(Oleh: A. G.
Hadzarmawit Netti)
Catatan awal
Setelah
membaca buku Kristologi Dalam Budaya
Masyarakat NTT (Cetakan Pertama, Maret 2013), Editor: Pdt. Dr. Mesakh A.P. Dethan, M.Th., M.A., dan Zummy A.
Dami, S.Th., M.Pd.; yang diterbitkan oleh Penerbit DIGNA Pustaka; ada sejumlah marginalia yang ingin saya wedarkan
dalam tulisan ini. Yang dimaksudkan dengan marginalia
di sini ialah “notes written on the margin”, bersinonim dengan catatan samping dalam bahasa Indonesia,
yang artinya “catatan atau penjelasan yang ditempatkan pada margin [tepi] kiri
atau kanan” [pada halaman buku, ketika buku itu dibaca]. Adapun marginalia atas
buku Kristologi Dalam Budaya Masyarakat
NTT yang akan saya wedarkan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Kata Pengantar:
1.1. Kata
Pengantar sebuah buku lazimnya dibuat oleh penulis, pengarang, penyusun, atau
editor. Ternyata buku Kristologi Dalam
Budaya Masyarakat NTT itu adalah sebuah kumpulan karangan yang dikerjakan
oleh tujuh belas orang. Untuk menerbitkan kumpulan karangan ini, Pd. Dr. Mesakh
A.P. Dethan, M.Th., M.A., dan Zummy A. Dami, S.Th., M.Pd., berperan dan
bertanggung jawab sebagai editor. Dengan demikian seharusnya Kata Pengantar
dibuat oleh editor. Ketua STAKN Kupang—oleh karena dihargai sebagai pemimpin
sebuah Lembaga Pendidikan Tinggi Agama Kristen Negeri—seyogianya memberikan
Kata Sambutan.
1.2. Pada
kalimat baris pertama, alinea pertama, tertulis: “Kami menyambut baik penerbitan
buku ini….” (hlm.iii). Kata ganti orang
pertama jamak, kami, pada awal baris kalimat
pertama, alinea pertama itu, dipergunakan untuk siapa…? Kemudian, pada alinea terakhir, kalimat
kedua, pada baris kalimat yang berbunyi: “Untuk itu harapan saya…” (hlm.iv). Kata
ganti orang pertama tunggal, saya, pada
baris kalimat ini dipergunakan untuk siapa…? Dalam Kata Pengantar yang dibuat
oleh Ketua STAKN Kupang ini, ada ketidakkonsistenan dalam penggunaan kata ganti
orang pertama. Jikalau kata ganti orang pertama jamak, kami, dipergunakan untuk menyatakan “majesty” (keagungan,
kemegahan, kebesaran, kekuasaan… orang pertama tunggal (dalam hal ini, Ketua
STAKN Kupang yang menulis Kata Pengantar) dan/atau kata ganti, kami, dipergunakan untuk mengatasnamakan
STAKN sebagai institusi pendidikan tinggi agama Kristen yang diketuai oleh
(subjek) yang membuat Kata Pengantar, oke, dapat diterima. Dengan demikian,
pada baris kalimat yang berbunyi: “Untuk itu harapan saya…”, harus ditulis,
“Untuk itu harapan kami…”
2. Bab I “Mencari
Jejak Kristologi Dalam Budaya Suku-Suku di NTT”
2.1. Terlepas
dari corak landasan teori kristologi
yang dianut dan/atau yang hendak diimplementasikan oleh Dr. M.A.P. Dethan dalam
budaya suku-suku di NTT, dalam tulisan ini saya lebih memfokuskan perhatian pada
peranan dan tanggung jawab Dr. M.A.P. Dethan, M.Th., M.A., dan juga Zumi A.
Dami, S.Th., M.Pd., sebagai editor.
Editor
bersinonim dengan penyunting, ialah orang yang mengedit atau menyunting naskah
tulisan atau karangan yang akan diterbitkan dalam majalah, surat kabar, buku,
dsb. Dalam konteks ini, Dr. M.A.P. Dethan, M.Th., M.A., dan Zumi A. Dami, S.Th., M.Pd., bertanggung
jawab sebagai editor atau penyunting bahasa berkenaan dengan naskah tulisan
atau karangan yang akan diterbitkan dengan memperhatikan segi sistematika penyajian, isi, bahasa,
dan ejaan (kaidah cara menggambarkan
bunyi-bunyi [kata, kalimat, dsb] dalam bentuk tulisan [huruf-huruf] serta
penggunaan tanda baca) berdasarkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan; diksi (pilihan kata
yang tepat dan selaras [dalam penggunaannya] untuk mengungkapkan gagasan
sehingga diperoleh efek tertentu [seperti yang diharapkan]); dan struktur
kalimat (pengaturan pola dalam bahasa [kalimat]) sebagai kesatuan ujar yang
mengungkapkan suatu konsep pikiran dan
perasaan. Ternyata peranan dan tanggung jawab sebagai editor sangat kurang diperhatikan oleh Dr. M.A.P. Dethan,
M.Th., M.A., dan Zumi A. Dami, S.Th, M.Pd.
2.2. Perhatikanlah
catatan-catatan yang saya tampilkan di bawah ini. Setiap diksi yang salah atau
tidak baku dicetak dengan huruf miring tebal, dan yang benar atau baku dicetak
dengan huruf miring tipis. Kata defenisi yang dipergunakan dalam
judul: 1.1. “Defenisi Kristologi”
(hlm.1) itu, salah. Yang benar ialah, definisi. Jadi, judul itu seharusnya
ditulis, 1.1. Definisi Kristologi. Istilah Teeologi Sistimatis
(hlm.2, baris kesepuluh dari atas), juga salah. Tidak ada huruf “e” rangkap
dalam kata teologi, dan penulisan
kata “sistimatis” yang benar ialah “sistematis”. Jadi, yang benar ialah, Teologi Sistematis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi keempat Tahun 2008,
hlm.1322, kata sistim adalah kata
yang tidak disarankan pemakaiannya karena itu harus dipergunakan kata sistem yang dianggap baku. Kata hakekat yang dicetak dalam tanda
kurung (…) itu, salah. Yang benar ialah, hakikat.
Selain itu, penulisan kata Identitas (Hakekat) dan Makna
(Relevansi) dengan huruf besar “I, H, M, R” seyogianya ditulis dengan
huruf kecil “i, h, m, r”, sehingga kata-kata itu tertulis: identitas (hakikat) dan makna
(relevansi). Penulisan kata Alkiitab yang terdapat pada baris
kedua alinea kedua, itu juga salah. Dalam kata “Alkitab”, tidak
ada huruf “i” rangkap dua. Jadi, yang benar ialah Alkitab. Penulisan kata perjanjian Baru, seharusnya ditulis Perjanjian Baru. Kata nampaknya (hlm.3 baris keempat dari atas”) itu , salah
(tidak baku). Yang baku ialah, tampaknya. Kesalahan berikutnya ialah kata munculah
ditulis dua kali, “munculah munculah” (baris ke-15,16 dari atas). Selain itu,
penulisan kata munculah, juga salah. Kata dasar muncul
+ sufiks -lah seharusnya ditulis muncullah.
Jawaban
Simon Petrus atas pertanyaan yang diajukan oleh Yesus, yang dapat dikatakan
sebagai “pengakuan iman Simon Petrus” ialah: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah
yang hidup!” (Matius 16:16), bukan “Engkau adalah Kristus!”, sebagaimana
tertulis pada halaman 3, baris ke-17 dari atas). Selain itu, penulisan
frasa, “Engkau adalah Kristus” ,
seharusnya berada dalam rangkaian frasa
“… muncullah pengakuan iman dari Simon Petrus: “Engkau adalah Kristus”. Jadi,
frasa “Engkau adalah Kristus” tidak boleh ditulis seperti suatu “subjudul
karangan” sebagaimana tertulis pada halaman tiga itu. Kata Pribadi Yesus, dalam
kalimat, seyogianya ditulis pribadi Yesus.
Apabila pada awal kalimat, barulah huruf “p” pada kata pribadi Yesus ditulis dengan huruf “P” kapital, Pribadi Yesus. Penulisan kata kristologi
dalam kalimat yang terdapat pada baris ketujuh dari bawah itulah yang benar.
Pada awal kalimat atau judul karangan, barulah kristologi ditulis Kristologi.
Begitu pula dengan kata teologi dalam kalimat tidak perlu
ditulis Teologi, kecuali pada awal kalimat atau judul karangan. Jadi, dalam
kalimat, kristosentris tidak perlu
ditulis Kristosentris dan teosentris
tidak perlu ditulis Teosentris, kecuali pada awal
kalimat atau judul karangan. Pada baris keenam dari bawah (hlm.3) terdapat
frasa yang berbunyi, “kalau diperhatikan dan diselidik secara…” Kata diselidik
dalam frasa itu seharusnya ditulis, diselidiki.
Kata
nampak
pada baris kelima dari bawah, seharusnya ditulis tampak. Pada baris keempat dari bawah terdapat frasa
yang tertulis “ tentang pribadi tentang Kristus dalam theologi”, seharusnya
ditulis “tentang pribadi Kristus dalam teologi”. Penggunaan kata atau istilah “Theology” [Th]
dianggap baku hanya pada gelar kesarjanaan: B.Th., Sm.Th., S.Th., M.Th., D.Th. Pada
akhir baris ketiga yang terkait dengan
baris kedua dan pertama dari bawah terdapat frasa yang tertulis, “Kristologi ini berisikan terutama
tentang Pemahaman tentang Yesus, Karya-karyanya dan tindakannya”, sebaiknya
ditulis, “Kristologi ini berisikan terutama tentang pemahaman akan
Yesus serta karya-karya dan tindakan-Nya” (sambungan kalimat ini terdapat pada baris pertama, kedua, dan ketiga
(hlm.4): “yang berhubungan dengan YHWH, Allah Israel, selain itu juga pemahaman
tentang Yesus pada masa dulu maupun sekarang.”
Struktur kalimat ini—secara sintagmatis (hubungan linear antara
unsur bahasa dalam tatarannya)—kurang baik dan kurang memuaskan. Saya
memperbaiki struktur kalimat tersebut sebagai berikut: “yang berhubungan dengan YHWH, Allah Israel, yang disapa oleh Yesus
sebagai Bapa-Nya; selain pemahaman tentang Yesus pada masa lampau maupun masa
kini.” Berdasarkan perbaikan ini maka keutuhan kalimat yang diperbaiki itu
berbunyi sebagai berikut: “Kristologi ini
berisikan terutama tentang pemahaman akan Yesus serta karya-karya dan
tindakan-Nya yang berhubungan dengan YHWH, Allah Israel, yang disapa oleh Yesus
sebagai Bapa-Nya; selain pemahaman tentang Yesus pada masa lampau maupun masa
kini.”
2.3. Pada halaman 4 sampai halaman 11, kesalahan-kesalahan yang berkaitan dengan
ejaan, diksi, struktur kalimat, dan penulisan kata atau istilah, tetap ada.
Kata pre-existensi,
seharusnya ditulis praeksistensi;
kata hymne,
seharusnya ditulis himne; kata
symbol,
seharusnya ditulis simbol
kata anthroposentris,
seharusnya ditulis antroposentris.
Lucunya, di samping penulisan anthroposentris, terdapat pula
penulisan anthroppoentris.
2.4. Pada
halaman 4 terdapat suatu kalimat yang berbunyi sebagai berikut: “Tipe-tipe
kristologi apa saja yang muncul dalam sejarah kekristenan akan kita bahas
secara lebih mendalam dalam di bawah ini.”
Struktur kalimat ini lebih baik diubah begini: “Tipe-tipe
kristologi apa sajakah yang muncul dalam sejarah kekristenan? Pertanyaan ini
akan dijawab secara selayang pandang di bawah ini.” Atau, “Tipe-tipe kristologi yang muncul dalam sejarah
kekristenan akan dibahas secara singkat di bawah ini.” Mengapa saya usulkan perubahan kalimat ini? Jawabnya:
karena struktur kalimatnya lebih baik, serta sesuai dengan realitas faktual
uraian yang penulis berikan mulai dari butir 1.3; 1.3.1 sampai butir 1.3.3;
termasuk pula uraian pada butir 1.4 dan 1.5, yang menurut penulis
merupakan pembahasan yang lebih mendalam, padahal kenyataannya (menurut penilaian saya), pembahasannya hanya bersifat selayang
pandang dan/atau secara singkat saja.
2.5.
Kesalahan-kesalahan yang berhubungan dengan ejaan,
diksi, penulisan kata atau istilah, dan struktur
kalimat, yang terdapat dalam bab ke-2 sampai bab ke-6 buku Kristologi Dalam Budaya Masyarakat NTT, juga merupakan tanggung jawab editor Pdt. Dr. Mesakh A.P. Dethan, M.Th.,
M.A., dan Zummy A. Dami, S.Th., M.Pd., berkenaan dengan pengeditannya. Apa yang telah saya uraikan di atas terkait kata pengantar dan bab pertama
buku Kristologi Dalam Budaya Masyarakat
NTT, dapat saya ibaratkan sebagai sebuah cermin hadap diri buat Pdt. Dr. Mesakh A.P. Dethan, M.Th., M.A.,
dan Zummy A. Dami, S.Th., M.Pd. Mudah-mudahan
cermin hadap diri di atas
dapat memantulkan kesadaran dan tekad untuk memperbaiki diri dalam dunia karang-mengarang dan penerbitan buku.
Gelar-gelar besar yang tercantum di depan dan di belakang nama, seharusnya
dapat dipertahankan dan dibuktikan kebesarannya dalam dunia karang-mengarang dan penerbitan buku.
3. Bab II Yesus Kristus “Fatu Putun Honis”
Setelah
membaca Bab II, “Yesus Kristus Fatu Putun
Honis", saya dapat memahami dan mengapresiasi upaya kristologi kontekstualisasi yang dilakukan
oleh Adriana Sole, Soleman Baun, S.Pd., Fenetson Pairikas, Bernadus Leo, Ayub
Baok, Yonathan Leobisa, Daud Kase, Dorince Kabu, dan Karmelia Tamonob. Namun ada beberapa catatan yang perlu saya
berikan:
Pertama, Uraian pada “Latar Belakang” (butir 2.1.1), refleksi
teologis Alkitabiah[-nya] mengambang,
dan kurang memuaskan. Selain itu, penulisan nama Dietrich Boenhoefer,
salah. Yang benar, Dietrich Bonhoeffer. Bukunya bukan The Eties, melainkan Etics. Dalam buku ini
Bonhoeffer tidak mengatakan bahwa “salah satu amanat yang di dalamnya Allah
memanggil manusia adalah melalui kebudayaan”, melainkan yang ditekankan oleh
Bonhoeffer ialah: “… the Church does not retire to a sacred existence but goes
forth into the world to bear the presence of God. The Church must be in the
world, working for the salvation of the world and reminding men that God loves
the world. The task of the Christian is not to lead a pious life (i.e. majoring
in the sacred area), but to be a witness to Christ in the world through life
and action” (Dietrich Bonhoeffer and
Worldly Christianity; dalam: William E. Hordern. The Macmillan Co. New York
1968: 217).
Selain
itu, pada “Rumusan Masalah” (2.1.2), terdapat uraian begini: “Bagaimana
masyarakat suku Atoni Pah Meto menggunakan
kebudayaan mereka untuk memuliakan Allah yang telah menemui manusia dalam
kebudayaan Yahudi? Dalam tulisan ini kelompok hendak membawa pemahaman tentang
Yesus Kristus ke dalam konteks sosio-kultural masyarakat asli Timor atau suku Atoni
Pah Meto. Proses inilah yang disebut oleh Richard Neiburh sebagai pertemuan
antara Injil dan budaya” (huruf kursif, dari AGHN). Saya ingin memberi
koreksi: (1) Tidak ada teolog bernama Richard
Neiburh. Yang ada hanyalah Reinhold Niebuhr.
“Reinhold
Niebuhr—an American Neo-Orthodoxy—was a professor of Christian ethics at Union
Theological Seminary, New York, from 1928 to 1960. He was primarily interested
in applying Christianity to the social, economic, and political spheres.
Reinhold Niebuhr’s thinking always begins with the human, the material, and the
social…” Perlu dicatat di sini bahwa perhatian
terutama dari teologi Reinhold Niebuhr adalah penerapan kekristenan ke dalam lingkungan hidup masyarakat, berkenaan dengan ekonomi,
dan berkenaan dengan masalah negara, pemerintah, masalah umum, dan politik. Dan
dijelaskan dalam kalimat kursif di atas ini “bukan pertemuan antara Injil dan
budaya”, melainkan “penerapan kekristenan ke dalam lingkungan hidup masyarakat,
ekonomi, masalah negara, pemerintah, politik, dan masalah umum” sebagaimana disebutkan
di atas.
Kedua, Kajian tentang
“Batu Karang” dalam Perjanjian Lama (2.3.1.), bisa diawali dari pernyataan Musa
tentang Allah, Gunung Batu kita (Ulangan 32:3,4). Namun harus bedakan makna
kias antara “gunung batu kita” dan “gunung batu orang-orang itu” (ayat 31),
termasuk “Allah kita” (ayat 3) dan “allah mereka, gunung batu tempat mereka
berlindung” (ayat 37).
Transkripsi
kata bahasa Ibrani, zur [ṣur], tidak saja berarti batu
karang yang besar [“large
rock”] melainkan juga berarti potongan batu atau batu karang besar,
terutama yang sudah membulat disebabkan oleh iklim atau air [“boulder”].
Mengenai
gunung batu yang ditamsilkan untuk
Allah sebagai tempat perlindungan, sebaiknya digambarkan terlebih dahulu peta
tinggi Jerusalem pada masa kerajaan Daud dan Salomo. Peta tinggi Jerusalem
memperlihatkan bahwa kota itu di sebelah barat, selatan dan timur dikelilingi
oleh lembah-lembah, yakni: Lembah bani Hinom dan Lembah Kidron. Rangkaian
bukit-bukit, tempat Jerusalem didirikan, dibagi oleh Lembah Kota dalam dua
bagian. Yang tertinggi ialah bagian sebelah barat (760 m), di situlah Kota
Atas. Tetapi Bukit Bait yang di sebelah timur lebih rendah lagi (740 m). Dan
Bukit Ofel di sebelah tenggara, kira-kira 700 meter tingginya. Demikianlah
Jerusalem didirikan atau dibangun di atas bukit-bukit. Oleh karena itu dalam
Mazmur 87:1 tertulis: “Di gunung-gunung yang kudus ada kota yang
dibangunkan-Nya…” Pada peta tinggi
Jerusalem terlihat Bukit Zaitun, Bukit Kekejian, dan Bukit Musyawarat Jahat.
Demikianlah
bukit-bukit itu berdiri mengelilingi Jerusalem Laksana penjaga yang setia; dan
ini menjadi tamsil perlindungan Allah terhadap umat-Nya, sebagaimana tertulis
dalam Mazmur 125:2: “Yerusalem, gunung-gunung
sekelilingnya; demikianlah TUHAN sekeliling umat-Nya, dari sekarang sampai
selama-lamanya.” Berdasarkan latar
belakang inilah penulis kitab Mazmur pasal 18 bermadah: “Ya, TUHAN, bukit
batuku, kubu pertahananku dan penyelamatku, Allahku, gunung batuku, tempat aku
berlindung, perisaiku, tanduk keselamatanku, kota bentengku!” (Dr. Van Deursen. Atlas Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia 1956. Hlm.8).
Berdasarkan
catatan singkat di atas ini, saya ingin mengajukan pertanyaan untuk
direnungkan: apakah pandangan, penghayatan, dan pengalaman spiritual masyarakat
etnis Atoni Pah Meto yang mempunyai
ikatan sakral dengan dewa air, buaya, mirip
atau identik dengan pandangan, penghayatan, dan pengalaman spiritual umat
Yahudi tentang batu, batu karang, dan gunung
batu dalam kaitannya dengan ALLAH yang mereka imani sebagai penyelamat, pelindung, dan pemelihara mereka sebagai
umat dalam sejarah eksistensinya? Perlu saya kemukakan di sini bahwa dalam
berteologi kontekstualisasi berdasarkan “model semiotik” terutama “model
metafora” bukan “kemiripan dan/atau keidentikan yang terdapat pada dua objek yang diutamakan untuk dideskripsikan”, melainkan
persamaan sifat, fungsi, atau keadaan yang terdapat pada dua objek yang
diperbandingkan, yang diutamakan untuk dideskripsikan.
Ketiga,
Kajian tentang “Batu Karang dalam Perjanjian Baru” (butir 2.3.2) juga
kurang memuaskan. Mengapa? Karena pada
halaman 22, 23, dan empat baris kalimat
pada halaman 24 bagian atas, sembilan peneliti dan penulis makalah
berjudul “Yesus Kristus Fatu Putun Honis”
hanya menguraikan tentang batu karang [juga secara
mengambang] berdasarkan “model praksis” (model praktik dalam bidang kehidupan
dan kegiatan praktis manusia). Dan, yah…, refleksi teologis alkitabiah
berkenaan dengan subjudul “Batu Karang
dalam Perjanjian Baru”, juga sangat dangkal. Oleh karena para peneliti dan penulis mengawali kajian mereka tentang batu
karang dalam Perjanjian Baru berdasarkan
ilustrasi yang Yesus kemukakan dalam Injil Lukas 6:46-49; Matius
7:24-27, maka berikut ini saya akan memberikan sedikit gambaran tentang
bagaimana orang-orang di Palestina
tempo dulu [dahulu] mendirikan rumah.
“… Rumah-rumah itu didirikan di atas dasar balok-balok batu.
Tembok dibuat dari batu dengan tanah liat atau dari tanah liat yang dijemur.
Atap rumah dibuat datar. Orang di Palestina memakai beberapa batang kayu untuk
menggalang atap rumah. Di atas atap ditaburkan potongan-potongan kayu dan jerami, yang ditumbuk bersama-sama sampai
halus, supaya dapat rapat. Tetapi atap gampang tiris jika turun hujan lebat. Ketika
hujan lebat di musim dingin, air hujan menempuh pagar batu (tembok
rumah) sehingga menghanyutkan tanah liat, sampai rumah itu roboh pada suatu
ketika. Orang lalu mengambil balok-balok batu dari runtuhan tadi, dan runtuhan
tanah liat itu diratakan untuk bangunan yang baru…” (Dr. A. Van Deursen, op.cit. hlm.41).
Berdasarkan
latar belakang praksis yang digambarkan di atas inilah, penulis Injil Lukas
pasal 6:46-49 mencatat ilustrasi “dua
macam dasar bangunan rumah” yang dikemukakan
oleh Yesus: (a) dasar bangunan
rumah yang diletakkan di atas batu yang
ditempatkan dalam tanah yang digali dalam-dalam [ayat 48]; (b) rumah yang
didirikan di atas tanah tanpa dasar bangunan rumah [ayat 49]. Dengan ilustrasi ini Yesus
menyatakan tentang perihal tegak
dan/atau rubuhnya bangunan kehidupan setiap orang yang menyatakan mengaku
percaya akan Yesus: (a) setiap orang
yang mengaku percaya akan Yesus sebagai Tuhan dan melakukan apa yang Yesus
katakan, mereka terhisab ke dalam kias yang dikatakan dalam ayat 47 dan 48; (b)
setiap orang yang mengaku percaya akan Yesus sebagai Tuhan tetapi tidak
melakukan apa yang Yesus katakan, mereka terhisab ke dalam kias yang dikatakan
dalam ayat 49.
Berkenaan
dengan catatan di atas ini saya ingin mengajukan pertanyaan: mengapa para
peneliti dan penulis makalah “Yesus
Kristus Fatu Putun Honis” tidak
membahas lithos (batu) yang dimetaforakan bagi Yesus
sebagai “batu utama; batu yang terpenting, atau batu yang paling penting dalam
suatu bangunan”? Mengapa petra
(batu; batu karang), dan kephalē gōnias (a corner stone = batu penjuru;
batu yang paling utama; kepala sudut), yang dimetaforakan bagi Yesus tidak dikaji? Bukankah dalam Perjanjian Baru lithos, petra, dan kephalē
gōnias yang dimetaforakan untuk Yesus terdapat dalam 1 Petrus 2:6,7;
Kisah Para Rasul 4: 11; 1 Korintus 10:4, dyb.?
Keempat, Kajian tentang “Yesus
Kristus Fatu Putun Honis bagi
masyarakat suku Atoni Pah Meto “
(2.4).
Landasan
kristologi kontekstual untuk menyebut Yesus sebagai Fatu Putun Honis
sesungguhnya terdapat dalam 1 Petrus 2: 3,4: “jikalau kamu benar-benar
telah mengalami bahwa Tuhan itu baik. Datanglah kepada-Nya, batu
yang hidup itu, yang memang dibuang oleh manusia, tetapi dipilih dan
dihormati di hadirat Allah.” Dan kita yang adalah jemaat-Nya, penulis surat 1
Petrus 2:5 katakan: “Biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu
hidup untuk pembangunan suatu
rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani
yang karena Yesus Kristus berkenan kepada Allah.” Dalam ayat 4, Yesus
dimetaforakan sebagai lithon zōnta (batu [yang] hidup)
yang oleh tim peneliti dan penulis makalah telah mengontekstualisasikannya
sebagai Fatu Putun Honis, berdasarkan
model penerjemahan dalam Uab Atoni Pah Meto. Bahkan indahnya, kita
sebagai jemaat-Nya (umat-Nya) juga dipergunakan sebagai batu hidup [lithoi zōntes] untuk pembangunan
suatu rumah rohani (ayat 5). Berpangkal pada 1 Petrus 2:3,4 dan 5, kajian
dapat dihubungkan lebih lanjut dan lebih luas dengan ayat 6,7,8; Roma 9:33; 1
Korintus 10:4; Kisah Para Rasul 4:11; Matius 16:18.
Sungguh
sangat disayangkan[disesalkan]: sembilan peneliti dan penulis makalah “Yesus
Kristus Fatu Putun Honis” sama
sekali tidak menyinggung landasan kristologi kontekstual yang saya catat di
atas.
Kelima, “Gelar kepada
Yesus” dan “Kesimpulan (2.5)”
Selanjutnya, bagaimanakah dengan perberian gelar
kepada Yesus sebagai Fatu Putun Honis yang disebutkan dalam
kajian butir 2.4., dan butir 2.5?
Menurut pertimbangan saya, kata gelar, tidak usah dipergunakan. Sudah takzim [amat hormat dan sopan],
jika Yesus disebut: Fatu Putun Honis. Dengan demikian , bagi Atoni Pah Meto dalam lingkungan nonot aslanit GMIT dapat menyebut Yesus sebagai Fatu Putun Honis, karena
di dalam 1 Petrus 2:4 Yesus
disebut batu hidup. Dan kita sebagai jemaat-Nya , nonot aslanit GMIT etnis Atoni
Pah Meto, dipergunakan pula sebagai
“fatu putun honis” untuk
pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus , setidaknya dalam
persekutuan jemaat di mana kita berada [GMIT]. Catatan: sebagai suatu pemuliaan
dalam penulisan fatu putun honis yang
disebutkan untuk Yesus, huruf awal ketiga kata itu ditulis dengan huruf besar, Fatu
Putun Honis; sedangkan bagi kita [jemaat-Nya] ditulis dengan huruf
kecil, fatu putun honis. Sama halnya dengan kata anak bagi Yesus ditulis
dengan huruf A [besar] pada kata Anak
Allah, sedangkan bagi setiap orang yang percaya kepada Yesus,
penulisannya dengan huruf a [kecil]
pada kata anak Allah. Akan tetapi
jika ditulis dengan huruf kecil, fatu putun honis, bagi Yesus, tidak
apa-apa.
Landasan
teologis dan/atau kristologis berkenaan dengan penyebutan Yesus sebagai Fatu
Putun Honis sangat jelas terdapat dalam kitab Perjanjian Baru. Dan
untuk berteologi dan/atau berkristologi tentang Yesus sebagai Fatu
Putun Honis, diperlukan keahlian dan keterampilan: bukan saja keahlian
dalam bidang teologi yang komprehensif, melainkan juga pengetahuan kebudayaan
yang mendalam, pengetahuan bahasa yang baik dan benar, serta keterampilan
berbahasa untuk mewedarkan Yesus sebagai Fatu Putun Honis secara baik dan benar pula. Dan menurut
pertimbangan saya, penyebutan Yesus sebagai
Fatu Putun Honis jauh lebih
benar dari pada penyebutan Yesus sebagai Tiang Induk yang didesain oleh Dr. B. Fobia (baca makalah
saya, “Percaya Pada Allah Dalam Konteks NTT”. Kupang, 2004).
4. Bab IV Yesus
Pohon Lontar Kehidupan
Sebenarnya,
kristologi dalam budaya masyarakat etnis Rote juga sangat tepat jika Yesus
disebut sebagai Batu Hidup. Dalam bahasa etnis Rote
Ringgou, Batu Hidup disebut Batu Masoda. Dan setelah berdiskusi
dengan Drs. Herman Ebenhard Lay, maka kami sepakat untuk menyebut Yesus sebagai Batu Hidup, atau Yesus Batu Masoda. Latar
belakang budaya yang menjadi dasarnya dapat saya uraikan berdasarkan syair etnis Rote yang telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia, sebagai berikut:
1. “Pada zaman dahulu atau pada masa yang silam/ orang-orang
[di atas] masih tinggal dalam gua/ dan manusia [di bawah] masih menghuni dalam
lubang batu./ Namun pada suatu saat
tertentu atau suatu waktu yang pasti/ orang-orang mulai berpikir membangun
rumah tempat berteduh/ dan manusia bercita-cita mendirikan rumah tempat
bernaung.” (SASTRA LISAN ROTE [halaman
78,195]. Disusun oleh: S. J. Mbuik;
Tarno; Peter Manggut; A. Zacharias; Lanu Huandau. Proyek Penelitian Bahasa dan
Sastra Indonesia dan Daerah Nusa Tenggara Timur Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1985). Dalam syair ini
disebutkan tentang gua dan lubang batu sebagai tempat bernaung
dan berlindung, sebelum masyarakat etnis
Rote mengenal dan mendirikan rumah.
2. Ketika masyarakat
etnis Rote sudah dapat membangun rumah untuk tinggal, bernaung, berlindung di
dalamnya, rumah itu dipagari keliling dengan suatu pagar batu karang yang kuat yang berfungsi sebagai kubu pertahanan. Pada masa lampau, suku-suku di Rote saling
berperang. Oleh suatu sebab yang kecil saja sudah dapat menimbulkan perang yang
dilakukan dengan gigih selama bertahun-tahun. Dalam keadaan demikian, siapakah
yang aman dalam rumahnya sendiri? Dengan demikian, pagar sekitar rumah yang
dibuat dari batu-batu karang yang disusun berlapis-lapis sehingga tebal,
berfungsi sebagai kubu perlindungan atau kubu pertahanan yang dapat menahan
musuh (F.H. van de Wetering. HET
ROTENEESCHE HUIS, Hlm.20,21. [tahun penerbitan tidak jelas, namun Wetering
bertugas di Rote pada tahun 1921, 1923-1925]). Pada perkembangan kemudian,
pagar rumah dibuat dari dahan atau cabang kayu dan pelepah pohon lontar yang
berfungsi melindungi rumah dari gangguan
ternak. Akan tetapi pada awalnya, pagar yang terbuat dari susunan batu
berlapis-lapis yang diutamakan sebagai benteng atau kubu perlindungan.
3. Dalam buku SASTRA LISAN ROTE (Hlm. 149,185),
dikatakan bahwa pada masa lampau masyarakat Rote belum melakukan penguburan
orang mati dalam tanah yang digali. Pada masa itu, jasad orang mati hanya ditaruh
di atas pohon ka dan/atau pohon beu. Perkembangan selanjutnya,
masyarakat etnis Rote ketika masih kafir [dinitiu] mulai menguburkan jenazah
dalam tanah, namun jenazah tidak ditaruh di dalam peti, melainkan hanya
diletakkan saja di dalam lubang yang digali, lalu menimbun batu di atas
kuburan. Ketika F.H. van de Wetering bertugas di Rote (1921; 1923-1925), ia
menanyai orang-orang kafir, mengapa mereka hanya menimbun batu di atas kuburan,
jawaban yang ia peroleh: “agar babi tidak menggali tanah kuburan itu.” (op.cit.
hlm.21). Jawaban yang diterima oleh van de Wetering itu sesuai dengan syair
yang dituturkan dalam buku SASTRA LISAN
ROTE (Hlm.181) sebagai berikut: “… hingga matahari condong di pohon dupe/
yakni saatnya menguburkan jenazah/ dan sampai surya sembunyi di balik pohon
kayu putih/ yakni waktunya menguburkan mayat// Mereka menimbun batu penutup
mayat/ agar babi tidak mencungkilnya/ dan mereka menutup tulangnya/ agar ayam
tidak mengaisnya/ lalu mereka membuat batu tempat duduk/ dan membuat kayu
tempat bersandar.” Di samping itu, ada
keluarga Rote yang menguburkan mayat di bawah rumah pada kedalaman satu sampai
dua meter (De Clercq. Serba-serbi
mengenai Pulau Rote. Ambon, 20 November 1878, hlm.4).
Dalam tulisan, “Asal-Usul Orang Rote” (Hlm.4),
F.H. van de Wetering juga mencatat bahwa pada masa lampau “… orang belum
mengenal kebiasaan menguburkan mayat di dalam tanah, tetapi meletakkannya
begitu saja di pohon-pohon”. Dalam perkembangan kemudian, baru timbullah
keinsafan untuk menguburkan orang mati. Dalam buku SASTRA LISAN ROTE (Hlm.186,187), dikisahkan bahwa keinsafan untuk
menguburkan orang mati muncul ketika “mane Koli Oe Bo mati dengan waktunya
Ndule/ dan tatkala mane Lepa Langa Sa meninggal
dengan saatnya Medi.// Maka orang berkata dan berbincang:/ apa sebab yang
menyebabkan akibat/ sehingga kepiting punya tempurung kepiting/ yang kalau tengkurap
masih dengan rumahnya/ sehingga tidak tersengat terik matahari/ dan tidak
tersiram embun// Tetapi raga kepiting
manusia yang tengkurap kita taruh di pohon beu/ dan tubuh orang yang terlentang
ditaruh di pohon ka/ padahal tubuh udang yang terlentang masih berlindung di
bawah tempurungnya?”
Berdasarkan
keinsafan itu, “… mereka bermufakat dan bersepakat/ membuat penggalan pohon
kelapa dan membuat potongan pohon lontar/ maka dibuatnyalah tempat tinggal
rangka kepiting/ buat tertelungkupnya mane Lepa Langa Sa/ dan dibikinnya tempat
berlindungnya tubuh udang/ bagi terlentangnya mane Koli Oe Bo.// Dan pada waktu
matahari condong di atas pohon dupe/ mereka memasukkan jenazah mane Lepa Langa
Sa ke dalam peti mati/ dan ketika sang surya bersembunyi di balik pohon kayu
putih/ dikuburkannya mayat mane Koli Oe Bo ke dalam kubur tanah.” Demikianlah kisah asal mula masyarakat etnis
Rote melakukan penguburan orang mati yang ditaruh di dalam peti jenazah dan
dikuburkan ke dalam tanah. Dan selanjutnya, dalam buku SASTRA
LISAN ROTE (Hlm.187) dituturkan
bahwa: “Dari saat itu, dibuatnyalah peti jenazah dari pohon lontar/ sehingga
jenazah manusia dipetikan/ dan semenjak itu dibikinlah kubur tanah/ sehingga
mayat manusia dikuburkan.// Lalu peti jenazah meluas seluas ladang seputar Lote/
dan kubur tanah memanjang sepanjang pematang sawah seluruh Kale/ sehingga tidak
lagi ada yang meletakkan jenazah pada pohon beu di Lote/ dan tidak lagi ada yang menaruh mayat pada
pohon ka di Kale/ sejak hari itu sampai sekarang ini.” Menurut catatan F.H. van de Wetering, kuburan-kuburan
ini dibangun oleh mereka yang telah menjadi Kristen (op.cit. hlm.21).
Berdasarkan
latar belakang budaya masyarakat etnis Rote yang mengandalkan batu sebagai
kubu
pertahanan, kubu perlindungan dalam menghadapi
ancaman atau bahaya, maka masyarakat
etnis Rote yang beragama Kristen (GMIT) memiliki hak setara dengan jemaat
Perjanjian Baru untuk menyebut Yesus sebagai Batu Hidup, yang dalam
bahasa etnis Rote (Ringgou) disebut Batu Masoda; dan juga Yesus
sebagai Batu Penjuru, yang
dalam bahasa etnis Rote Ringgou disebut Batu Natende. Dan bersama-sama dengan jemaat kristen segala
abad, dan dari berbagai bangsa, ras, dan suku bangsa, jemaat GMIT etnis Rote sangat
layak menyanyikan pujian kepada Yesus yang adalah Batu Hidup bagi umat
Kristen segala abad: “Batu Karang yang teguh, Kau tempat kuberteduh”. Dan,
“Bila tiba saatnya/ kutinggalkan dunia/ dan Kaupanggil diriku/ ke hadapan
takhta-Mu,/ Batu Karang yang teguh,/ Kau tempatku berteduh.” (Kidung Jemaat
No.37a, ayat 1 dan 4); atau menyanyikan Kidung Jemaat No.440 [Yesus, Gunung
Batu di dunia], dan Kidung Jemaat No.252 [Yesus, Batu Penjuru G’reja].
4. Apakah pohon
lontar yang dipandang sebagai pohon kehidupan masyarakat etnis Rote tidak dapat
dimetaforakan terhadap Yesus, sehingga Yesus disebut Pohon Lontar Kehidupan? Berkenaan
dengan kristologi dalam budaya masyarakat Rote yang dilakukan oleh Benyamin
Kanuk dan Diana A.C. Messakh, yang telah memunculkan sebutan terhadap Yesus [sebagai] Pohon Lontar Kehidupan (hlm.37-61),
saya dapat memberikan beberapa catatan berkenaan
dengan latar belakang budaya masyarakat etnis Rote terkait dengan pohon lontar sebagai
berikut.
4.1. Tinjauan
ke masa lampau: Benar, hampir semua kebutuhan penduduk primitif etnis
Rote pada masa lampau dipenuhi oleh
pohon lontar. Sebab itu tidak mengherankan bahwa mereka sangat menaruh hormat
pada pohon lontar yang agung ini. Mereka memuji dan mempersembahkan korban pada
pohon lontar, seolah-olah “ia adalah suatu makhluk yang adikuasa” (Joh.
Hessing. “Pos Timor” No.50, hlm.109-111, dikutip oleh F.H. van de Wetering, dalam
Het Roteneesche Huis, hlm.3). Perlu
dicatat bahwa penduduk primitif yang animistik di pulau Rote pada masa lampau,
memiliki kepercayaan bukan kepada adanya
satu Allah yang mahakuasa pencipta langit dan bumi dan segala isinya, melainkan
percaya kepada ilah-ilah yang
mendiami semua benda (pohon, batu, sungai/muara sungai, samudera atau
lautan, gunung, hutan, tanah, dsb). Ilah yang menguasai tanah namanya Nengo
Dae; ilah yang mendiami hutan disebut nitu nula; ilah pohon fuliha’a yang kuat untuk dijadikan tiang induk [tiang utama] rumah adat Rote namanya bere-bere
muri; ilah pelindung yang menguasai tiang induk atau tiang utama yang
dipancangkan dalam membangun rumah adat Rote namanya Elu tokos yang harus
diperciki darah kambing, atau darah induk babi hitam; ilah tanah tempat rumah
adat didirikan namanya daE labela; ilah penjaga dapur
namanya Seseka Liun dan Lalae Sain; ilah pelindung batu
tungku di dapur namanya Rao akilou; ilah yang menjaga tangga
rumah adat Rote ada tiga, yaitu: Honda DaE [ilah penghentak kaki,
yang menjaga agar tangga tetap terikat pada tanah], Soi Lai [ilah pembuka
bagian atas yang mengawasi tiang pintu], Nale Bula [ilah pemohon
keberuntungan, pemberi segala keberuntungan, yang selalu memohon
keberuntungan], Fe Hai [ilah yang membawa keberuntungan, kelimpahan gula
lontar, kelimpahan makanan, dan pemberi kekayaan], Eso Bula dan Oru
Lai [ilah yang menghilangkan dan menjauhkan bahaya, supaya jangan
terjadi kecelakaan]. Dan ilah yang memerintah kerajaan laut adalah Mane
Tua Sain dan Langga Lena Liun (F.H. van de
Wetering, Asal-Usul Orang Rote, hlm.
5). Dan De Clercq dalam tulisannya, “Serba-serbi mengenai Pulau Rote” (hlm.3), menyebutkan ilah yang mendiami pohon
lontar yaitu Mantualain. Sebutan Mantualain berasal dari Mane
Tua Lain, yang berarti
“laki-laki di atas pohon tuak [lontar]”. Laki-laki di atas pohon lontar, ialah laki-laki
yang menyadap lontar. Laki-laki inilah yang disanjung, karena keuletannya
memanjat pohon lontar, sebanyak [sekurang-kurangnya] lima belas sampai dua
puluh pohon lontar yang disadapnya setiap pagi dan petang, di mana hasil sadapannya
serta-merta dapat dikonsumsi dan mengenyangkan semua anggota keluarga. Oleh
karena Mantualain sebagaimana dijelaskan di atas ini yang menguasai
pohon lontar [yang menjadi raja di atas pohon lontar], maka ia disebut Lamatua
atau Ramatua, yang artinya “pemilik”. Tua[k] ia ramatua-na maten so [artinya,
pemilik pohon lontar ini telah mati]. Pada
masa lampau, pemilik pohon lontar setiap saat memberikan sembahan kepada ilah
pelindung yang bernama Eso
Bula atau Oru Lai agar memperoleh tenaga ekstra untuk memanjat pohon-pohon
lontar yang disadap setiap pagi dan petang, dan agar terhindar dari kecelakaan
[jatuh dari pohon lontar].
Ketika
agama kristen mulai berkembang di Rote, ALLAH
yang diajarkan oleh agama kristen serta-merta disebut Mane Tua[k] Lain; Lamatua[k]
Lain; atau Ramatua[k] Lain. Kemudian, ketika J.C.G. Jonker melakukan
penelitian bahasa dan cerita rakyat di Rote pada awal tahun 1900 kemudian
menyusun kamus besar berjudul Rottineesch-Holandsch
woordenboek. Leiden. E.J. Brill, 1908 dan Rottineesche sprakkunst. Leiden. E.J. Brill, 1915 [kedua buku ini telah saya baca:
pertama, pada tahun 1965 dipinjamkan oleh Pastor Koning di Baa, Rote; kedua,
pada tahun 1969 dipinjamkan oleh Pater Frans Lachner di Baa, Rote], barulah Jonker
memperkenalkan sebutan Lamatuak lain-a ma dae-a untuk
menyebut ALLAH sebagai Penguasa Langit
dan Bumi.
Berdasarkan
latar belakang kepercayaan masyarakat etnis Rote terhadap pohon lontar
sebagaimana disebutkan di atas ini maka—dalam kaitannya dengan tokoh Yesus yang
disaksikan dalam kitab Perjanjian Baru—tidak terdapat landasan yang memadai dan
kuat untuk mengontekstualisasikan Yesus sebagai Pohon Lontar Kehidupan baik
berdasarkan model penerjemahan, dan model semiotik, maupun menurut model
pembebasan, dan model metafora.
4.2. Tinjauan
atas makna Pohon Lontar sebagai Pohon Kehidupan bagi orang Rote.
Pada
butir 4.1 di atas telah dikatakan bahwa hampir semua kebutuhan penduduk
primitif etnis Rote pada masa lampau dipenuhi oleh pohon lontar. Akan tetapi
patut dicatat bahwa pohon lontar bukan satu-satunya. Untuk membangun rumah
tradisional, bukan semua bahan bangunan berasal dari pohon lontar. Tiang-tiang
utama [apakah terdiri dari 2,4,6, atau 8 tiang] sebagai tumpuan berdirinya
rumah bukan dari pohon lontar, melainkan dari pohon kayu besi [bahasa Rote, ai
fuliha’a] yang kayunya keras, berat, sangat awet dan tidak dapat
dimakan anai-anai. Atap rumah bukan melulu dari daun pohon lontar, melainkan
juga dari daun pohon gewang dan rumput alang-alang.
Nira
lontar dapat langsung diminum dan mengenyangkan. Nira lontar yang telah
diproses menjadi gula lontar cair dapat disimpan sebagai bahan makanan di dalam
kendi atau periuk tanah liat untuk jangka waktu yang lama. Akan tetapi sebagai
bahan makanan, nira atau campuran gula lontar cair dengan air [bahasa Rote, tua hopo] yang diminum,
pasangannya ialah: sayur-sayuran (daun kelor, daun ubi, daun papaya), hasil
dari laut antara lain udang, kepiting, kerang, siput, ikan, dan pado kecil
[sejenis gurita, yaitu hewan laut, termasuk golongan hewan lunak] yang diolah
untuk dimakan bersama-sama dengan nira atau tua hopo yang diminum.
Di
samping pohon lontar yang menghasilkan nira dan gula lontar, masyarakat etnis
Rote juga adalah masyarakat petani yang bercocok tanam. Sejak tempo dulu, masyarakat petani di Rote
mengenal sembilan jenis tanaman pangan yang disebut Lakamola anan sio, yaitu:
padi, jawawut [ bahasa Rote, betek], jagung, jagung Rote [sorghum
vulgare], kacang turis, kacang panjang, kacang hijau, labu, dan wijen [bijan, atau sesam]. Selain itu, dalam tulisan berjudul, Serba-Serbi Mengenai Pulau Rote [1878, hlm.27], De Clercq
menyebutkan bahwa masyarakat petani Rote sudah mengenal dan bercocok tanam
beberapa jenis padi, yaitu: padi Sabu, padi Eko Era, padi Mangkasar, padi
Bugis, padi Baekui, padi Anekase, padi Enggris, padi OEkoa, padi Mitak, dan
padi pulut Mangkasar. Dengan demikian, sembilan jenis tanaman pangan yang
disebut Lakamola anan sio adalah juga benih-benih tanaman kehidupan
yang setara dengan pohon lontar yang disebut pohon lontar kehidupan.
Bahkan, sayur-sayuran (daun kelor, daun ubi, daun pepaya), termasuk kepiting,
udang, ikan, kerang, siput dan pado kecil yang dimasak untuk dimakan sebagai pengantar
minum nira atau tua hopo, adalah juga pangan kehidupan masyarakat Rote.
Berdasarkan
analisis dan pertimbangan-pertimbangan di atas ini maka saya dapat katakan
bahwa Benyamin Kanuk dan Diana A.C. Messakh telah melakukan suatu kajian
kristologi dalam budaya masyarakat Rote
yang diskriminatif: pohon lontar diapresiasi setinggi-tingginya sebagai pohon
kehidupan, lalu Yesus dimetaforakan sebagai
pohon lontar kehidupan, padahal,
realitas faktual, benih-benih tanaman pangan yang dijunjung oleh masyarakat
Rote dengan sebutan Lakamola anan sio, pada
hakikatnya setara dengan pohon lontar, bahkan sayur-sayuran daun kelor, daun
ubi, daun papaya; kepiting, udang, ikan, kerang, siput dan pado kecil pun setara
sebagai teman pengantar makan bersama nira
dan tua hopo yang diminum.
5. Yesus Kenari
Kehidupan
Victor
Arnol dan Petrus Niron telah berkristologi dalam budaya masyarakat Alor, dan
lahirlah sebutan dan/atau pengakuan: Yesus Kenari Kehidupan. Sama dan
sebangun dengan kristologi dalam budaya masyarakat etnis Rote yang dilakukan
oleh Benyamin Kanuk dan Diana A.C. Messakh: Yesus Pohon Lontar Kehidupan.
Sebelum
agama Kristen berkembang di Alor, di sana [di pesisir Alor] sudah ada agama
Islam, yang disebut sebagai pengikut nabi Muhammad. Sudah ada upaya dari para
pengikut Muhammad untuk memperkenalkan agama Islam kepada orang-orang Alor yang
disebut penduduk pegunungan pulau Alor, akan tetapi mereka tidak ingin menjadi
Islam. Kampung-kampung di pegunungan Alor adalah pusat kultus kekafiran yang
menyimpan banyak misteri. Di sanalah Injil Yesus Kristus diberitakan oleh para
pemberita Injil.
Wilayah
pegunungan di Alor sangat unik. Para pemberita Injil Yesus Kristus harus
mendaki punggung bukit-bukit yang terjal. Di atas gunung ada sebuah kampung
yang besar. Beberapa ribu orang kafir tinggal di sana. Kepada mereka Injil
diwartakan. Mereka menerima Yesus; menyerahkan berhala-berhala mereka untuk
dibakar; lalu mereka dibaptis.
Para
pendeta dan/atau pekabar Injil tidak takut dan gentar membawa kabar keselamatan
yaitu Injil Yesus Kristus kepada orang-orang Alor di pegunungan, karena mereka
yakin dan bersandar pada Yesus yang adalah “Gunung Batu di dunia/ tempat
berlindung yang teguh” [ Kidung Jemaat 440]; karena mereka yakin bahwa “Yesus
adalah Batu Karang yang teguh/ tempat berteduh bagi setiap orang percaya”
[Kidung Jemaat No.37]; karena mereka
yakin bahwa “Yesus adalah Batu Penjuru Gereja” [Kidung Jemaat No.252] bagi orang-orang pegunungan di Alor yang
telah berimankan Yesus, yang telah dibaptis dalam nama Yesus, dan oleh karena
itu serta-merta menjadi warga gereja Kristus.
Ya,
karena orang-orang Alor di pegunungan telah meninggalkan kekafiran termasuk
berhala-berhala mereka dan telah datang kepada Yesus yang adalah batu yang
hidup itu [1 Petrus 2:4], maka orang-orang Alor di pegunungan yang telah
menerima Yesus, dipergunakan juga oleh Yesus [Kepala Gereja] sebagai batu hidup
untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus… [1 Petrus 2:5].
Berdasarkan
latar belakang pertemuan Injil Yesus Kristus dalam konteks kehidupan
orang-orang Alor dan budayanya di pegunungan pulau Alor sebagaimana diuraikan
secara garis besar di atas, maka sepantasnyalah Yesus disebut Batu Karang
Kehidupan yang teguh; atau Yesus adalah Gunung Batu Kehidupan tempat
perlindungan; atau Yesus adalah Batu Yang Hidup: Batu Penjuru.
Catatan penutup
Oleh karena saya sedang memfokuskan perhatian dan
pandangan dalam kontemplasi untuk menanggapi paham Dr. Ioanes Rakhmat [seorang
agnostik dan freethinker] yang telah
menista ALLAH dan Yesus Kristus yang saya imani, maka saya
tidak memiliki waktu yang cukup untuk mencermati kristologi dalam budaya
masyarakat etnis Sabu yang melahirkan pengakuan, Yesus Mone Ama Yang Sejati; dan kristologi dalam budaya masyarakat
etnis Sumba yang melahirkan pengakuan, Yesus
Sebagai Ibu-Bapa Segala Sesuatu.
Sebagai seorang warga GMIT saya hanya mau mengatakan:
Gereja Masehi Injili di Timor [GMIT] tidak berada di sebuah pulau terpencil di
samudra luas, melainkan berada dalam konteks yang dikelilingi oleh agama-agama
lain yang bukan kristen dan juga agama-agama kristen denominasi lain. Karena
itu, GMIT di dalam berteologi dan/atau berkristologi dalam konteks budaya,
jangan asal-asalan; jangan hanya ingin memenuhi pencapaian target visi-misi yang
sempit dan dangkal; jangan sampai mendiskreditkan keagungan dan kewibawaan ALLAH dan Yesus
Kristus sebagai Kepala Gereja..
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar