PADA tanggal 24, 25, dan 26 September 2007 yang lalu, Harian Pagi Timor Express telah memuat tulisan saya berjudul “Marginalia Atas ‘Janji Baru’—Perjanjian Baru versi GMIT”. Secara garis besar, ketiga tulisan tersebut menyentil tentang kontekstualisasi Injil Yesus Kristus dalam dialek Kupang yang dilakukan oleh tim penerjemah ‘Janji Baru’ versi GMIT. Melalui ketiga tulisan tersebut, telah saya tunjukkan bahwa tim penerjemah ‘Janji Baru’ ternyata tidak mempedulikan inti (core) Injil Yesus Kristus yang patut dipertahankan demi menjamin identitas kristiani, nilai-nilai kekudusan, keagungan, dan kekhidmatan. Tim penerjemah lebih menomorsatukan dan/atau mengistimewakan dialek Kupang yang bersifat manasuka dan asal-asalan di dalam penyampaian ide/konsepsi, dan tidak ragu-ragu meredupkan, bahkan menafikan, nilai-nilai kekudusan, keagungan, dan kekhidmatan Injil Yesus Kristus. Dan untuk mengukuhkan pernyataan yang disebutkan di atas ini, maka tinjauan dan sorotan atas Janji Baru—yakni Perjanjian Baru Versi GMIT, yang dikerjakan oleh sepuluh penerjemah dan ditopang oleh empat pakar yang diakui oleh para lembaga penerjemahan Alkitab itu, saya lanjutkan kali ini di bawah judul “Sekali Lagi Tentang: Marginalia Atas Janji Baru”.
1. Sekali lagi tentang Roh Kudus
Roh Kudus yang diterjemahkan ke dalam dialek Kupang dengan Roh Barisi merupakan salah satu contoh dari prinsip kerja asal-asalan dan pertimbangan manasuka tim penerjemah yang menafikan konsepsi “kudus/kekudusan”. Kudus dianggap sama dengan barisi yang berasal dari kata bersih, padahal kata kudus dan barisi (bersih) memiliki arti yang khas sendiri-sendiri. Di dalam kitab Injil/Perjanjian Baru bahasa Gerika, kata kudus (Gerika: hagios) mengandung arti: menguntukkan, atau diperuntukkan bagi Allah; kudus, suci. Yerusalem disebut kota suci (Matius 4:5), atau kota kudus (Matius 27:53), karena kota itu menjadi pusat kegiatan keagamaan umat Yahudi yang menyembah Allah (YHWH). Di kota itu terdapat Bait Allah yang juga disebut Bait Suci (bait [rumah] atau bangunan yang dikhususkan untuk beribadah kepada Allah [YHWH]) (Lukas 2:22,41,46; Matius 4:5, dyb.). Roh Allah (Gerika: to pneuma tou theou) disebut Roh Kudus (Gerika: to hagion pneuma), karena Roh itu adalah Roh yang berasal dari Allah, atau Roh yang keluar dari Allah, atau Roh yang datang dari Allah. Yesus disebut Yang Kudus dari Allah (Gerika: ho hagios tou theou), karena Yesus datang dari Allah, dikandungkan dan diperanakan oleh Maria lantaran kuat kuasa Roh Kudus dalam naungan kuasa Allah Yang Mahatinggi (Yohanes 6:69; Markus 1:24; Lukas 1: 31-35).
Dalam Injil/Perjanjian Baru bahasa Gerika, kata bersih (dialek Kupang: barisi), dipergunakan kata katharos (bersih, murni, tak bernoda, tak bercela, tak bercemar). Kata katharos yang berarti bersih (arti literal) terdapat misalnya dalam Matius 23:25,26; Yohanes 13:10). Dan katharos yang berarti bersih, murni, tak bercela, tak bernoda, tak bercemar yang menunjuk kepada relasi setiap orang percaya dengan Kristus melalui firman dan baptisan, terdapat dalam Yohanes 15:3, dan dalam Efesus 5:26 yang dipakai bersama-sama dengan kata hagios. Di dalam Perjanjian Baru bahasa Gerika, terdapat pula kata astilos yang berarti bersih, murni, tidak kotor, tanpa cela (2 Petrus 3:14); kata amōmos (Efesus 1:4; 2 Petrus 3:14) yang berarti tidak bercela (bersih dari cela). Kata astilos dan amōmos dipergunakan di dalam Injil/Perjanjian Baru untuk menyatakan akhlak/moral yang baik, bersih, dan terpuji, tetapi tidak dipergunakan untuk menyatakan arti kudus, dan suci yang diperuntukkan bagi Allah. Selain itu, terdapat pula satu kata Gerika, hosios (Kisah 13:34) yang berarti kudus, suci, saleh, untuk menyatakan secara tidak langsung hubungan yang benar dengan Allah. Dalam bahasa Indonesia, kata bersih (dialek Kupang: barisi) memang disinonimkan juga dengan kata suci, namun arti ini dihubungkan dengan persoalan akhlak/moral seperti yang dinyatakan oleh kata Gerika katharos (arti literal), astilos, dan amōmos. Dengan demikian, Roh Kudus tidak sepatutnya diterjemahkan ke dalam dialek Kupang dengan Roh Barisi.
Sebutan Roh Kudus, begitu pula dengan sebutan Bait Suci, kota suci, Kitab Suci, orang-orang kudus dan kata kudus serta suci, sepatutnya dipungut ke dalam dialek Kupang, mengingat dialek Kupang pada mulanya, bahkan sampai sekarang dan pada waktu akan datang sekalipun tetap merupakan bahasa pijin, yang kosa katanya dipungut dari berbagai bahasa. Dialek Kupang bukan “bahasa yang sistem unsur-unsur dan kaidah-kaidahnya sempurna”, melainkan sebuah “bahasa percakapan sehari-hari yang berkembang dari proses pijinisasi”. Pungut-memungut kata-kata, istilah, ungkapan dari bahasa-bahasa lain dan dipakai seenaknya saja oleh pemakai dialek, adalah merupakan ciri khas dialek Kupang.
Dalam Janji Baru tim penerjemah mempergunakan kata-kata pungutan dari bahasa asing yang dilafalkan menurut dialek Kupang, antara lain: roster, gorden, kompleks, isprei, stir, pardeo, fanderen, strat, informasi, bos, parinsip, baroit, dan lain-lain. Kata-kata yang berasal dari Alkitab, misalnya saloom, Efata, Haleluya, Hosana, yang mencerminkan nilai-nilai Injili dan kristiani, dipungut dan dipergunakan dalam Janji Baru. Dalam Lukas 18:10 terjemahan Janji Baru, kata suci dipakai dalam kalimat yang berbunyi, “Orang Yahudi dong anggap orang Farisi dong, orang suci.”Tetapi anehnya, kata suci, tidak dipakai untuk menyebut, kota suci, Bait Suci, Kitab Suci. Dan kata kudus tidak dipakai untuk menyebut Roh Kudus, dan orang-orang kudus. Dengan dipantangkan atau dinafikannya pemakaian kata suci dan kudus dalam kitab Janji Baru, dapatkah tim penerjemah Perjanjian Baru versi GMIT memberikan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara teologis-alkitabiah?
Jikalau kita membandingkan terjemahan Perjanjian Baru (PB) dialek Kupang edisi perdana tahun 2007 dengan terjemahan Perjanjian Baru (PB) bahasa Melayu edisi tahun 1929, maka terjemahan PB bahasa Melayu edisi tahun 1929 jauh lebih khidmat dari pada terjemahan PB dialek Kupang edisi perdana tahun 2007. Dalam PB bahasa Melayu, Roh Kudus diterjemahkan dengan Rohoe’lkoedoes; kota suci atau kota kudus diterjemahkan dengan negeri koedoes; Bait Suci diterjemahkan dengan ka’bah; orang kudus diterjemahkan dengan orang saléh; Kitab Suci diterjemahkan dengan kitab. Kata Bait Suci yang diterjemahkan dengan ka’bah dapat diterima, karena kata Gerika ieron juga dapat diterjemahkan dengan kuil, pura, kenisah, bangunan suci untuk pemujaan kepada Allah, atau dewa. Dan kata Kitab Suci yang diterjemahkan dengan kitab, juga dapat dimaklumi karena kata Gerika hai graphai dapat diterjemahkan dengan Kitab (Perjanjian Lama) dan berdasarkan arti kata Gerika graphas dalam 2 Petrus 3:16, terhisab pula dengan keempat Injil dan Surat-surat pastoral yang terhimpun di dalam Perjanjian Baru).
Sementara dalam terjemahan PB dialek Kupang, Roh Kudus dalam Matius 1:18 diterjemahkan dengan Tuhan Allah pung Roh yang Barisi; Tuhan pung Roh yang Barisi (Lukas 2:25-26); Tuhan Allah pung Roh (Utusan dong pung Carita 2:4); kota suci dalam Matius 4:5 diterjemahkan dengan kota barisi; orang kudus dalam Matius 27:52 diterjemahkan dengan Tuhan Allah pung orang; Bait Allah dalam Matius 4:5 diterjemahkan dengan Ruma Sambayang Pusat; Bait Suci dalam Matius 27:5 diterjemahkan juga dengan Ruma Sambayang Pusat; dan Kitab Suci dalam Yohanes 7:38 diterjemahkan dengan Tuhan pung Tulisan Barisi.
Dengan dihilangkannya kata kudus dan suci, apa lagi Roh Kudus, dalam Janji Baru (Perjanjian Baru dialek Kupang), terasa benar-benar redupnya nilai kekudusan, keagungan, kekhidmatan, serta daya gugah, dalam isi berita Perjanjian Baru dialek Kupang. Dan ini sangat disesalkan.
2. Kurios
Berkenaan dengan kata Gerika kurios, saya merasa tertarik untuk mengutip sari percakapan/diskusi antara Mesakh A.P. Dethan, seorang pendeta GMIT yang sedang diutus untuk studi doktoral dalam Perjanjian Baru di Universitas Heidelberg Jerman, dengan konsultan penerjemah, Dr. Charles Grimes, Ph.D. Menurut Dethan, penggunaan kata Bos, buat Tuhan Yesus, sebagai terjemahan dari kata Gerika kurios, kurang tepat. Tetapi Dr. Grimes, menyatakan kata Bos lebih dekat kepada pengertian kata Gerika kurios, yang mempunyai arti: tuan tanah, tuan rumah, pemilik yang mempunyai hak atur, hak putus atau pimpinan yang memegang perintah, atau orang besar yang punya status tinggi dan/atau juga sapaan untuk orang besar. Dethan mengatakan bahwa penggunaan kata Bos buat Tuhan Yesus telah dikritik oleh “generasi tua”, sebab istilah itu konotasinya negatif dalam hubungan dengan “geng”. Sebab itu, mereka (generasi tua) katakan tidak pantas sebut Bos buat Tuhan Yesus dan/atau Tuhan Allah. Tetapi Dr. Grimes mengemukakan alasan bahwa bagi “generasi muda”, istilah Bos mempunyai arti netral dan mempunyai arti yang luas dari sekadar “geng” (baca, Mesakh A.P. Dethan. “Alkitab Perjanjian Baru Dalam Bahasa Kupang” [Suatu Masterpiece GMIT]. Timex, Jumat, 7 September 2007, hlm.4).
Penjelasan tentang arti kata Gerika kurios yang diberikan oleh Dr. Charles Grimes, Ph.D., sebagaimana dikemukakan oleh Mesakh A.P. Dethan seperti yang saya kutip di atas, barulah merupakan sebagian dari arti kata kurios. Arti kata kurios yang diberikan oleh Dr. Grimes itu sekadar arti (literal) yang cocok untuk konteks Markus 12:9, ho kurios tou ampelōnos (= tuan kebun anggur); Markus 13:35, ho kurios tēs oikias (= tuan rumah); kurios (= tuan) yang dijelaskan oleh Tuhan Yesus dalam Lukas 12:42-47 par Matius 24:45-51, yaitu kurios (= tuan) atau pemilik yang mempunyai hak atur, hak putus; kurios (= tuan) yang disebut dalam Matius 27:63, yaitu Pilatus, yang memegang perintah, orang besar dan mempunyai status tinggi. Dalam hal ini, kurios (= tuan) yang ditujukan kepada orang yang memegang perintah, orang besar, orang yang mempunyai status tinggi, merupakan istilah umum yang dipakai dalam adab sopan-santun untuk menyapa orang yang mempunyai kedudukan terhormat, atau orang yang dihormati, sama dengan sapaan “sir” (= tuan) dalam bahasa Inggris, dan bukannya “bos”. Apabila Dr. Grimes dan tim penerjemah Janji Baru cerdas dan teliti membaca Perjanjian Baru bahasa Gerika, maka yang tepat sekali disapa dengan kata sapaan bos, yaitu “tuan-tuan” (kurioi) yang disebutkan dalam Kisah Para Rasul 16:16,19, karena pekerjaan mereka ialah memperalat seorang hamba perempuan yang mempunyai roh tenung, sehingga dengan tenungan-tenungan hamba perempuan itu mereka memperoleh penghasilan besar. Dan ketika Paulus mengusir roh tenung keluar dari hamba perempuan itu, maka “tuan-tuan” (kurioi) yang pantas disebut bos yang merasa kehilangan penghasilan itu menangkap Paulus dan Silas, lalu menyeret mereka ke hadapan penguasa.
Berdasarkan penjelasan di atas ini, saya ingin menegaskan bahwa sangat keliru sekali apabila Dr. Grimes menerjemahkan sebutan kurios yang ditujukan kepada Yesus dengan kata Bos, dan menyarankan kepada tim penerjemah Janji Baru untuk menyebut Yesus dengan sebutan Bos di dalam Kitab Janji Baru. Yesus sepantasnya disapa dengan “Lord” dan “Sir” (dalam bahasa Inggris), dan Tuan dalam bahasa Indonesia, maupun dalam dialek Kupang, karena kata atau sebutan tuan sudah mengakar dalam dialek Kupang. Bukankah dalam Markus 12:9 (JB) tim penerjemah memakai kata tuan tana, yang sebenarnya tuan kebun anggur; dalam Markus 13:35 (JB) tuan ruma; dalam Matius 9:37 (JB), seharusnya ayat 38, tertulis, “minta sang kabón pung Tuan”? Mengapa Dr. Grimes tidak menyarankan tim penerjemah Janji Baru untuk mempergunakan kata tana pung bos, yang sebenarnya kebun anggur pung bos (dalam Markus 12:9); ruma pung bos dalam Markus 13:35); dan “minta sang kabon pung Bos” (dalam Matius 9:37)? Mengapa pemilik tanah, pemilik rumah, dan pemilik kebun “sangat dihormati” dan disapa dengan kata sapaan tuan, dan Yesus yang adalah Anak Allah, Tuan di atas sekalian tuan, Raja di atas sekalian raja, yang berkebesaran di dunia dan di sorga, yang pada akhir zaman akan menghakimi setiap orang yang hidup dan yang mati, karena itu Ia dijunjung dan disembah dengan sapaan terhadap “manusia ilahi” (Divinity beings) dalam bahasa Gerika, ho kurios yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan the Lord; bahasa Indonesia, Tuhan, sebagai pemuliaan, tega disebut Bos oleh Dr. Grimes dan sepuluh orang tim penerjemah Janji Baru versi GMIT? Selain itu, pantaskah pula jika Allah disapa Bos Bésar (Lukas 10:21) dan Yesus yang sudah disebut Bos, harus disebut lagi bos besar (JB, Utusan dong pung Carita 17:7), padahal kata Gerika basilea, yang disebutkan bagi Yesus itu artinya raja—bukan berarti bos besar?
Dalam tulisan yang lalu (Timex, Rabu, 26 September 2007), telah saya katakan bahwa bos, dalam konteks tertentu berkonotasi positif, misalnya sebutan yang ditujukan kepada orang yang memimpin/mengepalai satu grup perusahaan yang besar; orang yang berkuasa membayar upah pekerja pada suatu perusahaan; orang kaya dan berduit. Dalam konteks yang lebih rendah lagi, sebutan bos dipakai oleh pekerja/kuli bangunan, kuli pelabuhan untuk menyapa mandur mereka, atau anak buah perahu yang menyapa juragan mereka. Tetapi yang paling populer, sebutan bos berkonotasi negatif, karena sebutan bos lazim dikaitkan dengan seorang pemimpin di dunia geng dan mafia, entah komplotannya kecil atau besar.
J.C. Nesfield mengatakan, “It may be difficult to draw the line between Vulgarisms, i.e. words or phrases to be avoided at all times, and Colloquialisms, i.e. words or phrases admissible in dialogue or in correspondence between friends and equals. Others use Colloquialisms, because they will not take the trouble to think of the proper words” (Manual of English Grammar and Composition. London. Macmillan and Co.Hlm.151). “Sangat sulit untuk menarik garis di antara Vulgarisms (= perkataan/ucapan kasar/tidak sopan), yaitu kata-kata atau frasa-frasa yang harus dihindari di sepanjang waktu, dengan Colloquialisms (= bahasa percakapan atau bahasa sehari-hari), yaitu kata-kata atau frasa-frasa yang dapat diterima dalam percakapan dwicakap atau dalam surat-menyurat di antara sahabat-sahabat dan orang-orang sederajat. Orang lain mempergunakan Colloquialisms (= bahasa percakapan atau bahasa sehari-hari), karena mereka tidak ingin bersusah payah untuk memikirkan kata-kata yang pantas dan tepat.” Nesfield memberi contoh beberapa kata yang tergolong ke dalam Colloquialisms, antara lain: puckish untuk “hungry” (lapar); sat upon untuk “blamed” (jahanam, terkutuk); fluke untuk “lucky stroke” (keuntungan yang tidak disangka-sangka); Jiffy untuk “instant” (segera, seketika); Boss untuk “employer” (majikan, induk semang, pemberi kerja, pengusaha, pemimpin, ketua) atau “head man” (penghulu, lurah, kepala kampung, kepala tukang). Kata-kata yang sepantasnya dipakai di dalam percakapan ialah kata-kata yang diapit oleh tanda kutip (“..”) untuk bahasa Inggris, dan kata-kata yang berada dalam tanda kurung (..) untuk bahasa Indonesia. Dan kata-kata yang digolongkan sebagai Colloquialisms yaitu kata-kata yang diketik dengan huruf kursif (Ibid. hlm.152).
Dengan penjelasan tentang Colloquialisms (= bahasa percakapan atau bahasa sehari-hari) di atas ini yang segolongan dengan dialek Kupang , sepenggal pernyataan Nesfield sebagaimana telah dikutip di atas perlu digarisbawahi sekali lagi untuk dicamkan: “Orang lain mempergunakan ‘Colloquialisms’ (= bahasa percakapan atau bahasa sehari-hari), karena mereka tidak ingin bersusah payah untuk memikirkan kata-kata yang pantas dan tepat”. Dengan kata lain, orang terdorong untuk berbahasa asal-asalan dengan prinsip manasuka, karena malas dan tidak mau belajar untuk mengetahui dan mempergunakan bahasa yang baik dan benar. Ini berarti, kemunduran.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar