MANUSIA dan waktu tak terpisahkan. Manusia berada dalam waktu, terkurung dalam waktu, namun serentak mengatasi waktu dan sadar akan waktu, sehingga manusia dapat bermenung tentang waktu. Itulah kelebihan manusia jika dibandingkan dengan binatang.
Pada umumnya manusia melakukan pembabakan waktu atas dua fase, yaitu waktu yang lalu dan waktu yang akan datang. Waktu yang lalu benar-benar telah berlalu, sedangkan waktu yang akan datang masih terbentang di muka. Karena itu sadar akan waktu berarti sadar akan waktu yang sudah lalu dan sadar akan waktu yang akan datang. Kedua fase waktu ini masuk ke dalam kesadaran manusia, karena manusia mempunyai prinsip yang mempersatukan waktu yang sudah lalu dan waktu yang akan datang dalam suatu perpaduan dalam momen yang disebut saat sekarang.
Demikianlah manusia, baik individu maupun komune, mengalami waktu dan merasakan apa itu waktu. Di tengah-tengah waktu yang terus berganti itulah, manusia sebagai ada yang meng-ada mengalami kesejatiannya sebagai kehausan akan bahagia, serentak kekhawatiran akan kehilangan bahagia. Itulah sebabnya dalam momen saat sekarang yang spesifik—misalnya pada saat peringatan hari ulang tahun kelahiran, perkawinan dan sebagainya, atau pada saat pergantian tahun—manusia sering mengalami kesayuan ketika melakukan refleksi, sekalipun kelihatannya ceria dan bahagia.
Penyair Fridolin Ukur sebagai seorang anak bangsa, juga sebagai seorang teolog Kristen Protestan yang peka terhadap pergumulan bangsanya, ketika terhanyut dalam refleksi pergantian tahun 1968/1969 pada beberapa puluh tahun yang lalu, menggubah sebuah sajak berjudul “Tahun berpacu lewat” yang larik-lariknya berbunyi sebagai berikut:
“Beberapa tahun berpacu lewat/ memenuhi perhitungan waktu/ dan kami berlomba berbuat sesuatu/ di tengah kemanusiaan sedang bergulat;/ lalu terasa kerdilnya diri/ dihadang persoalan sejuta rupa/ dalam jeram-jeram rumusan:/ kemiskinan/ pengangguran/ kebodohan/ krisis energi/ korupsi dan inflasi!// Betapa sering kebingungan tanpa ujung/ menutup pandang ke masa depan/ Tanya, hanya gema berjawab gaung/ hatipun risau mengaburi harapan.// Bergandengan tangan kami datang/ ingin menata kembali semangat yang baru/ dengan jiwa polos telanjang/ kami bawa hati kelabu penuh haru/ Bapa!/ Hanya pada-Mu/ kami bertanya, meminta dan berseru!” (“Belas Tercurah”, 1980:22).
Nosi dan emosi yang tersirat dalam sajak “Tahun berpacu lewat” sebagaimana dikutip di atas ini, sekalipun telah diekspresikan puluhan tahun yang lalu, tetap dinamis, kontekstual, dan tetap me-masa kini. Tanpa interpretasi berdasarkan paham apapun juga, nosi dan emosi dalam sajak ini sudah dapat dipahami secara eksplisit, dan ternyata relevan dengan persoalan yang menjadi pergumulan bangsa Indonesia sekarang ini, bahkan pada waktu-waktu yang akan datang sekalipun.
Bukankah tahun-tahun kehidupan terus berpacu lewat sesuai rotasi waktu, dan kita senantiasa bergerak dan berlomba memasuki hari-hari kehidupan yang terbentang di depan? Bukankah setiap anak bangsa Indonesia telah berlomba berbuat sesuatu di tengah-tengah kemanusiaan yang terus bergulat di republik ini, semenjak terjadi gerakan reformasi pada tahun 1998 hingga kini? Bukankah jeram-jeram rumusan kemiskinan, pengangguran, dan kebodohan, yang penyair sentil pada tahun 1968 tetap menjadi realitas yang belum juga dapat diatasi hingga saat ini, bahkan akan tetap menjadi pergumulan bangsa pada tahun-tahun mendatang sekalipun? Bukankah jeram-jeram rumusan krisis energi, korupsi, dan inflasi yang penyair kesahkan pada tahun 1968 tetap saja menjadi kesah anak bangsa ini yang sementara menggumuli kehidupan kini dan di sini, bahkan akan tetap menjadi kesah kita sebagai anak bangsa pada waktu-waktu yang akan datang sekalipun? Bukankah kebingungan tanpa ujung yang menutup pandangan ke masa depan yang dikeluhkan oleh penyair pada tahun 1968 tetap saja mencengkam jutaan anak bangsa pada hari ini, bahkan sangat mungkin tetap mencengkam generasi bangsa pada tahun-tahun yang akan datang sekalipun, akibat krisis energi/bahan bakar minyak; akibat ketersediaan lapangan pekerjaan yang sempit; akibat terus bertambah besarnya pengangguran dari tahun ke tahun; akibat dampak bencana alam yang berkesinambungan; dan akibat kehancuran serta kepunahan lingkungan hidup lantaran ulah manusia sendiri?
Rezim (sistem pemerintahan) yang dinilai korup di republik ini, yang dituding sebagai biang kerok krisis bangsa, telah ditumbangkan pada tahun 1998 melalui suatu gerakan reformasi yang dahsyat. Perbaikan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara mulai ditata dan dilaksanakan secara bertahap sejak tahun 1999 hingga kini. Namun, kemelut-kemelut yang melilit bangsa ini belum juga dapat diorak-lepaskan tali-temalinya. Berbagai krisis/kemelut yang melilit bangsa ini ternyata tidak berpacu lewat bersama rotasi waktu, melainkan tetap eksis dan terus berlanjut, menumpuk dan menggelembung. Dalam situasi seperti ini, apakah jawaban yang diberikan oleh para penguasa dan wakil rakyat atas setiap pertanyaan anak bangsa, yang mendambakan kelapangan jalan hidup dan kelegaan hati? Terhadap pertanyaan ini penyair Fridolin Ukur berkata: “tanya, hanya gema berjawab gaung/ hatipun risau mengaburi harapan” (larik ketiga dan keempat, bait kedua). Ya, tidak ada kepastian jawaban! Yang terdengar hanyalah “gema berjawab gaung”, yang mengakibatkan “hatipun risau mengaburi harapan”.
Dalam situasi seperti ini, saya teringat akan sebuah sajak karya penyair Hamid Jabbar berjudul “INDONESIAKU” yang digubah pada tahun 1978, yang beberapa larik-lariknya berbunyi sebagai berikut: “jalan berliku-liku/ tanah airku/ penuh rambu-rambu/ indonesiaku/ Sekujur tubuh di perjalanan, malam yang/ berdentang-dentang dan kau lihat aku puntang-panting memburumu dari tikungan ke tikungan./ (Barangkali berjuta pohon telah tumbang dalam/ pacuanmu. Barangkali berjuta mulut telah mengeringkan/ tanahmu o indonesiaku. Barangkali berjuta kemelut telah menguap-udarakan segala airmu pengap o indonesiaku. O siapakah yang telah tercerabut, sayangku: engkau tanah airku atau aku anak negerimu?)/ Tetapi aku sungguh merasa malu ketika kudengar/ engkau menyanyikan rasa tak berdaya anak negerimu/ diancam ledakan-ledakan berang akan purnama/ sepanjang malam. Dan engkau pun menangis ketika/ malu kita jadi malu semua: tertera dalam peta kita,/ luka-luka dan nyeri terbata-bata.// jalan berliku-liku/ tanah airku/ penuh rambu-rambu/ indonesiaku” (Manifestasi Puisi Indonesia-Belanda. Jakarta 1986:50,51; khusus larik ke-40—62).
Ya, “jalan berliku-liku/ tanah airku/ penuh rambu-rambu/ indonesiaku”. Inilah realitas jalan hidup bangsa Indonesia, semenjak kemerdekaan bangsa diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 hingga kini. Inilah realitas jalan hidup bangsa Indonesia dalam berbagai segi kehidupan: ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, pertahanan, dan keamanan nasional.
Marilah kita camkan sejenak makna yang tersirat di balik ungkapan “jalan berliku-liku/ tanah airku”. “Jalan” dalam larik sajak ini bukan berarti “way” dalam bahasa Inggris yang berarti “tempat untuk lalu lintas orang atau kendaraan darat” melainkan “manner” yang berarti “cara” atau “sikap”. “Berliku-liku”, bukan berarti “tortuous” dalam bahasa Inggris untuk menyatakan “jalan yang berliku-liku”, melainkan ditujukan kepada arti “far from straightforward”, yang artinya “jauh dari kesetiaan; jauh dari kejujuran”. Jadi, “jalan berliku-liku” artinya “cara, atau sikap yang jauh dari kesetiaan”; “cara, atau sikap yang jauh dari kejujuran”. Inilah realitas yang bersemi dan bertumbuh di tanah airku, Indonesia.
Lalu, makna apakah yang tersirat dalam ungkapan “penuh rambu-rambu/ indonesiaku”? “Penuh”, dalam konteks ini tidak menunjuk kepada arti “full” atau “abundantly” dalam bahasa Inggris yang berarti “berlimpah-ruah” atau “berlimpah-limpah”, melainkan menunjuk kepada arti “copious” dalam bahasa Inggris yang berarti “berlebih-lebihan” atau “banyak sekali”. Dan ungkapan “rambu-rambu” bukan menunjuk kepada “traffic-lights” dalam bahasa Inggris yang berarti “rambu-rambu lalu lintas”, melainkan menunjuk kepada “sign”; “ensign” yang bersinonim dengan “banner” dalam bahasa Inggris yang berarti: “a number of persons bound together for any common purpose” (= sejumlah orang yang bergabung bersama-sama demi tujuan/cita-cita bersama); atau “a troop of conspirators confederates” (= kelompok atau golongan orang-orang yang bersekongkol karena adanya kesamaan aspirasi). Inilah fakta yang inheren di tubuh bangsaku, Indonesia. Inilah fakta yang menciderai keluhuran aspirasi bangsa. Ya, ”jalan berliku-liku penuh rambu-rambu”! Inilah yang mengerdilkan pertumbuhan dan perkembangan kesejahteraan tanah airku Indonesia, sehingga penyair Hamid Jabbar menulis “indonesia” dengan huruf kecil.
“Jalan berliku-liku/ tanah airku/ penuh rambu-rambu/ indonesiaku”. Larik-larik sajak ini diaksentuasi oleh penyair Hamid Jabbar sebanyak tiga puluh enam larik dalam majas repetisi dalam keutuhan struktur sajaknya, “INDONESIA”, yang terdiri atas seratus empat belas larik, sebagai cara untuk mengintensifkan pengungkapan nosi dan emosi penyair. Ini memberi petunjuk, betapa prihatinnya penyair terhadap nasib bangsa Indonesia, yang ditulis dengan huruf kapital, “INDONESIA”, pada judul sajak, namun dalam larik-larik sajak ditulis dengan huruf kecil, “indonesia”, sebanyak dua belas kali.
Sesungguhnya Indonesia bisa cepat jaya dan makmur! Sesungguhnya Indonesia berpotensi kuat untuk menjadi sebuah bangsa yang besar dan jaya! Namun sayangnya, “jalan berliku-liku, penuh rambu-rambu”. Inilah yang menyebabkan bangsa Indonesia tertatih-tatih dan terbata-bata: “terpampang dalam head-line & tajuk-rencana koran-koran ibu kota; tersenyum dan sakit gigi; malu-malu bagai kucing (entah mengeong entah mengerang entah marah entah sayang) yang terpendam dalam deretan kata-kata nusantara; tegak dan tumbang sepanjang hari” (dalam larik-larik ke-5 sampai ke-19).
Terkuras dan tergerusnya sumber daya alam negeri tercinta ini akibat keserakahan orang-orang yang ingin memperkaya diri sendiri dan/atau konco-konco sendiri, dikeluhkan oleh penyair dalam nada bergaya interogasi: “Barangkali berjuta pohon telah tumbang dalam pacuanmu. Barangkali berjuta mulut telah mengeringkan tanahmu o indonesiaku. Barangkali berjuta kemelut telah menguap-udarakan segala airmu pengap o indonesiaku. O siapakah yang telah tercerabut, sayangku: engkau tanah airku atau aku anak negerimu?” (larik 47-52). Dan aksi/ancaman terror serta tindakan-tindakan brutal yang menimbulkan petaka serta mencoreng keharuman nama bangsa, dirintihkan oleh penyair: “…aku sungguh merasa malu ketika kudengar engkau menyanyikan rasa tak berdaya anak negerimu diancam ledakan-ledakan berangan akan purnama sepanjang malam. Dan engkau pun menangis ketika malu kita jadi malu semua: tertera dalam peta kita, luka-luka dan nyeri terbata-bata” (larik 53-58).
“Jalan berliku-liku; jalan berliku-liku; tanah airku; tanah airku; penuh rambu-rambu; penuh rambu-rambu; indonesiaku; indonesiaku” Begitulah penyair mengimpresifkan nosi dan emosi imajinatifnya dalam majas repetisi, kemudian penyair mengaksentuasikan dengan larik-larik selanjutnya yang berbunyi: “Sepanjang jalanan sepanjang tikungan/ sepanjang tanjakan sepanjang turunan rambu-rambu/ bermunculan” (larik ke-96-98). Larik-larik ini secara simbolik memberi petunjuk bahwa tidak ada ruang di tanah air ini yang netral atau bebas dari kehadiran oknum-oknum, kelompok/golongan orang-orang yang bersekongkol karena adanya kesamaan aspirasi, atau fungsi kepentingan, yang pada gilirannya dapat merongrong aspirasi nasional dan menimbulkan bencana bagi tanah air tercinta ini.
Penyair berkata: “Seribu tanda seru memendam berjuta tanda tanya. Seribu tanda panah mencucuk luka indonesiaku. Seribu tanda sekolah memperbodoh kearifan nenek-moyangku. Seribu tanda jembatan menganga ngarai wawasan si Badai si Badu. Seribu tanda sendok-garpu adalah lapar dan lapar yang senyum-senyum di luar menu. Seribu tanda gelombang melambung-hempaskan juang anak negerimu. Seribu tanda-tanda, seribu jalanan, seribu tikungan, seribu tanjakan, seribu turunan, liku-liku, luka tanah airku, dalam wajahmu, indonesiaku. Jalan berliku-liku, jalan berliku-liku; tanah airku, tanah airku; penuh rambu-rambu, penuh rambu-rambu; indonesiaku, indonesiaku. STOP (larik ke-99 -114). Larik-larik sajak ini melukiskan tentang ketidakpastian-ketidakpastian yang tersirat di dalam peraturan perundang-undangan maupun pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Setiap janji penegakan keadilan tetap tinggal janji yang mengecewakan. Setiap anjuran dan seruan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme tetap memendam berjuta tanda tanya, karena dalam tindakan ternyata ada praktik tebang-pilih. Setiap petunjuk dan arahan tidak membawa perbaikan yang signifikan, bahkan memperburuk keadaan: sistem demokrasi dirasuki roh demonokrasi; liberalisme diwarnai libertinisme; sistem pemerintahan presidensial diwarnai parlemensial; dan bentuk negara kesatuan diwarnai federalisme. Setiap slogan peningkatan pendidikan bangsa, malah mereduksi kearifan-kearifan lokal yang diwariskan para leluhur. Setiap program peningkatan produksi pangan, malah diwarnai berita bencana kelaparan, penyakit busung lapar, kekurangan gizi dan keterpaksaan mengonsumsi sisa-sia makanan dari tong-tong sampah restoran serta tempat pembuangan limbah. Program peningkatan mutu pelayanan kesehatan masyarakat tetap tidak meyakinkan dibandingkan dengan air batu Ponari yang sesungguhnya ilusif. Setiap keberhasilan membangun sepuluh rumah mewah yang diresmikan dengan pesta pora, malah dibarengi dengan ratap tangis ratusan kaum jelata yang rumahnya ludes dilalap api, roboh diterjang tanah longsor, serta rata terkena terpaan badai dan banjir. Bahkan setiap peringatan untuk mewaspadai lingkungan, malah balik menghempaskan semangat juang anak bangsa ke jurang apatisme.
Tahun berpacu lewat, namun berbagai krisis belum juga berlalu, sebab jalan masih berliku-liku. Sebab sepanjang jalanan, sepanjang tikungan, sepanjang tanjakan, sepanjang turunan, rambu-rambu tetap bermunculan! Pergulatan kemanusiaan tak kunjung usai di tengah-tengah ketidakpastian dan kemenduaan, sebab jalan tetap berliku-liku. Karena itu, di tengah-tengah arus pergulatan hidup yang sedang kita arungi kini dan di sini, baiklah kita pasrahkan diri dalam doa bersama Fridolin Ukur: “Ya, Allah—Bapa yang Mahakasih dalam Yesus, Tuhan dan Juruselamat dunia—‘Bergandengan tangan kami datang/ ingin menata kembali semangat yang baru/ dengan jiwa polos telanjang/ kami bawa hati kelabu penuh haru/ Bapa!/ Hanya pada-Mu/ kami bertanya, meminta dan berseru!’ (“Tahun berpacu lewat”, bait ke-3). Sertailah dan tuntunlah kami dalam menjalani kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang berlanjut di sepanjang jalan berliku-liku penuh rambu-rambu yang sedang kami jalani ini. Berikanlah kepada kami kearifan dan ketabahan dalam menghadapi tahun-tahun kehidupan yang penuh tantangan yang berderet di depan kami. Demi keberhasilan penyelenggaraan pemilihan umum anggota legislatif dan utusan daerah; demi kelancaran dan kedamaian pemilihan presiden dan wakil presiden yang akan diselenggarakan setiap lima tahun sekali; demi keajegan dan keberhasilan pelaksanaan program pembangunan bangsa Indonesia di tahun-tahun mendatang. Amin.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar