DALAM KERUNTUHAN DAN KEBANGUNAN
KETIKA memperingati Hari Ulang Tahun ke-65 Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia, 17 Agustus 2010, terlintas dalam imajinasi saya sebuah bayangan yang mencemaskan dan mengharukan. Ada dua bayangan yang beroposisi dan baku hantam. Bayangan yang satu berjubah keruntuhan dan bayangan yang satu lagi berjubah kebangunan.
Ketika kedua bayangan yang beroposisi itu tengah bertarung dengan nafsu binasa-membinasakan, tiba-tiba muncul dalam imajinasi/fantasi saya seorang teolog yang dikenal pula sebagai seorang penyair bernama Fridolin Ukur. Ia tidak mengenakan toga hitam, melainkan berjubah putih. Dalam keheningan suasana, ia membacakan sebuah sajak berjudul, “Dalam Keruntuhan Dan Kebangunan”. Dan pendengaran imajinatif saya menangkap keutuhan larik-larik sajak tersebut berbunyi sebagai berikut:
“Masihkah pemahaman hari ini/ berjalan seperti seabad lewat;/ Masihkah budi mampu mengerti/ mendung berkabung melingkar jagat?// Dalam keruntuhan dan kebangunan/ pelayaran panjang sejarah kemanusiaan/ Apakah yang lebih indah/ dari kesetiaan pemberian diri:/ tersembelih, terkapar, dikhianati kekasih!// Pada-Mu Tuhan, kami balik kembali/ ingin menghirup bersihnya udara perdamaian,/ rindu mengerti maksud-Mu kini/ di pertarungan yang tiada berkesudahan” (Belas Tercurah, 1980:19).
Sajak Fridolin Ukur sebagaimana dikutip di atas ini, sekali pun digubah pada tahun 1980, masih tetap aktual dengan situasi yang dialami bangsa Indonesia pada tahun 2000-an. Dinamika vibrasi perkembangan bangsa Indonesia sejak tahun 1998, ketika terjadi reformasi yang menggemparkan hingga tahun 2000-an, membayangkan kerawanan dan ketidakpastian. Kekuatan reformasi yang muncul sebagai panglima sejak Mei 1998 hingga tahun 2000-an, belum juga memberikan jaminan yang pasti dan memuaskan dalam peri kehidupan berbangsa dan bernegara, selain re-formasi yang membingungkan. Antara kurun waktu tahun 1998 hingga tahun 2000-an, bayang-bayang keruntuhan dan kebangunan saling berhantaman di semua bidang kehidupan: ideologi, politik, sosial-budaya, agama, dan pertahanan keamanan.
Pergolakan Aceh di ujung Sumatera, pergolakan Papua Merdeka di Irian Jaya, pergolakan bernuansa sara di Maluku dan Poso, kekacauan dan kebrutalan yang terjadi di berbagai tempat dan daerah, pada hakikatnya telah merupakan bayang-bayang keruntuhan yang mengancam kebangunan bangsa Indonesia hasil Proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam moment dan situasi seperti ini, alangkah baiknya kita (semua komponen bangsa) merenungkan secara intens nosi dan emosi yang tersirat dalam larik-larik sajak yang digubah oleh penyair Fridolin Ukur: “Masihkah pemahaman hari ini/ berjalan seperti seabad lewat;/ Masihkah budi mampu mengerti/ mendung berkabung melingkar jagat?// Dalam keruntuhan dan kebangunan/ pelayaran panjang sejarah kemanusiaan…/
Lewat larik-larik sajak yang dibangun dengan gaya interogasi ini penyair mau menggugah kesadaran kita—kesadaran yang meliputi pikiran/akal sehat dan keinsafan batin—kesadaran manusia yang berakal-budi: masihkah sekarang kita memiliki pemahaman seperti pada waktu lalu? Pemahaman tentang sangat pentingnya melestarikan semangat persatuan dan kesatuan bangsa? Pemahaman tentang pentingnya memupuk kerukunan hidup bagi bangsa Indonesia yang bhinneka dalam suku, ras, agama, dan golongan? Masihkah sekarang ini hati nurani kita hidup dan menggugah kita untuk prihatin terhadap ketidakpastian nestapa yang melingkar jagat raya negeri tercinta bernama Indonesia ini?
Rupanya nosi dan emosi inilah yang telah menjadi pergumulan penyair Fridolin Ukur pada tahun 1980. Nosi dan emosi ini rupanya begitu kuat merasuk imajinasi dan daya fantasi penyair, sehingga dalam keprihatinan yang mendalam akan nasib bangsa dan negeri tercinta ini penyair berkata lebih lanjut: “Dalam keruntuhan dan kebangunan/ pelayaran panjang sejarah kemanusiaan/ Apakah yang lebih indah/ dari kesetiaan pemberian diri:/ tersembelih, terkapar, dikhianati kekasih!” Dalam larik-larik sajak ini, dengan visi yang tajam, penyair melihat dan menggambar-bayangkan pelayaran panjang sejarah kemanusiaan bangsa ini dalam keruntuhan dan kebangunan, sehingga ia meluapkan nosi dan emosi keprihatinannya sekali lagi dalam gaya interogasi: “Apakah yang lebih indah/ dari kesetiaan pemberian diri.”
Terhadap interogasi ini penyair tidak memberikan jawaban yang menyejukkan dan menenangkan hati, melainkan penyair memberikan jawaban antitesis yang nadanya sangat memilukan: “tersembelih, terkapar, dikhianati kekasih!” Jawaban ini penyair ungkapkan dalam gaya eksklamasi untuk mengaksentuasikan nosio dan emosi imajinatif yang kuat, yang dihayati penyair sebagai sangat memprihatinkan. Sebab, kesetiaan pemberian diri seyogyanya membuahkan sikap saling berterima berlandaskan kasih; kasih yang mendamaikan dan mempersatukan. Namun yang terjadi ternyata sebaliknya. Kesetiaan pemberian diri sebagai wujud bakti yang lebih indah demi persatuan dan perdamaian membuahkan ketragisan: “tersembelih, terkapar, dikhianati kekasih!”
Ketika membayangkan ketragisan pelayaran panjang sejarah kemanusiaan bangsa dan negeri tercinta ini dalam keruntuhan dan kebangunan, penyair, sebagai seorang yang setia bersandar kepada Tuhan yang diimaninya, sujud seraya mempersembahkan pergumulan dan pengharapannya: “Pada-Mu Tuhan, kami balik kembali/ ingin menghirup bersihnya udara perdamaian,/ rindu mengerti maksud-Mu kini/ di pertarungan yang tiada berkesudahan.”
Ya, demikianlah doa dan pengharapan penyair. Doa dan pengharapan yang singkat, namun bernas. Doa ini telah penyair ucapkan pada tahun 1980, ketika bangsa dan negeri tercinta ini belum mengalami goncangan yang memilukan. Di tahun 2010 ini, bahkan belasan dan puluhan tahun yang akan datang, doa dan pengharapan penyair Fridolin Ukur akan tetap aktual dan relevan bagi kita sebagai anak-anak bangsa, yang sedang dan terus melakukan pelayaran panjang sejarah kemanusiaan.
Kini, ketika kita memperingati Hari Ulang Tahun ke-65 Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia, kita sedang bergelut dalam bayang-bayang keruntuhan dan kebangunan. Kini, ketika kita memperingati Hari Ulang Tahun ke-65 Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia, kita sedang mencemaskan sejarah kemanusiaan bangsa tercinta ini yang mulai tercabik-cabik. Dalam situasi seperti ini, doa dan pengharapan penyair Fridolin Ukur seyogyanya menjadi doa dan pengharapan kita bersama: doa dan pengharapan seluruh anak bangsa yang bhinneka.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar