Patut diakui bahwa kita kesulitan untuk memperoleh satu model dalam Alkitab menyangkut kemitraan laki-laki dan perempuan. Benar, para ahli Alkitab berkata-kata mengenai ketergantungan pada ruang dan waktu tertentu dari pernyataan-pernyataan (ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan) yang terdapat di dalam Alkitab seputar kemitraan laki-laki dan perempuan. Dan ada pula yang berpendapat bahwa terdapat kecenderungan androsentrisme (= laki-laki sentris) dan misoginis (= kebencian terhadap perempuan) baik di dalam Yudaisme maupun di dalam kekristenan, di mana bekas-bekas dari yang disebut terakhir masih kita jumpai di dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru (Yewangoe, 1993:8-9).
Namun demikian, hal tersebut tidak berarti bahwa kita tidak bisa memperoleh petunjuk menyangkut kemitraan laki-laki dan perempuan dalam kitab Perjanjian Lama. Kalau kita ibaratkan kemitraan laki-laki dan perempuan itu seumpama ‘benang’, maka sebelum kejatuhan ke dalam dosa ‘benang kemitraan’ itu belum kusut. Namun setelah kejatuhan ke dalam dosa, ‘benang kemitraan’ itu menjadi kusut. Dan kekusutan benang kemitraan laki-laki dan perempuan itu semakin membingungkan akibat pengaruh tradisi/adat, paham atau pengaruh sosio-budaya yang berlangsung dalam kurun waktu dan ruang tertentu, sebagaimana kentara pula dalam kesaksian kitab Perjanjian Lama.
Akan tetapi harus dicatat pula bahwa dalam kekusutan benang kemitraan laki-laki dan perempuan itu, dalam konteks tertentu, Allah Pencipta yang tidak pernah meninggalkan buah tangan-Nya tetap memelihara benang kemitraan yang ideal antara laki-laki dan perempuan sesuai rancangan-Nya dalam momen-momen sejarah perkembangan manusia. Dan ini pun dapat kita temukan beberapa petunjuk dalam kitab Perjanjian Lama, sekalipun tidak banyak contoh yang dapat dikemukakan. Berikut ini saya akan menyebutkan beberapa contoh saja.
Pertama, perempuan tetap merupakan mitra laki-laki dalam melanjutkan dan memperbanyak keturunan umat manusia di atas muka bumi (Kejadian 1:28). Dengan demikian, sekalipun lantaran kejatuhan manusia ke dalam dosa sehingga perempuan ditentukan untuk menanggung berbagai kesusahan/penderitaan pada waktu mengandung dan melahirkan, dan sekalipun lantaran berbagai pengaruh tradisi/adat, paham, dogma serta pengaruh sosio-budaya pada suatu ruang dan waktu tertentu menyebabkan status perempuan dipandang lebih rendah dari laki-laki, toh, perempuan tetap menjadi mitra laki-laki dalam hal melanjutkan keturunan umat manusia di atas muka bumi sesuai amanat Allah.
Kedua, perempuan tetap merupakan mitra laki-laki dalam tugas pemeliharaan anak dalam kehidupan rumah tangga atau keluarga. Dengan demikian, sekalipun lantaran kejatuhan manusia ke dalam dosa laki-laki ditentukan ‘berkuasa’ atas perempuan dalam ikatan perkawinan (Kejadian 3:16), toh, perempuan dan laki-laki di dalam status mereka selaku ibu dan ayah mempunyai tanggung jawab yang sama dan seimbang dalam soal pemeliharaan anak, teacakup di dalamnya soal pendidikan anak.
William Barclay mengatakan: “Kedudukan dan peranan ibu dalam sistem pendidikan orang tua terhadap anak di kalangan bangsa Yahudi, cocok dan sama dengan peranan ayah. Di dalam rumah tangga orang Yahudi, ayah dan ibu secara bersama-sama memiliki andil dan tanggung jawab dalam pendidikan anak. Dalam sepanjang waktu, pusat pendidikan anak adalah rumah, dan tanggung jawab pendidikan anak sering tidak dapat dihindari oleh para orang tua (ibu dan ayah), apabila mereka harus memenuhi hukum-hukum Tuhan” (Train Up A Child, Educational Ideals In The Ancient World. 1959:17). Apa yang dikatakan William Barclay ini dapat kita temukan petunjuk yang cukup jelas di dalam kitab Perjanjian Lama, teristimewa di dalam kitab Amsal. “Hai anakku, Dengarlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu” (Amsal 1:8). “Hai anakku, peliharalah perintah ayahmu, dan janganlah menyia-nyiakan ajaran ibumu” (Amsal 6:20). Juga Amsal 31, amsal-amsal untuk Lemuel yang diajarkan ibunya kepadanya.
Apakah peranan perempuan yang telah berumah tangga serta melahirkan, memelihara dan mendidik anak-anak sebagaimana diuraikan di atas ini, memberi petunjuk bahwa status perempuan yang telah berumah tangga itu tinggi dalam masyarakat Yahudi? Yewangoe (1993:9) mengatakan bahwa: “Secara umum barangkali dapat dikatakan bahwa wanita menurut pandangan Yahudi dan yang terefleksi dalam Alkitab adalah ibu rumah tangga. Wanita rumah tangga artinya seorang yang menikah dan mengasuh dan memelihara anak-anaknya. Status ini dilihat sebagai sesuatu yang tinggi di dalam masyarakat Yahudi. Karena itu, seorang wanita yang tidak menikah tidak mempunyai tempat. Demikian juga wanita yang tidak menikah tidak akan dihargai”.
Mungkin saja apa yang dikatakan oleh Yewangoe sebagaimana dikutip di atas ini benar. Namun saya lebih setuju dengan pernyataan M. Barot yang mengatakan bahwa: “The study of the history of the Jewish people gives us a rather confused concept of marriage, of the position of woman in society…” (Men And Women… In Asia, 1963:2); yang artinya: “Studi tentang sejarah kaum Yahudi memberikan kepada kita suatu konsep yang agak membingungkan tentang perkawinan, begitu pula tentang status perempuan dalam masyarakat…” Dan ini dapat dicermati dalam tinjauan di bawah ini.
Tradisi/adat perkawinan dan kerumahtanggaan bangsa Yahudi menetapkan laki-laki (suami) sebagai pendiri rumah tangga. Laki-laki (suami) adalah ba’al (pemilik dan tuan/penguasa). Eksistensi seorang perempuan dalam statusnya sebagai isteri menurut tradisi/adat perkawinan Yahudi, yang paling utama adalah sebagai insan seksual demi melahirkan anak-anak dalam rangka memperbanyak keluarga/keturunan suaminya. Di samping eksistensinya sebagai insan seksual, perempuan dalam statusnya sebagai isteri wajib membantu suaminya dalam penyelenggaraan rumah tangga. Perempuan (isteri) dituntut kesetiaan tunggalnya terhadap suami. Seorang isteri yang tidak setia terhadap suaminya dikenakan sanksi hukuman mati. Sedangkan suami diberi kebebasan untuk melakukan hubungan seksual dengan perempuan lain, sepanjang tidak melanggar hak kerumahtanggaan orang lain. Dari tradisi/adat perkawinan seperti inilah, poligami merupakan ciri perkawinan bangsa Yahudi (Alan Richardson, 1962:76-77; 138-139). Berdasarkan uraian ini, kita melihat ‘benang kemitraan’ laki-laki dan perempuan yang kusut dalam tradisi/adat perkawinan bangsa Yahudi akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa.
Kisah Abraham dan Abimelekh (Kejadian 20:1-18) secara jelas menunjukkan kepada kita betapa tradisi/adat perkawinan begitu kuat berpengaruh terhadap pengusutan benang kemitraan suami isteri antara Abraham dan Sara. Atas pertimbangan Abraham secara pribadi demi kepentingan dirinya di tanah asing, ia telah mengatakan tentang Sara (isterinya) sebagai saudara, sehingga Abimelekh menyuruh orang untuk mengambil Sara untuk dijadikan isteri (selir). Namun Allah bertindak dengan cara-Nya sendiri untuk meluruskan benang kemitraan suami isteri antara Abraham dan Sara.
Selanjutnya, tidak mutlak bahwa perempuan yang telah berumah tangga, melahirkan serta memelihara anak-anaknya memiliki status yang tinggi dalam masyarakat Yahudi. Dalam tradisi/adat perkawinan Yahudi, status isteri yang mandul pun dijunjung tinggi, sekalipun kemandulan dipandang sebagai suatu aib. Seorang isteri yang mandul bisa mendapatkan seorang hamba perempuan bagi suaminya demi memperoleh keturunan atau anak. Segala hak resmi atas anak dari hamba itu dipegang oleh sang isteri yang mandul, yang disebut permaisuri (Tafsiran Alkitab Masa Kini 1, [tahun penerbit ?], hlm. 105,119-120).
Contoh lain dapat kita lihat pada kisah Rut. Kelahiran seorang anak bagi Rut dikatakan secara langsung oleh berkat Tuhan. Tetapi orang yang diberi selamat adalah Naomi, karena ia tidak lagi terpencil, sebab telah mempunyai seorang anak yang akan melanjutkan nama Elimelekh. Anak yang baru lahir itu akan memberikan kepadanya suatu kesempatan untuk hidup lebih baik, dan merupakan penghiburan baginya pada hari tuanya. Sekalipun penghormatan diberikan juga kepada Rut, tetapi Naomilah yang menjadi pusat perhatian. Tetangga-tetangga perempuan mengatakan: kepada Naomi telah lahir seorang anak laki-laki (Rut 4:13-17).
Memang benar, di kalangan perempuan (sesama isteri) ada rasa kebanggaan tersendiri dalam hati perempuan (isteri) yang dapat melahirkan anak bagi suaminya, dan ada rasa cemburu/iri di hati seorang perempuan (isteri) yang mandul. Contoh yang jelas dapat kita lihat pada Rahel dan Lea, isteri Yakob (Kejadian 29:31;30:1-24). Kita dapat melihat pula pada sikap Hagar ketika ia tahu bahwa ia telah mengandung, lalu memandang rendah akan nyonyanya (Sarai); begitu pula sebaliknya perasaan dan sikap Sarai terhadap Hagar (Kejadian 16:4-6). Tetapi kepuasan/kebanggaan pribadi seperti itu bukan merupakan petunjuk bahwa perempuan yang berumah tangga, melahirkan anak dan memelihara anak yang dilahirkan itu memiliki status yang tinggi dalam masyarakat.
Selain itu, sulit juga untuk menyimpulkan bahwa perempuan yang tidak menikah tidak mempunyai tempat atau tidak dihargai dalam pandangan masyarakat Yahudi, sebagaimana dikatakan oleh Yewangoe. Dalam kitab Perjanjian Lama kita dapati petunjuk bahwa perempuan yang tidak kawin dan berlaku jalang dipandang rendah martabatnya dan dikecam. Perempuan-perempuan jalang harus dijauhi (Amsal 5,6,7); tetapi perempuan yang baik hati beroleh hormat (Amsal 11:16). Perempuan-perempuan yang tidak menikah dan/atau belum menikah, termasuk gadis-gadis yang menjaga kesucian hidup seksualnya, mereka dihormati dalam pandangan masyarakat Yahudi (baca antara lain Ulangan 22:13-30). Ester mendapat tempat di hati raja Ahasyweros oleh karena ia elok rupawan dan masih perawan (Ester 2).
Begitu pula dengan perempuan-perempuan yang telah bersuami. Status mereka di mata masyarakat ditentukan oleh budi pekerti mereka. Isteri yang cakap adalah mahkota suaminya, tetapi yang membuat malu adalah seperti penyakit yang membusukkan tulang suaminya (Amsal 12:4). Perempuan yang bijak mendirikan rumahnya, tetapi yang bodoh meruntuhkannya dengan tangannya sendiri (14:1). Isteri yang berakal budi adalah karunia Tuhan (19:14). Dan Amsal 31:10-31 adalah pujian untuk isteri yang cakap; sedangkan Amsal 21:9 dan 27:15 merupakan cemooh bagi perempuan atau isteri yang suka bertengkar dalam rumah tangga. Dan Amsal 7 menyindir/mengecam perempuan yang telah bersuami namun tidak setia terhadap suaminya dan main serong dengan pemuda-pemuda, ketika suaminya jauh dari rumah.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar