BAGIAN
KETIGA
Tao dalam hidup yang baru
Mengenai “hidup
yang baru” bagi setiap orang yang percaya akan Yesus Kristus, Rasul Paulus
berkata antara lain: “Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah
dibaptiskan dalam Kristus, telah dibaptiskan dalam kematian-Nya? Dengan
demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian,
supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh
kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru” (Roma 6:3,
4).
Dari uraian tentang Tao dan metamorfosa,
khususnya Tao dalam dunia biologi,
kita telah mengetahui bahwa apabila satu sel sperma bertemu dan menyatu dengan
sel telur (ovum), maka akan terjadilah suatu proses kematian yang memungkinkan
terwujudnya suatu metamorfosa yang luar biasa, yang melahirkan suatu kehidupan
yang sama sekali baru. Dan dalam kehidupan yang baru itu faktor-faktor dominan
akan menampakkan kecondongannya yang kuat, sedangkan faktor-faktor terdesak
akan condong kepada dilenyapkan oleh kekuatan faktor-faktor dominan. Tao dalam dunia biologi ini dapat
dianalogi-konversikan untuk memahami pandangan Rasul Paulus tentang “hidup yang
baru”.
Dibaptiskan dalam Kristus artinya
dipertemukan dan disatukan dalam Kristus, dalam kematian dan penguburan Kristus
(Roma 6:3). Penguburan adalah pembuktian dari kematian. Dalam proses kematian
dan penguburan bersama Kristus ini terjadilah suatu “metamorfosa rohani” yang
ajaib berdasarkan rahmat Allah, sehingga kita akan mengalami suatu proses
kehidupan yang baru seperti kata Rasul Paulus: “..... supaya, sama seperti
Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian
juga kita akan hidup dalam hidup yang baru” (Roma 6:4, dyb). Kita mengalami
hidup yang baru, karena faktor-faktor dominan yang ada pada Kristus condong
kepada menaungi kita yang memiliki faktor-faktor terdesak yaitu faktor-faktor
tabiat hidup yang lama yang dikuasai oleh dosa. “Jadi siapa yang ada di dalam
Kristus, ia adalah ciptaan yang baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya
yang baru sudah datang” (2 Korintus 5:17). Dengan demikian kita dapat hidup
dalam damai Allah; kita dapat beroleh jalan masuk kepada kasih karunia Allah;
kita dapat bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah (Roma
5:1-11).
Untuk mengadakan karya “hidup yang baru”
sebagaimana dikemukakan di atas ini, Kristus (Yesus) tidak tetap tinggal di
dalam kemuliaan-Nya di sorga sebagai Firman
yang ada bersama-sama dengan Allah, melainkan Ia telah masuk ke dalam dunia kehidupan kita, menjadi sama seperti kita
dalam bentuk kemanusiaan kita (Yohanes 1:14). Dan dengan menjadi sama seperti
manusia inilah, karya “hidup yang baru” bagi dunia dan manusia dilaksanakan-Nya
melalui kematian dan kebangkitan-Nya (Ibrani 2:9, dyb; Roma 5, 6, 8, dyb). Ya,
dengan proses ini sajalah, karya “hidup yang baru” yang diemban oleh Kristus
(Yesus) dapat bermakna bagi dunia dan manusia, dan/atau sebaliknya dunia dan
umat manusia baru bisa memperoleh makna karya “hidup yang baru” di dalam
Kristus (Yesus). Tanpa ‘proses’ seperti ini, maka Kristus (Yesus) akan tetap
tinggal/berada di dalam keberadaan-Nya
sebagai Firman yang ada
bersama-sama dengan Allah di surga (Yohanes 1:1, 2), dan manusia akan tetap
tinggal/berada di dalam keindividualannya sebagai manusia yang durhaka, berdosa
dan lemah.
Tao
dalam struktur manusia
Pembicaraan mengenai Tao baik dalam
hubungannya dengan metamorfosa, rencana penyelamatan oleh Allah, dan hidup yang
baru sebagaimana diwedarkan di atas sangat erat kaitannya dengan persoalan
mengenai akhir hidup manusia. Apakah akhir hidup manusia di dunia ini sama
seperti kata orang-orang yang menganut ajaran Materialistis-Darwinisme:
bahwasanya “kematian adalah akhir, dan hidup sesudah kematian adalah khayal,
serta kebangkitan adalah suatu mitos?” Atau, apakah akhir hidup manusia di
dunia ini seperti kata orang-orang beragama: “bahwa kematian bukan akhir, sebab
di balik kematian (masih) ada hidup, dan kebangkitan itu akan ada?”
Saya akan mencoba menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan mempergunakan konsep Tao sebagai alat
urai. Namun untuk itu, alangkah baiknya kalau terlebih dahulu saya ajak pembaca
untuk melakukan tinjauan atas “struktur manusia”. Yang saya maksudkan dengan
struktur manusia di sini yaitu, “cara bagaimana manusia disusun, atau cara
bagaimana manusia dijadikan (dibentuk, atau diciptakan)”.
Alkitab (Kitab Kejadian 2:7)
mengisahkan kepada kita “cara bagaimana” Allah
menciptakan manusia. Di situ dikisahkan bahwa “Allah membentuk manusia
dari debu tanah”. Demikianlah “cara/tahap pertama” Allah bekerja dengan
mempergunakan bahan, unsur, atau zat, ketika menciptakan manusia. Kesaksian ini
boleh kita anggap sebagai “suatu proses kerja secara kimiawi” yang Allah
lakukan untuk membentuk tubuh manusia.
Setelah itu, “Allah menghembuskan
napas hidup (“nesyama”) ke dalam
hidung tubuh manusia yang Allah bentuk itu”. Ini merupakan “cara/tahap kedua”
Allah melakukan pekerjaan-Nya dalam menciptakan manusia. Dan sebagai hasil
(akibat) dari “menyatunya napas hidup yang dihembuskan Allah” dengan “tubuh
manusia yang dibentuk dari debu tanah itu”, terjadilah “suatu kehidupan yang
sama sekali baru, atau sama sekali lain”, yaitu: “manusia (yang mulanya
dibentuk dari debu tanah itu)” menjadi “makhluk yang hidup” (“nefesy khayya”). Dengan demikian, “manusia
sebagai makhluk yang hidup” (“nefesy
khayya”) adalah sintesis dari “pemberian napas hidup (“nesyama”) dari Allah” dengan “tubuh material (yang dibentuk
dari debu tanah)”.
Uraian mengenai penciptaan (pembentukan) manusia
sebagaimana diwedarkan di atas ini ternyata sejalan dengan prinsip Tao.
Sebagaimana menyatunya sel telur dengan sel sperma menghasilkan suatu bentuk
kehidupan baru, demikian juga penciptaan manusia oleh Allah yang disaksikan
dalam Kejadian 2:7. “Tubuh (materi yang
dibentuk dari debu tanah)” setelah menyatu dengan “napas kehidupan” (“nesyama”) menjadi suatu wujud
kehidupan baru yang disebut “makhluk yang hidup” (“nefesy khayya”).
Analisis
mengenai proses kematian
Untuk menganalisis mengenai proses
kematian manusia, di sini saya akan menganalisis kematian Yesus sebagaimana
dikisahkan dalam Injil. Sebab, berkenaan dengan kematian Yesus, Injil
memberikan uraian yang cukup terang bagi kita.
Dalam Injil Lukas 23:46 dikisahkan
bahwa ketika Yesus akan mati, Ia berseru dengan suara nyaring: “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan
nyawa-Ku.” Dan sesudah berkata demikian, Yesus menyerahkan nyawa-Nya. Yesus mati – benar-benar
mati, dan bukan pingsan atau mati suri. Yesus benar-benar mati dan dikuburkan.
Namun “Eksistensi-Nya yang khas sebagai
persona yang sadar dan berpikir” tidak mati atau tidak dihancurkan oleh kematian.
Sebab, setelah Yesus mati dan dikuburkan, Yesus “turun ke alam maut”
Mengenai ungkapan “turun ke alam
maut” ini ada banyak perbedaan pendapat. Di sini berbagai pendapat yang berbeda
mengenai ungkapan ini tidak akan saya bahas, kecuali satu hal yang perlu
diperhatikan yaitu, “Eksistensi Yesus
yang khas sebagai persona yang sadar
dan berpikir” tidak mati atau dihancurkan oleh kuasa kematian dan kuasa
kubur. Dengan kata lain: hilangnya nyawa pada saat kematian tidak menghancurkan
atau menghilangkan “Eksistensi Yesus yang
khas sebagai persona yang sadar dan
berpikir”. Tubuh Yesus tergantung di kayu salib, kemudian diturunkan dan
dikuburkan. Namun Yesus dalam “Eksistensi-Nya
yang khas sebagai persona yang sadar dan
berpikir” turun ke alam maut. Perkataan “ turun” (“descend”) artinya “to pass from a higher to a lower condition”
(= berlalu [pergi] dari suatu taraf ketinggian ke suatu taraf kerendahan), atau
“to lower oneself to” (= merendahkan diri
ke…). Sedangkan yang dimaksudkan dengan “alam maut” yakni “Hadēs” (Hades), yaitu “tempat orang-orang yang telah meninggal
dunia”.
Berdasarkan
Injil, tempat ini (Hades) terdapat dua kawasan
yang dipisahkan oleh jurang yang tak terseberangi. Kawasan yang satu didiami
oleh orang-orang mati yang diberkati, yang disimbolkan sebagai “pangkuan
Abraham”. Teks Yunani yang transkripsinya berbunyi, eis ton kolpon Abram, artinya “ke pangkuan Abraham” dapat
diterjemahkan juga secara dinamis fungsional dengan “ke tempat terhormat di
samping Abraham” (Kunci Bahasa Yunani
Perjanjian Baru. Oleh B.F. Drewes, et.al., BPK GM 2008:257). Kawasan ini
adalah “tempat kebahagiaan mula-mula sekali” (Paradeisos [Firdaus]), yang Yesus janjikan kepada salah seorang
penjahat di Golgota yang mengalami keinsafan dan berserah kepada Yesus (Lukas
23:43). Paradeisos atau Firdaus
inilah yang pernah dialami secara rohaniah oleh rasul Paulus (2 Korintus 12:4)
melalui penyataan, atau wahyu dari Tuhan (2 Korintus 12:1). Apakah Paradeisos
atau Firdaus yang disebutkan oleh Paulus ini sama dengan ungkapan tritou ouranou (surga tingkat ketiga)
yang disebutkan dalam 2 Korintus 12:2, saya tidak tinjau lebih jauh di sini. Dan
kawasan lainnya yaitu kawasan yang disimbolkan dengan “(kawasan) dalam nyala [lidah] api yang menyakitkan
[sangat kesakitan]”, yang didiami oleh orang-orang mati yang tidak diberkati
(Lukas 16:22 – 31).
Ke tempat yang bernama Hades itulah,
Yesus dalam “Eksistensinya yang khas sebagai persona yang sadar dan berpikir”
turun (pergi) untuk memberitakan Injil kepada roh-roh yang di dalam penjara,
yaitu roh-roh mereka yang dahulu, pada waktu Nuh, tidak taat kepada Allah (1
Petrus 3:19,20). Yang perlu diperhatikan di sini ialah frasa ayat 19 yang
berbunyi, “dan di dalam Roh itu juga Ia pergi memberitakan Injil kepada roh-roh
yang ada di dalam penjara,” Jadi, Yesus bukannya “turun” (pergi) ke “
neraka” yang disebut “Tartarus”, yaitu “kawasan dunia orang mati yang
dikhususkan untuk penghukuman orang-orang yang jahat. Kawasan yang disebut
“Tartarus” ini dengan kata lain disebut “Thanatos”, yaitu kawasan dunia orang
mati yang dikhususkan untuk pembinasaan yang disebutkan dalam Wahyu 20:13 dalam
satu frasa dengan kawasan yang disebut “Hadēs” (Hades).
Dalam 1 Petrus 3:18 terdapat ungkapan “tetapi dibangkitkan
menurut Roh”. Transkripsi Yunani ungkapan ini, zō(i)opoiētheis de pneumati, bisa juga diterjemahkan “dan
dibangkitkan menurut kuasa pemberi kehidupan yang tak terlihat dari Allah”. Sehingga
ayat 19 dan 20 dapat diterjemahkan secara parafrase: “dan di dalam kuasa
pemberi kehidupan yang tak terlihat dari Allah itu juga Ia (Yesus) dalam
“Eksistensi-Nya yang khas sebagai persona yang sadar dan berpikir” pergi
memberitakan Injil kepada roh-roh (= eksistensi-eksistensi yang khas sebagai
persona-persona) yang di dalam penjara, yaitu kepada roh-roh mereka (=
eksistensi-eksistensi yang khas sebagai persona-persona) yang dahulu pada waktu
Nuh tidak taat kepada Allah, ……”
Mengapa terjemahan dalam bentuk parafrase di atas ini
dimungkinkan? Jawabannya ialah, demi pemahaman yang lebih baik atas teks 1
Petrus 3:18 – 20 yang menurut beberapa teolog/ penafsir, teks tersebut
tergolong sukar, banyak menimbulkan diskusi dan tafsiran yang berbeda-beda. Terjemahan
dalam bentuk parafrase yang saya lakukan atas teks ini tentu akan menimbulkan
diskusi pula. Namun perlu diperhatikan bahwa transkripsi kata Yunani, pneuma, pneumatos, dalam teks ini tidak saja
berarti “Roh” (dari Allah)”, melainkan “Roh (= kuasa pemberi kehidupan yang tak
kelihatan), di samping pneuma, pneumatos yang
juga berarti “jiwa”, “kehidupan yang batin”, dan “diri pribadi”, yang saya
sebut “eksistensi yang khas sebagai
persona yang sadar dan berpikir”. Berdasarkan tinjauan ini maka saya dapat membuat beberapa catatan
berupa kesimpulan sebagai berikut:
Kematian bukanlah akhir, dan hidup sesudah kematian
bukanlah sebuah khayal. Pada saat kematian, “napas kehidupan” (nesyama) atau nyawa kembali kepada
Allah, dan tubuh dikuburkan di dalam liang lahat. Namun, “ada suatu bentuk kehidupan yang khas, yang terus berlangsung setelah kematian’. Bentuk kehidupan yang
khas ini tetap mempertahankan identitas personal, atau identitas kepribadian
dan eksistensi yang sadar dan berpikir. Dalam tulisan ini saya sebut dengan istilah
“the
self”, yaitu “eksistensi yang khas sebagai persona yang
sadar dan berpikir”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar