Oleh: A.G.
Hadzarmawit Netti
Catatan
pengantar
Tentang
mukjizat dalam kitab-kitab suci, Ioanes Rakhmat mengatakan sebagai berikut: “Semua kisah mukjizat dalam kitab-kitab suci
adalah kisah-kisah imajiner yang disusun post actum atau post eventum,
disusun jauh sesudah fakta atau kejadian yang sebenarnya yang tidak
sensasional, dengan tujuan-tujuan apologetik keagamaan atau tujuan-tujuan
propaganda politis keagamaan, bukan tujuan-tujuan melapurkan fakta-fakta
sejarah apa adanya (2013:44). “Jadi,
kalau bagi para penulis kitab-kitab suci kuno suatu mukjizat adalah sebuah
realitas faktual (tentu saja, realitas faktual yang ada hanya dalam imajinasi
subjektif mereka!) yang terjadi karena Allah bebas melakukannya kendatipun sang
Allah ini harus melanggar hukum-hukum alam yang sudah ditetapkannya, maka bagi
kita yang hidup dalam zaman di mana sains modern menjelaskan segala sesuatu
yang terdapat dalam dunia material, kisah-kisah tentang mukjizat dalam
kitab-kitab suci adalah fiksi. The story world kisah-kisah ini fiktif,
meskipun kisah-kisah ini dikarang untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan historis kontekstual
si pengarangnya dan komunitas keagamaannya pada zamannya di tempatnya sendiri” (2013:45).
Dan pada halaman 47 buku tersebut, Ioanes Rakhmat membuat simpulan: “Jadi, menurut hukum-hukum sains, mukjizat
sama sekali tak dimungkinkan terjadi.”
Tentang mukjizat
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI,
cetakan pertama, edisi ke-4, hal.936), mukjizat
diartikan sebagai “kejadian (peristiwa) ajaib yang sukar dijangkau oleh
kemampuan akal manusia”. Dalam The
Lexicon Webster Dictionary, Vol. I, 1978, hal. 609), “miracle” (mukjizat) adalah “a wonder” (suatu
keajaiban; suatu keheranan); “a marvelous thing” (sesuatu [hal] yang
menakjubkan); “something which seems to go beyond the known laws of nature and
is held to be the act of a supernatural being” (sesuatu yang kelihatannya
melampaui hukum alam yang diketahui dan dianggap merupakan perbuatan makhluk
supernatural); “a supernatural event” (suatu kejadian [peristiwa]
supernatural). Lihat juga, Chambers
Twentieth Century Dictionary (1972:836). Dengan mengutip arti mukjizat dan “miracle” dari tiga kamus
sebagaimana disebutkan di atas ini, saya ingin menyaksikan tentang beberapa pengalaman realitas faktual saya sebagai
berikut.
Pertama, pada tahun 1964 di Kecamatan Rote Timur,
di kampung O’oli, saya menyaksikan suatu peristiwa yang mengherankan. Pada
waktu itu, bapa Manekale (ayah Jakob Run, sahabat saya), meninggal dunia. Sementara
semua famili berkumpul di rumah duka, dan melek-melekan pada malam pertama di
bawah tenda yang terbuat dari daun nyiur, tiba-tiba seorang pria berusia sekitar 45
tahun [bernama Soleman Kai] terangkat naik menembus tenda ke angkasa seraya
berteriak-teriak seolah-olah mengejar sesuatu. Semua orang berhamburan keluar tenda
untuk menyaksikan pria yang dilarikan di angkasa itu, namun ia telah menjauh.
Hanya suaranya saja yang sayup-sayup terdengar, kemudian senyap. Semua famili
di rumah duka dan yang di bawah tenda dicengkam perasaan heran sambil
bertanya-tanya: apa gerangan yang telah terjadi dengan pria yang tiba-tiba dilarikan
secara ajaib itu. Berselang sekitar lima belas menit kemudian, suara pria yang dilarikan
tersebut kembali terdengar di angkasa dari arah barat, dan mendekat ke atas tenda. Kami semua bergegas
keluar untuk menyaksikan pria tersebut, dan tiba-tiba pria itu diturunkan di
atas tenda, langsung ke bawah, persis di tempat duduknya semula. Orang-orang
mengerumuni pria tersebut. Semua senyap, membisu. Akan tetapi selang beberapa
saat kemudian pria itu mulai berkata dalam dialek subetnis Rote Ringgou: “Besi naa lahenda mamatesa somanena mai nala au fo natudu papa Manekalea somanena
madae leleona”. Terjemahan harafiahnya:
“Tadi, nyawa orang-orang yang sudah
mati datang jemput saya untuk tunjukkan bapa Manekale punya nyawa punya tempat…..”
Apakah
kejadian yang disebutkan di atas ini tergolong mukjizat atau miracle (supernatural event)? Seorang pria
tiba-tiba terangkat ke angkasa, lalu dilarikan oleh nyawa orang-orang yang sudah mati ke suatu tempat lain yang jauh,
setelah itu pria itu dilarikan kembali dan diturunkan di tempat semula!
Kejadian itu sungguh mengajaibkan! Sungguh
marvelous! Saya adalah saksi mata
atas peristiwa ajaib tersebut, karena ketika menjadi guru (Kepala SMP Trikora
Papela, Kecamatan Rote Timur), saya tinggal di rumah bapa Manekale yang
meninggal dunia itu.
Pada
waktu itu, kejadian tersebut mengingatkan saya pada kisah yang tertulis dalam
Kisah Para Rasul 8:39: “Dan setelah mereka keluar dari air, Roh Tuhan tiba-tiba melarikan Filipus dan
sida-sida itu tidak melihatnya lagi…” Saya sangat yakin, kesaksian yang tertulis
dalam Kisah Para Rasul 8:39 itu bukan fiksi, bukan kisah imajiner, melainkan realitas
faktual yang dikisahkan! Sebab, jikalau roh penguasa kegelapan, atau nyawa orang-orang yang sudah mati bisa
melarikan orang kemudian mengantarnya kembali ke tempat semula seperti
dikisahkan di atas, maka Kuasa Roh TUHAN niscaya
lebih perkasa! Kejadian itu pun
mengingatkan saya akan kesaksian Kisah Para Rasul 1:9 tentang Yesus: “Sesudah Ia mengatakan demikian, terangkatlah
Ia disaksikan oleh mereka, dan awan menutup-Nya dari pandangan mereka.” Kesaksian ini bukan fiksi, bukan
kisah imajiner, melainkan realitas faktual yang dikisahkan!
Kedua, pada tahun 1964 dan 1965 saya masih
tetap tinggal di rumah bapa Manekale (almarhum)
di kampung O’oli, Kecamatan Rote Timur. Pada waktu itu, pencurian ternak, dan
buah-buahan (pisang, kelapa, pinang, sirih, sukun, nangka) sangat sulit
diatasi. Ada satu kebun buah-buahan yang luas, kira-kira 1000 m², mamar Ni’ioen (begitu nama kebun itu), milik beberapa warga kampung. Bertahun-tahun
mereka tidak bisa menikmati hasil kebun buah-buahan tersebut karena pencuri
merajalela pada waktu siang maupun malam. Saya mengajak para pemilik kebun
untuk “memagari kebun mereka dengan
telapak kaki sendiri”. Saya katakan kepada mereka: “Pagar yang paling
sakti untuk melindungi kebun, sehingga pencuri takut memasuki kebun untuk
mencuri, adalah telapak kaki
sendiri!” Mereka merasa heran, dan tidak yakin. Tetapi saya meyakinkan
mereka, dan akhirnya mereka sepakat untuk bersama-sama dengan saya, memagari
kebun seluas itu dengan telapak kaki sendiri. Kami berjalan mulai dari sisi
pintu pagar kebun sebelah kanan, saya di depan dan mereka berjalan
beriring-iringan mengikuti saya untuk
mengitari kebun seluas lebih kurang 1000 m² itu sampai pada finisnya di
sisi pintu pagar kebun sebelah kiri. Kemudian, pintu pagar saya tutup dengan seutas
tali fepak terbuat dari irisan
tangkai daun lontar, yang diikat pada tiang pintu pagar sebelah kanan dan kiri.
Sesuai
kesepakatan, tali pintu pagar itu akan dibuka dua kali dalam seminggu, yaitu
pada setiap hari Senin dan Kamis, agar para pemilik kebun dapat masuk untuk
memanen hasil kebun. Dan ternyata mereka sangat takjub! Selama dua tahun saya
tinggal di kampung itu, pencuri tidak berani memasuki kebun buah-buahan itu
untuk mencuri hasilnya! Peristiwa ini pasti dapat diklaim oleh Ioanes Rakhmat
sebagai sebuah keberhasilan sugesti.
Tetapi pertanyaannya ialah: kalau para pemilik kebun termakan sugesti, dapatkah pengaruh sugesti itu
berlaku pula secara massal terhadap orang-orang pencuri, dan penduduk empat
kampung yang berada di sekitar lokasi kebun itu? Saya, sebagai tokoh utama
berkenaan dengan peristiwa tersebut, merasakan dan mengakui, bahwa
peristiwa tersebut berasal dari suatu supernatural
power, dan saya hanyalah perantara bagi tersalurnya supernatural power yang menimbulkan miracle, keajaiban, yang dialami dan dirasakan oleh banyak orang pemilik kebun dan
warga masyarakat kampung sekitarnya!
Ketiga, pada bulan Juli 1965, sebuah perahu
layar milik seorang saudagar di Papela, Kecamatan Rote Timur, yang dinakhodai
juragan bernama Aitio, tenggelam
diperairan tanjung Mondo di Pulau Usu, ujung timur Pulau Rote, setelah
menyeberangi selat Pukuafu pada waktu malam. Istri seorang saudagar bernama
Ahmad Djailani dan dua putrinya tewas, dan jasad mereka dapat ditemukan dalam
pencarian pada keesokan harinya. Tetapi seorang anak perempuan bapak Muhammad
Azhari, tidak berhasil ditemukan, sekalipun belasan nelayan telah melakukan pencarian selama tiga
hari. Mereka bertekad terus melakukan pencarian pada hari berikutnya. Pada
malam harinya, ketika melek-melekan di rumah Muhammad Azhari, saya minta kepada
seorang nelayan untuk membuat sketsa lokasi perairan tempat perahu layar itu
tenggelam. Setelah mengamati sketsa tersebut, saya langsung menentukan posisi
di mana jasad anak perempuan Muhammad Azhari yang tenggelam itu dapat ditemukan.
Pada
pencarian hari keempat, saya ikut dalam rombongan pencari yang mempergunakan dua
perahu. Ketika tiba di lokasi perairan terjadinya musibah, saya arahkan para
nelayan ke sebuah tebing karang yang terjal di bagian barat lokasi musibah. Setelah
mendekati tebing karang yang terjal, kira-kira tiga puluh meter, saya suruh
mereka menyelam ke dasar laut dekat tepi tebing karang. Setelah melakuan
penyelaman beberapa menit, mereka melapurkan bahwa yang ada di dasar laut
hanyalah rumput laut yang mereka sebut enggak.
Lalu saya anjurkan kepada mereka untuk menyibak rumput-rumput laut itu, karena saya
katakan bahwa jasad korban tertimbun di bawah rumput laut. Mereka lakukan seperti apa yang saya anjurkan,
dan mereka berhasil menemukan jasad korban di bawah timbunan rumput laut.
Jikalau
peristiwa yang dikisahkan di atas ini bukan mukjizat,
bukan miracle, setidak-tidaknya ajaib, marvel (hal yang menakjubkan),
sebab mereka bertanya-tanya keheranan: bagaimana saya bisa menetapkan secara
tepat lokasi penemuan jasad korban. Saya yakin bahwa ada peranan supernatural power melalui diri saya
sebagai perantara untuk memberikan
sedikit penghiburan bagi orang tua dan keluarga yang berduka lantaran musibah
tersebut.
Keempat, masih pada tahun 1965, ada seorang janda
yang biasa dipanggil mama Daeng, berusia
sekitar 58 tahun tinggal di Papela,
Kecamatan Rote Timur. Janda itu memiliki seorang anak laki-laki bernama Daeng, berusia
26 tahun. Anak muda itu menderita penyakit ayan (epilepsi) sejak berusia tujuh
tahun. Dalam sehari ia bisa jatuh pingsan dan kejang-kejang sampai lima, atau enam
kali. Karena penyakit itu, ia tidak dapat bekerja apapun juga. Itulah yang
membuat ibunya sangat sedih.
Pada
suatu hari, mama Daeng meminta tolong pada saya, sambil menangis terisak-isak, agar
sekiranya bisa, saya menyembuhkan anaknya yang menderita epilepsi berat itu.
Hati saya pun tergerak dan merasa kasihan. Akhirnya, suara hati saya
membisikkan sesuatu untuk saya katakan kepada ibu janda itu: “Mama, anak mama, Daeng, bisa sembuh hanya
dalam tempo tiga hari. Mulai besok pagi, sebelum matahari terbit, Daeng harus
datang di rumah saya untuk minum obat. Daeng harus minum obat berturut-turut
selama tiga pagi sebelum matahari terbit. Dan, Daeng pasti sembuh. Daeng pasti
sembuh. Daeng pasti sembuh.”
Keesokan
harinya, sebelum fajar merekah di ufuk timur, Daeng datang ke rumah saya. Kepadanya saya berikan segelas air dingin yang
telah dicampuri sedikit garam dapur, seraya menyuruhnya minum. Saya katakan
kepadanya: “Daeng, kaupasti sembuh! Kaupasti sembuh! Kaupasti sembuh. Besok,
datang lagi untuk minum obat; dan lusa, datang lagi. Cukup tiga kali minum
saja, kau pasti sembuh dan bebas dari penyakit yang telah menyusahkan engkau,
dan ibumu, bertahun-tahun.” Lalu, apa yang terjadi selanjutnya? Daeng sembuh
total dari penyakit epilepsi. Ia dapat beraktivitas sebagai nelayan tanpa
mengalami gangguan epilepsi, sampai ia meninggal dunia secara normal pada tahun
1980-an.
Daeng
yang sembuh dari penyakit ayan yang dideritanya hampir dua puluh tahun
sebagaimana disaksikan di atas ini, mengingatkan saya akan kisah Yesus
menyembuhkan seorang anak muda yang sakit ayan (Matius 17:14-18). Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa penulis
Injil Matius tidak mengisahkan sebuah fiksi, atau kisah imajiner, melainkan ia menuliskan sebuah realitas faktual! Apabila saya, seorang anak
manusia yang berdosa dan bersahaja, bisa menyembuhkan Daeng yang menderita
epilepsi berat di Papela, Kecamatan Rote Timur pada tahun 1965, maka Yesus yang saya imani sebagai Juruselamat,
dan Kurios niscaya sangat-sangat luar biasa power-Nya untuk menyembuhkan
penyakit apa saja!
Kelima, masih dalam tahun 1965, di Papela,
Kecamatan Rote Timur, ada seorang laki-laki tua bernama Ua’ Saleman. Anak perempuannya bernama Bugis, mengalami suatu penyakit yang aneh. Terasa
seperti ada suatu benda seperti jarum yang menusuk-nusuk dari kedua telapak kakinya,
kemudian, perlahan-lahan tusukan itu
bergerak dari telapak kaki ke betis, dari betis ke paha, dari paha ke organ
perut, dari organ perut terus ke organ dada, dari dada ke leher, dari leher ke
kepala, kemudian tusukan itu terasa keluar dari melalui ubun-ubun. Ketika tusukan itu terjadi mulai dari telapak kaki
sampai keluar dari ubun-ubun, Bugis mengalami rasa sakit yang luar biasa,
sehingga ia mengerang dan berteriak-teriak minta tolong. Berselang beberapa jam
kemudian, tusukan seperti jarum dan terasa sangat menyakitkan itu terulang kembali,
mulai dari ubun-ubun, kemudian ke leher, ke organ dada, ke organ perut, ke
paha, ke betis, kemudian ke telapak kaki, dan terasa keluar dari telapak kaki.
Selama penyakit aneh itu terjadi dan berlangsung seperti itu, Bugis senantiasa
mengerang kesakitan, dan berteriak-teriak minta tolong. Sudah hampir sebulan
Bugis menderita penyakit aneh itu,
sehingga sangat menggelisahkan orang tua dan familinya. Kata orang, Bugis
disihir oleh seorang laki-laki asal Makassar, lantaran pinangannya ditolak oleh
orang tua dan keluarga Bugis, padahal laki-laki itu telah memberikan banyak
oleh-oleh.
Upaya
pengobatan dari mantri kesehatan satu-satunya di Kecamatan Rote Timur, yaitu
mantri Poyk, telah dimintakan, namun mantri Poyk tidak bisa berbuat apa-apa, sebab ia sendiri merasa heran dengan
gejala penyakit aneh yang diderita Bugis.
Orang tua dan famili beralih ke dukun setempat yang mengandalkan mantra-mantra. Ada tiga orang dalam
masyarakat muslim di Papela pada waktu itu, yang terkenal sebagai dukun pengusir
bala (malapetaka) dan penyembuh penyakit karena santet. Ketiga dukun itu
bertekun dan saling mendukung dalam upaya menyembuhkan penyakit aneh yang
diderita oleh Bugis. Namun setelah memasuki
minggu keempat, ketiga orang dukun terkenal itu menyerah. Bugis terus mengerang kesakitan siang dan
malam, serta orang tua dan famili semakin gelisah dan panik.
Pada
suatu hari, Ua’ Saleman datang menemui saya. Ia menceritakan ihwal penyakit yang
dialami anaknya, seraya memohon bantuan saya untuk menyembuhkan anaknya. Saya merasakan ada sesuatu yang
menggerakkan suara hati saya, lalu saya berkata kepada Ua’ Saleman: “Iya, bapa Ua’. Jikalau Tuhan berkenan pakai
saya sebagai perantara untuk menyembuhkan anak bapa, besok siang, pas matahari
di atas kepala (kira-kira jam 12 siang), saya datang ke rumah bapa. Katakan
kepada semua famili untuk hadir.” Ua’ Saleman berkata: “Terima kasih pak guru. Terima kasih. Insya Allah…, saya
yakin Tuhan pakai pak guru untuk menyembuhkan anak saya.”
Keesokan
harinya, pas matahari di atas kepala (kira-kira jam 12 siang), saya tiba di
rumah Ua’ Saleman. Semua famili sudah berkumpul, sekitar belasan orang.
Tiba-tiba terdengar suara rintihan dan teriakan Bugis, karena rasa sakit
tertusuk-tusuk seperti jarum yang dialaminya kumat. Menurut Ua’ Saleman, siang
dan malam, Bugis terserang penyakit
aneh itu lebih dari sepuluh kali, sehingga mereka hampir-hampir tidak bisa
tidur. Dan sampai siang itu, Bugis sudah tiga kali terserang sakit. Saya dan
orang tua Bugis serta beberapa
anggota famili masuk ke kamar, di mana Bugis
terbaring dan mengerang kesakitan.
Semua diam membisu, kecuali Bugis yang masih terus mengerang kesakitan
dan berteriak-teriak. Setelah hilang rasa sakit tertusuk-tusuk, dan Bugis terbaring tenang, saya berkata kepada
orang tua serta famili yang ada di situ, sesuai dengan suatu kepastian yang
timbul di hati saya: “Mulai siang hari
ini sampai malam, dan terus sampai dini hari, Bugis akan tidur dalam keadaan tenang.
Penyakit yang dialaminya tidak akan meggaggunya sampai dini hari. Dan ketika
menjelang fajar terbit di timur, barulah Bugis akan mengalami lagi penyakit itu.
Namun itu merupakan serangan yang terakhir. Dan setelah itu, penyakit itu akan
pergi untuk selama-lamanya!” Orang tua dan semua famili serentak
mengatakan: “Insya Allah…!” Selesai mereka
berkata demikian, saya meletakkan telapak tangan kanan saya di ubun-ubun Bugis, setelah itu, pada kedua telapak kakinya…
Cut!
Apa
yang saya katakan di atas terbukti! Mulai keesokan harinya, Bugis mengalami kesembuhan total. Penyakit
aneh yang dialaminya pergi untuk selamanya. Bugis kemudian dinikahi seorang pria asal Butung bernama Muhammad Lamaraji. Apakah
penyembuhan penyakit aneh yang saya lakukan sebagaimana dikisahkan di atas ini bukan mukjizat, bukan miracle? Apakah
penyembuhan penyakit yang dikisahkan di atas ini semata-mata lantaran pengaruh sugesti? Saya sebagai tokoh utama dalam kejadian penyembuhan yang dikisahkan di atas ini yakin
seyakin-yakinnya akan supernatural power yang bertindak melalui diri saya,
sehingga terjadi kesembuhan atas diri Bugis
dengan cara yang ajaib, miraculous.
Keenam,
Pada
tahun 1967 terjadi ketegangan antara umat Islam dan Kristen di tanah air
(Indonesia). Terjadi pengrusakan gereja-gereja di Makassar, dan dampaknya
sampai di dusun Papela (pada waktu itu) yang seratus persen warganya beragama
Islam. Suatu peristiwa yang sangat unik dan mencengangkan terjadi ketika maulid Nabi Muhammad saw dirayakan di
halaman depan Masjid Papela. Tamu-tamu
nonmuslim yang diundang untuk menghadiri acara tersebut yaitu: Pendeta Kristen
dari denominasi Gereja Masehi Injili di Timor (Pendeta B. J. Jakob), tokoh-tokoh
masyarakat beragama Kristen, dan guru-guru serta pegawai kantor kecamatan yang
beragama Kristen, dan Kepala Pemerintahan Kecamatan Rote Timur (Bapak Camat
John. Ch. Tokoh).
Terlampir
bersama surat undangan, acara perayaan
maulid Nabi Muhammad saw yang disusun sebagai berikut: (1) berkasidah, yang
dilakukan oleh sekelompok muslimin; (2) Kata Sambutan Ketua Panitia Hari Raya
Besar Islam Papela, Kecamatan Rote Timur (Bapak Lolin Tata); (3) Kata Sambutan
Imam Masjid Papela (Bapak Haji Muhammad Azhari); (4) Kata Sambutan Pendeta B.J. Jakob, yang mewakili umat Kristen di
Kecamatan Rote Timur; dan terakhir (5) Kata Sambutan Bapak Camat Rote Timur
(John Ch. Tokoh); (6) Acara Istirahat. Yang menjadi pewara (pembawa acara
dalam upacara) maulid Nabi pada malam
itu, yakni Laing Abdurrachman (muslim) seorang guru SD Negeri di Papela.
Hal
unik yang terjadi pada waktu acara maulid
Nabi Muhammad saw diselenggarakan, yaitu penghinaan terhadap Yesus yang diimani sebagai Tuhan dan Juruselamat
oleh umat Kristen, yang dikemukakan panjang-lebar oleh Ketua Panitia Hari
Raya Besar Islam Papela, Kecamatan Rote Timur (Bapak Lolin Tata). Ketika
kata-kata penghinaan terhadap Yesus diucapkan secara berapi-api dari mimbar,
tiba-tiba saya merasa seperti ada suatu tenaga yang sangat kuat mengguncang
seluruh tubuh saya. Tubuh saya, dan kursi yang saya duduki rasanya hendak
dipentalkan oleh guncangan yang begitu kuatnya. Rekan-rekan guru yang duduk di
samping kanan dan kiri saya berusaha menahan kursi dan tubuh saya yang berguncang
agar jangan sampai terpental. Mereka heran dan bertanya-tanya: apa gerangan
yang sedang terjadi atas diri saya. Sementara itu, kata-kata penghinaan
terhahap Yesus masih terus dilontarkan. Tiba-tiba terdengar suara berucap dalam
hati saya, dengan menyebut nama lengkap saya, begini: “Almodat Godlief Hadzarmawit Netti! Bersiaplah untuk melakukan
pembelaan iman terhadap Yesus, Tuhan dan Juruselamat, yang telah dinista dan
dihina itu…!” Mendengar suara dalam hati saya seperti itu, secara spontan
saya berkata dalam hati: “Tuhan.., hamba
rela untuk dirajam, atau mati dipanah dengan panah ikan pada malam ini, apabila
ada kesempatan untuk hamba bersaksi…!” Tiba-tiba, guncangan yang terjadi
pada tubuh saya pun hilang, dan saya mengalami suatu ketenangan batin yang
sangat lain dari biasanya.
Setelah
Ketua Panitia Hari Raya Besar Islam Papela (Bapak Lolin Tata) selesai
memberikan kata sambutan dan turun dari mimbar, pewara (Laing Abdurrachman) mempersilakan Bapak Imam Masjid Papela
(Haji Muhammad Azhari) untuk menyampaikan kata sambutan kedua. Suasana di bawah
tenda perayaan maulid Nabi di halaman
depan Masjid Papela, terasa kurang nyaman dan sangat kurang bersahabat pada
malam itu. Camat Rote Timur, John Ch. Tokoh, terlihat tunduk lesu, kurang
bersemangat. Begitu pula dengan Pendeta B.J. Jakob, tokoh-tokoh masyarakat,
guru-guru dan pegawai kantor kecamatan yang beragama kristen, semuanya
sepertinya tak bergairah lagi untuk terus berada di bawah tenda upacara
perayaan maulid Nabi.
Imam
Masjid Papela (Haji Muhammad Azhari) tidak banyak memberikan-kata-kata
sambutan. Hanya sekitar empat atau lima menit saja ia berbicara di atas mimbar.
Setelah turun dari mimbar, kata sambutan ketiga, sesuai dengan yang tertulis
dalam acara, seharusnya dari Pendeta B.J. Jakob, mewakili umat Kristen di
Kecamatan Rote Timur. Namun, ketika pewara
(Laing Abdurrachman) membaca acara selanjutnya, mata acara kata sambutan
ketiga dari Pendeta B.J. Jakob dilangkaui. Pewara
mempersilakan Bapak Camat Rote Timur
memberikan kata sambutan. Semua undangan kaget dan bertanya-tanya keheranan:
mengapa kata sambutan dari Pendeta B.J. Jakob dilangkaui? Sebab sesuai
formalitas, pemberian kata sambutan yang terakhir dalam suatu upacara adalah
dari pemerintah; sehingga dengan demikian berarti kata sambutan dari Pendeta
B.J. Jakob telah ditiadakan atau dibatalkan oleh panitia hari raya secara
mendadak.
Ketika
bangun dari kursi dan berjalan menuju mimbar untuk menyampaikan kata sambutan,
Camat Rote Timur, Bapak John Ch. Tokoh tampak tidak bersemangat. Dan ternyata
nada kata sambutannya pun tidak bersemangat. Sebagai pemerintah, ia hanya
meminta dan mengharapkan agar umat beragama di Kecamatan Rote Timur bisa hidup
saling berdampingan dengan aman dan damai, saling menjaga kerukunan; dan jangan
terprovokasi oleh kejadian-kejadian di daerah lain. Kata sambutan Camat Rote
Timur pun tidak panjang, hanya sekitar lima atau enam menit saja. Pada saat
Camat turun dari mimbar dan menuju ke tempat duduknya, semua orang beranggapan
bahwa acara resmi telah selesai, sehingga acara selanjutnya adalah acara
istirahat. Akan tetapi kenyataannya lain, sekaligus mencengangkan semua orang
yang menghadiri acara maulid Nabi pada
malam itu.
Setelah
Camat Rote Timur duduk di kursinya yang bersampingan dengan Pendeta B.J. Jakob,
dan Imam Masjid Papela (Haji Muhammad Azhari), pewara (Laing Abdurrachman) membaca acara yang dipegangnya sebagai
berikut: “Acara selanjutnya, yaitu kata sambutan terakhir, kami minta kesediaan
Bapak A. G. Hadzarmawit Netti untuk menyampaikan kata sambutan mewakili umat Kristen
di Kecamatan Rote Timur. Kepada Bapak, kami persilakan.” Mendengar pewara membacakan acara demikian, semua
undangan terperanjat. Camat Rote Timur (John Ch. Tokoh) dan Pendeta B. J. Jakob
juga kelihatan terperanjat, karena dalam acara sama sekali tidak tercantum
seperti yang dibacakan oleh pewara
(Laing Abdurrachman). Namun saya lihat, Camat John Ch. Tokoh dan Pendeta B.J.
Jakob saling memandang dan menganggukkan kepala.
Pada
saat itu, saya merasakan ada suatu supernatural power memenuhi dan menguasai diri saya. Dan supernatural power itu tidak lain dan tidak bukan: Kuasa Roh ALLAH sendiri! Ketika saya berdiri dan melangkah menuju mimbar, di
depan Camat Rote Timur (John Ch. Tokoh) dan Pendeta B.J. Jakob, saya memberi
hormat dengan cara mengangguk, dan keduanya pun mengangguk; kemudian saya naik ke mimbar untuk
menyampaikan kata-kata sambutan. Suasana sekeliling tiba-tiba senyap…
Setelah
mengucapkan terima kasih kepada panitia yang telah memberikan kesempatan kepada
saya untuk memberikan kata sambutan, dan juga setelah mengucapkan penghormatan
saya kepada Bapak Camat Rote Timur, dan Pendeta B.J. Jakob, serta Imam Masjid
Papela, saya berkata kepada para undangan dan hadirin: “Assalamualaikum”
(keselamatan untukmu); dan “Rahimakumulah”
(semoga Allah Swt memberikan belas kasihan kepada kamu sekalian). Demikianlah
dua kata sapaan pendahuluan yang saya ucapkan di atas mimbar pada waktu itu. Dan
para undangan pun bertepuk tangan. Setelah itu apa yang terjadi…?
Saya
mulai menguraikan dan menyaksikan tentang
kebesaran dan kemuliaan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat yang diimani
oleh umat Kristen! Pada awal sampai pertengahan sambutan, saya tidak
menjelaskan kebesaran dan kemuliaan Yesus menurut Injil (kitab Perjanjian Baru), melainkan menurut
kesaksian Alquran terjemahan Mahmud Junus dan Tafsir Alfurqan terjemahan A.
Hasan, yang telah saya baca dua kali. Dan sesudah paruh sambutan sampai akhir
sambutan barulah saya merujuk pada kitab Injil (Perjanjian Baru). Sungguh
mengherankan! Marvelous! Tepuk tangan riuh rendah dilakukan
oleh para undangan dari kalangan umat Kristen!
Jikalau
pada acara kata sambutan pertama yang disampaikan oleh Ketua Panitia Hari Raya
Besar Islam Papela (Bapak Lolin Tata) semua undangan dari kalangan umat Kristen
lesu dan menundukkan kepala ketika Yesus dihina dan direndahkan, maka ketika
A.G. Hadzarmawit Netti menyaksikan tentang kebesaran dan kemuliaan Yesus
menurut Alquran dan Injil, semua wajah terangkat, ceria, dan semua tangan
bertepukan. Sebagai gantinya, muslimin dan muslimat di Papela pada malam itu
bingung dan dicengkam rasa heran yang luar biasa…. Dan untuk semuanya itu, ALLAH yang patut dupuji dan dimuliakan, sebab tidak terjadi kekacauan
atau kerusuhan…!
Setelah
selesai acara istirahat, Panitia Hari Raya Besar Islam di Papela mengumumkan
bahwa para undangan yang beragama kristen dipersilakan kembali, tetapi kepada muslimin dan muslimat
diminta tetap tinggal di Masjid untuk melakukan takbiran. Apa yang terjadi?
Pada malam itu, di Masjid Papela, bukan acara takbiran yang dilakukan,
melainkan para tua-tua muslimin mengajukan pertanyaan kepada Iman Haji Muhammad
Azhari berkenaan dengan penjelasan dan uraian saya tentang Isa alaihisalam yang
saya kutip dari Alquran. Lalu Imam Haji Muhammad Azhari menjelaskan bahwa
ayat-ayat Alquran yang saya kutip dan jelaskan tentang Isa alaihisalam itu benar. Maka marahlah para tua-tua muslimin
kepada Imam: “Kalau begitu, mengapa
selama ini Bapa Imam tidak jelaskan kepada kami bahwa Isa alaihisalam begitu
adanya di dalam Alquran seperti yang diterangkan oleh Pak Netti?” Cut! Demikianlah perkembangan di Masjid Papela pada
malam setelah usai upacara maulid Nabi, yang
dituturkan kepada saya oleh beberapa pemuda muslim pada keesokan harinya.
Apakah
event
(kejadian; peristiwa) yang dikisahkan di atas ini dapat disebut mukjizat kecil-kecilan, atau mukjizat yang luar biasa? Ioanes Rakhmat berulang-ulang kali
mengatakan dalam bukunya bahwa “hukum-hukum alam tidak dapat dibatalkan”; “hukum-hukum
alam tidak dapat dilanggar”. Akan tetapi dalam event upacara maulid Nabi Muhammad saw di Papela,
Kecamatan Rote Timur pada tahun 1967 sebagaimana dikisahkan di atas, “hukum-hukum alam dalam konteks protokol
[tata cara upacara] keagamaan formal, yang ditetapkan dan dilaksanakan
sebagaimana mestinya oleh Panitia Hari Raya Besar Islam” diporak-parik oleh
suatu supernatural power, yaitu Kuasa Roh ALLAH yang saya imani, sehingga saya yang bukan seorang pendeta
dan/atau pemimpin agama Kristen, memperoleh kesempatan untuk bersaksi tentang
Yesus Juruselamat saya, yang dihina dan direndahkan di atas mimbar upacara
peringatan maulid Nabi, tanpa terjadi
kekacauan dan/atau kericuhan.
Catatan akhir
Mengakhiri
tanggapan bagian ketiga alfa ini, dengan penuh perasaan iba saya mau berkata kepada Ioanes Rakhmat begini: dalam dunia
pendidikan teologi Anda telah melewati tahapan strata satu, strata dua, dan
strata tiga. Dan dalam dunia sains modern Anda telah bertualang tanpa kompas,
sehingga Anda kehilangan arah perjalanan; terjebak dalam suatu labirin;
tersesat dalam kesesatan yang menyesatkan; sehingga Anda pada hakikatnya tidak
lebih dari: A blind man does not see himself
in a looking glass; and a cat with a silver collar is none the better mouser.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar