifat absolut. Tao adalah yang awal, yang mula-mula,
yang terdahulu, ada sebelum langit dan bumi. Tao adalah yang terakhir, yang penghabisan, hening, tanpa bentuk,
tak bernama (SBE, 25:1-4). Singkatnya, Tao
adalah yang awal dan yang akhir (alfa dan omega). Sama seperti dalam Wahyu
1:8, Allah disebut Alfa dan Omega, yang juga disebutkan untuk Yesus dalam Wahyu
22:13, yang berarti bahwa Yesus hadir sejak awal penciptaan dan akan memerintah
pada akhir zaman. Tao adalah sumber
yang berkelimpahan yang menopang segala sesuatu (SBE, 51:3-4). Tao adalah “jalan surga” yang tenteram,
tenang, lembut, tidak mementingkan diri, siap menjalankan tugas demi kebaikan
(SBE, 7:1-2; 9:1-2; 47:1; 68:1-2; 73:2; 81:3). Tao adalah “Jalan Tuhan” seperti yang dimaksudkan dalam Kisah Para
Rasul 9:2; 19:9, 23; 22:4; 24:14, 22. Barangsiapa mengenal Tao (Jalan Tuhan) ia sabar, tenang dan tahan menanggung penderitaan
(SBE, 16:4; 39:60). Orang yang hidup menurut Tao (Jalan Tuhan) selalu membalas kebaikan terhadap orang yang
melakukan kejahatan terhadapnya (Tao-Teh-King,
49:2; 63:1-2; SBE, 39:91, 106). Orang yang hidup menurut Tao (Jalan Tuhan) berpegang kepada ajaran: “Apa yang engkau tidak
kehendaki orang lain perbuat terhadap dirimu, janganlah engkau lakukan itu
terhadap orang lain” (Doctrin of the Mean,
13:3). Inilah “kaidah emas” yang merupakan asas etik yang paling umum menurut Tao, sedangkan Yesus berkata, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya
orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka” (Matius
7:12; Lukas 6:31).
Selain arti Tao
secara teknis sebagaimana dijelaskan di atas, Tao juga berarti “ilah, dewa, Yang Mahakuasa, Tuhan, Allah”; dan
dalam konsep agama Kristen Tionghoa, Tao
berarti “Firman” atau Logos”. Terjemahan Injil Yohanes 1:1 dalam bahasa
Tionghoa jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, berbunyi sebagai berikut: “In the beginning was the Tao, and the Tao was
with God, and the Tao was God” (R. E. Hume, 1933:137,138); dan dalam bahasa
Indonesia, berbunyi sebagai berikut: “Pada mulanya adalah Tao; Tao itu bersama-sama
dengan Allah dan Tao itu adalah
Allah”. Dengan demikian, Injil Yohanes 1:14 berbunyi: “Tao itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita
telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai
Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.”
Tao dan metamorfosa
Berdasarkan sekelumit uraian mengenai Tao di atas ini, orang-orang Tionghoa
mengatakan bahwa apabila kita mau jujur maka sesungguhnya kita harus mengatakan
bahwa hidup kita di dunia ini tidak terlepas dari Tao. Apabila kita mengamati alam dan hukum-hukum alam yang
berhubungan dengan konservasi zat dan energi, dan berpendapat bahwa tiada suatu
benda pun yang sungguh-sungguh hilang di dalam alam ini, maka keterkaitan kita
dengan Tao tidak dapat disangkali. Tao mengajarkan bahwa suatu benda
(bentuk atau susunan) tidak pernah hilang atau musnah, melainkan mungkin diubah
atau diganti ke dalam sesuatu yang lain lagi.
Dengan demikian, Tao
mengajarkan tentang adanya metamorfosa di sekitar kita, yang tidak pernah
hancur atau musnah sama sekali. Apabila kemusnahan total pernah terjadi, maka
hal itu ada hubungannya dengan kejadian atau peristiwa khusus. Mengenai
kemusnahan total orang-orang Tionghoa yang beragama Kristen merujuk kepada
Alkitab yang mengatakan bahwa Allah mempunyai kuasa untuk menghancurkan secara
total (2 Petrus 3:10, 11; Wahyu 20:14, 15), sama seperti Allah mempunyai kuasa
untuk mencipta.
Asas Tao
yang dijelaskan di atas ini berlaku pula terhadap kematian. Kematian bukanlah
merupakan suatu kehancuran atau kemusnahan total, melainkan merupakan suatu
metamorfosa. Dan metamorfosa yang bertalian dengan kematian merupakan suatu
kejadian yang niscaya, sekalipun kita belum mengetahui ke dalam bentuk atau
wujud apa kehidupan kita akan dijelmakan/diubahkan. Berdasarkan asas pemikiran Tao, ajaran materialistis-darwinisme
yang mengatakan bahwa kematian adalah akhir dan hidup sesudah kematian adalah
khayal serta kebangkitan adalah suatu mitos, sesungguhnya merupakan suatu
ajaran/pemikiran yang berada di luar Tao.
Konsep metamorfosa berkenaan dengan Tao
dapat dijelaskan pula sebagai berikut.
Apabila satu ovum (sel telur) terlepas dari ovary
(indung telur), maka ia bergerak untuk bertemu dengan sel sperma. Dan bila kedua sel ini bertemu dan menyatu, maka
terjadilah suatu proses yang memungkinkan terwujudnya suatu metamorfosa yang
luar biasa. Salah satu sel sperma yang berhasil menembus sel telur dengan
kepalanya akan membuat kedua sel tersebut menyatu dan membentuk satu sel baru,
yaitu “telur yang dibuahi”. Dengan
terbentuknya “telur yang dibuahi”
ini, maka sel telur dan sel sperma tidak lagi berada dalam kekhasannya
masing-masing melainkan keduanya telah “mati”
dalam menghasilkan suatu perwujudan yang sama sekali baru. “Matinya kekhasan
masing-masing sel” inilah yang menjadi dasar utama bagi terjadinya suatu
perwujudan baru dan bagi metamorfosa yang membentuk perwujudan baru tersebut.
Tanpa mengalami proses ”kematian”, maka
sel telur akan tetap sebagai sel telur dan sel sperma pun tetap sebagai sel
sperma. Namun apabila kedua sel tersebut mengalami proses “kematian” dalam
pertemuan dan penyatuannya, maka keduanya akan memulai suatu “kehidupan” yang sama sekali baru; keduanya akan
mengalami suatu tipe kehidupan yang lebih lengkap yang tidak terbayangkan sama
sekali, jika dibandingkan dengan keadaan masing-masing sel tersebut saat
sebelum menyatu dan mengalami proses “kematian”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar