Beberapa ratus tahun sebelum Masehi orang-orang Tionghoa telah menganut suatu sistem kepercayaan yang disebut ‘Tao’, yang diajarkan oleh Lao-tze (lahir pada tahun 604 sebelum Masehi). Tao tidak diungkapkan, disebutkan dan dilukiskan dengan kata-kata (Sacret Book of the East [SBE], 14:1-3; 32:1: 37:3). Namun demikian, demi pemahaman, orang mengartikan dan menjelaskan Tao secara etimologis dan secara teknis.
Berdasarkan etimologi, Tao diartikan secara sederhana untuk menyatakan ‘jalan/peredaran alam’, ‘tata aturan fisik dunia’, atau ‘hukum alam’. “Tao adalah keadaan alam semesta yang teratur baik” (SBE, 2:3). “Tao adalah kesederhanaan keadaan alam yang menyenangkan, memuaskan, tanpa perang..., tanpa takut terhadap kematian/maut” (SBE, 80:1-5). Berdasarkan sistem kepercayaan ini, orang-orang Tionghoa sadar benar akan adanya ‘hukum alam’ dalam universum (alam dunia) ini. Segala sesuatu dalam alam semesta ini dikuasai dan dikendalikan oleh ‘hukum alam’. Peredaran planet, gerakan bintang-bintang di langit, pasang surut air laut, peredaran musim dan lain-lain, bahkan manusia pun terikat benar oleh ‘hukum alam’. Itulah sebabnya manusia harus menyelidiki dan menghormati ‘hukum alam’. Orang yang tidak menyelidiki dan menghormati ‘hukum alam’ adalah orang yang tidak menghormati dirinya sendiri, sesama manusia, dan universum. Akibatnya, orang itu akan hidup dalam ketidakselarasan dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dan dengan universum.
Secara teknis, Tao berarti “pandangan hidup dan/atau filsafat agama yang bersifat absolut. Tao adalah yang awal, yang mula-mula, yang terdahulu, ada sebelum langit dan bumi. Tao adalah yang terakhir, yang penghabisan, hening, tanpa bentuk, tak bernama” (SBE, 25:1-4). Singkatnya, Tao adalah yang awal dan yang akhir (alfa dan omega). Sama seperti dalam Wahyu 1:8, Allah disebut ‘Alfa dan Omega’, yang juga disebutkan untuk Yesus dalam Wahyu 22:13, yang berarti bahwa Yesus hadir sejak awal penciptaan dan akan memerintah pada akhir zaman. “Tao adalah sumber yang berkelimpahan yang menopang segala sesuatu” (SBE, 51:3-4). “Tao adalah ‘jalan surga’ yang tenteram, tenang, lembut, tidak mementingkan diri, siap menjalankan tugas demi kebaikan” (SBE, 7:1-2; 9:1-2; 47:1; 68:1-2; 73:2; 81:3). “Tao adalah ‘Jalan Tuhan’ seperti yang dimaksudkan dalam Kisah Para Rasul 9:2; 19:9, 23; 22:4; 24:14, 22. Barangsiapa mengenal Tao (‘Jalan Tuhan’) ia sabar, tenang dan tahan menanggung penderitaan (SBE, 16:4; 39:60). Orang yang hidup menurut Tao (‘Jalan Tuhan’) selalu membalas kebaikan terhadap orang yang melakukan kejahatan terhadapnya (Tao-Teh-King, 49:2; 63:1-2; SBE, 39:91, 106). Orang yang hidup menurut Tao (‘Jalan Tuhan’) berpegang kepada ajaran: “Apa yang engkau tidak kehendaki orang lain perbuat terhadap dirimu, janganlah engkau lakukan itu terhadap orang lain” (Doctrin of the Mean, 13:3). Inilah ‘kaidah emas’ yang merupakan asas etik yang paling umum menurut Tao, sedangkan Yesus berkata, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka” (Matius 7:12; Lukas 6:31).
Selain arti Tao secara teknis sebagaimana dijelaskan di atas, Tao juga berarti ‘ilah’, ‘dewa’, ‘Yang Mahakuasa’, ‘Tuhan’, ‘Allah’; dan dalam konsep agama Kristen Tionghoa, Tao berarti ‘Firman’ atau ‘Logos’. Terjemahan Injil Yohanes 1:1 dalam bahasa Tionghoa jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, berbunyi sebagai berikut: “In the beginning was the Tao, and the Tao was with God, and the Tao was God” (R. E. Hume, 1933:137,138); dan dalam bahasa Indonesia, berbunyi sebagai berikut: “Pada mulanya adalah Tao; Tao itu bersama-sama dengan Allah dan Tao itu adalah Allah”. Dengan demikian, Injil Yohanes 1:14 berbunyi: “Tao itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.”
Tao dan metamorfosa
Berdasarkan sekelumit uraian mengenai Tao di atas ini, orang-orang Tionghoa mengatakan bahwa apabila kita mau jujur maka sesungguhnya kita harus mengatakan bahwa hidup kita di dunia ini tidak terlepas dari Tao. Apabila kita mengamati alam dan hukum-hukum alam yang berhubungan dengan konservasi zat dan energi, dan berpendapat bahwa tiada suatu benda pun yang sungguh-sungguh hilang di dalam alam ini, maka keterkaitan kita dengan Tao tidak dapat disangkali. Tao mengajarkan bahwa suatu benda (bentuk atau susunan) tidak pernah hilang atau musnah, melainkan mungkin diubah atau diganti ke dalam sesuatu yang lain lagi. Dengan demikian, Tao mengajarkan tentang adanya metamorfosa di sekitar kita, yang tidak pernah hancur atau musnah sama sekali. Apabila kemusnahan total pernah terjadi, maka hal itu ada hubungannya dengan kejadian atau peristiwa khusus. Mengenai kemusnahan total orang-orang Tionghoa yang beragama Kristen merujuk kepada Alkitab yang mengatakan bahwa Allah mempunyai kuasa untuk menghancurkan secara total (2 Petrus 3:10, 11; Wahyu 20:14, 15), sama seperti Allah mempunyai kuasa untuk mencipta.
Asas Tao yang dijelaskan di atas ini berlaku pula terhadap kematian. Kematian bukanlah merupakan suatu kehancuran atau kemusnahan total, melainkan merupakan suatu metamorfosa. Dan metamorfosa yang bertalian dengan kematian merupakan suatu kejadian yang niscaya, sekalipun kita belum mengetahui ke dalam bentuk atau wujud apa kehidupan kita akan dijelmakan/diubahkan. Berdasarkan asas pemikiran Tao, ajaran materialistis-Darwinisme yang mengatakan bahwa kematian adalah akhir dan hidup sesudah kematian adalah khayal serta kebangkitan adalah suatu mitos, sesungguhnya merupakan suatu ajaran/pemikiran yang berada di luar Tao. Konsep metamorfosa berkenaan dengan Tao dapat dijelaskan pula sebagai berikut.
Apabila satu ovum (sel telur) terlepas dari ovary (indung telur), maka ia bergerak untuk bertemu dengan sel sperma. Dan bila kedua sel ini bertemu dan menyatu, maka terjadilah suatu proses yang memungkinkan terwujudnya suatu metamorfosa yang luar biasa. Salah satu sel sperma yang berhasil menembus sel telur dengan kepalanya akan membuat kedua sel tersebut menyatu dan membentuk satu sel baru, yaitu ‘telur yang dibuahi’. Dengan terbentuknya ‘telur yang dibuahi’ ini, maka sel telur dan sel sperma tidak lagi berada dalam kekhasannya masing-masing melainkan keduanya telah ‘mati’ dalam menghasilkan suatu perwujudan yang sama sekali baru. ‘Matinya kekhasan masing-masing sel’ inilah yang menjadi dasar utama bagi terjadinya suatu perwujudan baru dan bagi metamorfosa yang membentuk perwujudan baru tersebut.
Tanpa mengalami proses ‘kematian’, maka sel telur akan tetap sebagai sel telur dan sel sperma pun tetap sebagai sel sperma. Namun apabila kedua sel tersebut mengalami proses ‘kematian’ dalam pertemuan dan penyatuannya, maka keduanya akan memulai suatu ‘kehidupan’ yang sama sekali baru; keduanya akan mengalami suatu tipe kehidupan yang lebih lengkap yang tidak terbayangkan sama sekali, jika dibandingkan dengan keadaan masing-masing sel tersebut saat sebelum menyatu dan mengalami proses ‘kematian’.
Berdasarkan uraian di atas ini maka kita dapat membuat sebuah simpulan sebagai berikut: “Bahwasanya makna kehidupan dari sel sperma terletak dalam pertemuannya dan penyatuannya dengan sel telur, dan makna kehidupan dari sel telur pun terletak dalam pertemuannya dan penyatuannya dengan sel sperma.” Inilah Tao dalam dunia biologis.
Tao dalam rencana penyelamatan oleh Allah
Tao dalam dunia biologis sebagaimana dikemukakan di atas ini ‘sejalan’ dengan Tao dalam rencana penyelamatan yang Allah lakukan di dalam Yesus yang dikandung dan dilahirkan oleh Maria. Secara analogi konversi dapat diuraikan sebagai berikut.
Yesus yang pada awal keindividualan-Nya adalah ‘Firman’, telah ‘mendaging’ dalam kandungan Maria oleh kuasa Roh Kudus, seperti menyatunya sel sperma dan sel telur. Dengan ‘mendagingnya Firman’ dalam kandungan Maria, maka ‘Firman’ tidak lagi tetap berada dalam kekhasannya sebagaimana dijelaskan dalam Injil Yohanes 1:1, 2; melainkan ‘Firman’ itu telah ‘mati’ (= tidak terus berada dalam keadaan asali) bagi terwujudnya suatu kehidupan baru. Di dalam kandungan Maria, ‘Firman’ telah mengalami suatu proses metamorfosa yang ajaib mengikuti Tao yang berlaku dalam dunia biologi. Proses metamorfosa ini berkembang mulai dari masa telur yang dibuahi datang ke masa mudigah; dari masa mudigah datang ke masa janin; kemudian janin dilahirkan untuk disebut sebagai bayi yang diberi nama Yesus (Matius 1:21). Demikianlah “Firman itu telah menjadi manusia....” (Yohanes 1:14). Lalu, bagaimanakah faktor-faktor warisan dalam pertumbuhan Yesus yang menjadi manusia? Menurut Tao yang berkenaan dengan dunia biologi, Dr. Belle Wood Camstock menguraikan sebagai berikut.
“Dalam khromosom tiap-tiap sel tubuh ada semua faktor-faktor yang telah turun dari bapa dan ibu, separo dari masing-masing bapa dan ibu. Dalam tiap-tiap susunan khromosom yang sempurna seperti terdapat dalam sel-sel tubuh dan dalam sel-sel inti sebelum pembagian penyusutan, ada sebuah genes atau pendukung pembawaan yang mempengaruhi tiap-tiap sifat yang mungkin. Genes ini adalah selamanya dalam pasangan: salah satu dari pasangan itu dari pihak bapa, dan satu lagi dari pihak ibu. Genes dari sesuatu pasangan mungkin sangat serupa atau mungkin pula sangat berbeda. Maka tentu saja dengan sifat-sifat yang bertentangan ada kemungkinan mengadakan penelitian. Umpamanya, sepasang genes yang ada hubungannya dengan tinggi badan. Kalau kedua ibu-bapa pendek, maka buktinya ialah genes atau pendukung pembawaan ketinggian dalam sel-sel tubuh keturunan mereka akan membawa badan yang pendek, sehingga pengaruhnya menjadikan keturunan mereka yang pendek pula. Begitu pula kalau ibu dan bapa tinggi, maka genes ketinggian dalam sel-sel tubuh anak mereka akan membawa ketinggian, sehingga anak-anak mereka akan condong menjadi orang yang tinggi.
Tetapi kalau salah seorang dari ibu-bapa itu ada yang tinggi dan yang lainnya pendek, maka seorang anak yang mereka lahirkan dapat membawa dalam masing-masing sel tubuhnya sepasang genes, satu yang akan mempunyai pengaruh untuk ketinggian dan yang satu lagi untuk kependekan. Dalam hal seperti ini, genes ketinggian adalah suatu ciri yang positif atau terbanyak sehingga mempunyai pengaruh yang lebih banyak daripada genes kependekan sebagai ciri yang negatif atau terdesak. Karena memang demikian halnya, maka anak itu akan condong kepada pertumbuhan tinggi, meskipun ia mempunyai genes kependekan.
Salah satu hal yang penting dan menarik ialah bahwa tidak ada dua dari suatu pasangan genes berjalan bersama-sama (satu dari ibu, satu dari bapa) di dalam sel-sel tubuh pernah terdapat dalam sel inti yang satu, setelah sel itu disusutkan oleh pembagian penyusutan dan telah menjadi sel kawin. Dengan kata lain, tidak pernah ada seorang yang menyampaikan kepada salah satu sel intinya yang telah disusutkan, baik genes yang telah diterimanya dari ibunya dan genes pasangan yang diterima dari bapanya. Ia boleh mewariskan genes ibu atau genes bapa, tidak pernah kedua-duanya. Dalam hal ini sifat yang terbanyak akan mempunyai kecondongan akan menutupi genes yang terdesak.
Sesuatu faktor yang terbanyak atau dominan apabila dipersatukan dengan ciri-ciri lawannya, niscaya condong kepada melebihi atau mendesak ciri lawan itu. Jadi boleh dikatakan bahwa faktor dominan atau faktor terbanyak itu adalah faktor yang positif. Dan ciri yang terdesak itu condong kepada dilenyapkan apabila digabungkan dalam sel-sel tubuh dengan sifat-sifat yang positif, atau faktor yang terbanyak/dominan itu. Dengan demikian, bolehlah disebutkan faktor yang terdesak itu disebut sebagai faktor yang negatif” (Belle Wood Camstock, 1963:35-41).
Berdasarkan uraian Dr. Belle Wood Camstock sebagaimana dikutip di atas ini, saya ingin membuat beberapa catatan analogi konversi berkenaan dengan ‘faktor warisan’ dalam pertumbuhan Yesus yang menjadi manusia sebagai berikut.
1). Karena Yesus yang dikandung dan dilahirkan oleh Maria itu pada mulanya adalah ‘Firman’; ‘Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah’ (Yohanes 1:1), maka ‘faktor-faktor warisan’ dalam pertumbuhan Yesus yang menjadi manusia terbanyak diterima-Nya dari Allah (Yohanes 1:14).
2). Karena Yesus yang dikandung dan dilahirkan oleh Maria itu dari Roh Kudus, di dalam naungan kuasa Allah Yang Mahatinggi (Lukas 1:35 dyb), maka ‘faktor-faktor warisan’ dalam pertumbuhan Yesus yang menjadi manusia itu terbanyak diterimanya dari Allah (Matius 1:20-23; Lukas 1:35, 36; Ibrani 1:3; Kolose 1:19; 2:9). Dengan demikian sifat ‘faktor warisan yang terbanyak’ tersebut merupakan ‘faktor dominan’, atau ‘faktor positif’ yang mempunyai kecondongan untuk menutupi ‘faktor yang terdesak’ atau ‘faktor negatif’ yang diterima Yesus dari manusia (perempuan) Maria yang mengandung dan melahirkan-Nya.
3). Karena ‘faktor dominan’ yang Yesus terima dari Allah itu bersifat ‘ilahi’, maka Yesus disebut orang, ‘Imanuel’, yang berarti ‘Allah menyertai kita’ (Matius 1:23); ‘Anak Allah Yang Mahatinggi’ (Lukas 1:32); ‘Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran’ (Yohanes 1:14, 18); ‘Anak Domba Allah, yang menghapus dosa dunia’ (Yohanes 1:29); ‘Yesus tidak mengenal dosa (2 Korintus 5:21), tidak berbuat dosa (1 Petrus 2:22), tidak berdosa (1 Yohanes 3:5), benar (Kisah 7:52; 1 Yohanes 3:7), suci’ (1 Yohanes 3:3), karena Yesus adalah ‘Yang Kudus dari Allah’ (Markus 1:24; Yohanes 6:69).
4). Karena ‘faktor dominan’ yang Yesus terima dari Allah, maka Yesus menyebut diri-Nya ‘Anak’ dan Allah adalah ‘Bapa-Nya’ seraya mengungkapkan relasi-Nya sebagai ‘Anak’ dengan Allah sebagai ‘Bapa’, serta kuasa yang diterima-Nya dari Allah sebagai ‘Bapa-Nya’ (Yohanes 5:17, 18, 19-47).
5). Karena ‘faktor dominan’ yang Yesus terima dari Allah, maka Yesus bersaksi secara positif tentang diri-Nya sebagai ‘Roti hidup’, ‘Air sumber hidup’, ‘Gembala yang baik’, ‘Terang dunia’, ‘Pokok anggur yang benar’, ‘Jalan dan kebenaran dan hidup’.
6). Karena ‘faktor dominan’ yang Yesus terima dari Allah, maka secara positif Yesus bersaksi tentang diri-Nya: “Aku datang bukan atas kehendak-Ku sendiri, tetapi Aku diutus oleh Dia yang benar yang tidak kamu kenal. Aku kenal Dia, sebab Aku datang dari Dia dan Dialah yang mengutus Aku” (Yohanes 7:28, 29 dst.); “Aku keluar dan datang dari Allah. Dan Aku datang bukan atas kehendak-Ku sendiri, melainkan Dialah yang mengutus Aku” (Yohanes 8:42); “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa... Tidak percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku? Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya.....” (Yohanes 14:9-11); “Ajaran-Ku tidak berasal dari diri-Ku sendiri, tetapi dari Dia yang telah mengutus Aku” (Yohanes 7:16).
Demikianlah ‘faktor-faktor dominan’ yang Yesus warisi dari Allah sejak Ia berada di dalam kandungan Maria, yang kemudian menampakkan kecondongannya yang kuat di dalam pribadi Yesus, sebagaimana dikatakan oleh penulis Injil Lukas: “Anak itu bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada pada-Nya” (Lukas 2:40). Kecondongan ‘faktor-faktor dominan’ tersebut semakin bertambah kuat ketika Yesus berusia dua belas tahun: Di dalam Bait Allah, Ia duduk di tengah-tengah alim ulama, sambil mendengarkan mereka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka. Semua orang yang mendengarkan Dia sangat heran akan kecerdasan-Nya dan segala jawab yang diberikan-Nya (Lukas 2:46, 47). Sejak itu, Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia (Lukas 2:52). Dan kecondongan ‘faktor-faktor dominan’ yang Yesus warisi dari Allah tersebut mencapai puncak kematangannya pada saat Yesus mulai menjalani karya mesiani-Nya, yang diawalinya dengan menjalani masa pencobaan di padang gurun (Lukas 4 dyb), setelah kembali dari sungai Yordan. Sebab, demi tujuan karya mesiani bagi keselamatan dunia/manusia itulah, Allah mengutus-Nya ke dalam dunia (Yohanes 3:16; Matius 20:28).
Faktor-faktor dominan yang disebutkan di atas inilah yang menyebabkan Yesus menghadapi penangkapan, penghinaan dan penganiayaan dengan tabah dan rela, sampai mati digantung di tiang salib (Matius 26:47-56; Lukas 23:1-49; 1 Petrus 2:23, 24). Berdasarkan tinjauan di atas ini, maka dapat saya membuat suatu simpulan sebagai berikut:
“Bahwasanya makna kasih Allah akan dunia dan manusia terletak dalam ‘pertemuan’ antara Allah dan manusia di dalam dunia. Dan ‘pertemuan’ itu terjadi di dalam ‘Firman’ yang mendaging di dalam rahim perawan Maria, yang mengandung dan melahirkan Yesus yang menjadi Juruselamat. Dengan demikian, di dalam Yesus, Allah merangkul dunia dan manusia di dalam kasih-Nya yang menyelamatkan. Dan di dalam Yesus, manusia dapat menghampiri Allah dalam suatu relasi yang baru, yakni relasi pengampunan dan pendamaian berdasarkan rahmat Allah. Tanpa demikian, maka Allah akan tetap tinggal sebagai Allah yang Mahamurka, dan dunia serta manusia akan tetap tinggal sebagai dunia dan manusia yang terkutuk dan terperangkap dalam kuasa maut.”
Tao dalam hidup yang baru
Mengenai ‘hidup yang baru’ bagi setiap orang yang percaya akan Yesus Kristus, Rasul Paulus berkata antara lain: “Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptiskan dalam Kristus, telah dibaptiskan dalam kematian-Nya? Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru” (Roma 6:3, 4).
Dari uraian tentang ‘Tao dan metamorfosa’, khususnya Tao dalam dunia biologi, kita telah mengetahui bahwa apabila satu sel sperma bertemu dan menyatu dengan sel telur (ovum), maka akan terjadilah suatu proses ‘kematian’ yang memungkinkan terwujudnya suatu metamorfosa yang luar biasa, yang melahirkan suatu kehidupan yang sama sekali baru. Dan dalam kehidupan yang baru itu faktor-faktor dominan akan menampakkan kecondongannya yang kuat, sedangkan faktor-faktor terdesak akan condong kepada dilenyapkan oleh kekuatan faktor-faktor dominan. Tao dalam dunia biologi ini dapat dianalogi-konversikan untuk memahami pandangan Rasul Paulus tentang ‘hidup yang baru’.
Dibaptiskan dalam Kristus artinya dipertemukan dan disatukan dalam Kristus, dalam kematian dan penguburan Kristus (Roma 6:3). Penguburan adalah pembuktian dari kematian. Dalam proses kematian dan penguburan bersama Kristus ini terjadilah suatu ‘metamorfosa rohani’ yang ajaib berdasarkan rahmat Allah, sehingga kita akan mengalami suatu proses kehidupan yang baru seperti kata Rasul Paulus: “..... supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru” (Roma 6:4, dyb). Kita mengalami hidup yang baru, karena ‘faktor-faktor dominan’ yang ada pada Kristus condong kepada menaungi kita yang memiliki ‘faktor-faktor terdesak’ yaitu faktor-faktor tabiat hidup yang lama yang dikuasai oleh dosa. “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan yang baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (2 Korintus 5:17). Dengan demikian kita dapat hidup dalam damai Allah; kita dapat beroleh jalan masuk kepada kasih karunia Allah; kita dapat bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah (Roma 5:1-11).
Untuk mengadakan karya ‘hidup yang baru’ sebagaimana dikemukakan di atas ini, Kristus (Yesus) tidak tetap tinggal di dalam kemuliaan-Nya di sorga, melainkan Ia telah ‘masuk’ ke dalam dunia kehidupan kita, menjadi sama seperti kita dalam bentuk kemanusiaan kita (Yohanes 1:14). Dan dengan menjadi sama seperti manusia inilah, karya ‘hidup yang baru’ bagi dunia dan manusia dilaksanakan-Nya melalui kematian dan kebangkitan-Nya (Ibrani 2:9, dyb; Roma 5, 6, 8, dyb). Ya, dengan proses ini sajalah, karya ‘hidup yang baru’ yang diemban oleh Kristus (Yesus) dapat bermakna bagi dunia dan manusia, dan/atau sebaliknya dunia dan umat manusia baru bisa memperoleh makna karya ‘hidup yang baru’ di dalam Kristus (Yesus). Tanpa ‘proses’ seperti ini, maka Kristus (Yesus) akan tetap tinggal/berada di dalam keindividualan-Nya sebagai ‘Firman’
(Yohanes 1:1, 2), dan manusia akan tetap tinggal/berada di dalam keindividualannya sebagai manusia yang durhaka, berdosa dan lemah.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar