(Perjanjian Baru Versi GMIT)
Catatan pendahuluan
HARI Jumat, 7 September 2007, merupakan hari yang bersejarah buat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Mengapa? Sebab pada sore hari itu, bertempat di Gedung Olah Raga (GOR) Flobamor-Kupang, GMIT mengadakan acara peluncuran Perjanjian Baru versi GMIT yang diberi judul, JANJI BARU, yaitu sebuah Perjanjian Baru yang diterjemahkan ke dalam “bahasa Kupang”. JANJI BARU ini adalah hasil karya dari sepuluh penerjemah (baik laki-laki maupun perempuan) yang dibantu oleh konsultan yang terdiri dari empat orang pakar yang diakui oleh para lembaga penerjemahan Alkitab, yang datang dari luar dan memeriksa hasil kerja tim penerjemah. Selain itu, dilibatkan pula 242 penutur “bahasa Kupang” (kaum awan) dari berbagai latar belakang suku, yang diminta membantu ujicoba susunan “bahasa Kupang” agar meyakinkan bahasa yang jelas dan wajar (Baca, “Kata Pengantar Janji Baru”, viii). Memperhatikan pertanggungjawaban hasil karya seperti ini, sepatutnya Kitab Perjanjian Baru versi GMIT yang diberi judul, JANJI BARU itu harus dikatakan, sekurang-kurangnya “memuaskan” , jikalau tidak mencapai standar “sangat memuaskan” , atau “terpuji”, bukan sebatas bahasanya semata-mata, melainkan—dan ini yang paling utama—“mempertahankan kebenaran, khidmat, dan kekudusan amanat Injil Yesus Kristus yang hendak diwartakan melalui wahana “bahasa Kupang”.
Namun sangat disayangkan, apa yang dikatakan di atas ini tidak dipenuhi dalam JANJI BARU, yang konon dikerjakan (tahap penerjemahannya) selama delapan tahun, suatu jangka waktu yang lebih dari cukup untuk menghasilkan “Yang terbaik dari buah bungaran hasil tanah, yang harus dipersembahkan kepada TUHAN” (Keluaran 23:19), ketika tinggal menghitung beberapa hari lagi GMIT akan genap berusia 60 tahun pada 31 Oktober 2007. Dan inilah yang mendorong saya untuk membuat tulisan ini, sebagai suatu marginalia (= catatan pinggir), yang nadanya bukan sekadar sebuah kritik asal kritik, melainkan kritik dalam arti mengemukakan pertimbangan baik dan buruk sesuatu hasil karya dengan memberikan alasan-alasan mengenai “bentuk” dan “isi” hasil karya yang dikritik. Dengan demikian, marginalia ini merupakan sebuah penilaian atas kenyataan yang dihadapi—yaitu kehadiran sebuah “Injil baru” yang disebut JANJI BARU—dalam “sorotan norma”, yang meliputi norma “bahasa” dan norma “isi Injil Yesus Kristus” yang diparafrasekan dalam “bahasa Kupang”, yang dijadikan sebagai wahana pemberitaan isi Injil Yesus Kristus.
Bahasa Kupang?
Dalam JANJI BARU halaman (ix), di bawah judul, “Dari Pandangan Sejarah Dan Proses Kreolisasi (Sosiolingguistik)” , Tim Penerjemah menjelaskan sebagai berikut: “Secara ilmiah, bahasa Kupang bersifat suatu bahasa kreol. Yakni, bahasa Kupang dihasilkan melalui proses kreolisasi, dan bukan dialek dari bahasa Indonesia, bukan bahasa Indonesia yang ‘rusak’, dan bukan ‘slang’.” Selanjutnya, pada halaman x, dikatakan bahwa “Proses yang menetapkan bahasa Kupang sebagai bahasa kreol adalah kelahiran anak-anak di Kupang dan sekitarnya yang pakai bahasa Kupang sebagai bahasa ibu, atau bahasa pertama mereka…”
Penjelasan tentang “bahasa Kupang” bersifat suatu “bahasa kreol” dan “kreolisasi” sebagaimana dikutip di atas ini tidak memadai, kabur, bahkan rancu, sehingga jemaat tidak terbantu sama sekali untuk mengetahui apa itu kreol, dan bahasa kreol. Jemaat terpelajar tingkat sarjana mungkin tahu apa itu kreol, bahasa kreol, dan mengapa bahasa Kupang bersifat suatu bahasa kreol. Seandainya ada yang belum tahu, mereka mudah memperoleh informasi melalui sumber pustaka. Tetapi jemaat di pedesaan yang latar belakang pendidikannya hanya sebatas SD dan SMP niscaya tidak tahu. Celakanya, apabila pendeta dan penatua juga tidak tahu apa itu kreol dan bahasa kreol, bagaimana mereka dapat memberikan penjelasan kepada jemaat yang bertanya kepada mereka? Tentu mereka hanya akan berkata: “Itu, tu…, seperti yang dijelaskan oleh Tim Penerjemah dalam JANJI BARU , halaman ix dan x”.
Sebelum berbicara tentang kreol dan bahasa kreol baiklah kita tinjau secara singkat latar belakang perkembangan bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa Indonesia. Sejak masa dahulu kala bangsa Indonesia yang terjadi dari pada pelbagai suku bangsa ini, masing-masing dengan bahasanya sendiri-sendiri, sudah mempunyai sebuah “bahasa persatuan”, yang bernama bahasa Melayu. Bahasa Melayu yang dipakai pada waktu itu bukan “bahasa Melayu-tinggi” yaitu bahasa Melayu yang teratur menurut tatabahasa yang baik dan benar, melainkan bahasa Melayu yang dipakai bertutur kata sehari-hari, bahasa pergaulan di pasar dan di pelabuhan, yang dikenal dengan sebutan “bahasa Melayu-rendah”. Mengenai bahasa Melayu-rendah ini orang mengatakan: bahasa sembarangan, yaitu asal orang mengerti akan sesamanya yang menjadi teman bicara saja. Jadi, bahasa Melayu-rendah merupakan bahasa percakapan yang tidak menurut kaidah tata bahasa yang baik dan benar. Wujudnya, tergantung pada orang yang memakainya di tiap-tiap daerah. Bentuk kalimat dan pengucapan kata-kata dapat berlainan, sesuai dengan bentuk kalimat, pengucapan kata-kata bahasa daerah, dan juga cara berpikir setiap orang, yang diterapkan ke dalam pemakaian bahasa Melayu-rendah yang telah berkembang di masing-masing daerah.
Bahasa Melayu-rendah inilah yang menjadi bahasa perhubungan, suatu lingua franca, yang disebut “Melayu-Pasar”, dalam perniagaan yang berkembang di pantai-pantai kepulauan antara Sabang sampai Merauke, di mana Kupang selalu disinggahi para pedagang yang melakukan barter cendana, lilin, pembelian budak, dan kuda. Teristimewa ketika mulai tahun 1642 sampai tahun 1653 dan tahun 1657 Belanda memperkuat dan memperbesar jumlah Schutterij (semacam pertahanan sipil kota) di Kupang, maka bahasa Melayu-rendah mulai berkembang sebagai bahasa komunikasi di kalangan anggota Schutterij dan penduduk lainnya yang bukan pribumi di Kupang. Apa lagi antara tahun 1670—1688 sudah ada pendeta Belanda yang bekerja tetap di Kupang, dan pada tahun 1701 sudah ada sekolah di kota Kupang di mana guru-guru dari Ambon pun didatangkan di Kupang, niscaya bahasa Melayu menjadi bahasa pendidikan dan pemberitaan Injil bagi mereka yang bukan orang Belanda dan orang Eropa. Inilah judul beberapa buku pelajaran dalam bahasa Melayu, yang dipakai di sekolah-sekolah yang ada di Kupang dan Rote: (1) Sawatoe kitab pangadjâran ‘âkan ilmoe ‘adab ‘âtaw pangadjâran ‘âkan ‘agama alam dan kalakoewan goena segala madras. ‘Awleh S.E. Wieling, 1844. (2) Bârang hhikâjat ‘elkitab dengan pangadjâran kitjil âkan membatja bagi ‘anakh. ‘Awleh H. Kremer, 1845. (3) ‘Akan kasukaan besar kârana peranakhan moechalis, tersâlin dari pada bahâsa Wolandawij ‘awleh G. Heijmering. Timor Kûpang 1840. (4) Pengenâlan ‘âkan ‘elchalakh dari pada pengenâlan thabiet bagi ‘awrang moeda ‘âkan ‘asâs segala pengadjâran ‘agâma. ‘Awleh J.A. Uilkens, 1841. (5) Sûrat ilmoe hhikmet, jang soedah terkârang ‘âkan pergunâkan dàn kasoekâ’an bagi ‘awrang mesêhhij jang toewah dàn mûda ‘âkan kamoelija’an ‘Allah. ‘Awleh J.A. Uilkens, Timor Koepang, 1841.
Dapat di tambahkan bahwa ketika Belanda menduduki Kupang, penduduk kota di bagi atas tiga golongan, yaitu (1) Compagnies personeel sebagai penduduk kelas I. Mereka adalah pegawai-pegawai Kompeni yang umumnya adalah orang-orang Eropa; (2) golongan borgeren atau burgers. Umumnya mereka adalah pedagang-pedagang atau kaum usahawan yang berasal dari orang-orang Asia-bukan Indonesia, dan orang-orang Eropa; (3) golongan Mardijkers ende slaven, yaitu golongan orang-orang merdeka dan budak-budak. Mardijkers adalah orang-orang yang dimerdekakan dari perbudakan dan dipakai untuk kepentingan politik, ekonomi, sosial, dan keamanan kolonial Belanda di Kupang. Mereka terutama didatangkan dari Solor, Sabu, Rote, dan daerah-daerah lain dari Jawa, Sumatera, Ambon, Banda, dan lain-lain. Pada masa inilah terjadi pijinisasi dan kreolisasi bahasa Melayu-Indonesia di kalangan pemakai bahasa Melayu-rendah di kota Kupang.
Berdasarkan latar belakang pemakaian bahasa Melayu-rendah seperti itulah maka bahasa “Melayu-tinggi” terlebih-lebih bahasa “Melayu-rendah” sudah berkembang di Kupang, selain terkenal dan berkembang hampir di seluruh Nusantara, sehingga muncul bermacam-macam ragam bahasa Melayu-rendah yang dituturkan oleh orang-orang daerah, misalnya: dialek Melayu-Betawi, dialek Melayu-Sunda, dialek Melayu-Jawa, dialek Melayu-Kalimantan, dialek Melayu-Makassar, dialek Melayu-Manado, dialek Melayu-Maluku atau dialek Melayu-Ambon, dialek Melayu-Solor, dialek Melayu-Rote, dan lain-lain. Khususnya dialek Melayu-Rote, perkembangannya sangat pesat sejak tahun 1740-an, ketika atas peranan raja Thie bernama FoE Mboura berinisiatif mendatangkan guru untuk mendirikan sekolah di Rote, kegiatan agama dan pendidikan mulai bertumbuh pesat. (Catatan: Tentang perkembangan bahasa Melayu di Nusantara, baca: N. St. Iskandar. “Pemakaian Bahasa Indonesia”. Medan Bahasa No.5 Tahun 1952:3-4; Mardjana. “Bahasa Indonesia”. Medan Bahasa No.4 Tahun 1951:3; Mardjana. “Fungsi bahasa Indonesia dan bahasa daerah”. Medan Bahasa No.3 Tahun 1951).
Lalu, apakah itu kreol dan bahasa kreol? Kata kreol (Inggris, creole; Prancis, créole; Spanyol, criollo), pada mulanya ditujukan semata-mata bagi penduduk daerah jajahan Spanyol, Prancis, dan Portugal pada masa lalu di Amerika, Afrika, dan Hindia Timur, yaitu bagi penduduk yang murni keturunan Eropa, atau penduduk keturunan berkulit hitam tetapi bukan penduduk pribumi. Creole juga ditujukan kepada penduduk asli keturunan Prancis, atau Spanyol di Louisiana (Amerika Serikat); orang-orang asing yang memiliki logat/dialek tersendiri namun telah menjadi penduduk negara jajahan (Prancis, Spanyol, dll.); dan keturunan orang-orang Nergo yang lahir di Amerika (Chambers Twentieth Century Dictionary 1972:305; The New Lexicon Webster International Dictionary Vol.1 1971:238).
Selanjutnya, apakah itu bahasa kreol? Menurut Chambers Twentieth Century Dictionary dan The New Lexicon Webster International Dictionary, bahasa kreol ( = creolized language, atau creole dialect) ialah suatu “ragam bahasa yang merupakan ragam bahasa campuran dari dua bahasa, yang sudah berkembang dan menjadi ragam bahasa yang diterima atau dipergunakan oleh masyarakat suatu daerah atau wilayah”. Bahasa kreol atau dialek kreol pada mulanya disebut bahasa pijin, yaitu “paduan atau gabungan bahasa yang dikembangkan demi kepentingan komunikasi di antara pembicara-pembicara yang berbeda bahasa”. Pijinisasi ini menghasilkan atau mengakibatkan penyederhanaan kosa kata kedua bahasa, kombinasi pelafalan, dan penyimpangan tata bahasa. Berdasarkan pengertian ini, maka bahasa Kupang dapat digolongkan ke dalam jenis bahasa kreol atau dialek kreol, karena bahasa Kupang atau dialek Kupang merupakan campuran ragam bahasa dari dua bahasa yaitu bahasa Melayu-Indonesia, di mana anasir-anasir kedaerahan dan asing, cara berpikir dan cara mengungkapkan pikiran dari orang-orang yang memakai bahasa Melayu-Indonesia itu turut memberi corak yang khas.
Dengan demikian, bahasa Kupang atau dialek Kupang tergolong jenis kreol bahasa Melayu-Indonesia. Jenis kreol bahasa Melayu-Indonesia selain didapati di Kupang, juga didapati di Jakarta dan sekitarnya, di Manado, Ternate, Ambon, Banda, dan Larantuka (Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, 1988:2). Rupanya perlu juga diingat bahwa yang dimaksudkan dengan dialek itu ialah “ragam bahasa yang bervariasi menurut pemakai bahasa”. Atau lebih jelas lagi: “dialek ialah cara berbicara, cara mengutarakan pikiran, langgam suara atau corak khas; suatu bentuk bahasa umum yang berlaku di suatu daerah tertentu, yang ditandai oleh kekhasan kosa kata dan cara pengucapannya.” Inilah yang kita jumpai dalam “Injil baru” yang bernama JANJI BARU, yang diluncurkan oleh GMIT pada 7 September 2007.
Selanjutnya, menurut penjelasan Tim Penerjemah JANJI BARU, “Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang resmi, baru ditentukan pada abad ke-20 sebagai bahasa kesatuan bangsa. Bahasa Indonesia berdasar pada jenis bahasa Melayu yang dipakai oleh penutur asli dalam bidang pemerintahan dan sastra di sekitar keraton-keraton Riau dan Johore pada abad-abad lalu.” Pernyataan ini perlu diluruskan: “Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang dicita-citakan oleh para pemuda pada zaman pergerakan kemerdekaan yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan Negara Indonesia, secara resmi dicetuskan atau diikrarkan pada abad ke-20, tepatnya, pada tanggal 28 Oktober 1928, dalam Kongres Pemuda di Jakarta. Akan tetapi itu barulah sebutan saja. Itu barulah cetusan cita-cita perjuangan saja. Sebab bahasa itu sendiri, baik kata-katanya maupun susunan kalimatnya yang dipakai pada zaman pergerakan kemerdekaan sampai dengan proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, tetap sebagaimana pada bahasa Melayu juga, yang sudah dipakai di nusantara ini sejak beberapa abad yang lalu. Sebutan “bahasa Indonesia” sebagai bahasa nasional bagi bangsa Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, barulah secara resmi ditetapkan di dalam UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Dan untuk membangun, mengembangkan, membina dan memantapkan bahasa nasional yakni bahasa Indonesia yang berlatar belakang bahasa Melayu itu, maka pada tanggal 3 Maret 1948 BALAI BAHASA didirikan sebagai organisasi yang tergabung dalam Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Organisasi ini kemudian berubah nama menjadi LEMBAGA BAHASA NASIONAL, dan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, diubah namanya menjadi PUSAT PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA pada tanggal 1 Februari 1975.
Bahasa Indonesia memiliki dua kedudukan, yaitu (1) sebagai bahasa nasional dan (2) sebagai bahasa negara. Sebagai bahasa nasional bahasa Indonesia memiliki empat fungsi, yaitu (1) sebagai lambang kebanggaan nasional, (2) sebagai lambang identitas nasional, (3) sebagai alat pemersatu berbagai-bagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial budaya dan bahasanya, dan (4) sebagai alat perhubungan antarbudaya dan antardaerah. Dalam kedudukannya sebagai bahasa negara bahasa Indonesia memiliki empat fungsi pula, yaitu (1) sebagai bahasa resmi negara, (2) sebagai bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan, (3) sebagai bahasa resmi di dalam perhubungan tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan, dan (4) sebagai bahasa resmi di dalam pembangunan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi moderen (Amran Halim [ed.] Politik Bahasa Nasional 2. 1976:145).
Sesuai dengan fungsi bahasa Indonesia di dalam kedudukannya sebagai alat pemersatu berbagai-bagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial budaya dan bahasanya sebagaimana disebutkan di atas, tidak mengherankan bila bahasa Indonesia memiliki berbagai ragam bahasa. Berdasarkan tempat atau daerahnya, bahasa Indonesia terdiri atas berbagai dialek. Sebelum bahasa Melayu ditetapkan secara resmi menjadi bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia, dialek-dialek itu disebut dialek Melayu-Betawi, dialek Melayu-Jawa, dialek Melayu-Makassar, dialek Melayu-Maluku, dialek Medan, dialek Bali, dan lain-lain. Setelah bahasa Indonesia ditetapkan menjadi bahasa nasional dan bahasa negara, maka sebutan ‘Melayu’ dengan sendirinya niscaya dihilangkan, sehingga dialek Melayu-Betawi menjadi dialek Betawi, serta dialek Melayu-Jawa menjadi dialek Jawa, dan seterusnya.
Demikian pula dengan jenis kreol bahasa Melayu-Indonesia yang didapati di Jakarta dan sekitarnya, di Manado, Ternate, Ambon, Banda, Larantuka, dan Kupang, semuanya disebut secara singkat : dialek Jakarta, dialek Manado, dialek Ternate, dialek Ambon, dialek Banda, dialek Larantuka, dan dialek Kupang. Dengan demikian pengingkaran bahwa “bahasa Kupang” bukan dialek dari bahasa Indonesia merupakan pengingkaran yang lahir dari sebuah proses berfantasi yang tidak berpijak pada kenyataan dan kembali ke kenyataan.
Cobalah kita perhatikan JANJI BARU dari halaman 1, Tuhan Yesus pung Carita Bae iko Mateos sampai halaman 908, Dunya Model Baru 22, Yohanis pung pasán tarahir, bukankah keseluruhan tutur yang merupakan suatu kesatuan pemberitaan Injil Yesus Kristus yang terdapat di dalam Kitab JANJI BARU itu merupakan kreol bahasa Melayu-Indonesia sebagaimana telah dijelaskan di atas? Bukankah kata-kata pung, carita, bae, iko, deng, dolu, tu, sang, pange, ame, kanal, manyao, sablá, parenta, abis, batarea dan lain-lain sebagainya yang memenuhi halaman-halaman JANJI BARU itu adalah dialek Kupang sebagai akibat pijinisasi atas kata-kata bahasa Melayu-Indonesia punya, cerita, baik, ikut, dengan, dahulu, itu, sama, panggil, ambil, menyahut, sebelah, perintah, habis, berteriak? Bukankah struktur kalimat yang memenuhi halaman-halaman JANJI BARU yang menyimpang dari kaidah tata bahasa Indonesia itu, adalah akibat dari pijinisasi, karena yang diutamakan adalah “asal bicara dan dapat dimengerti oleh lawan bicara yang memiliki dialek yang sama, di samping pengaruh cara berpikir dan cara mengungkapkan pikiran berdasarkan ragam bahasa daerah? ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar