A. G.
Hadzarmawit Netti
Kritikus
Sastra Aliran Pukuafu
Catatan
pengantar
SALAH SATU Keputusan Temu II Sastrawan
NTT yang dibacakan Dr. Yoseph Yapi Taum pada acara penutupan Temu II Sastrawan NTT di Pantai Ria, Ende-Flores,
pada Sabtu malam tanggal 10 Oktober 2015 yaitu: 16 Juni ditetapkan sebagai “Hari
Sastra NTT”, sesuai tanggal dan bulan kelahiran Sastrawan Gerson Poyk [orang
NTT]. Siapakah itu sastrawan Gerson Poyk (almarhum)? Bacalah buku, Sastra
Indonesia Warna Daerah NTT karya Yohanes Sehandi [pemeduli Sastra Indonesia
Warna Daerah NTT, dan pemeduli sastrawan Indonesia orang NTT]. Bacalah juga artikel
saya berjudul, “Begawan Sastra Gerson Poyk dan Sastrawan Potensial asal daerah
NTT” (www.bianglalahayyom.blogspot.co.id) edisi Rabu, 01 Maret 2017. Berkenaan dengan “16 JUNI HARI
SASTRA NTT” tahun 2017, artikel ini saya buat: in memoriam Gerson Poyk: ҉ 16
Juni 1931 --- ҈ 24 Februari 2017.
Yohanes Sehandi, dalam bukunya, Sastra
Indonesia Warna Daerah NTT (Penerbit Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2015)
memperkenalkan profil 44 sastrawan NTT. Dari 44 sastrawan itu terdapat tujuh sastrawan yang lahir dalam
bulan Juni, yaitu: Marsel Robot [1 Juni 1961], Robert Fahik [5 Juni 1985], Santisima
Gama [11 Juni 1982], Gerson Poyk [16 Juni 1931], Armin Bell [16 Juni 1980], Leo
Kleden [28 Juni 1950], Buang Sie [30 Juni 1967]. Kepada keenam sastrawan (tanpa
Gerson Poyk, almarhum), yang lahir pada tanggal 16 Juni sebagai “Hari Sastra
NTT”, saya ucapkan: “Selamat Ulang Tahun dan Salam Sastra!” Dan berkenaan
dengan Hari Sastra NTT, 16 Juni 2017, saya ingin mewedarkan kontemplasi dan
refleksi atas dua buah novel karya Robert Fahik berjudul, Seperti Benenai Cintaku
terus mengalir untukmu (Penerbit Cipta Media Yogyakarta 2015), dan Apshara
(Penerbit Cipta Media Yogyakarta 2016).
Kontemplasi dan refleksi
SUSASTRA (puisi,
cerpen, novel, roman) adalah suatu dunia kehidupan yang dirancang dan dibangun
oleh seorang sastrawan berdasarkan imajinasi dan fantasinya. Sebagai suatu
dunia kehidupan, susastra memiliki panorama, pesona, dan keindahan yang unik.
Akan tetapi bukan itu saja. Susastra juga memiliki nosi dan emosi, serta daya
evokasi, lantaran segenap daya-daya roh sastrawan yang bergelut aktif dan giat,
tersusun dan teranyam di dalamnya.
Untuk mengenal susastra
sebagai suatu dunia kehidupan sebagaimana dikatakan di atas, kita tidak dapat
mengandalkan komentar dan deskripsi orang lain semata-mata. Kita sendiri harus
menjelajahinya secara tuntas, sebab tanpa penjelajahan yang tuntas, kita tidak
akan dapat mengenal dan menikmati detail-detail panorama, pesona, keindahan, nosi
dan emosi, serta daya evokasi susastra
itu secara baik dan memuaskan.
Demikianlah pandangan
yang saya anut. Dan berdasarkan pandangan itulah susastra sebagai suatu dunia
kehidupan, saya jelajahi sesuai batas-batas kemampuan saya. Yang dimaksudkan
dengan menjelajahi di sini ialah meneliti dan mengamati melalui aktivitas membaca
dan berkontemplasi. Ya, sekali lagi, membaca dan berkontemplasi. Penjelajahan
seperti inilah yang saya lakukan atas novel R. Fahik Seperti Benenai, Cintaku terus
mengalir untukmu, yang diterbitkan oleh Penerbit Cipta Media (Anggota IKAPI,
Yogyakarta) pada tahun 2015; dan novel
Apshara, yang diterbitkan oleh Penerbit Cipta Media Yogyakarta, Juli 2016.
Ketika membaca novel ini dan membiarkan totalitas daya-daya
roh dan integritas intelek kedirian saya bergelut dalam kontemplasi, citra
visual dalam imajinasi saya menyaksikan suatu pelangi, yaitu suatu lengkung
spektrum warna di langit di atas Benenai yang airnya terus mengalir. Lengkung
spetrum warna di langit di atas Benenai itu merefleksikan pergulatan-pergulatan
antara cinta dan kesetiaan; antara cinta dan derita; antara cinta dan pengabdian;
antara cinta dan pengharapan di
tengah-tengah kurun waktu dan ruang demi Malaka, dan demi masa depan tokoh-tokoh
yang berlakon di pentas dunia kehidupan, antara pengharapan dan harapan untuk
memperoleh.
Dan untuk semuanya
itulah, antara Benenai dan Malaka—lembah tempat cinta, kesetiaan, dan
pengabdian ditaburkan—dan Mutis sebagai simbol ketinggian cita-cita, dan pengharapan
demi hari esok, sastrawan R. Fahik melalui perantaraan tokoh Aku dan Mey merumuskan visi dan misinya: “Kalau
mau ke Mutis, kau harus siap untuk kembali ke Malaka, seperti Benenai yang terus mengalir itu”/ “Kembali?”/
“Agar kehidupan terus berjalan.”/ “Bagaimana denganmu?”/ “Hatiku selalu di
sini.”/ “Hati kita.”
Dengan merumuskan visi
dan misi imajiner yang dititipkan melalui mulut tokoh Aku dan Mey, sastrawan Robert Fahik mempersembahkan
karya susastranya yang indah itu bagi Benenai dan Malaka sebagai panggung
pentas semua aktor dan aktris yang berperan di atasnya; bagi penikmat sastra di
daerah NTT; bagi penikmat sastra di Indonesia; bahkan bagi penikmat sastra antarbangsa yang konsisten melirik hasil karya
sastra para sastrawan Indonesia orang NTT maupun bukan orang NTT.
Novel ini: Seperti
Benenai, Cintaku terus mengalir untukmu, adalah novel ketiga karya sastrawan Robert
Fahik. Novel ini bagus dan memuaskan, memenuhi kriteria sastra yang saya anut,
yaitu: tercermin pendalaman masalah manusia yang luas dan universal; tercermin
wawasan cipta sang sastrawan; tercermin keterlibatan sastrawan dengan masalah manusia
yang luas dan universal; tercermin sikap dan motif bersastra sang sastrawan
yang jelas; dan ada pencapaian estetik sang sastrawan dalam karya sastranya
yang personal dan tidak imitatif.
Berdasarkan kriteria
yang disebutkan di atas ini, saya tidak sependapat dengan penilaian dan komentar
beberapa sastrawan di kota Kupang yang pernah mengemukakan kritik mereka atas
novel karya Robert Fahik, sebab karya sastra para pengkritik itu sendiri tidak
lebih baik dari novel yang saya apresiasi
dalam artikel ini.
Novel kedua karya
Robert Fahik yang akan saya apresiasi adalah novel yang berjudul, Apshara, yang
diterbitkan oleh Penerbit Cipta Media, Yogyakarta, Juli 2016.
Pada hari Jumat siang,
31 Maret 2017 yang lalu saya memperoleh
sebuah novel berjudul, Apshara dari novelis Robert Fahik dengan catatan: saya
diminta untuk meninjau dan mengapresiasi novel tersebut dalam acara diskusi
sastra yang diadakan di ruang diskusi Cakrawala NTT, Jl. Hati Mulia VI, No.1
Oebobo, Kota Kupang.
Kover buku menyita
perhatian saya. Judul novel, Apshara, dengan cetakan berwarna coklat terhampar
seperti pada bentangan langit berwarna hijau daun muda; di sudut kiri atas ada
sesosok wajah gadis dengan tatapan mata ke arah bawah, tampak mengulum senyum
dan/atau kata-kata yang tak terucapkan; binar bola matanya memancarkan keprihatinan. Di tepi bawah,
terhampar padang luas sejauh mata memandang, ditumbuhi tetumbuhan rumput
berwarna kecoklat-coklatan; tampak seorang perempuan berdiri di tengah
rerumputan sambil membuang pandangan ke samping kiri, seakan-akan mengawasi
lingkungan di mana ia berada. Dan jauh
di bagian depan perempuan itu, terlihat sebuah bangunan seperti kuil
[tempat memuja atau menyembah dewa] dan/atau pura [tempat beribadah atau tempat
bersembahyang] umat Hindu Dharma. Kelihatan pintu kuil atau pura terbuka,
seakan-akan siap menerima setiap orang yang mau bersembahyang, berserah diri
dan jiwa kepada yang disembah atau yang diimaninya. Terbaca pula di kover, Robert Fahik – Penulis
Trilogi Malaka, yang menulis novel Apshara, sebuah novel yang diangkat dari kisah nyata. Setelah
menghela napas sejenak, saya membaca empat larik tulisan di sudut kanan atas
kover: “Find a nice corner, pull a cosy seat,/ make yourself a nice drink…/ get
comfortable and read this book./ It will stir something inside you.”
Dan memang benar. Baru
sebatas mengamati detail kover buku novel Apshara sebagaimana diwedarkan di
atas, batin saya sudah tersentuh dan tergerak, mengharukan. Kover buku novel ini menghadirkan suatu dunia
kehidupan yang menyuratkan dan menyiratkan
pergumulan—seorang tokoh perempuan di medan kehidupan—antara pengharapan
dan harapan untuk memperoleh. Bentangan langit berwarna hijau daun muda (green
- vigorous) menyimbolkan ketabahan dan
kekuatan batin dalam perjuangan meraih masa depan yang berpengharapan.
Sementara hamparan padang luas yang ditumbuhi tetumbuhan rumput berwarna
kecoklat-coklatan (dark-brown) menyimbolkan medan perjuangan hidup yang
diwarnai peristiwa-peristiwa dan/atau pengalaman hidup yang gersang, kelam dan gelap.
Di tengah medan
perjuangan hidup itulah tokoh perempuan menempuh kehidupannya dengan tabah demi suatu masa depan yang
berpengharapan, bukan saja demi dirinya sendiri, melainkan serentak demi sesosok wajah gadis mungil dengan
tatapan mata mengarah ke bawah, serta binar bola matanya yang memancarkan
keprihatinan, dan bibir mulutnya yang tampak mengulum senyum dan/atau kata-kata yang tak terucapkan. Di medan perjuangan
hidup itu pula, sang tokoh perempuan diperhadapkan dengan kuil atau pura
sebagai simbol kepercayaan yang menggugah dan menginsafkan setiap orang akan
esensi kepercayaan pada Allah, bahwasanya: “to believe is to live; to live is
to pray and to labour; to pray and to labour is to be here and there, for the
sake of our own life, our own family …; and for the glory of the Lord. Ya, di medan perjuangan hidup
seperti itu, kita diingatkan untuk “sabar demi ketenteraman” (be patient for
the sake of peace). Apa yang saya singkapkan di atas ini dilukiskan dalam bahasa sastrawi secara
memuaskan oleh Robert Fahik dalam novelnya yang berjudul, Apshara.
Lalu, apakah yang
tersirat di dalam Apshara, yang menjadi judul novel ini? Pada halaman 14 dan
19, Apshara disingkapkan sebagai gabungan nama tokoh Apoly dan tokoh Shara, dua
tokoh utama dalam novel ini yang memiliki ikatan batin dan jalinan kasih dalam suatu
episode jalan hidup mereka yang
penuh kenangan indah, namun
tragis. Dengan demikian, Apshara bukan
saja paduan dua nama, melainkan juga
paduan dua hati, sekalipun ada
jurang yang memisahkan Apoly dan Shara secara badani. Pada halaman 79, Apshara juga adalah nama
yang menggantikan nama Devi, anak semata wayang tokoh Shara yang diperoleh dari
perkawinannya dengan seorang warga negara asing di Bali, namun kandas dalam
perjalanan hidup akibat perceraian. Pada
halaman 16 dan 85, Apshara dimaknai sebagai malaikat. Tuhan
menitipkan malaikat kepada tiap-tiap orang untuk dijaga dan menjaga.
Tinggal tiap-tiap orang menyadari kehadiran malaikat itu dalam hidupnya. Dan
memang benar: anak-anak yang dilahirkan adalah milik pusaka Allah (Mazmur
127:3). Ada malaikat surgawi yang melindungi mereka (Matius 18:10). Dengan
demikian, malaikat Allah hadir di tengah keluarga di dalam rumah tangga melalui
kehadiran anak yang dilahirkan. Memberi tumpangan dan menjamu tamu yang
berkunjung ke rumah, sesungguhnya kita telah menjamu malaikat Allah (Ibrani
13:2). Malaikat Allah juga berkemah di sekeliling orang-orang beriman yang
takut akan Allah (Mazmur 34:8). Malaikat Allah juga menjaga setiap orang
beriman dalam jalan hidupnya (Mazmur 91:11,12). Bahkan, kebaikan-kebaikan yang
kita lakukan kepada sesama manusia yang membutuhkan belas kasih, sesungguhnya
kita telah melayani Yesus (Matius 25:31-46).
Dan Apshara yang dimaknai secara intens oleh
tokoh Shara tersirat dalam dua alinea
terakhir novelnya pada halaman 106 dan 107 yang berbunyi: “Kupang, 2016. Malam
ini kembali aku duduk seorang diri di Flobamora Mall. Sengaja kupilih tempat
yang sama, di malam terakhir kalinya aku
bertemu Apoly. Sekali lagi aku ingin merasakan hujan turun deras dan membasahi
hatiku yang kering. Aku sedang menunggu seseorang yang mungkin bisa membawa
hujan itu lagi. Seseorang yang menjadi tempat berbagi, yang membuka mataku
untuk terus berjalan hingga hari ini, yang wajahnya adalah semesta harapan.
Entahlah, bagaimana perasaanku. Aku melihatnya seperti seorang kakak yang
kukagumi, kucintai, dan selalu kurindukan. Entah bagaimana aku harus melewati
semua ini. Entah sampai kapan. Dan air mataku mengucur deras…. Tiba-tiba
kerinduan ini memelukku begitu erat. Erat sekali. Aku merindukan Apshara: malaikat
kecilku.”
Di dalam dua alinea
penutup novel sebagaimana dikutip di atas ini tersirat secara intens nada-nada
murung, sayu, sedih, muram yang
mencengkam tokoh Shara dalam kesendirian
dan kesepian. Kenangan masa lalu tokoh Shara bersama Apoly yang pernah menyatu
nama dan hati dalam satu sebutan, Apshara, seperti badai yang menerpa dan
mengguncang-guncang batin tokoh Shara, yang sedang meramal-bayangkan hari
esoknya, dan yang sedang bergumul antara pengharapan dan harapan untuk
memperoleh apa yang didambakannya. Pada suatu malam, di salah satu sudut di
Flobamora Mall, Kupang, pada tahun 2016, suka-duka pengalaman masa lalu dan
pengharapan serta harapan masa depan bergelut dan mencengkam batin tokoh Shara
yang kering. Namun dalam kemuraman dan
kesayuan yang mencengkam itu, suatu “surprise” terjadi setelah air mata tokoh
Shara mengucur deras…
Tiba-tiba kegalauan
batinnya berubah menjadi kerinduan yang mendekapnya begitu erat.:
Kerinduan bukan untuk berdekap dengan
tokoh Apoly yang pernah menyatu dengan tokoh Shara menjadi Apshara, melainkan
kerinduan untuk mendekap malaikat kecilnya, yaitu Devi, anak semata wayangnya
yang telah berganti nama menjadi Apshara.
Tokoh Shara harus melepaskan Apoly yang tertambat di kalbunya, dan harus
menempuh hari esoknya bersama Apshara,
yakni Devi, anak semata wayangnya; sebab Apoly telah memadu hati dan badani
dengan Elisa, sebagaimana tersingkap
dalam halaman 104-106.
Novel Apshara yang
ditulis oleh Robert Fahik ini cukup indah dan memuaskan. Keindahannya tergolong
“tragic beauty”—keindahan tragis; keindahan menyedihkan: keindahan yang
merawankan hati; mempesonakan dan/atau mengesankan.
Catatan: ada sebuah
kata arkais, Apsara—homofon dengan Apshara—yang artinya “makhluk kayangan;
makhluk surgaloka;
makhluk surga, yang dalam novel ini disebut “malaikat”. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar