SIGMUND FREUD berkata, “The most mysterious thing in the universe to man is man himself. We are blind about the most important thing in our lives, our own self. What is inside us is the greatest mystery of all” (Psychology of the unconscious). Bahwasanya hal yang teramat rahasia di dalam alam semesta bagi manusia adalah manusia itu sendiri. Kita sesungguhnya buta mengenai hal yang teramat penting dalam hidup kita, yakni diri kita sendiri. Sesungguhnya apa yang ada di dalam diri kita adalah merupakan rahasia terbesar daripada segala-segalanya. Begitulah kata Sigmund Freud.
Ucapan Sigmund Freud itu benar. Sejak berabad-abad yang lampau, manusia sangat tertarik untuk mengetahui tentang manusia. Siapakah atau apakah manusia itu? Dari manakah asal manusia itu? Bagaimanakah nasib manusia itu? Dan seterusnya.........
Kecenderungan yang kuat pada manusia untuk mengetahui tentang manusia itu sendiri sebagai suatu misteri telah mewujud dalam berbagai pandangan/teori berdasarkan berbagai anggapan, disiplin ilmu, kepercayaan/keyakinan tertentu. Berbagai pandangan/teori tentang manusia tersebut tidak akan saya sentuh. Dalam tulisan ini saya hanya akan berbicara tentang manusia berdasarkan berita Alkitab yang saya junjung. Untuk itu, saya akan bertolak dari berita yang tertulis dalam kitab Kejadian 1:26-28; 2:7, 15-25, tanpa mengabaikan keutuhan berita tentang manusia di dalam Alkitab.
Menurut Kejadian 1:26, manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, ......” Perkataan ‘gambar’ (Ibrani, tselem; Gerika, eikon) dan perkataan ‘rupa’ (Ibrani, demuth, Gerika, homoiotes) adalah perkataan yang memiliki persamaan makna (sinonim). Perkataan ‘gambar’ bersinonim dengan perkataan ‘rupa’. Kedua kata tersebut bisa dipasangkan menjadi satu ungkapan demi aksentuasi dan intensifikasi makna. Dengan demikian, ‘gambar dan rupa’ (Ibrani, tselem-demuth; Gerika, eikon-homoiotes) adalah ungkapan berstruktur paralelismus morfologis sinonim, yaitu ungkapan berstruktur penyepasangan kata yang memiliki persamaan arti/makna demi mengintensifkan arti/makna.
Dalam Kejadian 1:27 ungkapan ‘gambar dan rupa’ yang berstruktur paralelismus morfologis sinonim tidak dipergunakan. Yang dipergunakan hanyalah kata/ungkapan ‘gambar’ dalam larik ayat yang berstruktur paralelismus repetitif, demi mengaksentuasi arti/makna.
Mengenai ungkapan ‘gambar dan rupa Allah’, ‘gambar Allah’, atau ‘rupa Allah’, terdapat bermacam-macam pandangan. Beberapa di antaranya telah dikemukakan oleh Esra Alfred Soru dalam opininya, “Mengapa Allah menciptakan manusia menurut ‘gambar’ dan ‘rupa’-Nya” (Timex, 17-1-2005, hlm. 4). Pandangan-pandangan lain dapat dilihat pula dalam “The Image of God”, yang ditulis oleh J. Y. Campbell. Di sini saya hanya mau menggarisbawahi ungkapan ‘gambar dan rupa Allah’ (Kejadian 1:26) atau ‘gambar Allah’ (Kejadian 1:27) sebagai suatu keistimewaan yang Allah berikan kepada manusia yang dijadikan-Nya itu. Keistimewaan itu berupa: (a) mark of honour, yaitu nilai kehormatan, nilai keunggulan, nilai akhlak baik; (b) kingship atau dignity of a king, yaitu kebesaran dan kemuliaan seorang raja; dan (c) governing power, yaitu kekuasaan memerintah.
Ya, itulah keistimewaan yang Allah berikan kepada manusia, yang tersirat dalam firman Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita” (1:26a); supaya dengan keistimewaan itu “mereka (manusia yang dijadikan Allah itu) berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi” (1:26b dan 1:28). Keistimewaan inilah yang dimadahkan dalam Mazmur 8:5-9: “apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya: kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga binatang-binatang di padang; burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, dan apa yang melintasi arus lautan.”
Selanjutnya, dalam Kejadian 2:7 dikatakan bahwa “Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.” Isi berita Kejadian 2:7 ini memberi petunjuk bahwa manusia itu pada hakikatnya adalah makhluk hidup yang sekaligus bersifat jasmaniah dan rohaniah (makhluk somatis-psikis). Kejasmaniahan manusia ditentukan oleh debu tanah dari mana manusia itu dibentuk; dan kerohaniahan manusia ditentukan oleh nafas hidup yang dihembuskan Allah ke dalam hidung manusia, sehingga manusia itu menjadi makhluk yang hidup. Ya, manusia itu menjadi makhluk yang hidup, yang tidak sekadar memiliki darah, roh, naluri dan potensi kesadaran seperti binatang, melainkan lebih daripada itu manusia dilengkapi dengan akal budi dan hikmat yang melebihi binatang (Ayub 35:11); manusia dilengkapi pula dengan imajinasi dan hatinurani, sehingga manusia tidak hanya mampu berpikir melainkan sekaligus sadar akan pemikirannya; manusia bukan hanya pemikir, melainkan pemikir yang sanggup menguasai dan menelaah pemikirannya; manusia memiliki kesadaran dan kecerdasan yang bereaksi kepada dirinya sekaligus sadar akan kesadarannya.
Keistimewaan manusia sebagai makhluk somatis-psikis yang dijadikan menurut ‘gambar dan rupa Allah’ sebagaimana dikemukakan di atas memberi petunjuk pula akan adanya relasi dalam diri manusia yang bersifat dua arah. Pertama, relasi vertikal, yaitu relasi antara manusia dengan Allah yang menjadikan manusia menurut gambar dan rupa-Nya serta menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya, sehingga menjadikannya makhluk yang hidup. Kedua, relasi horisontal, yaitu relasi antara manusia dengan alam/bumi, karena manusia itu dibentuk dari debu tanah.
Berkenaan dengan kedua relasi tersebut maka di satu pihak (relasi horisontal), manusia berhubungan erat dengan alam/bumi. Manusia tidak mungkin hidup tanpa alam, sebab Allah telah menetapkan alam/bumi menjadi tempat manusia berkreasi dan prokreasi. Dalam Kejadian 1:26-29; 2:15-25 kita dapat melihat hubungan yang tidak terpisahkan antara manusia dengan alam/bumi dan segala isinya dalam arti luas, termasuk hubungan dengan sesama manusia dan kebudayaannya sebagai akibat pelaksanaan kreasi dan prokreasi.
Di pihak lain (relasi vertikal), manusia yang dijadikan menurut gambar dan rupa Allah serta menerima amanat Allah untuk berkreasi dan prokreasi tetap harus berhubungan dengan Allah. Relasi vertikal ini bersifat relasi pertanggungjawaban manusia kepada Allah berkenaan dengan pelaksanaan amanat yang manusia terima dari Allah (Kejadian 1:26-28; 2:15 dyb).
Manusia: Laki-laki dan Perempuan
Allah menjadikan manusia itu laki-laki dan perempuan (Kejadian 1:27). Penjadian manusia atas laki-laki dan perempuan dikisahkan secara khas dalam Kejadian 2:7, 18, 21-25. Dan berkenaan dengan penjadian manusia perempuan, Allah berkata: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (2:18). Manusia laki-laki mesti ada ‘penolong yang sepadan’ dengan dia. Hal ini dipertimbangkan oleh Allah sebagai sesuatu yang niscaya (2:18, 20). Atas dasar itulah manusia perempuan dijadikan dari salah satu rusuk manusia laki-laki (2:21, 22). ‘Penolong yang sepadan’ inilah yang dinamai ‘perempuan’, sebab ia diambil dari laki-laki (2:23).
‘Perempuan’ adalah ‘penolong yang sepadan’ bagi laki-laki. ‘Penolong’ dalam hal ini bukan berarti ‘pembantu’, melainkan ‘penolong’ dalam arti: ‘oknum/pribadi yang turut menyokong atau menyebabkan berhasilnya sesuatu......’ (one who contributes towards the success of......); atau ‘penolong’ dalam arti: ‘oknum/pribadi yang memberi makna untuk melakukan atau melaksanakan sesuatu......’ (one who gives means for doing anything.....).
‘Sepadan’ dalam hal ini tidak berarti ‘cocok benar’ atau ‘persis benar’, sehingga perempuan itu dianggap cocok benar atau persis benar seperti laki-laki. Tidak. Yang ‘sepadan’ di sini berarti ‘yang sudah selayaknya, yang sudah sepantasnya, yang sudah sepatutnya’ baik dalam keadaan menurut kodratnya, maupun dalam kemampuan-kemampuan insani dan kemungkinan-kemungkinan yang berkenaan dengan kemanusiaannya. ‘Sepadan’ dalam arti ‘adanya persesuaian dan kesesuaian dalam bentuk, rupa dan jenis yang tidak bertentangan’, oleh karena laki-laki dan perempuan adalah pasangan dari satu spesies yaitu makhluk hidup yang disebut manusia.
Ya, itulah perluasan medan makna ungkapan ‘penolong yang sepadan’ (Ibrani, ezer kenegto) yang disandangkan kepada perempuan. Tanpa ‘penolong yang sepadan’ yang dinamai ‘perempuan’, laki-laki saja dipandang ‘tidak baik’ (2:18). Tidak baik, karena mandat Allah yang tersirat dalam Kejadian 1:26-28 tidak dapat direalitaskan secara lengkap hanya oleh laki-laki sendiri. Itulah sebabnya Allah menghadirkan perempuan dalam horison kehidupan laki-laki. Ucapan laki-laki yang berbunyi, “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku.......” (2:23), sesungguhnya secara eksplisit menunjuk kepada makna presensi perempuan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari laki-laki. Laki-laki dan perempuan adalah dua aspek dari manusia yang sama. Masing-masing memiliki potensi, identitas dan sifat sendiri-sendiri. Allah menjadikan keduanya bukan untuk bersandungan, melainkan untuk bersandingan dalam mengemban amanat Allah. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan sejajar, setara, sepadan.
Catatan antara
Ketika berkontemplasi tentang ‘penolong yang sepadan’ yang disebut ‘perempuan’, saya lantas teringat tiga artikel yang ditulis oleh Dr. Eben Nuban Timo, yang pernah dimuat di SKH POS KUPANG. Ketiga artikel tersebut berjudul, “Politik Perempuan” (POS KUPANG, Sabtu, 20-3-2004); “Perempuan dan Politik” (POS KUPANG, Sabtu, 6-3-2004) dan “Ibu: Anugerah Allah awal kehidupan” (POS KUPANG, Sabtu, 11-10-2003). Ada cukup banyak artikel Dr. Eben Nuban Timo bertema ‘perempuan’ yang dimuat di SKH POS KUPANG, namun terkait dengan tulisan ini saya hanya menyinggung tiga artikel yang telah disebutkan di atas ini.
Dalam SKH POS KUPANG edisi Sabtu, 20-3-2004, Dr. Eben Nuban Timo menjelaskan bahwa “Kata ‘perempuan’ berasal dari kata ‘empu’ yang berarti ‘yang berkuasa’, ‘orang suci’, ‘ibu’ (K. Kapahang-K: Perempuan, 1993, hlm. xiv).” Dalam SKH POS KUPANG edisi Sabtu, 6-3-2004, Dr. Eben Nuban Timo menjelaskan bahwa “Kata ‘perempuan’ berasal dari kata ‘empu’, artinya ‘dia yang dimuliakan, disanjung dan dihormati’. Perempuan, karena itu, menduduki tempat yang istimewa dan terhormat dalam masyarakat dan keluarga.” Dan mengenai kata ‘wanita’, Dr.. Eben Nuban Timo mengatakan, “’Wanita’ artinya ‘dia yang disukai, atau yang dinafsukan’. Kata ini menempatkan perempuan sebagai kaum rendah. Penamaan perempuan dengan sebutan ‘wanita’ karena itu harus ditolak. Disamping arti itu merendahkan kodrat perempuan, ia juga tidak sepadan dengan maksud penciptaan Allah.”
Berkenaan dengan pernyataan Dr. Eben Nuban Timo sebagaimana dikutip di atas ini, saya teringat akan pernyataan Marianne Katoppo tentang ‘perempuan’ dan ‘wanita’ sebagai berikut: “’Perempuan’, dari akar kata ‘empu’, pada hakekatnya adalah suatu pengertian yang dinamis dan kreatif dalam alam budaya Melayu kuno yang melahirkan bahasa kita. ‘Wanita’, suatu kata Sansekerta yang berarti ‘dia yang dipuji seluruh dunia’. Alangkah manisnya, tetapi di manakah geloranya....? Mengapa gerangan puluhan tahun terakhir ini kata ‘perempuan’ makin tergeser oleh ‘wanita’? Sang Empu yang sakti dan berilmu, pudar menjadi wanita yang wangi dan ayu, yang cuma ingin dipuji” (Kata Pengantar dalam PEREMPUAN. L. V. Hosillos, penyunting. Jakarta 1987).
Untuk memperoleh sedikit gambaran mengapa kata ‘perempuan’ digeser oleh kata ‘wanita’, maka dapat saya uraikan sebagai berikut. Memasuki tahun 1950 kebanyakan pengarang tidak suka memakai kata ‘perempuan’ karena nilai rasa kata ‘perempuan’ dianggap buruk. Hal ini dipengaruhi oleh pandangan masyarakat terhadap kaum perempuan pada zaman Angkatan Balai Pustaka, di mana perempuan hanya dipandang sebagai budak yang harus bekerja dan melahirkan anak bagi laki-laki, dengan tiada mempunyai hak. Setinggi-tingginya ia hanya menjadi perhiasan, menjadi permainan, yang dimulia-muliakan selagi disukai, tetapi dibuang dan ditukar apabila telah kabur cahayanya, telah hilang serinya (S. Takdir Alisjahbana. Layar Terkembang: dalam C. A. Mees, 1955:307). Karena citra perempuan seperti itulah, maka nilai rasa kata ‘perempuan’ dianggap buruk, sehingga kebanyakan pengarang memakai kata ‘wanita’ yang dianggap nilai rasa katanya lebih baik daripada kata ‘perempuan’ (Medan Bahasa No. 1 dan 2 Tahun 1952:13, 14).
Dengan demikian, mulai tahun 1950-an sampai tahun 1980-an kata ‘perempuan’ makin tergeser oleh kata ‘wanita’ di dalam setiap wacana, seperti yang dikeluhkan oleh Marianne Katoppo. Dalam perkembangan selanjutnya, memasuki tahun 1990 kesadaran gender mulai kentara. Salah satu wacana yang mencerminkan kesadaran gender dipublikasikan di media cetak KOMPAS edisi 5 Februari 1990 dalam judul, “Dharma Wanita Sebaiknya Diganti Dharma Perempuan”. Dalam wacana tersebut Marianne Katoppo secara tegas menyatakan kemunduran citra kaum wanita yang dikungkung dalam wadah organisasi Dharma Wanita: wanita dianggap bukan potensi mandiri, tetapi membonceng saja pada suami. Gerakan wanita melalui Dharma Wanita hanya merupakan gerakan ‘high-profile’ yang lebih menonjolkan kegemerlapan dandanan ibu-ibu, dan citra yang menjurus pada ‘glamour’. Judul wacana, “Dharma Wanita Sebaiknya Diganti Dharma Perempuan”, mencerminkan kebangkitan kesadaran kaum perempuan untuk memperjuangkan emansipasi dan kesetaraan perempuan dan laki-laki, namun disimbolkan dalam pergeseran nilai rasa kata. Kata ‘wanita’ yang mengalami ameliorasi dan menggeserkan kata ‘perempuan’ yang mengalami peyorasi sejak tahun 1950-an sampai tahun 1980-an mulai berangsur pudar pada awal tahun 1990-an. Dan kata 'perempuan’ kembali mengalami ameliorasi dan menggeserkan kata ‘wanita’ yang mengalami peyorasi seiring dengan kebangkitan kesadaran gender dalam memperjuangkan kesetaraan dan kemitraan perempuan dan laki-laki.
Pada tahun 1992 dan 1993 Gereja di Indonesia mulai mencuatkan tema-tema keperempuanan/kemitraan perempuan dan laki-laki dalam beberapa rangkaian lokakarya antara lain di Rantepao/Tana Toraja, Ujung Pandang, Camplong/Kupang, dan Bandung. Hingga kini—seiring dengan kebangkitan semangat reformasi, demokratisasi dan Hak Asasi Manusia—perjuangan kesetaraan perempuan dan laki-laki telah menjadi realitas yang terus merealitaskan dirinya.
Demikianlah seklumit tinjauan tentang pemakaian dan pemaknaan kata ‘perempuan’ dan ‘wanita’. Lalu apakah arti kata ‘perempuan’ lebih mulia daripada arti kata ‘wanita’? Apakah arti kata ‘wanita’ merendahkan kodrat perempuan dan tidak sepadan dengan maksud penciptaan Allah?
Kata ‘wanita’ berasal dari bahasa Kawi/Jawa Kuno, ‘wanita’, tidak memiliki arti atau makna lain kecuali cuma sebagai antonim dari ‘pria’ atau ‘laki-laki’. Dengan demikian kata ‘wanita’ bersinonim dengan kata ‘perempuan’ (Medan Bahasa No. 4 Thn. 1951:27).
Kata ‘perempuan’, jika dirunut kata dasarnya dari bahasa Jawa Kuno, ‘empu’, yang artinya ‘tuan’, maka kata ‘perempuan’ dapat diartikan ‘yang dipanggil/dianggap empu (tuan)’. Dalam perkembangan terakhir kata ‘perempuan’ tidak mengandung arti/makna lain yang muluk-muluk, kecuali hanya berarti ‘lawan jenis laki-laki’ (S. Zainuddin Gl. Png. Batuah. Dasar-dasar Tatabahasa Indonesia. Kementrian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan, Jakarta 1956:103).
Apabila kita merunut asal kata ‘perempuan’ dalam bahasa Melayu Kuno, maka kita dapat menemukan asal kata ‘perempuan’ dalam bahasa Melayu-Deli, ‘empuwan’. Kata ‘empuwan’ = ‘perempuan’ (C. Hooykaas. Perintis Sastera, Jakarta 1951:273). Kata ‘empuwan’ dalam bahasa Melayu-Deli tidak memiliki arti/makna lain, kecuali hanya sebagai antonim dari kata ‘laki-laki’.
Terlepas dari persoalan etimologi, pengertian ‘perempuan’ dan ‘laki-laki’, atau ‘wanita’ dan ‘pria’ di dalam bahasa Indonesia cuma menyatakan suatu perbedaan kelamin belaka, yang melulu dapat dipakai terhadap manusia. Untuk binatang orang memperguanakan ‘betina’ dan ‘jantan’. Juga bagi tumbuh-tumbuhan, apabila terdapat perbedaan di dalam cara berbunganya dipergunakan orang perkataan ‘betina’ dan ‘jantan’ (C. A. Mees. Tatabahasa Indonesia, Jakarta 1955:58).
Memperhatikan seluruh uraian di atas ini, maka mengakhiri tulisan ini dapat saya simpulkan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, kata ‘perempuan’ bersinonim dan setara dengan kata ‘wanita’ untuk menyatakan perbedaan kelamin belaka dengan ‘laki-laki’ atau ‘pria’, karena itu nilai rasa kata ‘perempuan’ sama dengan nilai rasa kata ‘wanita’. Kedua, pemberian arti muluk-muluk pada kata ‘perempuan’ antara lain ‘dia yang dimuliakan, disanjung dan dihormati’ dan sebagainya, sesungguhnya mubazir. Sebab sebutan ‘empu’ dalam bahasa aslinya, Jawa Kuno disandangkan kepada tokoh laki-laki, yang karena keahlian khususnya ia layak disebut ‘Empu’. Ketiga, kata ‘wanita’ sama sekali tidak memiliki arti yang bernuansa negatif, yang merendahkan kodrat perempuan, apalagi arti yang tidak sepadan dengan maksud penciptaan Allah sebagaimana dikatakan oleh Dr. Eben Nuban Timo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar