ALLAH menciptakan manusia dan sekaligus memberi tugas kepada manusia. Tugas yang harus diemban atau dilaksanakan. Kitab Kejadian 1:26,27,28 memberikan kepada kita petunjuk tentang keniscayaan manusia dan tugas berdasarkan rencana Allah. Tugas itu yakni: (a) berkuasa atas bumi dan isinya dan (b) beranakcucu, bertambah banyak untuk memenuhi/mendiami bumi dan taklukkanlah itu. Secara umum, itulah tugas yang diamanatkan dalam Kejadian 1:26,27,28.
Dalam Alkitab terjemahan bahasa Inggris (KJV dan RSV), perkataan berkuasa dipergunakan kata “dominion” yang mengandung pengertian: kekuasaan memerintah, mengontrol, menata/mengatur, mengelola. Dan untuk perkataan menaklukkan atau taklukkanlah dipergunakan kata “subdue” yang selain berarti menaklukkan, juga berarti: mengatasi atau menanggulangi masalah/kesulitan yang timbul; menciptakan kondisi kehidupan yang lebih baik atau membudaya.
Tugas “mengusahakan dan memelihara” (Kejadian 2: l5) dan tugas “memberi nama kepada segala binatang dan burung” (Kejadian 2: 19,20) bukan merupakan tugas tersendiri, melainkan merupakan tugas yang tidak terpisahkan, atau bagian dari tugas yang secara umum disebutkan pada bagian (a) di atas. Frasa “mengusahakan dan memelihara” dalam Kejadian 2: 15 dalam terjemahan Inggris (RSV), “to till it and keep it” (= mengolahnya dan memeliharanya); terjemahan Jerman (VD. ZBZ), “bebaue und bewahre” (= membangun dan melindungi); dan terjemahan Prancis (La Sainte Bible), “pour le cultiver et pour le garder (= buat mengerjakan/mengolah dan buat menjaga/memelihara). Yang menarik ialah kata Prancis, “cultiver.” Kata ini berasal dari kata Low Latin, cultivare; Latin, colere, yang selain berarti “mengerjakan, mengusahakan, mengolah”, juga berarti “berbakti atau beribadah”.
Dengan demikian—berdasarkan Kejadian 1: 26,27,28 dan Kejadian 2: 15—dapatlah dikatakan bahwa tugas yang Allah amanatkan kepada manusia yaitu: (a) tugas untuk berkuasa (memerintah, mengusahakan, mengelola, mambangun, mengatur/menata, memelihara/melindungi) bumi dan segala isinya; (b) beranakcucu, bertambah banyak memenuhi/mendiami bumi serta “taklukkanlah itu” (= atasilah, tanggulangilah masalah atau kesulitan yang timbul; ciptakanlah kondisi kehidupan yang lebih baik sehubungan dengan masalah-masalah yang bertalian dengan beranakcucu yang konsekuensi logisnya sudah tentu akan melipatgandakan pertambahan jiwa umat manusia yang memenuhi/mendiami bumi). Dan sehubungan dengan semua tugas yang disebutkan di atas ini, maka adalah juga maksud Allah agar supaya: (c) manusia---dalam segala tugas yang diembannya itu---berbakti atau beribadah kepada Allah, memuliakan Allah yang telah menciptakannya dan menganugerahkannya segala sesuatu yang ada di bumi (alam semesta) ini demi kesejahteraan/kebahagiaannya.
Berdasarkan tugas-tugas yang diuraikan di atas ini maka manusia memainkan peranan sebagai: penguasa, pemerintah, pengusaha, pengelola, pembangun, pengatur/penata, pemelihara/pelindung. Dengan peranan seperti yang disebutkan ini manusia tidak boleh bertindak sewenang-wenang terhadap alam (bumi) dan isinya termasuk sesamanya manusia. Melainkan tindakan manusia haruslah berupa tindakan yang membangun, menata/mengatur, mengolah/mengelola, mengontrol, memelihara dan melestarikan alam dan segala isinya. Tindakan manusia haruslah berupa tindakan untuk mengatasi/menanggulangi masalah atau kesulitan-kesulitan yang timbul atau yang dihadapi, untuk menciptakan kondisi kehidupan yang lebih baik di atas muka bumi yang dihuni manusia. Tindakan manusia haruslah selalu berupa tindakan membudayakan alam, membudayakan hidup manusia itu sendiri demi keluhurannya sebagai manusia. Dan serentak dengan itu tindakan manusia sebagaimana dikatakan di atas haruslah merupakan suatu perwujudan bakti dan ibadah kepada Allah.
Itulah tugas dan tanggung jawab manusia yang tersirat di dalam teks Kejadian 1: 26 – 28 dan 2: 15. Ya, tugas dan tanggung jawab manusia baik dalam relasi horisontal yang meliputi relasi inter alia (= relasi manusia dengan alam semesta dan makhluk-makhluk lain sebagai bagian yang tak terpisahkan dari manusia), relasi inter nos (= relasi di antara kita sendiri sebagai sesama manusia yang terikat sebagai suatu persekutuan), relasi inter alios (= relasi di antara orang lain yang tidak memiliki hubungan apapun dengan kita), relasi inter se (= relasi di antara mereka sendiri yang tidak tergolong kepada kita), relasi inter vivos (= relasi di antara orang yang satu dengan orang lain dan/atau relasi antara makhluk hidup yang satu dengan makhluk hidup lainnya); maupun dalam relasi vertikal yaitu relasi antara manusia dengan Allah sebagai relasi pertanggungjawaban manusia terhadap Allah.
Orang beriman dan kerja
Tentang apa atau siapa itu ‘orang beriman’, kiranya tidak perlu dijelaskan panjang -lebar di sini. Namun demi tujuan tulisan ini, secara umum dapat dikatakan bahwa yang disebut ‘orang beriman’ itu ialah orang yang bukannya bersandar kepada dirinya sendiri, sebab ‘aku-nya’ sudah ditundukkan oleh Tuhan yang diimaninya dan Tuhan yang diimaninya itu sudah menjadi ‘Raja-nya’. Kalau begitu, apakah yang dimaksudkan dengan orang beriman dan kerja? Bagaimanakah kesaksian Alkitab tentang orang beriman dan kerja?
Berdasarkan uraian di atas, telah kita ketahui bahwa Allah menciptakan manusia sekaligus Allah memberi tugas kepada manusia. Salah satu tugas yang bertalian dengan subjudul tulisan ini ialah tugas untuk berkuasa (memerintah, mengusahakan, mengelola, membangun, menata/mengatur, memelihara/melindungi) bumi dan segala isinya. Secara sederhana, isi tugas ini dapat diringkaskan sebagai ‘tugas kerja’ atau ‘perintah kerja’. Ini berarti, ‘kerja’ atau ‘bekerja’ sebagai suatu aksi manusia merealitaskan dirinya di dunia tidak bisa disangkal dan tidak bisa disepelekan. Sebab manusia sebagai realitas hanya dapat merealitaskan dirinya dengan bekerja demi pemenuhan hasrat kodratinya sebagai manusia: berupa pancapaian kecukupan kebutuhan hidup, kalayakan hidup, pemenuhan kehausan akan kesejahteraan dan kebahagiaan. Manusia tanpa kerja niscaya memerosotkan, bahkan membunuh kodratnya sebagai manusia. Keluhuran manusia justru dalam pemenuhan ‘tugas kerja’ atau ‘perintah kerja’.
Dengan demikian maka orang beriman—betapapun pun intens penyerahan dirinya kepada Tuhan yang diimaninya—tetap sebagai manusia yang terikat dengan ‘tugas kerja’ atau ‘perintah kerja’, karena itu adalah amanat Allah. Demi kodratnya sebagai manusia yang memiliki keterikatan dengan alam dan hukum-hukum alam, orang beriman niscaya harus bekerja. Untuk makan, minum dan menutupi badan dengan pakaian, orang harus bekerja. Untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya—sekali pun yang paling sederhana—orang niscaya harus bekerja. Dan semakin cenderung seseorang berniat memantaskan kehidupannya, maka ia harus semakin bekerja keras. Menyangkut kerja, sesungguhnya tidak ada satu pekerjaan pun yang harus dianggap hina, asal motivasi orang yang bekerja untuk memantaskan hidupnya dan sifat pekerjaan itu sendiri tidak bertentangan dengan Hukum Allah dan hukum publik.
Sebagai contoh, kita lihat dalam Torat, ‘perintah kerja’ yang Allah berikan kepada manusia dimasukkan dalam firman keempat: “enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu” (Keluaran 20:9). Relevansi firman Allah ini niscaya menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup manusia yang kompleks dan serba meningkat dalam rangka penyempurnaan tingkat kelayakan hidup di muka bumi sesuai amanat Allah. Untuk tujuan itu pula nabi Yeremia menganjurkan kepada umat untuk “membangun rumah, bertani, membentuk keluarga dalam rangka mempertahankan eksistensi umat, mengusahakan kesejahteraan bersama (kesejahteraan masyarakat) serta berbakti atau beribadah kepada Allah, karena hanya dalam sejahtera Allah sajalah umat akan memperoleh kesejahteraan mereka” (Yeremia 29: 5,6,,28).
Yang menarik ialah nabi Yeremia mengawali anjurannya kepada umat dengan pernyataan: “Beginilah firman TUHAN semesta alam, Allah Israel, ...” (ayat 4). Ini memberi petunjuk bahwa sesungguhnya Allah berkenan atas setiap upaya manusia untuk menyejahterakan hidupnya dengan bekerja. Serentak manusia pun harus berbakti atau beribadah kepada Allah. Dengan kata lain, berbakti atau beribadah kepada Allah harus mendapat perhatian yang serempak dengan kerja keras manusia menyejahterakan hidupnya. Sehubungan dengan ini, dalam kitab Hagai, kita dapat melihat bagaimana sikap Allah terhadap motivasi kerja manusia. Allah tidak berkenan terhadap manusia yang hanya sibuk bekerja semata-mata untuk mengejar kesejahteraan/kebahagiaan material saja lalu melalaikan bakti atau ibadah kepada-Nya, tetapi Allah berkenan dan memberkati setiap usaha dan kerja keras manusia yang memperhatikan serta melakukan bakti atau ibadah kepada-Nya.
Dalam kitab Perjanjian Baru, rasul Paulus sangat mengecam orang-orang yang tidak bekerja atau tidak memperhatikan kerja. Terhadap orang-orang semacam ini rasul Paulus berkata: “Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan” (2 Tesalonika 3: 10). Dalam ayat 12 rasul Paulus anjurkan supaya mereka bekerja dan makan makanannya sendiri. Sudah tentu yang dimaksudkan rasul Paulus ialah, agar mereka yang tidak bekerja atau tidak memperhatikan kerja itu jangan menjadi beban bagi orang lain.
Mengenai kerja keras demi pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, rasul Paulus menunjuk kepada dirinya sendiri sebagai contoh/teladan: “Sebab kamu sendiri tahu, bagaimana kamu harus mengikuti teladan kami, karena kami tidak lalai bekerja di antara kamu, dan tidak makan roti orang dengan percuma, tetapi kami berusaha dan berjerih payah siang malam, supaya jangan menjadi beban bagi siapa pun di antara kamu” (ayat 7,8). Tegasnya, dari rasul Paulus kita melihat prinsip ini: bekerja demi pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dilakukan bersama-sama dengan bekerja/mengabdi kepada Allah dalam tugas-tugas kerasulan (Kisah Para Rasul 18: 3,4).
Pandangan rasul Paulus mengenai kerja keras manusia demi pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari ‘berhimpitan erat’ dengan berbakti atau beribadah kepada Allah, ibarat dua muka dari satu mata uang. Itulah sebabnya rasul Paulus menganjurkan kepada setiap orang beriman agar di dalam setiap tugas/pekerjaan yang diemban, orang harus mencari dan mewujudkan kepatuhan iman kepada Allah. Ya, di dalam melakukan tugas dan pekerjaan di bidang apa pun juga, di situ orang harus mempersembahkan seluruh eksistensinya sebagai ‘korban yang berbau harum’ kepada Allah. Inilah yang rasul Paulus maksudkan dengan “ibadahmu yang sejati”, dalam Roma 12:1, atau “ibadah rohani yang sesuai dengan budimu” (terjemahan Para Wali Gereja Indonesia). Dalam Perjanjian Baru Bahasa Gerika disebut “ten logiken latreian humoon”, yang dapat diterjemahkan: pelayananmu yang pantas, pelayananmu yang wajar, pelayananmu yang rasional, atau ibadahmu yang pantas, ibadahmu yang wajar, ibadahmu yang rasional. Di dalam ayat ini tersirat makna “penyerahan diri secara total-integral dalam pelayanan dan pengabdian kepada Allah”.
Atas dasar inilah rasul Paulus tekankan dalam Roma 12: 7,8 sebagai berikut: “Jika karunia yang ada pada Saudara itu berupa kecakapan untuk melayani orang, layanilah mereka dengan baik. Jika Saudara seorang pengkhotbah, usahkanlah supaya khotbah Saudara meyakinkan dan banyak faedahnya. Jika Saudara diberi kecakapan dalam hal memimpin dan Allah menugaskan Saudara untuk mengawasi pekerjaan orang lain, bersungguh-sungguhlah dalam memikul tanggung jawab tersebut” (terjemahan Firman Allah Yang Hidup). Dengan semuanya itu rasul Paulus mau menekankan ‘keikhlasan’ dan ‘kepatuhan iman’ yang wajib orang perhatikan di dalam setiap segi kehidupan praktis, dalam setiap lapangan pekerjaan, sebab di situ pun adalah tempat ‘latreia’(pelayanan) yang dibuat kepada Allah.
Itulah sebabnya, jika kita bertolak dari Roma 12: 7,8 sebagai teks datang kepada lingkungan kehidupan dan lapangan pekerjaan kita masing-masing sebagai konteks, maka dapat kita katakan begini: Jika Saudara seorang Bupati, atau Walikota, atau Guberur, lakukanlah tugas Saudara sebagai seorang Administrator Pemerintahan, Administrator Pembangunan, dan Administrator Kemasyarakatan di daerah/wilayah kekuasaan Saudara dengan sebaik-baiknya, karena itu pun adalah ibadah rohani yang sesuai dengan budimu kepada Allah. Jika Saudara seorang Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, atau Anggota Dewan Perwakilan Daerah, laksanakanlah tugas Saudara sebaik-baiknya demi kesejahteraan rakyat, karena untuk tugas itulah Saudara telah mendapatkan kepercayaan dari rakyat melalui Partai Politik yang mengorbitkan Saudara pada saat Pemilihan Umum Legislatif. Di dalam melaksanakan tugas-tugas legislatif dengan penuh dedikasi demi kemakmuran rakyat itulah , sesungguhnya Saudara telah melakukan ibadah yang sejati kepada Allah. Jikalau Saudara seorang penegak hukum—entah Saudara sedang bertugas di institusi kepolisian, kejaksaan, kehakiman—laksanakanlah tugas saudara seikhlas-ikhlasnya demi terwujudnya keadilan hukum yang merata, karena itu pun adalah ibadah yang sejati kepada Allah, karena itu pun adalah ibadah rohani yang sesuai dengan budimu sebagai seorang penegak hukum..
Mengapa harus demikian? Jawabannya: karena berdasarkan kebebasan Saudara sendiri, Saudara telah menghendaki dan memilih lingkungan kehidupan dan lapangan pekerjaan itu menjadi lapangan hidup, lapangan pengabdian dan karya, sebab itu seharusnyalah Saudara bekerja dengan sungguh-sungguh, bekerja dengan penuh kesadaran yang tinggi dan tanggung jawab yang tinggi demi kesejahteraan rakyat. Serentak dengan itu, sebagai seorang beriman, sepatutnyalah Saudara insaf bahwa dalam lingkungan kehidupan dan lapangan pekerjaan di mana Saudara geluti itu pun, Saudara terpanggil untuk mewujudkan kepatuhan iman, karena di situ pun Allah telah memanggil, mengutus dan menempatkan Saudara untuk hidup dan bekerja secara sungguh-sungguh dan dengan penuh tanggung jawab sesuai rancangan Allah (A.G. Hadzarmawit Netti. “Peranan Pemuda Gereja di Indonesia dalam Konteks Pembangunan Bangsa”, BUSOS Surabaya, No.114 – Th.XIV – Oktober 1985, Hlm.12).
Ya, di lapangan pekerjaan atau bidang pengabdian apa pun kita berkarya, sebagai orang beriman kita semestinya insaf bahwa di situ pun Allah tetap meminta pertanggungjawaban kepada kita atas apa yang kita lakukan. Karena itu, kita diminta untuk mempergunakan kacamata iman untuk melihat dengan suatu penglihatan yang terang berdasarkan terang Injil Kristus guna mencari apa yang menjadi perkenan Allah, juga untuk mengupayakan apa yang bermanfaat buat meneguhkan dan menguatkan sesama manusia. Di dalam lapangan pekerjaan dan bidang pengabdian kita, kita diminta untuk selalu menyiasati yang baik daripada yang jahat, yang adil daripada yang tidak adil, agar dengan demikian kita dapat memberikan prestasi-prestasi yang baik, adil dan bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa kita yang masih terus dirundung berbagai kemelut dan depresi di berbagai segi kehidupan.
Dan di dalam mempersembahkan diri dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab di setiap lapangan pekerjaan sebagai suatu ibadah yang sejati, masing-masing kita boleh memadahkan syair lagu gereja tempo doeloe: “Kuminta pakai aku/ sehingga ajalku./ Di dalam pekerjaan/ yang akan hormat-Mu./ Di medzbah kutertaruh/ imam dan penebus,/ Kunanti akan Dikau/ dan api yang kudus” (Tahlil 76: 3).
Orang beriman dan beranakcucu
Pada waktu seorang laki-laki dan seorang perempuan mempertautkan diri dalam nikah, maka mulai saat itu keduanya tidak bisa mengingkari fungsi kesuami-istrian mereka. Hanya keadaan atau halangan tertentu saja yang bisa meniadakan fungsi kesuami-istrian mereka, sebab kehidupan nikah pada dasarnya adalah perwujudan kesedagingan antara laki-laki dan perempuan sebagai suami-istri (Kejadian 2: 24).
Dengan demikian, fungsi kesuami-istrian tidak lain adalah fungsi seksualitas di dalam pernikahan. Fungsi ini dibenarkan oleh Allah, malah termasuk dalam rencana Allah bagi manusia, sebab bakat-bakat yang bertumbuh dan berkembang ke arah fungsi ini Allah sendiri yang berikan ketika manusia dijadikan. Bakat-bakat ini, tegasnya, naluri seksualitas ini, tidak boleh kita sangkali. Di dalam nikah, kita tidak perlu merasa malu, apalagi menganggapnya sebagai hal yang aib. Terkecuali apabila naluri seksualitas itu tidak dikendalikan sehingga mengakibatkan perzinahan, perkosaan, percabulan dan lain-lain, maka semuanya itu patut dipandang rendah, memalukan dan dosa.
Di dalam pernikahan, bakat-bakat (naluri seksualitas) ini akan kentara sekali di antara kedua belah pihak, baik suami maupun istri. Daya dorong bakat-bakat ini sangat kentara sekali bergerak ke arah perwujudannya. Dan dalam keadaan normal, masing-masing pihak tidak bisa menutup diri, melainkan membuka diri dengan tiada ragu dan malu: “Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu.” (Kejadian 2: 25).
Selanjutnya, fungsi seksualitas di dalam pernikahan bukan semata-mata demi pemenuhan naluri biologis. Fungsi seksualitas, lebih mendalam, adalah merupakan wujud pengungkapan kasih yang paling lengkap antara suami-istri. Dalam ruang kehidupan yang satu ini kedua jenis manusia ciptaan Allah ini boleh belajar saling memberi dan menerima dengan tidak boleh mementingkan diri sendiri, saling belajar menyelami dan mendalami kepribadian masing-masing pihak, saling mengaku dan menyerah.
Ucapan laki-laki (Adam) kepada perempuan (Hawa): “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” (Kejadian 2: 23), serta ‘kebungkaman perempuan (Hawa) di hadapan laki-laki (Adam)’ ketika mendengar pernyataan yang keluar dari kedalaman hati laki-laki (Adam), bukanlah sesuatu yang sepi dari makna simbol kasih. Dari pelukisan ini suami hendaknya belajar mempertanggungjawabkan kepada istrinya makna simbol kasih yang tersirat dalam ucapan Adam kepada Hawa , seperti yang disingkapkan oleh rasul Paulus: “Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya” (Efesus 5: 25); “Demikian juga suami harus mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi istrinya mengasihi dirinya sendiri” (Efesus 5: 28); “Hai suami-suami, kasihilah istrimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia” (Kolose 3:19). Ajaran rasul Paulus ini secara eksplisit ibarat jari yang menunjuk kembali kepada pernyataan laki-laki (Adam) kepada perempuan (Hawa) sebagaimana telah dikutip di atas. Dengan pernyataan itu laki-laki (Adam) tidak memandang perempuan (Hawa) sebagai yang terpisah dari dirinya, melainkan bagian yang tidak terpisahkan dari dirinya. Demikianlah hendaknya pandangan serta perlakuan seorang suami terhadap istrinya.
Ya, demikian pula istri diharapkan dapat belajar mempertanggungjawabkan kepada suaminya makna simbol kasih yang tersirat dalam ‘kebungkaman perempuan (Hawa) di hadapan laki-laki (Adam)’, ketika sang laki-laki (Adam) mengungkapkan pernyataan hatinya: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku”. Ajaran rasul Paulus yang menyingkapkan makna kebungkaman perempuan (Hawa) itu berbunyi sebagai berikut: “Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan” (Efesus 5: 22; Kolose 3: 18), “karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat” (Efesus 5: 23); “Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah istri kepada suami dalam segala sesuatu” (Efesus 5:24), “dan istri hendaklah menghormati suaminya” (Efesus 5: 33). Ajaran rasul Paulus ini pun secara eksplisit menunjuk kepada makna kebungkaman perempuan (Hawa) di hadapan laki-laki (Adam) itu.
Kebungkaman perempuan (Hawa) bukanlah tanpa makna. kebungkaman juga merupakan salah satu bentuk komunikasi: bentuk komunikasi nonverbal, bentuk komunikasi simbolisme; bentuk komunikasi yang hanya dapat dipahami bila direnungkan, diselami, atau ditafsirkan berkenaan dengan konteksnya. Dalam konteks tertentu ‘bungkam’ bisa berarti sikap penolakan, tidak setuju, ragu-ragu, takut, gugup dan sebagainya. Dalam konteks yang lain lagi, ‘bungkam’ bisa berarti mengiakan atau menyetujui, pasrah, penyerahan diri, menyatakan kepatuhan, dicengkam rasa takjub atau kagum dan sebagainya. Sehubungan dengan konteks laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawa), ajaran rasul Paulus yang dikutip di atas menyingkapkan makna kebungkaman perempuan (Hawa) sebagai: penyerahan diri, kepatuhan yang ikhlas, penghargaan dan penghormatan. Inilah yang rasul Paulus minta agar para istri pelajari, ketahui, hayati dan amalkan terhadap para suami.
“Beranakcuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukkanlah itu” (Kejadian 1: 28). Begitulah firman Allah kepada manusia laki-laki dan perempuan yang diciptakan-Nya. Firman ini memberi petunjuk tentang fungsi lainnya dari fungsi seksualitas, yaitu fungsi ‘prokreasi’, untuk melanjutkan keturunan. Karena fungsi prokreasi inilah, maka setiap laki-laki dan perempuan yang mempertautkan diri dalam pernikahan bukan saja melaksanakan fungsi kesuami-istrian, melainkan pada saat yang sama keduanya harus pula menyadari kemungkinan untuk menerima pelaksanaan fungsi keayah-ibuan, akibat buah rahim yang bakal terjadi dan anak yang bakal dilahirkan.
Allah tidak menetapkan jumlah anak yang harus diperoleh atau yang tidak boleh dilampaui oleh sepasang suami-istri. Allah hanya berfirman: “Beranakcuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukkanlah itu.” Timbul pertanyaan: apakah karena firman Allah demikian, maka masalah banyaknya anak atau jumlah anak tidak perlu dipikirkan atau dipersoalkan oleh suami-istri?
Di kalangan warga gereja, ternyata ada banyak pasangan nikah yang tidak mempersoalkan banyaknya anak yang dilahirkan. Mereka mengatakan bahwa anak yang dikandung dan dilahirkan itu adalah pemberian Allah. Pada umumnya mereka berpegang pada ayat Alkitab: “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak...” (Kejadian 1: 28) dan “Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah” (Mazmur 127: 3).
Benar, dua ayat yang dikutip di atas ini adalah ayat-ayat Alkitab. Tetapi mereka yang bersikukuh bahwa justru karena ayat-ayat itulah, maka masalah jumlah atau banyaknya anak tidak perlu dipikirkan oleh setiap pasangan nikah (suami-istri), sebenarnya keliru.
Kejadian 1: 28 ternyata disalahtafsirkan atau disalahartikan lantaran masalah bahasa. Sebenarnya Kejadian 1: 28 tidak saja menyaksikan kepada kita bahwa Allah memberkati serta berfirman kepada manusia untuk beranakcucu, bertambah banyak dan penuhilah bumi, melainkan serentak dengan itu pula Allah berfirman: “dan taklukkanlah itu.” Frasa firman Allah, “dan taklukkanlah itu”, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari frasa “penuhilah bumi”. Kata penghubung, ‘dan’, yang dipakai dalam ayat itu menunjukkan ‘arti pengumpul’, sehingga frasa ‘penuhilah bumi” serta frasa “taklukkanlah itu” tidak boleh dilihat secara terpisah atau secara lepas. Sama halnya dengan frasa “beranakcuculah” tidak dapat dipisahkan dari frasa “bertambah banyak”, karena kedua frasa itu dihubungkan oleh kata penghubung, ‘dan’, yang menunjukkan ‘arti pengumpul’. Dengan demikian, frasa “penuhilah bumi dan taklukkanlah itu” adalah bagian kalimat yang sejenis dan setara dengan frasa “beranakcuculah dan bertambah banyak”.
Kalau begitu, apakah gerangan ‘pokok pikiran’ atau ‘ide sentral’ dari firman yang berbunyi: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu?” Apakah pokok pikiran atau ide sentralnya adalah “bumi”, sehingga frasa “taklukkanlah itu” berarti “taklukkanlah bumi”? Ataukah yang menjadi pokok pikiran atau ide sentral adalah “beranakcuculah dan bertambah banyak”?
Perlu kiranya digarisbawahi di sini bahwa “penuhilah bumi” adalah merupakan konsekuensi logis dari hal “beranakcuculah dan bertambah banyak”, lantaran fungsi ‘prokreasi’ yang dijalankan oleh umat manusia di bumi ini. Di sini saya cenderung untuk mengafirmasikan pertimbangan bagian kedua, bahwa yang menjadi pokok pikiran atau ide sentral dari firman “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu”, adalah “hal beranakcucu dan hal bertambah banyaknya umat manusia memenuhi bumi”. Dengan demikian, kata penunjuk, ‘itu’, yang dipakai sebagai “kata ganti ketiga” untuk menunjuk atau menggantikan pokok pikiran atau ide sentral dalam firman itu adalah bukan terhadap ‘bumi’, melainkan terhadap hal “beranakcuculah dan bertambah banyak”, yang Allah firmankan kepada manusia dalam rangka memenuhi/mendiami bumi.
Dalam Kejadian 1: 26, ikan-ikan di laut, burung-burung di udara, ternak, segala binatang melata yang merayap di bumi, dan seluruh bumi telah ditetapkan oleh Allah untuk dikuasai oleh manusia. Dalam ayat 28, secara pars pro totus Allah menekankan lagi kekuasaan yang diberikan-Nya kepada manusia atas ikan-ikan di laut, burung-burung di udara dan segala binatang yang merayap di bumi. Dalam Kejadian 2: 15, Allah menugaskan manusia untuk ‘mengusahakan dan memelihara taman (baca: bumi) itu’. Tetapi berkenaan dengan fungsi prokreasi Allah berfirman: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu.” Kata penunjuk , ‘itu’ yang dipergunakan sebagai ‘kata ganti ketiga’ dalam firman ini menunjuk kepada pokok pikiran atau ide sentral fungsi prokreasi, yaitu “Beranakcuculah dan bertambah banyak”. Dan arti implisit kata ‘taklukkanlah’ dalam firman ini ialah “atasilah, tanggulangilah kesulitan atau masalah yang timbul berkenaan dengan hal beranakcucu; ciptakanlah kondisi kehidupan yang lebih baik sehubungan dengan hal-hal yang bertalian dengan beranakcucu, yang konsekuensi logisnya sudah tentu akan melipat-gandakan pertambahan jiwa umat manusia yang memenuhi/mendiami bumi.
Atas dasar pengertian/pemahaman inilah, maka sebenarnya kita dapat melihat bahwa firman Allah kepada manusia untuk beranakcucu dan bertambah banyak untuk memenuhi/mendiami bumi ini bukannya firman yang tidak bersyarat, melainkan firman yang bersyarat. Dengan kata lain, kita dapat katakan bahwa dalam Kejadian 1: 28 Allah memberikan ‘kebebasan’ kepada manusia untuk beranakcucu dan bertambah banyak memenuhi bumi, namun bersama dengan ‘kebebasan’ itu Allah pun memberikan ‘tanggung jawab’ kepada manusia. Ya, ‘tanggung jawab’ yang harus diperhatikan dan dilaksanakan secara saksama demi kebahagiaan anakcucu/generasi umat manusia yang bertambah banyak memenuhi bumi, demi harmoni dan tetap lestarinya bumi tempat umat manusia bermukim itu sendiri, yang di dalamnya Allah telah menyediakan berbagai kemungkinan yang tinggal diolah/dikelola dan dipelihara demi keberlangsungan kehidupan manusia.
Apabila sekadar penjelasan di atas ini dapat diterima, maka sebenarnya kesaksian Mazmur 127: 3 itu merupakan suatu ‘lonceng peringatan’ bagi setiap pasangan nikah (suami-istri), untuk benar-benar bertanggung jawab dalam menerima kehamilan dengan rasa syukur kepada Allah. Dan setiap kelahiran anak harus disambut dengan penuh rasa tanggung jawab kebapaan dan keibuan, karena anak-anak lelaki (baca: anakcucu atau keturunan) adalah milik pusaka Allah dan kandungan adalah upah (pemberian, imbalan, hadiah, anugerah) dari Allah kepada pasangan nikah (suami-istri).
Namun dalam kenyataan hidup sehari-hari, apakah yang sering terjadi? Ternyata banyak pasangan suami-istri yang menerima kehamilan dengan keadaan terpaksa, dengan kesal hati, dengan berat hati. Banyak pula pasangan suami-istri yang menolak buah rahim dengan cara menggugurkannya. Sementara pasangan suami-istri yang menerima kehamilan dengan terpaksa, kesal dan berat hati tetapi tidak tega menggugurkan buah rahim, pada akhirnya mereka menyambut kehadiran sang anak yang dilahirkan dengan perasaan hati yang hambar dan dingin. Dan seterusnya, di dalam kehidupan rumah tangga/keluarga, sang anak diasuh dan dibesarkan dalam situasi yang minus perhatian, minus kasih sayang, minus pelayanan, dan minus tanggung jawab pemeliharaan ayah dan ibu.
Apa sebab demikian? Sebabnya antara lain: karena terlampau banyaknya anak yang dilahirkan dan jarak kelahiran yang dekat/rapat antara anak yang satu dengan anak yang berikutnya; karena keterbatasan kemampuan suami-istri selaku ayah dan ibu dalam menggarap serta mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan material, yang diperlukan bagi pelayanan dan pemeliharaan anak-anak yang dilahirkan; karena pembenaran egoisme sempit kesuami-istrian, lantaran menuruti saja dorongan naluri seksualitas yang berkobar dalam diri suami-istri; karena kemasabodohan suami-istri terhadap peranan serta tanggung jawab keayah-ibuan mereka terhadap anak-anak yang dilahirkan.
Dengan demikian, nyanyian ziarah Salomo dalam Mazmur 127: 3 itu sesungguhnya bukan saja merupakan ‘pengakuan’, melainkan serentak merupakan ‘lonceng peringatan’ kepada setiap pasangan nikah untuk menyadari serta menghayati sedalam-dalamnya akan peranan serta tanggung jawab mereka baik sebagai suami-istri maupun sebagai ayah dan ibu berkenaan dengan pemeliharaan anak.
Tanggung jawab sepasang nikah
Kalau begitu, apakah gerangan tanggung jawab sepasang nikah (suami-istri) selaku ayah dan ibu terhadap anak-anak yang dilahirkan? Berdasarkan tinjauan di atas, dapatlah dikatakan di sini bahwa tanggung jawab sepasang nikah selaku ayah dan ibu terhadap anak-anak yang dilahirkan, adalah tanggung jawab ‘pemeliharaan’ dalam arti: (a) Tanggung jawab mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan yang berkaitan erat dengan kebutuhan pemeliharaan anak, sebelum sang anak selaku ‘milik pusaka Tuhan’ dan ‘pemberian Tuhan’ dikandung dan dilahirkan; (b) Tanggung jawab mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan yang berkaitan erat dengan masalah pemeliharaan anak, demi pertumbuhan Nya menyongsong masa depan, setelah sang anak dilahirkan.
Itulah hakikat tanggung jawab pemeliharaan yang sepatutnya dicamkan setiap pasangan nikah (suami-istri), yang oleh karena pelaksanaan fungsi kesuami-istrian, mereka selalu berada dalam kemungkinan untuk menerima tanggung jawab selaku ayah dan ibu. Adapun isi tanggung jawab pemeliharaan itu meliputi: (a) Persiapan yang berkaitan dengan kebutuhan fisik/material: kecukupan makanan, pakaian, kesehatan dan sebagainya; (b) Kebutuhan nonfisik: kasih sayang, pendidikan/pengajaran, agama dan sebagainya.
Tanggung jawab pemeliharaan sebagaimana disebutkan di atas ini penting diperhatikan, agar anak-anak sebagai milik pusaka Tuhan dan pemberian Tuhan yang dilahirkan itu memperoleh kemungkinan dan kesempatan yang layak untuk bertumbuh/berkembang sebagai manusia, baik sekarang maupun pada masa depan. Tanggung jawab pemeliharaan ini harus merupakan ‘refleksi kepercayaan/iman’ sepasang suami-istri atau ayah dan ibu. Dengan demikian, mengingini anak yang banyak tanpa mempertimbangkan kesanggupan pemeliharaan yang sebaik-baiknya terhadap anak-anak, adalah merupakan suatu “pemungkiran terhadap iman/kepercayaan dan merupakan suatu kejahatan terhadap anugerah Allah”.
Memperhatikan betapa pentingnya tanggung jawab pemeliharaan sebagaimana dijelaskan di atas, maka setiap pasangan nikah (suami-istri) sebagai calon ayah dan ibu harus secara positif, kritis dan realistis mempergunakan akal-budinya dalam membangun/membina kehidupan rumah tangga dan keturunannya yang bakal lahir. Memang patut diakui, bahwa proses kehamilan dan kelahiran merupakan ‘kodrat alamiah’. Dilihat dari sudut keyakinan religius, kehamilan dan kelahiran merupakan soal yang bersangkut-paut dengan kuasa Tuhan, sehingga proses kehamilan dan kelahiran itu bisa memperoleh ‘arti religius’ tertentu.
Akan tetapi hakikat penciptaan manusia oleh Allah sebagaimana telah dijelaskan di bagian depan tulisan ini memberikan petunjuk secara pasti kepada kita, bahwa proses kehamilan dan kelahiran tidak ditempatkan atau takluk di bawah kodrat alamiah secara mutlak. Manusia memang difirmankan untuk beranakcucu, namun serentak dengan itu manusia menerima mandat pula untuk “menaklukkan, mengatur, mengontrol proses kehamilan dan kelahiran itu sendiri yang timbul dari tindakan menurut naluri kodrat alamiah”. Ingatlah, misalnya seksualitas. Ia adalah dorongan dan kebutuhan naluri biologis yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Ia merupakan anugerah Allah yang amat indah dan sangat disenangi manusia. Laki-laki dan perempuan menyenanginya. Namun, manusia tidak harus tunduk secara mutlak terhadap naluri seksualitas itu. Manusia diperintahkan pula oleh Allah untuk menaklukkan, mengatur, mengendalikan naluri seksualitas itu, demi keluhuran dan kebahagiaan hidup manusia itu sendiri. Mengikuti saja dorongan naluri seksualitas itu tanpa penaklukkan, pengaturan dan pengendalian, bukan saja bertentangan dengan kehendak Allah, melainkan akan menimbulkan kekacauan dan disharmoni bagi kehidupan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar