Oleh: A. G.
Hadzarmawit Netti
Catatan pengantar
Tanggapan
bagian ketiga beta merupakan bagian tak terpisahkan dari tanggapan bagian
ketiga alfa, yaitu tentang “Mukjizat dan Pengalaman Spiritual” yang tidak
diakui dan/atau disangkal oleh Ioanes Rakhmat. Berikut ini saya akan kisahkan
beberapa realitas faktual yang saya alami, yang tak terpisahkan dari apa yang
disebut mukjizat, miracle, yang benar-benar ajaib, marvelous.
Pertama,
pada
bulan Juli 1961, di Kuanino, Kupang, ayah saya, Hanok Netti meninggal dunia.
Kakak saya, Albinus Lodewyk Netti ketika itu sedang kuliah di STT Jakarta, dan
saya baru naik kelas dua pada SMA Negeri Kupang. Ketika ayah meninggal, saya tidak berada di rumah, karena
sedang berkunjung ke rumah teman di Naikoten, yang berjarak sekitar dua
kilometer dari rumah saya. Kedua orang adik saya, Gretta dan Steven, mencari
saya ke beberapa rumah teman untuk memberitahukan tentang kematian ayah, namun
tidak berhasil menemukan saya; dan akhirnya, berdasarkan informasi dari salah
seorang teman, sekitar jam 19.00 malam barulah keduanya dapat bertemu dengan
saya di Naikoten. Dalam keadaan terisak-isak keduanya memberitahukan kepada
saya bahwa ayah telah meninggal dunia pada sekitar jam 16.00 petang. Saya
bergegas kembali ke rumah bersama Gretta dan Steven. Ketika tiba di rumah,
banyak tetangga telah melayat. Ada beberapa pemuda dan bapa-bapa yang mulai mempersiapkan
bahan untuk mendirikan tenda duka di halaman depan rumah. Saya segera masuk ke
kamar di mana ayah terbujur diam tak bernyawa. Ibu duduk di sebuah kursi di samping
tempat tidur di mana tubuh ayah terbujur. Beberapa keluarga dan tetangga juga
ada di situ. Ibu menitikkan air mata kesedihannya ketika melihat saya masuk ke
kamar.
Ketika
itu, saya tidak yakin bahwa ayah meninggal. Saya langsung katakan kepada ibu,
dan juga kepada ibu-ibu yang berada di kamar itu agar sudi keluar sejenak. “Mama…, keluar sebentar, mama. Biar, Lief
bersama papa di kamar ini. Lief yakin papa belum mati. Papa hanya tidur saja…” (catatan:
Lief, adalah nama panggilan saya
dalam keluarga, singkatkan dari Godlief).
Ibu saya dan beberapa ibu lainnya yang ada di kamar segera keluar. Saya
langsung menutup pintu kamar, kemudian berdiri di samping tempat tidur dan
menatap tubuh ayah yang terbujur. “Tuhan…,
mengapa ini harus terjadi…! Mengapa Tuhan begitu cepat panggil pulang ayah ke
alam baka, ketika saya masih duduk di bangku SMA; ketika kakak masih kuliah di
STT Jakarta; ketika kedua orang adik masih butuh kehadiran dan pengayoman ayah; ketika ibu
yang sakit-sakitan batuk bercampur darah masih sangat mengharapkan perhatian
dan pertolongan ayah sebagai satu-satunya pencari nafkah dan penanggung biaya
hidup…?” Demikianlah kata-kata yang terlintas dalam pikiran saya;
demikianlah pergumulan yang memenuhi benak saya. Kata-kata itu berulang-ulang
kali tercetus dari lubuk hati, ketika saya terpaku menatap tubuh ayah yang
terbujur diam di tempat tidur, dalam keadaan tidak bernapas, jantung tidak
berdetak, dan sekujur tubuh pun sudah mendingin.
Lewat
tengah malam, tiba-tiba saya melihat ibu jari kaki kiri ayah bergerak-gerak.
Saya meraba ibu jari kaki ayah yang bergerak-gerak itu, dan terasa ada kehangatan.
Kemudian, kaki kiri dan kaki kanan ayah bergerak, kehangatan terasa pada kedua
kakinya; setelah itu, paha, perut, dada dan kepala ayah terasa hangat; dan
selang beberapa lama kemudian, ayah membuka mata pelan-pelan, melihat ke
samping kiri dan kanan. Saya menyapa ayah pelan-pelan dan ayah membalas sapaan
saya dengan menyebut nama saya. Saya pun berseru kegirangan: “Papa hidup…! Papa hidup…! Mama.., Papa
hidup…!”
Mendengar
seruan saya demikian, ibu saya, dan ibu-ibu tetangga yang duduk di ruang depan,
dan juga beberapa kaum bapa bergegas masuk ke kamar. Ayah minta minum karena
haus. Ibu segera mengambilkan air minum dalam sebuah gelas berukuran besar
untuk ayah. Dan setelah selesai minum, sekujur tubuh ayah berkeringat. Saya
mengambil handuk kecil untuk melap keringat di wajah ayah. Kemudian, ayah
bertanya: “Lief…, itu tuan masih ada…?” “Tuan
siapa, papa?” “Itu tuan seperti pastor pakai jubah putih yang datang jemput,
dan antar pulang papa…!” “Tidak ada tuan siapa-siapa papa. Tidak ada tuan
pastor…” Demikianlah percakapan
singkat antara ayah dengan saya. Ibu saya, dan beberapa ibu dan bapa yang
berada di dalam kamar heran mendengar pertanyaan ayah tentang seorang tuan yang
telah datang menjemput dan mengantarnya pulang ke rumah. Setelah menarik napas
pelan-pelan beberapa saat, ayah mulai bercerita: “Tadi,
ada seorang tuan pakai jubah putih seperti pastor, datang dengan oto putih, dan
berlabuh di jalan raya depan rumah. Tuan itu datang jemput papa untuk pergi ke
tempat jauh. Papa dan tuan itu naik oto putih; setelah itu, oto putih itu meluncur
di jalan raya, kemudian terangkat naik ke angkasa seperti pesawat terbang. Tuan
itu mengantar papa ke suatu tempat yang megah seperti di istana, lalu papa
diperhadapkan kepada seorang tuan besar. Tuan besar itu geleng-geleng kepala
sambil berkata: O…, bukan Hanok ini yang dipanggil. Bukan Hanok ini. Hanok yang
lain! Ayo, bawa kembali Hanok ini ke tempatnya. Lalu, tuan pastor itu antar
kembali papa dengan oto putih itu, berlabuh di jalan raya di depan rumah.
Setelah itu, tuan pastor itu antar papa sampai di dalam kamar ini…!”
Demikianlah
kisah realitas faktual dan pengalaman spiritual yang ayah saya alami pada tahun
1961 berkenaan dengan kematian yang dialaminya selama hampir sembilan jam,
setelah itu hidup kembali. Demikianlah realitas faktual yang saya saksikan dan
juga alami, yang pada gilirannya menjadi suatu pengalaman spiritual bagi saya. Pertanyaannya
ialah: apakah realitas faktual yang ayah saya
alami itu bukan sebuah mukjizat? Bukan suatu miracle? Ayah saya mati, tidak
bernapas, jantung tidak berdetak selama hampir sembilan jam, sekujur tubuh pun
sudah mendingin, akan tetapi ternyata hidup kembali! Apakah itu bukan suatu
mukjizat, atau miracle? Bukan suatu event yang mengajaibkan? Bukan suatu event
yang marvelous? Bukan suatu pengalaman spiritual yang luar biasa?
Patut
saya catat di sini bahwa pengalaman
spiritual yang dikisahkan oleh ayah saya setelah ia hidup kembali itu bukan
pengalaman yang disebut “near-death experiences”, bukan pengalaman
mendekati kematian, melainkan “pengalaman yang dialami pada waktu kematian
terjadi dan/atau sudah berlaku selama hampir sembilan jam, yang diceritakan
sesudah hidup kembali”. Perlu diketahui bahwa sesudah realitas faktual
itu terjadi pada tahun 1961, ayah saya terus menjalani kehidupan normalnya
sampai meninggal pada bulan Desember 1975.
Kedua,
pada
tanggal 7 April 1970 malam, di Baa, Kecamatan Rote Tengah (pada waktu itu),
istri saya (Maria Magdalena Nge (selanjutnya akan saya sapa, Maria) mengalami
lahir mati prematur (sebelum waktunya; belum cukup bulan). Janin mati dalam
kandungan, ketika usia janin enam bulan; dan pada bulan ketujuh barulah terjadi
lahir mati prematur. Pada waktu itu saya memimpin sebuah sekolah teknik di Baa,
dan Maria (seorang guru sekolah dasar yang berijazah SGB) mengikuti pendidikan
setara SPG. Dengan demikian, selama sebulan lebih, antara Maret sampai 7 April
1970, Maria bertugas dan berjalan ke mana-mana dengan menanggung janin yang
telah mati di dalam kandungan. Guna mengawetkan janin yang sudah mati dalam
kandungan agar tidak membusuk, setiap hari Maria minum air kelapa muda tiga
kali: pada pagi, siang dan petang. Tetapi di atas semua upaya itu, sesungguhnya
pemeliharaan dan perlindungan ALLAH yang
terutama dan yang menentukan.
Di
Baa pada waktu itu tidak ada dokter; yang ada hanyalah seorang perawat senior.
Hendak berlayar ke Kupang untuk memperoleh bantuan perawatan dan/atau
persalinan di rumah sakit, sangat sulit dan tidak mungkin, karena pada waktu
itu angin bertiup kencang pada bulan Februari sampai April. Tidak ada perahu
yang belayar dalam keadaan alam yang tidak ramah seperti itu, apalagi antara
Pulau Rote dan Kupang belum ada kapal laut yang beroperasi secara tetap. Dengan
demikian, saya dan Maria hanya berserah kepada ALLAH yang kami imani di dalam Yesus Kristus.
Pada
tanggal 7 April 1970 malam, setelah selesai makan malam, Maria merasa kesakitan
yang tidak lazim di kandungannya. Saya langsung memperoleh firasat bahwa pada
malam itu Maria akan melahirkan janin yang telah mati dalam kandungannya itu. Saya
segera mengajak Maria untuk pergi ke rumah salah satu keluarga bernama Abia Seran yang tinggal di Letelangga,
agar jika terjadi proses kelahiran, bisa diperoleh pertolongan seperlunya dari
keluarga. Setibanya di rumah keluarga, saya langsung menghubungi perawat senior
yang bertugas di klinik Baa, akan tetapi ia sedang menjalani masa cutinya di
Kupang. Saya langsung mencari dukun beranak, seorang perempuan lanjut usia yang
biasa dipanggil, mama Koamesah, yang
sudah berpengalaman menolong perempuan melahirkan. Ibu-ibu tetangga dan kenalan
yang mendengar kabar tentang Maria akan melahirkan pada malam itu pun
berdatangan di rumah Abia Seran.
Sekitar
jam 21.00 malam waktu setempat, rasa sakit di kandungan yang dialami Maria
semakin meningkat, dan frekuensinya konstan. Di kamar depan, Maria berbaring di
sebuah dipan, saya duduk di samping kanan dipan dekat kepalanya agar ia dapat
bergantung di tengkuk saya; sementara dukun beranak duduk di dekat pinggulnya.
Proses melahirkan janin yang telah mati dalam kandungan sungguh berat. Saya
terus membisikkan ke telinga Maria untuk memusatkan hati dan pikirannya kepada
Yesus, Tuhan dan Juruselamat.
Sungguh,
luar biasa! Maria tidak pernah mengerang! Maria tidak mendesah! Maria bergantung
di tengkuk saya dan terus melakukan kontraksi perutnya agar janin yang sudah
mati dapat keluar. Keadaan ini sangat sulit, dan menegangkan. Sekitar jam 12
tengah malam, tiba-tiba kaki kanan janin keluar. Dukun beranak kaget dan
beteriak: “aduh! Anak sudah mati dalam kandungan..!
Kaki kanan sudah keluar, tetapi sudah
biru lebam…!” Ibu-ibu tetangga yang hadir, kaget semuanya. Mereka berseru: “Ya, Tuhan Yesus.., tolong.., Tuhan..!”
Dukun beranak dan semua ibu yang hadir mengajak saya untuk berdoa, minta
pertolongan dan perlindungan Tuhan. Saya katakan kepada ibu-ibu yang telah
panik itu: “Ibu-ibu berdoa saja. Saya dan
istri saya selalu berdoa sepanjang waktu; dan sampai saat ini saya dan istri
saya sedang berdoa, dan sedang bergumul! Jadi, ibu-ibu berdoa saja sesuai tradisi
ibu-ibu. Saya tetap di sisi istri saya untuk memberi dukungan spirit kepadanya.”
Setelah itu, saya merundukkan kepala seraya mencium dahi Maria, sambil
berbisik ke telinganya: “Maria, tetap
arahkan pengharapanmu, pikiran dan hatimu kepada Yesus, Tuhan dan Juruselamat!
Jangan terpengaruh dengan keluhan, tangisan, dan kekhawatiran ibu-ibu yang sedang
berdoa dengan cara mereka”. Maria menjawab: “Iya. Yesus, Tuhan saya; Yesus Juruselamat saya..! Saya yakin, Tuhan Yesus
tidak tinggalkan saya…!”
Beberapa
saat kemudian, kaki kiri janin keluar. Suasana semakin mencekam. Ibu-ibu terus
menyeru-nyerukan nama Tuhan Yesus. Kira-kira satu jam kemudian, tangan kanan
janin keluar; dan setelah itu, hampir satu jam kemudian, tangan kiri janin
keluar. Tinggal kepala janin saja yang belum keluar. Dukun beranak dan ibu-ibu
pada malam itu sangat panik. Tetapi Maria memperoleh kekuatan dari ALLAH dan Tuhan Yesus. Maria tidak
merasa khawatir. Dan sepanjang proses
keluarnya janin yang sudah mati dalam kandungan itu begitu rumit, Maria sama
sekali tidak pernah mengerang. Waktu terus berlalu, dan ketika menjelang fajar
merekah di ufuk timur, kepala janin pun keluar. Dukun beranak berteriak: “Puji Tuhan…! Puji Tuhan….! Ooo…, Tuhan
Yesus. Bayi sudah keluar.., bayi sudah keluar. Sekalipun mati.., tetapi Ibu
Maria selamat…! Ibu-ibu yang lain pun bergegas masuk ke kamar. Mereka
mencium Maria, seraya memuji dan memuliakan
nama Tuhan Yesus…. Cut!
Itulah
realitas faktual yang saya dan istri saya alami. Pertanyaannya: Apakah realitas faktual yang dikisahkan di
atas ini bukan sebuah mukjizat? Bukan sebuah miracle? Apakah ALLAH dengan
perantaraan Yesus Kristus, dan Roh Kudus yang kami imani, tidak present dan
berperan dalam realitas faktual yang dikisahkan di atas? Hanya orang yang menyetarakan dirinya dengan
kecoa, kera-kera besar simpanse, dan bonobo, yang akan mengatakan bahwa ALLAH, Yesus Kristus, dan Roh Kudus tidak present dalam realitas faktual
sebagaimana dikisahkan di atas.
Ketiga,
pada
tahun 2001 saya mengalami suatu pengalaman
spiritual unik, yang berlangsung mulai tanggal 1 Februari sampai dengan tanggal 2
Desember 2001. Tanggal 1 Februari adalah tanggal dan bulan kelahiran istri
saya, Maria, sekaligus tanggal dan bulan pernikahan saya dan Maria. Pada 1
Februari 2001 Maria genap berusia 59 tahun, karena ia lahir pada 1 Februari
1942; dan pernikahan saya dan Maria
genap berusia 32 tahun, karena saya dan Maria menikah pada 1 Februari 1969
ketika Maria genap berusia 27 tahun.
Setelah
selesai acara sederhana berkenaan dengan hari ulang tahun Maria dan hari ulang
tahun pernikahan saya dan Maria pada tanggal 1 Februari 2001 malam, ketika para
kenalan sudah kembali ke rumah mereka masing-masing, dan anak-anak termasuk
Maria juga telah tidur, saya berkontemplasi seorang diri dalam bilik kerja saya.
Sebagai seorang yang memiliki bakat mengarang, saya selalu memanfatkan
momen-momen khusus untuk melakukan kontemplasi dan refleksi. Dan pada tanggal 1
Februari 2001 malam menjelang jam 12.00 tengah malam, saya membaca dan
merenungkan kembali syair Tahlil 76:3 yang menjadi syair lagu tema kehidupan
saya, yang telah saya abadikan dalam buku pertama, Kristen
dalam Sastra Indonesia (BPK GM Jakarta 1977). “Kuminta pakai aku – sehingga ajalku; Di dalam pekerjaan – yang akan
hormat-Mu; Di mazbah kutertaruh – imam dan Penebus; Kunanti akan dikau – dan
api yang kudus” Demikianlah syair
lagu tema kehidupan saya.
Setelah
itu, saya memegang Alkitab dan berdoa: “Ya
ALLAH dalam Yesus Tuhan dan Juruselamat. Tunjukkanlah kepada hamba-Mu pedoman
hidup dari Alkitab yang hamba pegang ini, agar setiap langkah hidup yang hamba
ayunkan ke depan, sesuai bakat dan talenta yang Engkau berikan kepada hamba-Mu
ini, dapat menjadi berkat bagi banyak orang, dan menjadi puji-pujian bagi
kemuliaan nama-Mu. Amin.” Begitu kata “Amin” diucapkan, saya langsung
membuka Alkitab, dan bagian Alkitab yang terbuka untuk saya baca yaitu halaman
640 – 641 yang berisi ayat-ayat kitab Mazmur 89:17 – 53 dan Mazmur 90:1 – 16 (menurut
ALKITAB dengan KIDUNG JEMAAT. LAI Jakarta 2000). Dan dari keseluruhan bacaan
tersebut, bacaan yang menjadi pedoman bagi saya tercantum dalam Mazmur 90:10-12:
“Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan
jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan
penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap. Siapakah
yang mengenal kekuatan murka-Mu dan takut kepada gemas-Mu? Ajarlah kami
menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang
bijaksana.” Ayat-ayat ini sesuai
dengan tema doa saya, apalagi pada tanggal 9 Oktober 2001 saya akan genap
berusia 60 tahun. Realitas faktual itulah yang menggugah saya berbicara lantang
pada malam itu: “Ya, ALLAH, Jikalau
Engkau berkenan, pada 9 Oktober 2001 hamba-Mu ini akan genap berusia 60 tahun, maka
tonggak usia 70 tahun yang dipatokkan oleh pemazmur, hamba sifatkan hanya sebagai
sepuluh langkah ke depan. Karena itu, ya ALLAH: Kuminta pakai aku – sehingga
ajalku; di dalam pekerjaan – yang akan hormat-Mu;
di mazbah kutertaruh – imam dan Penebus; kunanti akan dikau – dan api yang
kudus”. Setelah berbicara seorang diri demikian, saya merasakan ada suatu daya
yang bergetar dalam kalbu; setelah itu terkantuk sehingga saya pergi tidur, dan
ketika tenggelam dalam kelelapan tidur, saya bermimpi: …. “ada suara memanggil nama saya seraya berkata: Almodat Godlief
Hadzarmawit Netti! Dari keterpencilanmu di kerendahan, Aku berkenan mengangkat
engkau ke ketinggian, melebihi mereka yang berpendidikan tinggi.”
Pengalaman
spiritual pertama
Mulai bulan Maret 2001, suara yang menuntun saya melarang saya untuk
tidur sekamar dengan istri saya, Maria. Saya harus tidur di kamar terpisah,
tidak boleh tidur di ranjang beralas kasur, tetapi harus tidur di lantai beralas
koran. Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?
Setiap malam saya disuguhi tontonan adegan-adegan dosa masa lalu yang
saya lakukan. Layaknya seperti menonton film serial di televisi. Dan setiap
selesai menonton satu adegan dosa, tangan kanan saya serta-merta seperti palu menghantam
sekuat-kuatnya bagian tubuh yang terkait dengan dosa yang dilakukan. Dosa yang
berhubungan dengan mata, maka mata yang dihantam tanpa ampun; dosa yang
berhubungan dengan pikiran, maka kepala yang dihantam habis-habisan; dosa yang
berhubungan dengan kaki dan/atau tangan, maka organ kaki dan/atau tangan yang
dihantam sampai kapok; dosa yang menyangkut mulut dan hidung, maka mulut dan
hidung yang dilabrak sampai minta ampun, dan seterusnya, dan seterusnya.
Dan
adegan sebagaimana dikisahkan di atas ini berlangsung terus setiap malam sampai
bulan Mei 2001. Selama itu, saya mengalami pukulan terus-menerus dari tangan
kanan saya sendiri. Saya benar-benar tidak berdaya untuk mengelakkan diri dari
pukulan-pukulan keras yang dilakukan oleh tangan kanan saya sendiri! Ketika
saya mengerang kesakitan akibat pukulan-pukulan yang tak tertahankan, suara yang menuntun saya berkata: “Jikalau tanganmu, atau kakimu, atau
hidungmu, atau mulutmu, atau kepalamu, atau auratmu menyesatkan engkau, penggallah
dan buanglah semuanya, karena lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup tanpa
semua organ yang menyesatkan engkau itu! Atau, maukah engkau masuk ke dalam api
kekal dengan semua organ tubuh yang menyesatkan engkau itu?” Realitas
faktual dan pengalaman spiritual yang saya saksikan di atas ini ternyata
menunjuk kepada kesaksian yang tercatat dalam Matius 5:28-30; 18:8,9. Sudah tentu pemahaman
atas ayat-ayat ini bukan secara harafiah melainkan harus dipahami secara
metafora dalam arti luas. Akan tetapi mengenai suara yang menuntun saya
itu, saya yakin itu adalah Roh yang berperan melalui suneidēsis [conscience
= suara hati].
Pengalaman
spiritual kedua
Setelah melewati pengalaman
spiritual pertama sebagaimana dikisahkan di atas, suara yang menuntun saya
menyuruh saya untuk mengucapkan “nous” sebanyak tiga kali: “nous,
nous, nous”. Pada mulanya saya tidak tahu sama sekali apa arti “nous”,
atau apa yang dimaksudkan “nous”. Setelah beberapa hari kemudian barulah suara
yang menuntun saya memberitahukan bahwa “nous” itu adalah “daya
batin untuk mengetahui atau mengerti sesuatu tanpa berpikir atau belajar”. Setiap
hari saya dianjurkan untuk mengucapkan “nous”. Itu terjadi dalam bulan Juni
2001. Dan pada waktu itu pula saya diberi kemampuan untuk menyembuhkan orang sakit dari
jarak jauh. Anehnya, pada waktu itu, antara bulan Juni sampai September
2001, banyak orang yang datang untuk berkonsultasi dengan saya tentang penyakit
dan penyembuhan penyakit. Apabila ada orang yang hendak datang berkonsultasi, suara
yang menuntun saya selalu memberitahukan terlebih dahulu identitas
orang-orang yang hendak datang berkonsultasi itu, dan kapan mereka akan datang.
Pada suatu malam, sekitar jam 21.00
waktu setempat, telepon rumah saya berdering. Saya angkat telepon dan menyapa
si penelepon. Ternyata, yang menelepon itu seorang guru SMP di kota Kupang. “Bapa, saya sakit bapa. Saya minta tolong
bapa doakan saya. Sudah dua minggu saya opname di RSU Kupang tapi tidak sembuh.
Saya disarankan untuk rujuk ke RSU di Surabaya, tetapi biaya tidak cukup. Jadi,
kini saya baring di rumah saja, sambil menjalani rawat jalan. Bapa, tolong
doakan saya, bapa.” “Nama Anda,
siapa, agar dapat saya sebut di dalam doa?” “Nama
saya Abubakar, bapa. Saya seorang muslim, bapa.” Lalu, suara yang menuntun saya
menyuruh saya untuk berbicara dengan Abubakar, begini: “Abubakar, apakah Anda
percaya juga kepada nabi Isa?” “Saya
percaya juga kepada nabi Isa, bapa.” Apakah Anda bisa sebutkan sedikit
tentang keistimewaan nabi Isa?” “Nabi Isa
dapat memberi makan banyak orang dengan makanan sedikit, bapa. Nabi Isa dapat
membuat burung dari tanah liat, dan setelah menghembuskan napas ke burung tanah
liat itu, burung itu hidup dan dapat terbang, bapa. Nabi Isa dapat menyembuhkan
orang sakit, dan dapat menghidupkan orang mati, bapa.” “Ya, cukup, Sdr. Abubakar. Cukup. Nabi Isa
itulah yang saya imani sebagai Yesus, Tuhan dan Juruselamat; dan dalam nama
Yesus, Tuhan dan Juruselamat itulah saya berdoa untuk memohon kesembuhan bagi
Anda, sekarang juga. Maukah Anda?” “Saya
mau, bapa. Saya bersedia menerima kesembuhan dari nabi Isa, yakni Yesus, Tuhan
dan Juruselamat, bapa.” Jikalau demikian, pasang telinga di telepon, dan
dengarkanlah doa saya dengan hati yang tulus.
Lalu,
suara
yang menuntun saya menyuruh saya berdoa begini: “Hai, Abubakar! dalam
nama Yesus, Tuhan dan Juruselamat, sembuhlah engkau sekarang ini juga!” Doa ini
saya ucapkan tiga kali, sesuai petunjuk suara yang menuntun saya; dan
setelah itu saya bertanya kepada Abubakar: “Sudah dengar, doa saya, Abubakar?” “Ia, saya sudah dengar, bapa.” “Kalau begitu, tutup telepon, dan perkembangan
sekitar beberapa menit ke depan, harap beritahukan kepada saya.” “Iya,
bapa”.
Selang
beberapa menit kemudian (tidak sampai lima menit), telepon rumah berdering
lagi. Saya angkat telepon, dan ternyata yang menelepon adalah Abubakar. “Selamat malam, bapa. Terima kasih banyak,
bapa. Saya sudah sembuh, bapa. Sekarang saya kepingin makan bubur kacang hijau,
jadi, istri saya sedang masak bubur kacang hijau, bapa.” “Puji Tuhan! Puji
Tuhan Yesus, Juruselamat!” “Iya, bapa.
Puji Tuhan! Terima kasih banyak bapa. Nanti esok, atau lusa, saya datang
bertemu bapa.” Berdasarkan realitas faktual yang saya kisahkan ini, maka
penyembuhan-penyembuhan yang dikisahkan dalam kitab Injil dan Kisah Para Rasul—baik
yang dilakukan oleh Yesus, maupun yang dilakukan oleh murid-murid Yesus, antara
lain Petrus dan Paulus—saya yakin, bukan kisah imajiner atau fiksi, melainkan
peristiwa nyata yang disaksikan dan/atau dikisahkan dalam Pekabaran Injil.
Pengalaman
spiritual ketiga
Masih
dalam tahun 2001, ada seorang oknum anggota Polri berpangkat Kapten yang
bertugas di Polda NTT Kupang, bersama istrinya yang berprofesi sebagai guru di
salah satu SMP di Kupang, datang bertemu saya yang beralamat di Jalan Kesekrom
No.1 Naikolan, Kupang. Keduanya adalah muslim yang taat. Oknum anggota Polri
itu mengalami suatu penyakit yang tidak berhasil disembuhkan oleh dokter,
walaupun ia telah opname di rumah sakit selama dua minggu. Setelah
berbincang-bincang beberapa saat, suara yang menuntun saya menyuruh
saya untuk berkata kepada oknum anggota Polri yang sakit itu dan juga kepada
istrinya, begini: “Bapak dan Ibu pulang
saja. Saya tidak memberikan obat apa pun kepada bapak. Hanya satu tanda
kesembuhan saja yang saya berikan. Sebentar malam, saya akan berdoa kepada Allah,
dalam nama Yesus, Tuhan dan Juruselamat, agar bapak memperoleh kesembuhan. Dan
inilah tanda yang akan bapak alami: sebentar, mulai jam 21.00 malam bapak akan
mengalami kantuk (rasa hendak tidur) yang luar biasa, sehingga bapak akan
tertidur sangat lelap. Dalam keadaan demikian, saya harap, ibu jangan
membangunkan bapak. Nanti kira-kira pada jam 03.00 dini hari, barulah bapak
akan bangun; dan begitu bapak bangun, penyakit yang bapak alami akan hilang! Bapak
akan merasa sehat dan merasa sangat lega dan bahagia. Bapak dan ibu jangan
buru-buru memberitahukan kesembuhan yang telah dialami itu kepada saya. Nanti
beberapa hari kemudian barulah bapak dan ibu boleh beritahukan kepada saya.”
Tiga
hari kemudian, suara yang menuntun saya menyuruh saya membuat sebuah sketsa di
selembar kertas HVS tentang seorang
laki-laki yang mengendarai sebuah sepeda motor, membonceng seorang perempuan,
dengan keterangan atau petunjuk sebagai berikut: “Sebentar, oknum polisi yang sudah sembuh itu berboncengan dengan
istrinya akan datang. Oknum polisi itu
berpakaian seragam (dinas) membonceng istrinya, yang mengenakan blus biru muda
dan rok berwarna biru tua. Istrinya membawa sebuah tas tangan berwarna hitam. Di
dalam tas terdapat sebuah amplop putih berisi selembar uang seratus ribu
rupiah. Uang itu akan keduanya berikan sebagai tanda terima kasih, karena
kesembuhan yang telah dialami oleh oknum polisi itu, sesuai benar dengan
pernyataan yang diberitahukan kepada mereka tiga hari yang lalu. Ingat, uang
itu jangan diterima! Katakan kepada mereka: uang itu dimasukkan saja ke kotak amal di Masjid mereka.”
Setelah
selesai membuat sketsa sebagaimana dijelaskan di atas, ada satu sepeda motor
berhenti di jalan raya depan rumah saya, dan ketika saya melongok melalui
jendela, terlihat seorang laki-laki
berpakaian seragam (dinas) kepolisian bersama seorang perempuan memakai blus
berwarna biru muda, rok berwarna biru tua, dan tangannya menjinjing sebuah tas
tangan berwarna hitam, telah turun dari
sepeda motor dan berjalan ke arah pintu depan rumah saya. Saya menyambut mereka
di depan pintu, saling bersalaman dan berjabat tangan, kemudian saya persilakan
kedua tamu saya itu duduk.
Setelah
berbincang-bincang sejenak, oknum polisi itu langsung mengemukakan maksud
kedatangannya bersama istrinya. “Bapa,
terima kasih banyak bapa. Saya sudah sembuh, seperti yang bapa katakan tiga
hari yang lalu di sini. Setelah makan malam, saya merasa sangat mengantuk
sehingga langsung tidur. Saya mengalami suasana tidur yang sangat lelap. Dan
ketika saya terbangun secara tiba-tiba, saya merasa sangat sejahtera, penyakit
yang saya alami hilang sama sekali, dan saya merasa sangat damai dan senang.
Saya langsung bangunkan istri saya dan menceritakan kesembuhan yang telah saya
alami itu.” Istri saya langsung melihat
jam dinding, dan berkata: papa, benar pa, seperti yang dikatakan oleh
bapa Netti yang menjanjikan bahwa kesembuhan akan papa alami menjelang jam tiga
dini hari. Sekarang sudah jam tiga dini hari lewat lima menit.” Selesai berkata
demikian, oknum polisi itu memandang istrinya seraya menganggukkan kepalanya
pelan-pelan, seakan-akan memberikan suatu isyarat kepada istrinya. Dan ketika
istrinya meraba tas tangan warna hitam yang diletakkan di atas pangkuannya,
saya langsung meminta permisi sebentar untuk masuk ke kamar.
Saya
keluar dari kamar dengan membawa selembar kertas HVS berwarna putih yang berisi
sketsa yang telah saya buat beberapa menit yang lalu sesuai petunjuk suara
yang menuntun saya. Kertas HVS yang berisi sketsa itu saya serahkan
kepada oknum polisi itu seraya memintanya untuk membaca apa-apa yang ada dalam
sketsa itu. Oknum polisi itu mengangguk-anggukkan kepalanya pelan-pelan dan
dari wajahnya terpancar perasaan keheranan yang luar biasa. Melihat wajah oknum
polisi yang mengekspresikan keheranan ketika membaca sketsa yang sedang
dipegangnya itu, saya bertanya kepadanya: “apakah semua yang terdapat dalam
steksa itu benar, pak?” “Ya, benar bapa.”
Kemudian saya bertanya kepada istri oknum polisi itu: “Apakah dalam tas
tangan berwarna hitam yang ibu pegang itu terdapat satu amplop berwarna putih?”
“Ya, benar bapa,” jawab si ibu.
“Apakah di dalam amplop putih itu ada selembar uang seratus ribu rupiah?” “Ya, benar bapa!” jawab si ibu. “Coba,
ibu ambil amplop putih itu, kemudian keluarkan isi amplop itu dan tunjukkan
kepada saya”. Si ibu segera membuka tas tangan yang dipegangnya itu seraya
mengeluarkan satu amplop putih, lalu membuka amplop itu dan mengeluarkan satu
lembar uang senilai seratus ribu rupiah. “Seperti yang tertera dalam sketsa,
uang itu mau diberikan kepada saya sebagai tanda terima kasih, karena
kesembuhan yang telah pak alami. Benarkah demikian?” “Ya, benar demikian, bapa!” begitulah jawab si ibu dan oknum polisi
serempak. Lalu saya katakan kepada oknum polisi yang sudah mengalami kesembuhan
itu: “Coba pak baca dua kalimat terakhir dalam sketsa yang pak sedang pegang
itu.” Dan oknum polisi itu membaca: “Ingat, uang itu jangan diterima! Katakan
kepada mereka: uang itu dimasukkan saja ke kotak amal di Masjid mereka!” “Dengan
demikian, saya mohon maaf kepada pak dan ibu: saya tidak dapat menerima tanda
terima kasih yang pak dan ibu berikan dalam wujud uang seratus ribu rupiah itu.
Bukan karena uang itu banyak atau sedikit, melainkan karena petunjuk yang saya
terima dari Tuhan untuk tidak boleh menerima uang itu. Karena pak dan ibu
adalah muslim sejati, maka tanda terima kasih atas kesembuhan yang telah pak
alami itu diserahkan saja ke kotak amal di Masjid di mana pak dan ibu
bersembahyang setiap Jumat. …”
Demikianlah
realitas faktual dan pengalaman spiritual yang saya alami. Kesembuhan yang
dialami oleh oknum polisi pada menjelang jam tiga dini hari karena dukungan doa
saya demi kesembuhannya itu dari jarak jauh, apakah itu bukan sebuah mukjizat
atau miracle yang ALLAH sendiri
lakukan dengan perantaraan Yesus, dan kuasa Roh Kudus? Apakah kesembuhan yang
dialami oleh oknum polisi itu bukan suatu marvelous?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar